GERBANG WABAL

Reportase Kenduri Cinta Januari 2016

Mengawali tahun 2016, Kenduri Cinta mengangkat tema Gerbang Wabal, sebuah istilah tema yang khusus diberikan oleh Cak Nun. Gamelan KiaiKanjeng turut hadir malam itu. Insiden teror ledakan sehari sebelumnya yang terjadi di Jalan Thamrin tampaknya tidak berdampak terhadap forum Kenduri Cinta, para penggiat tetap menjalankan proses persiapan dan jamaah terlihat tetap ramai menghadiri acara. Meski demikian, semua tetap mendapat arahan agar tetap waspada, siaga akan setiap kemungkinan-kemungkinan.

Cuaca di sekitaran lokasi malam itu terasa panas, meski di selatan Jakarta dikabarkan turun hujan sejak sore. Sejak siang para penggiat Kenduri Cinta telah di lokasi, mengawal KiaiKanjeng dan tim tata suara menata alat-alat gamelan, sebagian lain mempersiapkan pencahayaan di sekitar panggung.

Pukul 4 sore, para personel KiaiKanjeng tiba di Jakarta dan menuju tempat transit untuk sejenak beristirahat, menikmati kopi dan menghisap rokok, meregangkan otot-otot setelah melakukan perjalanan darat dari Yogyakarta. 

Tepat pukul 20.00 WIB, forum Kenduri Cinta edisi Januari 2016 diawali dengan pembacaan surat Al-Mu’minuun, jamaah lalu bersama melantunkan wirid Hasbunallah, Padhangmbulan dan Shohibu Baitiy. Islamiyanto dan Imam Fatawi dari KiaiKanjeng memimpin lantunan wirid-wirid tersebut. Tidak bisa dipungkiri, kehadiran KiaiKanjeng menjadi magnet tersendiri bagi jamaah Maiyah.

Ibrahim bersama Tri Mulyana, Fahmi dan Adi Pudjo membuka prolog, memantik diskusi. Tema Gerbang Wabal adalah tema yang secara khusus diberikan oleh Cak Nun. Ibrahim mengawali dengan pejelasan istilah-istilah terkait tema, seperti wabal, tahlukah dan qiyamah. Jika dari asal katanya wabal bisa dikatakan sebagai puncak penghancuran dari segala penghancuran. Jika musibah dan azab klasifikasinya masih bisa teridentifikasi, lain halnya dengan wabal. Dalam sebuah diskusi, Syeikh Nursamad Kamba pernah menjelaskan, hanya Allah yang tahu seperti apa penggambaran wabal. Wabal merupakan proses yang —bisa dikatakan— lebih kejam dari tahlukahSebagai pengingat, tahun 2013, Maiyah melakukan proses awal Tahlukah. Cak Nun, Cak Fuad, dan Syeikh Nursamad Kamba menyusun wirid Tahlukah yang kemudian pada saat itu prosesinya dilaksanakan secara kontinyu bergantian oleh penggiat di simpul-simpul Maiyah. Tahlukah adalah proses penghancuran dan kehancuran, berasal dari kata halaka. Sedangkan qiyamah merupakan proses kebangkitan.

Kc1

“Tahlukah adalah proses penghancuran dan kehancuran, berasal dari kata halaka. Sedangkan qiyamah merupakan proses kebangkitan.
Ibrahim, Kenduri Cinta (Jan, 2016)

PENGHANCURAN DAN KEHANCURAN

Surat At-Tholaq ayat 9 merupakan salah satu pijakan pembahasan tema Gerbang Wabal malam itu. Anugerah telah diberikan kepada manusia Indonesia namun kita tidak mampu mengelola dengan baik anugerah Allah itu. Manusia seakan kehabisan ide dalam mengelola rahmat, yang terjadi justru saling sikut, saling jegal, saling baku hantam berebut kuasa. Ketika yang satu berkuasa, pihak lain mengumpulkan kekuatan bersiap mengambil alih kekuasaan selanjutnya. Kita berada pada puncak keputusasaan, hingga seunggul apapun manusia, sebaik apapun tidak akan mampu merubah keadaan. Maka, dalam keputusasaan itu kita hanya bisa memohon kepada Allah, agar Allah segera turun tangan untuk merubah keadaan dan Gerbang Wabal berada pada kerangka tema besar tersebut.

Sebuah pertanyaan dilempar Ibrahim: apakah kejadian teror merupakan rekayasa atau murni terorisme? Belum ada jawaban pasti. Ibrahim menggambarkan, peristiwa-peristiwa teror yang terjadi di negara-negara Barat pasti berpengaruh pada situasi keamanan. Di Indonesia tidak demikian, kejadian (teror) tidak memiliki dampak signifikan. Ibrahim seperti menyampaikan pesan, apabila peristiwa direkayasa akan mudah dirasakan masyarakat juga sebagai rekayasa. Ibrahim tetap mengajak semua pihak tetap waspada, tidak merespon peristiwa dengan ketakutan yang berlebih atau dengan sikap santai yang juga membahayakan.

Orang Maiyah memiliki presisi yang berbeda dari masyarakat kebanyakan saat ini dalam merespon sebuah peristiwa. Ibrahim mencontohkan bagaimana respon orang-orang Maiyah di media sosial tidak terbawa arus ketika sebuah isu dimunculkan di media akhir-akhir ini. Orang Maiyah sudah memiliki pijakan yang kuat dan presisi yang tepat untuk merespon sebuah peristiwa. Ada peristiwa yang memang harus ditanggapi dengan serius, ada peristiwa yang memang porsinya untuk ditertawakan, dan ada juga peristiwa yang memang hanya dianggap sebagai angin lalu. Karena Maiyah sudah menanamkan nilai-nilai yang mengajarkan semua orang yang hadir di Maiyah untuk memiliki kuda-kuda pijakan yang kuat, sehingga orang Maiyah tidak akan mudah terseret arus mainstream masyarakat kebanyakan saat ini.

Ibrahim mengajak jamaah mengolah pikir, mengapa forum-forum Maiyah yang sedemikian maraknya, sedemikian meriahnya, tidak pernah dilirik media. Lebih dalam lagi, melihat peran Cak Nun dalam peta Indonesia yang begitu multidimensi, namun media juga sama sekali tidak merasa perlu untuk mengangkat Cak Nun. Menyambung hal itu, Kenduri Cinta edisi November 2015 telah mengangkat tema Kegembiraan Bersedekah Maiyah Kepada Indonesia, dimana ditanamkan bahwa apapun yang dilakukan Maiyah di Indonesia bukanlah kewajiban melainkan bentuk sedekah, Maiyah tetap istiqamah terus menerus melakukan kebaikan-kebaikan, dan yang terpenting, bukan Maiyah yang ditinggalkan media melainkan Maiyah lah yang meninggalkan media. Cak Nun dengan warisan Maiyah-nya terus berproses dan menebarkan kebaikan, membangun kesadaran manusia-manusia baru Indonesia, tanpa terbebani diakui atau tidak diakui. Seluruh simpul Maiyah dimanapun saja, terus berproses alamiah, otentik, tumbuh kembang dengan sendirinya.

