Indonesia Yang Semakin Jelas

JUMAT (10/8) malam hujan turun sangat deras. Terpal yang sudah tergelar pun basah dan tergenang air hujan. Selepas isya’, hujan sempat reda. Jamaah yang sudah datang pun kemudian bersama teman-teman penggiat Kenduri Cinta menggelar kembali terpal untuk dijadikan alas duduk.  Ternyata, Allah masih ingin memesrai jamaah maiyah di Jakarta dengan air hujan. Hujan pun turun lagi dengan intensitas yang tak kalah deras. Sepertinya, hujan malam itu dikirim Allah untuk meredakan panasnya suhu politik di Jakarta dalam sepekan terakhir.

Dan seperti biasanya, hujan ini sama sekali tidak menyurutkan niat jamaah maiyah untuk datang ke Kenduri Cinta. Di media sosial Twitter, ada yang dengan bangga mengabarkan akan tetap berangkat ke Taman Ismail Marzuki menerjang hujan dengan sepeda motor kesayangannya. Memang benar adanya, kemesraan dan kerinduan bermuwajahah hanya bisa diobati dengan bertatap muka. Meskipun ada ribuan video Maiyahan tersebar di Youtube, tetap saja tak mampu mengobati kerinduan ini.

The show must go on. Meskipun hujan deras, Kenduri Cinta tetap dimulai. Setelah membaca Surat Yasin dan berdoa untuk simpati terdalam kepada saudara-saudara kita di Lombok yang tengah diuji kesabarannya oleh Allah dengan gempa bumi. Sholawat bergema dibawah guyuran hujan, beberapa jamaah berinisiatif menggunakan terpal untuk berteduh dari air hujan. Terpal yang biasanya menjadi alas duduk, berubah fungsi menjadi payung. Tersadar kita, mungkin seperti inilah yang dirasakan oleh saudara-saudara kita di Lombok yang saat ini harus tinggal di area pengungsian, hanya beratapkan tenda-tenda dan beralaskan terpal. Sudah pasti jika malam udara yang dingin mereka rasakan.

Suasana keakraban ini semakin lengkap dengan hadirnya Ustad Noorshofa di sesi mukadimah. Ust Noorshofa mengajak jamaah untuk mentadabburi surat Ibrahim ayat 36. Dikisahkan, Nabi Muhammad SAW bahkan menangis ketika membaca ayat ini. Sebuah ayat yang berisi sebuah peringatan tentang umat nabi ibrahim yang menyembah berhala.

Banyak berhala ketika itu yang menyesatkan manusia. Dan saat ini, berhala yang kita hadapi adalah berhala abad 21 yang wujudnya tidak seperti berhala seperti zaman Nabi Ibrahim AS. Ada berhala kekuasaan, ada berhala harta benda, ada berhala popularitas dan lain sebagainya.

Seperti biasanya, Ust. Noorshofa selalu memberi bumbu kelakar dan humor setiap berceramah, tak terkecuali di Kenduri Cinta. Cak Nun bahkan sempat menuliskan salah satu kelakar Ust. Noorshofa ini dalam satu tulisan yang berjudul “Kenduri Cinta si Udin”.

Melengkapi tadabbur Surat Ibrahim ayat 36, Ust. Noorshofa menyampaikan bahwa ada 4 orang yang tidak akan mudah tergiur godaan berhala Abad 21 ini;  Orang yang bisa menahan diri dalam keadaan senang, orang yang bisa menahan rasa takutnya, orang yang bisa menahan diri ketika punya cita-cita dan keinginan, dan yang terakhir orang yang bisa menahan diri ketika marah.

Kemesraan di Kenduri Cinta malam ini sama sekali tidak terganggu sedikitpun hanya karena hujan deras. Apalagi hanya karena riuh rendah berita tentang capres-cawapres 2019-2024. Nyatanya, semakin malam, jamaah yang datang justru semakin banyak. Setelah hujan reda, secara mandiri mereka pun mengkondisikan kembali posisi duduk masing-masing. Sudah pasti akan basah karena menduduki pelataran TIM yang baru saja diguyur hujan, namun asalkan kerinduan terobati, tentu saja tak masalah bukan?

Untuk memberi jeda, Farid putera almarhum Mbah Surip tampil di panggung membawakam karya-karya Mbah Surip. Mbah Surip bukanlah orang asing di Kenduri Cinta, jauh sebelum Mbah Surip populer di televisi, jamaah maiyah di Kenduri Cinta sudah akrab dengan Mbah Surip, sudah pasti dengan karya-karya apiknya yang selalu dibawakan di Kenduri Cinta.

