Indonesia Kecil Itu Masih Ada

HUJAN mulai turun deras dan semakin menderas setelah karpet (terpal) digelar rapi di sekitar panggung Kenduri Cinta. Cekatan penggiat dan jamaah bergegas melipat kembali terpal-terpal itu, walaupun usaha itu tidak dapat menghindarkannya dari basah karena air hujan. 10 Agustus 2018, selepas waktu Isya’ menjelang rangkaian kenduri dimulai, gerimis tak kunjung mereda. Bahkan, hingga sesi awal diskusi justru lebat. Tidak nampak rasa cemas di raut muka jamaah yang berdatangan dan berteduh di bawah tenda yang sederhana itu.

Malah sebagian nampak bergembira bercengkerama diatas panggung mungil yang disusun dari level kayu. Padahal umumnya orang-orang yang hadir pada sebuah acara di ruang terbuka setidaknya akan nampak murung ketika cuaca tidak mendukung. Namun berbeda dengan setiap Maiyahan, apapun kondisi cuaca adalah wujud ekspresi alam yang layak untuk diakrabi.

Tidak seperti biasa, sesi pembuka Kenduri Cinta kali itu tidak menghantarkan wirid Wabal dan Tahlukah. Momentum paska gempa di Lombok NTB dan sekitarnya, serta untuk menghaturkan belasungkawa sepeninggal almarhumah Ibu Eny Untari Istri dari Bapak Novi Budianto KiaiKanjeng, Kenduri Cinta diawali dengan pembacaan Surat Yasin dan Wirid Padhangmbulan.

Suasana dingin di Taman Izmail Marzuki seolah sedang menyampaikan salam dari saudara-saudara kita di NTB yang masih bertahan di tenda-tenda pengungsian dengan suasana dingin yang sama. Inisiatif sebagian jamaah yang bekerjasama menjadikan terpal yang sudah basah kuyup dijadikan atap tambahan di depan tenda, semakin menunjukan sebagian kecil potret keadaaan darurat yang sedang dialami bangsa ini.

Panggung sesak, tidak hanya oleh para pelayan acara. Ibu-ibu yang membawa anak-anak diprioritaskan untuk menempati panggung kayu yang tak lebih tinggi dari 30 sentimeter itu. Tidak ada jarak antara penggiat dan jamaah. Membaur menjadi satu. Tata ruang yang demikian alami terbentuk. Hujan bukanlah halangan, dan jamaah justru semakin banyak berdatangan. Suasana ini tidak mungkin dapat direncanakan oleh manusia-manusia penyelenggara acara. Kalau bukan karena Cinta-Nya, apalagi? Kita yang hadir benar-benar mengaji bersama, sinau bareng terhadap segala peristiwa. Tidak perlu menunggu seorang profesor dengan teori-teori canggih menjadi narasumber untuk kita belajar bersama, Farid putra Mbah Surip-pun mampu memandu kita mengeja Alif, Ba, Ta, Tsa menjadi A-I-U, Ba-Bi-Bu, Ta-Ti-Tu dan Tsa-Tsi-Tsu-nya kehidupan.

Beranjak tengah malam, hujan mereda dan kemudian berhenti. Terpal yang semula dijadikan atap tenda darurat kembali digelar dijadikan alas. Sisa-sisa hujan berupa genangan dibersihkan bersama-sama. Dengan peralatan sekedarnya, bahu-membahu mengeringkan terpal sehingga dapat digunakan sebagai alas duduk dan jamaah kembali merapat. Teatrikal yang begitu indah untuk disaksikan.

Tema Kenduri Cinta edisi Agustus 2018, Serigala Berhati Domba sudah menjadi titik tanpa koma. Rangkaian acara mengalir begitu adanya. Sembilan naskah puisi yang ditulis Emha Ainun Nadjib dibacakan bergantian oleh orang-orang dengan berbagai latar belakang yang dipilih secara spontan. Lee yang pecinta hewan khususnya Anjing, menjadi pembaca naskah pertama. Sigit, satu diantara penggiat Kenduri Cinta yang sering memoderasi acara menjadi pembaca naskah ke-dua. Mbak Roma yang mengenakan cadar sangat ekspresif membacakan naskah ke-tiga dan ke-lima. Amien yang sedikit terbata membacakan naskah keempat. Kang Wahyu penyair jalanan yang sudah sekian lama tidak membaca puisi, dengan mantap membawakan naskah ke-enam dan ke-delapan. Imah, jamaah yang baru pertama kali membacakan puisi di panggung Kenduri Cinta membacakan naskah ke-tujuh. Terakhir Mas Uki sahabat karib Cak Nun, memuncaki dengan membaca naskah ke-sembilan sekaligus memberikan narasi terkait hal ihwal puisi ini yang menggambarkan dan merangkum kondisi masyarakat dan Negara Indonesia.

Indonesia yang sejati itu masih ada, setidaknya masih ada di Kenduri Cinta. Ditengah suasana masyarakat yang dipenuhi ambisi kemerdekaan sebagai pelampiasan kebebasan dan berebut kekuasaan, Kenduri Cinta sebagai bagian dari Maiyah justru memaknai kemerdekaan sebagai pemahaman mengenai batas untuk menciptakan keseimbangan. Dengan mudah kita memaknai tontonan polah tingkah pembesar-pembesar negara dengan segala manufer dan atraksi politik mereka.

Mengenai perkembangan politik dan keadaan nasional akhir-akhir ini, Cak Nun memberikan statement “Saya bersyukur tidak perlu repot-repot menjelaskan Indonesia.” yang terjadi, masyarakat Indonesia semakin tidak lagi merasakan hadirnya Indonesia. Namun dengan masih ada orang-orang yang bersedia berkumpul, bekerjasama, dan tampil menjadi dirinya tetapi tidak hanya untuk dirinya, masih menumbuhkan optimisme. Bahwa Indonesia Kecil itu masih ada, Semoga.