Fahmi menyambung paparan Ibrahim dengan mengambil sudut pandang yang semakin mendalam ke Maiyah. Jika Ibrahim sebelumnya menjelaskan sedikit bagaimana Gamelan KiaiKanjeng juga tidak begitu dianggap oleh Indonesia, tidak pernah minat media di Indonesia untuk memberitakan kiprahnya, begitu juga dengan Cak Nun. Perjalanan Cak Nun sejak era 70-an, terjun di dunia kepenulisan, bersinggungan dengan sosok Umbu Landu Paranggi di Malioboro, kemudian berproses hingga melahirkan banyak sekali tulisan-tulisan yang diterbitkan oleh beberapa penerbit ternama di Indonesia. Merintis musikalisasi puisi bersama Kelompok Musik Karawitan Dinasti, menulis beberapa naskah teater dan mementaskan beberapa pementasan musikalisasi puisi yang juga fenomenal dalam menyikapi rezim orde baru, hingga kemudian Cak Nun bersama Toto Rahardjo dan beberapa aktivis juga terjun ke masyarakat pada kasus Kedung Ombo, menangani konflik Sampit, hingga akhirnya pada 1998 Cak Nun berada pada pusaran utama peristiwa Reformasi, pada faktanya tidak banyak orang mencatat ini.

Jika Indonesia tidak mencatat keterkaitan dan persambungan perjuangan-perjuangan Cak Nun, hal itu dirasa sebagai sebuah hal biasa. Tetapi, jangan sampai jamaah Maiyah tidak memahami dan tidak mengambil ilmu dari perjuangan-perjuangan Cak Nun. Kekhawatiran itu disampaikan Fahmi: jangan-jangan jamaah Maiyah tidak ada bedanya seperti suporter sepakbola, groupies band atau simpatisan partai politik. Semua bergembira, merasakan kemeriahan dan gegap gempita Maiyah hari ini, tetapi tidak mengerti dan memahami nilai-nilai dari perjuangan-perjuangan Cak Nun. Tentunya hal itu akan menjadi sebuah hal yang menyedihkan.

Fahmi menggambarkan dengan sebuah metafor, mengutip kalimat yang disampaikan oleh Ust. Yasin Hasan, yang juga pernah disampaikan oleh Cak Nun di Kenduri Cinta bulan lalu, sebuah ungkapan yang mendalam ketika fenomena masyarakat semua bersholawat, memuja-muja, mengagung-agungkan Rasululllah SAW, Ust. Yasin Hasan berucap; “Koen melok ta gak?”, (Kamu beneran ikut berjuang atau tidak, -red). Tentunya berjuang yang dimaksud adalah berjuang di jalan Allah dalam menegakkan Islam. Apa yang terjadi saat ini, benar-benar seperti apa yang dikhawatirkan oleh Ust Yasin Hasan saat itu, banyak sekali orang bersholawat dan mengakui sebagai pengikut Rasulullah SAW, tetapi tidak pernah mau memahami dan mempelajari secara detail kehidupan Rasulullah SAW, tidak pernah mau mengerti penderitaan yaang dialami oleh Rasulullah SAW. Benar adanya ungkapan yang menyatakan; Rasulullah SAW hanya dipahami secara syariat, tidak banyak orang yang mau memahami beliau secara Thoriqot, Hakekat apalagi Makrifat. Jangankan untuk memahami konteks Nur Muhammad sebagai kekasih Allah, untuk memahami sejarah perjalanan Rasulullah SAW selama 63 tahun masa hidupnya di dunia saja, kita masih malas.

Kita mengenal Cak Nun bukanlah sosok yang silau terhadap dunia, bahkan jika Cak Nun benar-benar ingin merintis karier di dunia politik dan pemerintahan di Indonesia, kesempatan itu sudah ada dihadapan Cak Nun pada tahun 80-an, dan Cak Nun memiliki kesempatan itu tanpa harus berafiliasi dengan partai politik. Pada medio 80-an juga, Cak Nun bersama Kelompok teater Jamaah Salahudin UGM mementaskan musikalisasi puisi “Lautan Jilbab”, sebuah pementasan yang sangat fenomenal, dipentaskan oleh ratusan santri, sebuat pagelaran teaer yang digelar distudion, dan dihadiri oleh ribuan penonton saat itu, dan jika kita melihat sejarah tentang semua karya-karya Cak Nun baik itu berupa opini, puisi hingga naskah pementasan teater, sebenarnya bukan dalam rangka pementasan kesenian melainkan sebuah respon terhadap situasi yang terjadi di masyarakat. “Lautan Jilbab” adalah sebuah respon terhadap pelarangan perempuan di Indonesia saat itu untuk memakai Jilbab, begitu ketatnya pemerintah Indonesia melarang pemakaian jilbab oleh perempuan, dan hari ini kita melihat betapa bebasnya perempuan-perempuan di Indonesia mengenakan jilbab, tanpa merasa perlu tahu bagaimana sejarah itu semua, hingga kini dengan leluasa mereka dapat menggunakan jilbab. Belum lagi, setiap pagelaran teater yang Cak Nun selenggarakan, selalu bersifat otentik, sejak era Teater Dinasti, selalu memainkan lakon-lakon dari naskah yang orisinal, dibuat langsung oleh Cak Nun, dan bukan memainkan naskah adaptasi dari karya-karya luar.

Merujuk pada dua edisi Kenduri Cinta sebelumnya; Kegembiraan Bersedekah Maiyah Kepada Indonesia dan Hulu Hilir Cinta, tema-tema tersebut diangkat sebagai penajaman pemahaman jamaah Maiyah yang lebih internal. Maiyah tidak ingin generasi saat ini dan akan datang tidak memahami proses lahir dan tumbuhnya Maiyah, Maiyah tidak ingin jamaah Maiyah buta terhadap sejarah dan perjalanan hidup seorang Muhammad Ainun Nadjib.

Fahmi dan Tri Mulyana kemudian menceritakan singkat, perjalanan Cak Nun di dunia kebudayaan dan gerakan Islam melalui karya-karyanya, salah satunya adalah Lautan Jilbab yang secara signifikan memiliki pengaruh kuat terhadap gerakan Islam kedepannya. Begitu juga dengan industri musik di Indonesia yang tidak begitu mengenal Gamelan KiaiKanjeng sebagai kelompok musik yang bisa dikatakan juga sebagai sebuah orkestra, yang telah melakukan lebih dari 3700 pementasan, mulai dari pelosok-pelosok desa hingga kota-kota besar di beberapa negara di Eropa bahkan. Ukuran-ukuran dunia modern seakan tidak kompatibel dengan ukuran-ukuran yang berlaku di Maiyah, sehingga kita akan mengalami kebuntuan-kebuntuan ketika kita menggunakan pakem dunia mainstream di Maiyah. Di Maiyah, kita belajar tentang sudut pandang, jarak pandang, dan cara pandang, sehingga Maiyah memberikan kepada jamaahnya nilai-nilai yang mendasar, sehingga orang Maiyah memiliki presisi yang tepat dalam menyikapi sebuah peristiwa di sekitarnya. 

Ibrahim juga mengkritisi perilaku masyarakat di media sosial yang menggunakan nama serta profil Cak Nun. Akun-akun tersebut dinilainya telah liar mengutip kalimat-kalimat Cak Nun. Secara organisasi, Ibrahim menyampaikan bahwa ia telah melakukan upaya-upaya dengan menyapa dan mengajak rembug akun-akun tersebut agar lebih bersinergi.

kc2

“Jika Indonesia tidak mencatat keterkaitan dan persambungan perjuangan-perjuangan Cak Nun, itu hal biasa. Tetapi jangan sampai jamaah Maiyah tidak memahami dan tidak mengambil ilmu dari perjuangan-perjuangan Cak Nun.”