Selain Farid, tampil juga Raras Ocvi salah satu murid Beben Jazz yang kali ini tampil dengan gitarisnya yang merupakan salah satu seniornya semasa kuliah. Hujan sudah reda, suasana Kenduri Cinta semakin akrab. Semakin sayang untuk dilewatkan begitu saja. Nomor-nomor apik dibawakan Raras dengan suaranya yang khas.

TAMPAK Sabrang sudah bergabung di panggung. Mengawali paparan, Sabrang menyampaikan bahwa orang-orang progresif adalah orang-orang yang terburu-buru melakukan kesalahan, sementara orang-orang konservatif adalah orang tidak mau kesalahannya dibenarkan. Maka, yang juga diupayakan di Maiyah adalah titik seimbang dari keduanya, sehingga tidak terlalu berat pada satu titik saja. “Jadilah dirimu sendiri, dan jangan berpura-pura”.

Di Indonesia, kita memiliki istilah Generasi Pendobrak yang hampir sama karakternya dengan Generasi Progresif, selain itu juga ada Generasi Penerus yang karakternya sedikit banyak menyerupai Generasi Konservatif. Dan kelebihan kita hari ini adalah bahwa kita juga memiliki Generasi Pembaharu, ialah generasi yang berani melakukan perubahan (mendobrak) dari kebiasaan sebelumnya, juga berani meneruskan hal-hal yang baik dari generasi sebelumnya, dan tentu saja mampu memperbaiki hal-hal yang buruk yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. “Itu adalah sebuah koordinat yang tidak sederhana untuk dilakukan”, ungkap Sabrang.

Sabrang menambahkan, cuaca itu menentukan bagaimana benih itu tumbuh dan apa yang akan ada di dalam lingkungan itu. Jika cuaca kering gersang, maka Kaktus yang bisa tumbuh. Jika Cuaca sejuk dan cerah, maka bunga yang akan tumbuh. Menyikapi Capres dan Cawapres di Indonesia yang sedang ramai, menurut Mas Sabrang mereka yang muncul itu sesuai dengan cuaca yang ada di Indonesia saat ini. Cuaca jangan hanya dipahami sebagai gejala alam, tetapi cuaca juga merupakan atmosfer yang berkembang dan tumbuh dalam sebuah kelompok masyarakat. Cuaca itu tidak terlibat dalam rantai makanan, tapi sangat mempengaruhi keberlangsungan ekosistem.

Kembali, Sabrang mengajak jamaah maiyah Kenduri Cinta untuk belajar kepada semut yang memiliki sistem pembagian peran. Semut memiliki kebiasaan dan tradisi untuk terus bersilaturahmi. Dengan bersilaturahmi, semut akan mengetahui ada peran yang harus dia ambil. Tidak mungkin semua semut menjadi prajurit. Tidak mungkin juga seluruh semut menjadi pasukan penimbun makanan. Harus ada pembagian tugas. Dan kita sebagai manusia masih saja gagal mempelajari manajemen peran dari masyarakat semut ini. Pembagian tugas dan peran ini sangat rapi, sehingga ekosistem mereka sangat seimbang. Jika tidak seimbang, maka keberlangsungan semut akan punah. Secara komunal, semut memiliki keseimbangan pembagian kerja secara alami.

Ada 2 syariat yang dilakukan oleh semut; silaturahmi dan berani menjadi (to be). Bagaimana semut menjaga keseimbangannya yaitu dengan setiap kali bertemu semut lainnya, ia menyapa. Sehingga, ketika sampai pada pertemuan ke sekian dengan semut yang lainnya, ternyata ia menemukan ada peran yang belum diambil oleh semut lainnya, entah itu peran sebagai prajurit, petani, atau apapun saja, maka ia akan mengambil peran itu. Kesadaran untuk mengambil peran inilah yang kemudian membangun keseimbangan ekosistem kehidupan koloni semut itu sendiri.

Karena manusia itu adalah mahkluk yang paling kreatif untuk membikin masalah, maka sistem masyarakat semut tidak mungkin diaplikasikan oleh manusia. Pada dasarnya, semua permasalahan makhluk di muka bumi itu akan selesai manakala mereka kenyang. Binatang sekalipun, ketika kenyang maka ia tidak akan banyak polah. Bedanya dengan manusia, ketika manusia kenyang dia akan mencari masalah yang lain. Ketika sudah kenyang, manusia akan berpikir bagaimana caranya agar bisa memiliki mobil, rumah, dan aset berharga yang lebih banyak lagi.