Fahmi Agustian, Kenduri Cinta (Jan, 2016)

GERBANG WABAL; TAHLUKAH 2016

Tepat pukul sepuluh malam, Cak Nun dan KiaiKanjeng hadir di forum menyapa jamaah. Sebuah lagu milik Maroon 5 berjudul One More Night membuka penampilan KiaiKanjeng. Sejenak setelahnya, Cak Nun lalu switching menuju suasana yang lebih spiritual, mengajak jamaah membaca Al-Fatihah bersama, dan membabar menuju upacara pembacaan Wirid Wabal, “Dari hidung anda udara keluar masuk, yang muatannya ditentukan oleh kandungan hati, pikiran dan kedalaman uluhiyah jiwa anda. Sehingga, apapun yang ada di sekitar kita (malam ini) akan terkontaminasi secara baik oleh aura dari dalam jiwa anda. Saya minta waktu, mungkin sampai satu jam, untuk berupacara yang kita sebut sebagai Gerbang Wabal. Memohon kepada Allah, menyerahkan kepada Allah, mentawakalkan kepada Allah. Siapa saja yang berbuat kezaliman dalam arti individu, kolektif, sistemik atau struktural, yang tingkat komplikasinya berada jauh diluar ilmu dan kemampuan manusia, kita tawakalkan kepada Allah, agar supaya ada keselamatan masa depan bagi anak cucu kita mulai tahun 2016 ini. Allah akan meningkatkan pembalasannya kepada orang-orang yang zalim kepada sesama manusia.”

Membuka upacara, jamaah dipersilakan menyiapkan botol-botol berisi air untuk dibuka. Cak Nun dan KiaiKanjeng malam itu mengenakan pakaian serba putih, kedatangan beliau-beliau di Kenduri Cinta memang dalam rangka melakukan upacara sakral: Gerbang Wabal, Tahlukah 2016.

“Jadi anda tahu, kita sudah melakukan proses tajribah atau eksperimentasi vertikal kepada Allah, kita mempelajari berbagai hal, kemudian kita lahirkan pada tahun 2013 do’a Tahlukah. Tetapi kemudian kita masih melakukan, dan malam hari ini kita lantunkan bersama-sama”, Cak Nun memberi prolog sebelum pelaksanaan upacara Wirid Tahlukah 2016.

Teks resmi Tahlukah 2016 sudah didistribusikan kepada para penggiat simpul-simpul Maiyah, proses pembacaan Wirid Tahlukah akan rutin dilantunkan penggiat-penggiat sepanjang tahun 2016. Kepada jamaah yang ingin turut serta, dipersilakan merapat ke setiap simpul Maiyah. Wirid Tahlukah disusun oleh Cak Nun, Cak Fuad, dan Syeikh Nursamad Kamba.

“Sekarang hilangkan saya, posisi saya sekunder,” Cak Nun mengkondisikan posisi tubuh agar lebih fokus, meniadakan selain Allah dan Rasulullah, memfokuskan pada harapan-harapan dan proses perjalanan kehidupan yang dilalui, “Allah yang Ahad tidak menciptakan sesuatu yang tidak Ahad. Maka jangan mau diseragamkan. Dirimu unik, dirimu itu tunggal. Allah itu tunggal maka Dia menciptakan segala sesuatu tunggal, tidak ada duanya. Temukan ketunggalanmu, (temukan) apa yang membuatmu bahagia, apa yang membuatmu cemas, apa yang membuatmu sedih, menyangkut dirimu, keluargamu, masyarakatmu, bangsamu atau umat manusia di seluruh dunia. Sadari dan nikmatilah dalam dirimu. Kemudian (temukan juga) apa yang kira-kira masih berlubang, harus didandani, diatasi, dikasi solusi dan seterusnya. Anda daftari dalam kesadaran dan ingatan, selama satu jam kedepan itu semua anda lantunkan kepada Allah. Tidak perlu disebut satu persatu, cukup diwakili dengan kata: Yaa Dzal Wabal.

Selama kurang lebih satu jam, jamaah Kenduri Cinta khusyuk melantunkan Ru’us Tahlukah, bergiliran mengiringi Fahmi, Ibrahim, Tri dan Mas Islamiyanto KiaiKanjeng secara terstruktur membaca doa Tahlukah. 

Pelataran Taman Ismail Marzuki yang dipadati jamaah tampak larut bersama-sama melantunkan wirid Wabal, secara serempak dan menggema memasuki ruang-ruang kekhusyukan. Disetiap sudut jamaah secara khidmat memejamkan mata dan terus melantunkan “Ya dzal wabal….ya dzal wabal…ya dzal wabal….” Sebagian lainnya, tampak terisak tak kuat menahan rasa cinta merasakan kehadiranNya dan rasulullah SAW. Atmosfir yang lain pada Kenduri Cinta kali ini, dilakukan dipusat kota, dilapangan terbuka, ribuan orang bergemuruh melantunkan wirid Wabal memenuhi langit Taman Ismail Marzuki.

kc4

“Siapa saja yang berbuat kezaliman dalam arti individu, kolektif, sistemik atau struktural, yang tingkat komplikasinya berada jauh diluar ilmu dan kemampuan manusia, kita tawakalkan kepada Allah, agar supaya ada keselamatan masa depan bagi anak cucu kita mulai tahun 2016 ini.” 

Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Jan, 2016)

Setelah prosesi pembacaan Wirid Tahlukah, Cak Nun mempersilakan Syeikh Nursamad Kamba dan Sabrang untuk naik ke forum. Cak Fuad malam itu diagendakan hadir di Kenduri Cinta, tetapi semua penerbangan dari Malang dibatalkan sehingga beliau tidak dapat hadir. KiaiKanjeng lalu membawakan nomor Ojo Nelongso, sebuah nomor bernuansa gembira agar jamaah secara cepat kembali switch dalam suasana yang lebih rileks.

Cak Nun mengantar Syeikh Nursamad Kamba untuk menjelaskan bagaimana proses wirid Tahlukah dilahirkan, ”Syeikh, saya mohon dengan sangat, karena kita mbikinnya dengan akhlak yang berbeda. Ini Tahlukah, sudah kita tulis dua tahun yang lalu, dan prinsip yang kita pakai adalah kita tidak minta kehancuran manusia.”

Syeikh Kamba mengawali bagaimana Cak Nun menggubah Syair Shohibu Baitiy dan meminta Syeikh Kamba untuk ikut mengkoreksi syair tersebut. Syeikh Kamba —memiliki latar belakang ilmu tasawuf— menjelaskan bahwa salah satu ciri sebuah tarekat adalah lahirnya wirid-wirid tertentu yang tentu tidak sembarangan dalam proses penyusunannya, Maiyah juga merupakan salah satu tarekat. Syeikh Kamba mencontohkan bagaimana Imam Abu Hasan Zazli yang menyusun beberapa kalimat-kalimat yang kemudian dilantunkan dengan intonasi nada yang teratur, yang kemudian menjadi kesatuan yang harmonis. Hal serupa dilakukan Cak Nun di Maiyah. Syeikh Kamba kemudian menjelaskan Surat At Tholaq ayat 8-9 sebagai pondasi Wirid Wabal. Dari ayat tersebut dijelaskan bagaimana banyak negeri yang mendurhakai dan mengabaikan kepengasuhan Tuhan dan mengabaikan pesan-pesan Allah; sebagaimana diketahui bahwa pesan-pesan dari Allah bisa datang kapan saja kepada manusia, bisa melalui orang lain, bisa pula melalui sebuah perenungan-perenungan.

“Yang saya pahami, Maiyah bukan pelembagaan institusionalisasi agama. Bukan. Tetapi yang dilakukan Maiyah adalah berbagi ilmu pengetahuan, saling menyayangi satu sama lain, saling mengasihi dalam balutan cinta segitiga; Allah-Rasulullah-manusia. Karena itu, dalam Maiyah setiap orang memiliki independensi dalam memahami ilmu. Hal itulah yang dibangun oleh Cak Nun di Maiyah,” Syeikh Kamba menuturkan.

DSC_4545

“Kita tidak akan mampu menghadirkan Allah tanpa mekanisme cinta, karena hanya dengan cinta kekasih bisa hadir menguasai dan dominan dalam diri kita.”

Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Jan, 2016)

Cak Nun menyambung, “Kalau anda ngomong pesantren dan santri itu tanda utamanya apa? Areanya, gedungnya, kelasnya, sekolahnya, kyainya, jumlah santrinya atau apa?” Cak Nun menjelaskan, inti utama yang harus ada di santri dan kyai dalam sebuah pesantren adalah proses dinamika sistem pembelajaran yang berlangsung secara terus menerus, meskipun secara fisik pesantren tersebut tidak memiliki gedung besar atau santri yang banyak. Dinamika itu mendobrak sistem pembelajaran mainstream yang menggunakan sistem jam belajar, adminsitrasi biaya bulanan dan lain sebagainya. Tanpa itu semua, asalkan terjadi proses transformasi ilmu dari kyai kepada santrinya maka sejatinya hal itu merupakan sebuah pesantren.

Secara administratif pesantren (seperti definisi sebelumnya) tidak akan terdaftar di departemen agama, karena yang terpenting adalah peristiwa pendidikannya, peristiwa tarbiyah, peristiwa rububiyah yang terjadi diantara kyai dan santri. Bahkan di era modern seperti sekarang, proses transformasi ilmu bisa saja tersalurkan melalui siaran radio, video streaming dan lain sebagainya. Pesantren harus dipahami dalam makna yang lebih luas dari sekedar pemahaman lembaga pendidikan secara administratif.

“Jangan hanya mengenal Rasulullah melalui Iqra‘ dan wahyu-wahyu yang diturunkan Allah kepada beliau yang kemudian menjadi Alquran. Anda juga harus memahami penderitaan beliau jauh sebelum itu (sebelum menjadi Rasulullah). Kalau anda tidak memahami dan merasakan penderitaan itu, mendalami itu, maka jarak jangkauan kuda-kuda ilmu anda tidak tinggi,” Cak Nun melanjutkan dengan memberi penjelasan tentang pentingnya seorang santri mempelajari perjalanan hidup kyainya, sehingga ia tidak akan kehilangan jarak antara ilmu yang ia dapatkan dengan sosok kyai yang dijadikannya sebagai guru.

“Ini (Kenduri Cinta) pesantren bukan? Ini universitas atau bukan? Boleh nggak disini (di Kenduri Cinta) melanggar kode etik keilmuan? Boleh nggak disini anda berlaku tidak logis? Nggak boleh, kan?” Cak Nun menambahkan. Di Kenduri Cinta atau di forum-forum maiyahan lainnya tidak memungkinkan ada orang yang memiliki ambisi duniawi tertentu, berbicara diatas panggung kemudian jamaah hanya diam saja. Ketidakjujuran tidak akan berlaku di Maiyah. “Ini (Kenduri Cinta) bukan hanya pesantren. Ini bukan hanya universitas. Ini wilayah rububiyah,” tegas Cak Nun.

Rububiyah adalah wilayah kepengasuhan Allah yang didalamnya terdapat pendidikan, pengajaran, kasih sayang dan sebagainya. Sedangkan tarbiyah yang kita kenal di wilayah akademis sebenarnya bermakna terlalu sempit, tarbiyah memiliki cakupan lebih luas dari yang dipahami dunia akademik sekarang. Tarbiyah berasal dari kata robba-yurobbi-robbi, yang berafiliasi dengan kata robbun. Istilah tarbiyah mengalami penyempitan makna merupakan satu contoh dari sekian banyak hal yang sudah terjadi di dunia akademik pada umumnya. Segala sesuatu yang maknanya luas menjadi sempit kemudian diinstitusikan, sehingga terjadilah pemetaan-pemetaan yang mengkotak-kotakkan wilayah dan pada akhirnya ada pihak yang seharusnya ada di wilayah tersebut menjadi pihak yang tidak dianggap di wilayah itu karena ia tidak mengikuti aturan main yang berlaku.

Bagi dunia modern Maiyah tidak akan dianggap sebagai sebuah universitas karena tidak mengikuti aturan main sistem dunia pendidikan, meskipun yang dilakukan di Maiyah pada hakikatnya adalah proses pendidikan dan pembelajaran, hanya karena di Maiyah tidak ada sistem pendaftaran peserta didik baru, tidak ada sistem SKS, tidak ada sistem ujian, tidak ada ijazah dan lain sebagainya.

DSC_4419

“Tauhid adalah jalan untuk memperluas diri sampai ke tingkat tak terhingga. Semakin anda mempersempit pikiran, hati dan pandangan-pandangan anda, berarti anda bertentangan dengan mekanisme tauhid.”

Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Jan, 2016)

Pada kesempatan berikutnya, jamaah diberi ruang untuk merespon dan memberikan ilmu dan pandangannya. Ahmad Fihir dari Bekasi menanyakan mengapa Maiyah tidak ingin memasuki dunia publikasi media? Apakah Maiyah tidak ingin menuju gerakan yang menasional? Pertanyaan Ahamd Fihir langsung direspon oleh Cak Nun dengan menanyakan identitasnya, dijawab bahwa ia seorang pekerja yang tidak pernah merasakan kuliah di perguruan tinggi. “Saya bahagia kalau ketemu temen-temen macam begini ini, jadi di Indonesia itu parameternya bukan anda kuliah atau tidak, anda sarjana atau bukan, parameternya adalah kesungguhan anda terhadap kehidupan. Anda itu begitu dihidayahi Allah untuk menikmati pengetahuan, menikmati logika baru, menikmati cara berpikir baru dan kaum intelektual belum tentu berpikir seperti anda,” ujar Cak Nun.

Merespon Ahmad, Cak Nun memberi illustrasi tentang nasionalisme, ”Nasionalisme kalau ibarat kentut itu baunya, ibarat gula itu manisnya. Nasionalisme itu manisnya bukan gulanya. Dasarnya (nasionalisme) adalah humanisme, bahwa semua manusia itu hendaknya bekerjasama satu sama lain.” Dijelaskan, dengan banyak suku-suku dan bangsa-bangsa, lahirlah kerajaan-kerajaan, komunitas-komunitas hingga lahirlah negara-negara. Adanya negara pada awalnya bertujuan agar terwujud pengorganisasian kesejahteraan sehingga orang-orang yang termasuk dalam penduduk suatu negara merasa terlindungi dan aman oleh institusi negara. Namun pada akhirnya kita memasuki sistem pasar bebas yang hakikatnya membatalkan fungsi negara itu sendiri, karena yang terjadi dalam pasar bebas adalah saling sikut, saling tikung, saling jegal demi keuntungan pribadi dan kelompok.

“Kita ditipudaya terus menerus, di bidang konstitusi politik, di bidang tata negara, di bidang kesehatan dan yang lain,” lanjut Cak Nun yang melanjutkan dengan menilai respon teror ledakan sehari sebelumnya. Sebagian besar masyarakat menunjukkan perlawanan dengan mengungkapkan rasa tidak takut dengan berbagai kalimat seperti: kami tidak takut. Respon demikian juga memiliki sisi negatif.

Respon “kami tidak takut” bukan hal buruk, tetapi yang perlu ditekankan adalah bahwa rasa takut itu tetap perlu ada dalam setiap diri, orang  tua harus tetap merasa takut saat anaknya jatuh, seorang anak harus merasa takut jika orang tuanya tertimpa musibah, seorang hamba harus merasa takut untuk melakukan maksiat.