“Menurut saya, apa yang dilakukan oleh Kanjeng Nabi dengan dakwah Islam-nya adalah dalam rangka membangun kecerdasan komunal”, lanjut Sabrang. Ilmu modern menyebutnya Swarm Inteligence, itulah yang terjadi ketika Piagam Madinah lahir. Sistem Konstitusi yang pertama kali lahir di dunia itu lahir bukan atas prakarsa satu orang yang pandai, melainkan lahir atas berlangsungnya interaksi antar manusia di Madinah saat itu.

“Dalam hidup itu ada dua jenis pertarungan; pertarungan pendek dan pertarungan panjang”, lanjut Sabrang. Contohnya, ketika seorang laki-laki melamar perempuan untuk dinikahi itu adalah pertarungan pendek, karena berhasil atau gagal terjadi saat ia melakukannya. Tetapi, ketika sepasang laki-laki dan perempuan sepakat untuk menikah dan memabangun rumah tangga, maka disitulah pertarungan panjang mereka mulai.

Malam itu, 9 puisi karya Cak Nun yang bertemakan Serigala dan Domba dibacakan oleh beberapa jamaah dan penggiat Kenduri Cinta. Puisi terakhir secara khusus dibaca oleh Mas Uki Bayu Sedjati, salah satu sahabat Cak Nun yang sangat setia hingga hari ini. Memang secara khusus Cak Nun mengantarkan Kenduri Cinta edisi Agustus kali ini dengan memberikan pedoman puisi-puisi yang dirilis setiap hari sejak awal pekan yang bertemakan Domba dan Serigala.

Setelah Mas Uki membaca puisi ke-9, Cak Nun bergabung ke panggung, menyapa jamaah yang hadir dengan kalimat salam; Assalaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kemudian Cak Nun mengingatkan untuk jamaah yang tidak beragama Islam tidak ada kewajiban untuk menjawab salam itu, karena di Maiyah ucapan salam itu tidak juga menjadi ukuran toleran atau intoleran, sehingga tidak perlu juga mengucapkan salam lengkap dengan 6 bahasa kepercayaan agar tidak dianggap intoleran kepada ummat beragama yang lain.

“SETIAP orang jadilah dirimu masing-masing, tidak perlu menjadi orang munafik menirukan orang lain”, lanjut Cak Nun seraya berterima kasih kepada jamaah dan juga para pembaca puisi bertemakan Domba dan Serigala yang dibacakan sebelumnya.

“Saya menulis puisi bukan dalam rangka menjadi penyair, karena jika tujuan saya adalah menjadi penyair maka saya memasuki pertarungan pendek seperti yang dijelaskan oleh Sabrang tadi”, ungkap Cak Nun. Cak Nun kembali menekankan bahwa manusia itu hidup abadi, maka satu hal yang juga tidak dipercaya oleh Cak Nun adalah bahwa seluruh memori ingatan manusia disimpan di otak. Karena jika hanya tersimpan di otak, maka ketika manusia mati, ingatan itu akan hilang. Sebab, ketika tubuh manusia dikubur di bawah tanah, seluruh daging dalam tubuhnya akan melebur dengan tanah.

Cak Nun menjelaskan bahwa menulis puisi tentang Serigala dan Domba ini dalam rangka menemani sinau bareng yang di Maiyahan ini dilakoni oleh generasi muda yang memiliki jiwa pelari maraton yang mampu menempuh pertarungan panjang. Meskipun maraton, bisa saja di tengah-tengah lari maraton itu ada sprint-nya. Puisi-puisi yang ditulis oleh Cak Nun akhir-akhir ini ditujukan dalam rangka bertahap menyambut 2019, dimana di awal tahun Cak Nun dan Sabrang berencana mementaskan sebuah Drama yang berjudul Sengkuni 2019.

Menegaskan paparan Sabrang, Cak Nun menambahkan bahwa dalam berkeluarga jika ukuran yang digunakan adalah istri cantik atau tidak, suami ganteng atau tidak, maka rumah tangga yang dibangun tidak akan bertahan lama. Karena cantik dan ganteng itu hanyalah ukuran-ukuran pendek. Sementara rumah tangga itu contoh sebuah peristiwa yang tidak ada endingnya,  berapapun usianya suami akan tetap mencintai istrinya, begitu juga sebaliknya. Karena ukuran untuk mencintai tidak menggunakan ukuran yang pendek, melainkan menggunakan ukuran untuk jangka panjang.

Sebaliknya, Negara dan Pemerintah Indonesia saat ini masih menggunakan pertarungan pendek. Sejauh-jauh rezim berkuasa saat ini hanyalah sepuluh tahun, dua periode kekuasaan. Dan ketika rezim berganti, seorang Presiden memiliki keengganan untuk melanjutkan program-program Presiden sebelumnya, karena menganggap Presiden sebelumnya adalah rezim yang buruk hanya karena rezim sebelumnya adalah lawan politiknya.