“Orang yang berani tidak butuh bilang bahwa dia tidak takut, kalau pemberani dia ndak sadar bahwa dia adalah pemberani. Orang yang bilang ‘saya tidak takut’ adalah orang yang ketakutan, terus nggedhe-nggedhein hatinya sendiri,” Cak Nun melanjutkan bahwa takut tidak sama dengan takwa. Selama ini penafsiran takwa selalu diidentikkan dengan takut. Bagaimana mungkin kita mengaku takut kepada Allah sedangkan kita pasrah percaya dan beriman sepenuhnya kepada Allah. Dalam konteks tertentu, takut itu baik bahkan bukan hanya baik melainkan wajib. Seperti takut berzina, takut berjudi, takut terlambat salat, takut tidak bisa membiayai anak sekolah dan banyak sekali macam-macam ketakutan yang justru takarannya bukan hanya baik, melainkan wajib.

“Takut itu baik untuk hal yang kita wajib takuti. Baik (rasa) takut itu, mulia (rasa) takut itu. Takut itu ndak apa-apa pada tempatnya, bahkan lebih baik takut daripada berani. Berani itu output-nya banyak sombongnya, kalau takut itu rendah hati,” Cak Nun kembali menuturkan, “Anda salah apa sehingga takut kepada teroris? Jadi kalau anda memang orang yang sangat baik, anda bertakwa sama Allah, setoranmu kepada Allah sudah salah, anda tidak perlu takut apa-apa.”

“Agama harus mampu mentransformasikan manusia, membawa kepada pemakanaan-pemaknaan diri serta menuju penemuan jati diri.”

Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Jan, 2016)

Merespon kejadian pemboman di Sarinah sehari sebelumnya, Cak Nun mengajak jamaah melihat dari banyak sisi, “Apa alasannya untuk mau seperti itu (bunuh diri)? Pasti ada yang mendasar dalam dirinya, apakah itu iman, jihad, teologi, apapun. Tetapi ada yang mendasar dalam dirinya. Bahwa output-nya salah, itu soal ilmu. Bahwa keputusannya tidak tepat itu soal wawasan terhadap pemetaan masalah. Bahwa keputusannya membunuh orang Barat, itu keterbatasan wawasan dia. Tapi dia pakai ideologi, dia pakai iman, dia pakai keyakinan. Sudah pasti saya tidak membenarkan tindakan itu, tetapi apakah ada yang mencari hulunya, kan semua menikmati hilirnya.”

Cak Nun malam itu juga menyoroti bagaimana para pengguna media sosial di Indonesia merespon peristiwa teror ledakan di Jl. Thamrin, dimana kebanyakan merespon dengan cara ndagel. Beredarnya meme-meme, parodi-parodi, poster-poster, tagar-tagar yang bertujuan untuk menunjukkan ketidaktakutan mereka terhadap terorisme. Hal itu menunjukkan tangguhnya masyarakat dalam menghadapi peristiwa-peristiwa seperti ini. Kita melihat pasca kejadian ternyata tidak mempengaruhi para pedagang berjualan di sekitar area, seperti yang juga dialami oleh Cak Nun ketika peristiwa kerusuhan Semanggi tahun 1998, meskipun baku tembak terjadi, para pedagang asongan tetap saja menjajakan dagangannya. Keadaan seperti itu tidak dimiliki oleh bangsa lain di dunia manapun. Jika terjadi di Amerika, maka radius sekian kilometer akan disterilkan, di Indonesia aturan seperti itu tidak berlaku.

DSC_4373

“Dalam konteks tertentu, takut itu baik bahkan bukan hanya baik melainkan wajib. Seperti takut berzina, takut berjudi, takut terlambat salat, takut tidak bisa membiayai anak sekolah dan banyak sekali macam-macam ketakutan yang justru takarannya bukan hanya baik, melainkan wajib.”

Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Jan, 2016)

Sembari menjelaskan filosofi lirik lagu Jawa Eee Dhayohe Teko yang menggambarkan dismanagement dalam mengambil keputusan awal, Cak Nun menyampaikan, ”Kita coba mengolah cara berpikir, saya tidak mengecam siapa-siapa. Cuma, hati-hati kalau terus salah mengambil keputusan, salah ekspresi, salah reaksi. Untuk apa anda bangga bahwa anda pemberani? Terorisme tidak ada jika keadilan ditegakkan di dunia. Mereka (teroris) orang yang serius, mereka tidak hanya berani lempar bom kata-kata lewat media sosial, mereka berani melakukan pengeboman. Saya tidak mengatakan (tindakan terorisme) itu benar, tetapi mereka pemberani.”

Kembali kepada pertanyaan mengapa Maiyah tidak dibawa menuju gerakan yang menasional, Cak Nun menjelaskan, nasionalisme merupakan salah satu bentuk dari humanisme dalam negara. Rasa nasionalisme yang terjadi di Brunei Darussalam dengan Indonesia tentu saja berbeda. Di Indonesia kita tidak mungkin menyangga semua persoalan untuk diakui sebagai wujud nasionalisme.

“Maiyah mengajak anda untuk jangan menyangga semua hal di Indonesia. Yang disebut dengan nasionalismemu adalah melakukan apa yang mampu kamu jangkau. Kalau yang mampu kamu jangkau adalah kamu sama anak-istrimu, ya sudah, itulah nasionalismemu, yang penting kamu menjadi manusia sebaik-baiknya dalam skala kecil nasionalisme hidupmu itu,” Cak Nun memberikan simulasi-simulasi sederhana dalam mewujudkan nasionalisme meskipun dalam skala kecil, karena yang paling penting dalam mewujudkan nasionalisme adalah menjalankan kemanusiaan dan fungsi kekhalifahan dengan sebaik-baiknya.

“Temukan skala nasionalismemu masing-masing. Kalau bisanya skala keluarga, ya keluarga. Nasionalisme tidak harus skalanya NKRI, karena kalau yang skala kecil ini beres, sudah pasti NKRI juga akan beres. Lha kalau semua ikut memikirkan NKRI, gunane opo kene mbayar pemerintah?” tanya Cak Nun.

Gerakan Maiyah yang semakin tumbuh meluas juga disoroti Cak Nun sebagai salah satu wujud nasionalisme. Nilai-nilai Maiyah yang tersebar sedemikian rupa bahkan hingga ke seluruh penjuru dunia, menjadi sebuah bibit yang kelak akan melahirkan generasi-generasi baru. Penyebaran nilai-nilai Maiyah pun hingga hari ini sangat beragam bentuknya, ada yang selalu datang setiap maiyahan rutin bulanan, ada yang datang kemudian berdiam di pojokan, ada yang hanya mendengarkan radio streaming dan video streaming atau bertanya kepada teman dan tetangganya yang datang ke maiyahan. Nilai-nilai Maiyah yang sederhana banyak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan masih banyak lagi jenis penyebaran nilai-nilai Maiyah yang terjadi saat ini. Inilah salah satu wujud pendidikan pesantren.

“Islam adalah proses mencari, proses menyelamatkan dirimu secara terus menerus dihadapan Allah, sehingga anda juga menyelamatkan makhluk lain, manusia lain.”

Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Jan, 2016)

Juhendri Chaniago, jamaah asal Medan yang sudah 6 tahun tidak hadir di Kenduri Cinta terlihat begitu bahagia malam itu, merasakan hadir kembali di Taman Ismail Marzuki sekaligus menyaksikan Cak Nun dan KiaiKanjeng. Juhendri meminta  penjelasan kepada Cak Nun tentang energi, cahaya serta frekuensi. Secara khusus Cak Nun mengapresiasi Juhendri dan meminta Sabrang merespon pertanyaan.

Jamaah lain, Riki dari Bandung, menceritakan kisahnya, lahir dari keluarga yang plural, ayahnya seorang muslim sedang ibunya adalah seorang Katolik. Selama hidupnya Riki menjumpai pergolakan batin yang justru memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Satu contoh ketika ia masih sekolah, ia menghadapi persoalan tentang boleh tidaknya mengucapkan “selamat natal”, alhasil dia justru dihukum oleh gurunya. Perlakuan-perlakuan yang ia terima inilah kemudian memunculkan pertanyaan, apakah Islam seperti demikian itu? Di keluarganya sendiri, Rifki menyaksikan ibunya ketika bulan Ramadan menemani ayahnya sahur dan berbuka puasa, begitu juga sebaliknya ketika Natal tiba, ayahnya mengantarkan ibunya ke gereja. Rifki mendapati keluwesan di keluarganya sendiri, tetapi menghadapi kesempitan-kesempitan ketika berinterkasi dengan lingkungan diluar rumahnya.

Sebelum Sabrang dan Syeikh Kamba, Cak Nun merespon, “Kuncinya begini, teman-teman yang agamanya Katolik: apakah natal itu ritual mahdhah-nya Katolik, ritual resminya Katolik sehingga kalau tidak merayakan natal kemudian menjadi batal Katoliknya? Atau perayaan natal itu sama seperti perayaan maulid Nabi Muhammad SAW di agama Islam? Kalau maulid nabi dalam Islam kan bukan ibadah mahdhah, kalau ada acara perayaan maulid nabi ya menyenangkan, kalaupun tidak ya disayangkan, masa punya anak di ulang-tahuni, kemudian punya nabi nggak dimaulidi? Itu soal akhlak, soal etika.”

Terkait polemik pengucapan “selamat natal” di kalangan masyarakat yang selalu menimbulkan perdebatan setiap bulan Desember, Cak Nun memberikan metafor, apabila kita diundang ke sebuah pernikahan oleh teman, apakah kemudian ada kewajiban bagi kita untuk menyetujui teman kita itu menikah dengan wanita yang ia nikahi itu? Tidak ada kewajiban bagi kita untuk setuju atau tidak setuju, karena hal itu juga tidak berpengaruh bagi kedua mempelai. Begitu juga ketika kita mengucapkan “selamat natal”, apakah dengan mengucapkan selamat natal kepada orang yang merayakannya lantas kita menjadi Katolik atau Kristen? Cak Nun mengingatkan, setiap satu sama lain mesti saling memperluas hati, saling memperluas kerelaan, sehingga semakin kecil kemungkinan untuk saling bertabrakan.

Dengan guyonan-guyonan khasnya, Cak Nun menyegarkan suasana sembari menjelaskan bahwa dalam kehidupan sangat banyak sekali kemungkinan-kemungkinan, kebenaran yang kita yakini hari ini bisa berubah ketika kita menemukan kebenaran baru di hari esok.

KiaiKanjeng lalu membawakan dua nomor, Laa Tahzanu dan Putra Masa Depan. Inna Kamarie dan Beben Jazz ikut berkolaborasi bersama KiaiKanjeng membawakan Gundul Pacul dan Summer Time.

kc5

“Kalau anda mengerti betapa nikmatnya memperluas diri, anda akan menemukan bahwa Indonesia sebuah batas kecil yang tidak perlu bikin anda pusing.”

Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Jan, 2016)

PENGETAHUAN TENTANG BATAS

Sabrang kemudian tampil memberikan responnya terhadap pertanyaan jamaah tentang energi, cahaya dan frekuensi. Seperti diketahui, Einstein menemukan rumus E=MC2, menyatakan bahwa kecepatan cahaya adalah tercepat di dunia. Dalam penjelasan Sabrang malam itu, energi sama dengan mass dikalikan dengan limitasi jagad yaitu kecepatan kausalitas yang pencapaiannya kemudian disebut cahaya. Cahaya adalah energi magnet yang berubah menjadi energi listrik dalam kecepatan yang sangat maksimal, dia tidak punya massa. Jadi kecepatan cahaya adalah energi yang mencapai kausalitas yang maksimal. “Kalau kamu mencapai pada kecepatan yang maksimal, kamu tidak lagi merasakan waktu, karena kamu sendiri tidak punya massa. Kalau kamu mencapai kecepatan cahaya, cahaya itu tidak merasakan waktu, dia juga tidak merasakan ruang. Waktu, massa dan ruang itu ada karena energi tidak lagi bergerak dalam kecepatan cahaya,” jelas Sabrang.

Melanjutkan paparannya, Sabrang memberi illustrasi dengan papan tulis kosong yang tidak ada coretan sedikitpun yang kemudian digambar lingkaran dan kotak. Gambar lingkaran dan kotak itu ada karena ada batas yang bernama papan tulis itu tadi. Keberadaan lingkaran dan kotak tadi dikarenakan adanya batas. Lebih luas lagi, Sabrang menjelaskan, jagad raya yang luas ini juga keberadaannya ada dikarenakan adanya batas, yaitu Allah.

“Dasar keberadaan di jagad raya ini hanya ada karena yang namanya batas,” Sabrang melanjutkan, ”Bagi saya, itu sangat membuka pikiran. Jadi ‘ada’ itu bukan karena kehebatan, kebesaran dan segala macam, ‘ada’ itu karena batas, karena kalau batas itu dihilangkan yang ada hanya Tuhan. Jadi, kita hanya dikasih batas sedikit, kita bisa merasakan kotak, kita bisa merasakan papan tulis. Kalau kita mau tahu papan tulis yang semuanya, kita harus keluar dari kotak (batas) itu, menyadari bahwa kita dibatasi oleh kotak papan tulis. Untuk menyadari Tuhan, kamu harus menemukan dirimu sebagai kotak, cocok dengan Islam.”

Menurut Sabrang, logika fisika sendiri sudah menjelaskan bahwa waktu, ruang, gravitasi dan lain sebagainya terjadi karena ada yang namanya batas. Jadi, esensi keberadaan apapun di jagad raya adalah karena adanya batas. Sehingga dari logika tersebut bisa dipahami bahwa agama memberi kita batas agar kita lebih mengetahui keberadaan kita yang sejati, karena keberadaan itu sendiri dasarnya adalah batas.

Sebagaimana kita ketahui, DNA manusia hanya memiliki perbedaan 1% lebih baik dari DNA monyet, namun kita bisa melihat bagaimana jauhnya perbedaan yang bisa dicapai oleh manusia dibandingkan dengan monyet. Sabrang katakan, ”Hanya beda satu persen saja jarak pengetahuannya begitu jauhnya, saya tidak berani membayangkan bedanya pengetahuan manusia dengan apa yang diketahui oleh Tuhan.”

Sembari menjelaskan sedikit tentang teori higgs boson, Sabrang menggambarkan bagaimana manusia mengajarkan monyet untuk hal-hal yang sangat sederhana, seperti misal seorang penjaga monyet di kebun binatang yang mengajarkan kepada monyet untuk tidak menjilati tangan setelah tangannya menyentuh anus. Dalam skala lebih besar Sabrang memiliki pandangan bahwa informasi-informasi yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia ada karena Tuhan mengerti batasan-batasan yang diperlukan oleh manusia. Tuhan melihat perilaku manusia, sehingga Tuhan memahami batas-batas yang diperlukan oleh manusia.

Dari dua simulasi tersebut, diketahui bahwa apabila jarak pengetahuan antara manusia dengan monyet saja begitu jauhnya, meskipun hanya memiliki perbedaan 1% dalam kandungan DNA nya, seharusnya melahirkan kesadaran baru bagi kita betapa kita ini sangat kecil dihadapan Tuhan. Kebenaran yang diyakini monyet mungkin kita tertawakan, lantas apakah kita masih sombong untuk tetap meyakini kebenaran kita sendiri dihadapan Tuhan?

Dalam konteks tersebut Sabrang berpendapat bahwa jika manusia hanya berdasar kepada informasi literer, informasi tentang apapun itu, maka tidak akan bisa mengantarkan pada kebenaran Tuhan. Manusia harus mengalami pencarian jatidiri, pencarian diri yang sejati, manusia harus mengalami proses-proses lainnya, harus mencari pengetahuan sendiri yang tidak dilakukan oleh manusia lainnya. Maka Tuhan memerintahkan untuk tidak berhenti mencari kebenaran secara terus menerus, bukan mencapai kebenaran kemudian berhenti.