Seharusnya, Pemerintah memikirkan sebuah rencana yang lebih panjang dari masa jabatan yang ia emban saat ini, sehingga rumusnya adalah sesuatu yang sementara berpijak pada sesuatu yang abadi. Yang terjadi justru sebaliknya, Pemerintah merasa lebih abadi dari Negara, sehingga program-program Pemerintah bukan dalam rangka masa depan dan jangka panjang Negara, melainkan untuk jangka panjang yang sedang menjadi Pemerintah itu sendiri.

Cak Nun tidak ingin membicarakan tentang Negara dan Pemerintah terlalu jauh, sedikit berbelok tentang salah satu keresahan beliau yang sering dianggap olah jamaah sebagai manusia yang mengerti banyak hal, sering dianggap mengerti dan memahami sesuatu yang sebenarnya sama sekali tidak dipahami oleh Cak Nun. Ada banyak kesalahan pandang yang ditujukan kepada Cak Nun.

Merefleksikan kepribadian Rasulullah SAW, yang dikuasai oleh Rasulullah SAW adalah tentang kemanusiaan. Rasulullah SAW memahami hati setiap manusia yang ia hadapi, memahami kecenderungannya, kebutuhannya. Sehingga, tidak ada sejarahnya Rasulullah SAW itu menceramahi orang, yang ada adalah Rasulullah SAW menjawab pertanyaan para sahabat dan menyampaikan apa yang dibutuhkan oleh para sahabat beliau. Bahkan, Rasulullah SAW itu memiliki sifat yang selalu melonggarkan ummatnya, memudahkan ummatnya.

“Karena manusia tidak memiliki alat ukur apapun untuk mengukur taqwa sesama manusia, maka Allah mengatakan Inna akromakum ‘indallahi atqookum”, Cak Nun menambahkan bahwa salah satu yang dipermudah oleh Rasulullah SAW kepada ummatnya adalah sebuah hadits yang menyatakan; Sholluu kama roaitumunii usholli, sholatlah seperti engkau melihatku sholat. Bukan Shollu kama usholli, sholatlah seperti aku sholat.

Maka yang harus dilakukan oleh Ulama adalah memberikan kelonggaran kepada manusia yang lainnya. Ulama adalah ia yang mengacu pada kelengkapan yang dimiliki oleh Rasulullah SAW. “Jadi Anda jangan sebut saya sebagai ulama, karena saya jauh dari memiliki kelengkapan seperti Rasulullah SAW”, Cak Nun melengkapi.

Setelah penampilan Bedur bersama Pandan Nanas, Syeikh Nursamad Kamba memberikan beberapa perspektif. Menyambung paparan Cak Nun, Syeikh Kamba menyampaikan bahwa Cak Nun adalah Ulama yang sejati yang kita temui hari ini. Menurut Syeikh Kamba, hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Cak Nun tentang apa kelebihan yang dimiliki oleh Rasulullah SAW Semasa hidupnya tadi.

Melengkapi paparan Cak Nun sebelumnya, Rasulullah SAW ketika bertugas menjadi Rasul dilengkapi Al Qur`an dengan pembagian ayat yang jelas; Ayat Makkiyah dan Ayat Madaniyah. Ayat Makkiyah adalah ayat-ayat yang diturunkan di Mekah, yang titik beratnya adalah tentang ideologi, tauhid. Sementara ayat-ayat Madaniyah, adalah yang diturunkan di Madinah dengan titik berat hubungan sosial masyarakat sesama manusia dan makhluk hidup. Kiai Muzammil pun sempat menambahkan paparan Cak Nun dan Syeikh Nursamad Kamba mengenai siroh nabawiyah Rasulullah SAW ini.

Di sesi akhir, Cak Nun mengungkapkan bahwa dengan pengumuman formasi Capres dan Cawapres yang akan bertarung di Pemilihan Umum 2019 nanti, maka sebenarnya itulah Indonesia hari ini. Cak Nun merasa untuk tidak perlu menjelaskan lebih jelas lagi tentang Indonesia, karena apa yang kita lihat dari bursa Capres dan Cawapres 2019 ini sudah memperlihatkan seperti apa Indonesia.

Sebenarnya, kerinduan untuk bertemu ini masih belum terpuaskan, tetapi di Maiyah kita semua belajar untuk mampu menemukan batas dalam diri, Kenduri Cinta pun harus segera kita akhiri agar tidak melebihi batas itu. Tepat pukul 03:30 WIB dinihari, Kenduri Cinta dipuncaki dengan ‘indal qiyam dan do’a bersama yang dipimpin oleh Syeikh Nursamad Kamba.