IMG_1675

“Agama memberi kita batas agar kita lebih mengetahui keberadaan kita yang sejati, karena keberadaan itu sendiri dasarnya adalah batas.”

Sabrang M.D.P, Kenduri Cinta (Jan, 2016)

TAK BERHENTI MENCARI

Dengan latar belakang keilmuannya di dunia fisika dan matematika, Sabrang seringkali menyampaikan ilmu-ilmu hikmah melalui ilustrasi rumus-rumus sederhana, khususnya matematika. Salah satunya adalah bahwa angka berapapun maka akan pasti bertemu pada angka 1. Rumusnya: silahkan pilih angka berapapun, apabila angka tersebut bilangan genap, maka dibagi dua. Jika angka tersebut bilangan ganjil, maka dikalikan tiga dan ditambah satu. Dengan catatan, jangan berhenti hingga menemukan angka 1. Sebelum menuju angka 1, pasti akan melewati angka 4 dan 2 terlebih dahulu. Angka 1 disimbolkan sebagai simbol Tuhan, sedangkan angka lainnya diibaratkan adalah cabang-cabang ilmu yang Tuhan anugerahkan kepada manusia. Sabrang lalu meminta dua contoh angka acak kepada jamaah, kemudian disebutlah angka “8” dan “7” yang kemudian disimulasikan dengan rumus sebelumnya, dan benar, begitu rumus tersebut disimulasikan, angka berapapun akan berakhir di angka 1.

Dari simulasi tersebut, Sabrang seolah menjelaskan bahwa untuk menuju Tuhan (angka 1), semua angka (semua ilmu) memiliki jarak perjalanan yang berbeda-beda, ada yang pendek ada yang panjang. Begitu juga dengan ilmu pengetahuan yang kita miliki, apapun ilmu yang kita pelajari akan bermuara kepada Tuhan, persoalan hanya pada panjang atau pendeknya jarak menuju 1 atau Tuhan. “Saya melihat agama membuat jalur yang paling cepat dengan memberi batasan, dengan memberi regulasi. Jadi, keberadaan itu jika kamu lakukan terus menerus dan tidak berhenti mencari, pada akhirnya akan menemukan Tuhan,” pungkas Sabrang.

Menambahkan pemaparan Sabrang, Habib Levi malam itu ikut berbagi ilmunya yang pada intinya semua yang terjadi dan semua yang tercipta di alam semesta merupakan hasil dari proses panjang, bukan hanya karena sebuah peristiwa sederhana. Semua yang ada dan terjadi di alam semesta berjalan sesuai dengan aturan yang sudah diberlakukan oleh Tuhan, tidak ada satupun yang diciptakan di dunia ini tanpa ada tujuan; robbanaa maa kholaqta hadzaa baathilaan.

Habib Levi menarik benang merah penjelasan Sabrang sebelumnya kepada wujud Nur Muhammad SAW. Dalam kehidupan, kita tidak bisa melepaskan dari wujud Nur Muhammad SAW. Merujuk penjelasan Cak Nun sebelumnya, kita harus membedakan wujud Nur Muhammad dengan sosok Rasulullah Muhammad SAW. Nur Muhammad merupakan makhluk Allah yang paling dicintainya, yang atas perkenan Allah diwujudkan dalam sosok manusia yang kemudian kita kenal sebagai Muhammad bin Abdullah. Ketika manusia mampu menembus batas-batas, setiap menembus batas ia akan menemukan wujud baru yang pada akhirnya —sebelum bermuara kepada Tuhan— ia akan bertemu pada Nur Muhammad.

“Yang dilakukan Maiyah adalah berbagi ilmu pengetahuan, saling menyayangi satu sama lain, saling mengasihi dalam balutan cinta segitiga; Allah-Rasulullah-manusia. Karena itu, dalam Maiyah setiap orang memiliki independensi dalam memahami ilmu. Hal itu yang dibangun Cak Nun di Maiyah.”

Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Jan, 2016)

TIGA UNSUR AGAMA

Cak Nun lalu memberi ruang kepada Syeikh Nursamad Kamba untuk ikut berbagi, merespon pertanyaan jamaah. Syeikh Kamba mengawali dengan penjelasan tentang Maa Huwa Ad-Diinu wamaa adrooka maa Ad-Diinu, ”Dalam setiap agama ada 3 aspek yang harus ada, harus ada 3 unsur untuk bisa mengenali agama itu cocok atau tidak. Pertama, agama membawa misi transformatif. Kalau dalam Alquran jelas disebutkan: Liyukhrijakum mina-dz-dzulumaati ilaa-n-nuuri. Ada perpindahan, ada transformasi dari kegelapan menuju cahaya. Segala sesuatu yang terkait —oleh Sabrang disebut sebagai batas, petunjuk, clue dari Tuhan— hal itu sesungguhnya adalah unsur transformatifnya agama.

Agama harus menjemput manusia bertransformasi menuju Tuhan. Maka, seharusnya agama tidak seperti yang kita kenal sekarang, agama jangan sampai menghentikan langkah manusia menuju Tuhan sehingga tidak ada peningkatan kualitas manusia untuk bertransformasi menjadi manusia yang lebih berkualitas lagi.

“Yang kedua adalah terdapatnya unsur pengajaran untuk pemaknaan. Agama harus mengajarkan tentang bagaimana memaknai kehidupan,” lanjut Syeikh Nursamad Kamba yang kemudian mengeksplorasi bagaimana Allah mengajak kita memaknai kehidupan lebih dalam melalui Alquran dalam kisah bagaimana Allah menciptakan Adam.

Dalam proses penciptaan Adam, Allah berdialog dengan malaikat-malaikat, para malaikat telah memprediksi bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk menciptakan kerusakan pertumpahan darah di muka bumi; yufsiduuna fi-l-ardhli wa yasfiku-d-dimaa. Tujuan utama diciptakannya manusia adalah manjadi khalifah di muka bumi. Khalifah adalah pihak yang diberi otoritas oleh Allah untuk berkreativitas. Seorang khalifah sudah selayaknya memiliki rasa ikhlas tinggi, sehingga selalu melakukan yang terbaik, bukan untuk dirinya melainkan untuk orang lain dalam rangka mencari manfaat juga tentunya dalam rangka beribadah tanpa harus memikirkan balasannya. Memberi tanpa pamrih.

kc6

“Agama membuat jalur paling cepat dengan memberi batasan-batasan dan regulasi. Jika kamu lakukan terus menerus dan tidak berhenti mencari, pada akhirnya akan menemukan Tuhan.”

Sabrang M.D.P, Kenduri Cinta (Jan, 2016)

“Yang ketiga (unsur) adalah agama itu mengajarkan bagaimana manusia kembali kepada kesejatian diri,” lanjut Syeikh Nursamad Kamba. Menurut Syeikh Kamba, jika ketiga unsur tersebut tidak ditemukan dalam suatu agama menjadi tidak ada nilainya. Dalam Islam, kita mengenal bahwa dua tujuan utama diutusnya Rasulullah SAW adalah sebagai Rahmatan lil ‘alamiin dan sebagai penyempurna akhlak (manusia). Syeikh Kamba merefleksikan bahwa manusia tidak akan mampu mencapai dua hal tersebut kecuali terlebih dahulu ia mampu menundukkan hawa nafsunya sendiri dan menemukan jati dirinya. Proses pertama yang harus dilakukan untuk menemukan jati diri adalah proses peniadaan diri.

“Dalam ilmu tasawuf dikenal istilah: jika engkau meng-‘ada’, maka Allah akan meniadakan diri-Nya,” lanjut Syeikh Kamba. Apabila kita belum mampu meniadakan diri kita sendiri, maka selama itu pula egosentris dalam diri kita akan tetap ada. Dan selama rasa egoisme dalam diri kita masih ada, maka rasa untuk melakukan sesuatu demi manfaat untuk orang banyak akan sangat sukar kita miliki. Karena yang masih ada dalam pikiran kita adalah diri kita sendiri, apabila nafsu lebih dominan dalam diri kita maka Allah pun secara perlahan akan hilang dari dalam diri kita.

Syeikh Kamba menambahkan, ibadah-ibadah yang kita lakukan sehari-hari seharusnya memiliki peran besar dalam proses transformasi diri kita menuju kesempurnaan. Sehingga ritual ibadah bukan hanya sekedar rutinitas kewajiban saja, tidak memberikan perubahan signifikan terhadap kualitas diri kita. Hal demikian seringkali terjadi pada diri seorang hamba karena dirinya tidak melakukan perenungan-perenungan, karena terlampau gaduh, terlampau sibuk dan kemudian terlena dengan dunia.

Salah satu tantangan terbesar zaman ini adalah fenomena dimana setiap orang memiliki nafsu besar untuk menampilkan dirinya sendiri. Hampir tidak ada orang yang membicarakan atau mempopulerkan orang lain, semua ingin menampilkan dan mempopulerkan dirinya sendiri untuk menjadi semakin terkenal. Maraknya media sosial semakin memperparah keadaan, yang kemudian berimbas pada minimnya rasa kemauan setiap orang untuk melakukan perenungan-perenungan terhadap dirinya. Dengan semakin terkikisnya rasa itu maka semakin sulit ia menghadirkan Tuhan, semakin sulit pula ia meniadakan dirinya sendiri, pada akhirnya semakin jauh ia terhadap jati dirinya.

Syeikh Kamba menambahkan, dalam Alquran dijelaskan: inna-sh-sholaata tanha ‘ani-l-fakhsyaa’i wa-l-munkar; sesungguhnya salat itu mencegah perbuatan keji dan munkar. Dalam konteks tersebut bisa dipahami terjadinya proses transformasi, bahwa pada setiap orang yang melakukan salat harus terjadi proses transformasi sehingga ia mendapat efek berupa tanhaa ‘ani-l-fakhsyaa’i wa-l-munkar.

Diriwayatkan dalam sebuah hadits sahih, suatu hari Jibril mendatangi Rasulullah SAW dan menenyakan 3 hal: apa itu Islam, apa itu iman dan apa itu ihsan. Dalam hadits diriwayatkan, Rasulullah SAW menjelaskan Islam dengan penjelasn rukun Islam; syahadat, salat, puasa, zakat dan haji. Rasululah SAW menjelaskan tentang iman sesuai dengan apa yang tercantum dalam rukun iman. Pada perspektif beragama saat ini, tidak banyak dari kita menanyakan apa itu ihsan, kebanyakan masyarakat merasa bahwa dengan Islam dan iman saja sudah cukup. Dijelaskan oleh Rasulullah SAW: Al Ihsaanu huwa anta’budallaha ka annaka taroohu. Ihsan adalah pondasi yang penting dalam setiap melaksanakan ritual ibadah dalam rukun Islam dan rukun iman. Kita harus mampu menghadirkan Allah dalam setiap ibadah yang kita laksanakan; mahdhloh atau ghoiru mahdhloh.

Syeikh Nursamad Kamba kembali mengutip Ayat Alquran surat Ali Imran ayat 31 yang menjadi landasan tema Kenduri Cinta bulan Desember 2015 lalu: Qul inkuntum tuhibbunallaha fattabi’uunii yuhbibkumullaha wayaghfirlakum dzunuubakum wallahu ghofuurun rohiimun. Bahwa kita tidak akan mampu menghadirkan Allah tanpa mekanisme cinta, karena hanya dengan cinta kekasih bisa hadir menguasai dan dominan dalam diri kita.

kc7

“Apa saja kalau membuatmu mempersempit diri, kamu harus mulai gelisah, itu artinya (yang kamu lakukan) nggak bener.”

Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Jan, 2016)

Mengutip Surat Ali Imron ayat 18, Syeikh Kamba menjelaskan bahwa Allah bersaksi atas diri-Nya; Syahidallahu annahu laa ilaaha illallah. Selain itu, Allah juga memancarkan ilmunya kepada orang-orang yang dicintai. Allah juga menunjuk langsung wali-walinya di muka bumi ini, mereka adalah orang-orang yang terpilih, bukan hanya menjadi seorang khalifah tetapi juga sebagai wali. Para wali Allah melakukan segala sesuatu dalam hidupnya diatas kepentingan dirinya sendiri. Para wali Allah ini adalah orang-orang yang tidak mementingkan surga dan neraka, mereka adalah orang-orang yang rida atas ketentuan Allah terhadap dirinya.

Syeikh Kamba kembali melanjutkan, orang-orang yang mampu meniadakan dirinya —yang tidak mementingkan surga dan neraka— bukan melalui ibadah-ibadah yang ia lakukan melainkan melewati proses penunjukkan langsung oleh Allah sebagai wali-Nya, dan orang-orang yang seperti ini melewati proses perjalanan hidup yang panjang sebelum ia mencapai derajat wali. Proses tawalli dijelaskan oleh Syeikh Kamba bisa didapatkan apabila 3 unsur dalam agama dijalankan sebagaimana mestinya;  mentransformasikan diri, memaknai kehidupan dan berusaha untuk menemukan jati diri.

Karena itu, Rasulullah SAW ketika kembali dari perang Uhud menyatakan bahwa: kita baru saja meninggalkan jihad kecil dan akan menuju jihad yang paling besar yaitu berperang melawan hawa nafsu dalam diri sendiri.

Rasulullah SAW telah dijamin oleh Allah ampunan atas semua kesalahan dan dosa-dosa beliau, baik yang sudah dilakukan maupun yang jika kelak dilakukan. Namun jaminan itu tidak lantas membuat Rasulullah SAW tidak meminta ampunan kepada Allah, beliau justru senantiasa mengucapkan kalimat istighfar setiap hari, terus menerus. Satu hal yang belum tentu kita mampu melakukannya. Sungguh betapa banyak pelajaran dari Rasulullah SAW.

Syeikh Kamba memungkasi pemaparannya, bahwa seharusnya organisasi-organisasi agama sudah sepatutnya memfungsikan 3 unsur yang telah beliau jelaskan sebelumnya. Agama harus mampu mentransformasikan dirinya, membawa kepada pemakanaan-pemaknaan diri serta menuju penemuan jati diri. Kita belum melihat itu, yang dimunculkan justru egoisme golongan dan pribadi, justru satu sama lain saling bertabrakan, saling bertentangan dan saling bermusuhan.

“Para wali Allah adalah orang-orang yang tidak mementingkan surga dan neraka, mereka adalah orang-orang yang rida atas ketentuan Allah terhadap dirinya.”

Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Jan, 2016)

Menjelang pukul 3 dinihari, Cak Nun meresume pemaparan-pemarapan yang sudah disampaikan oleh narasumber, “Setiap resume pointer sebenarnya bisa menjadi (tema) agenda maiyahan, 7-8 jam. Yang pertama gini, Allah itu bikin konsep bahwa makhluknya itu dibikin untuk memuai. Memuai itu memperluas dirinya. Sel memuai, fisik memuai, pikiran memuai, semuanya memuai. Artinya, kalau badan tingginya dibatasi tetapi pikiran anda hampir tidak pernah ada batasnya. Cintamu apalagi. Dengan sederhana ingin saya katakan, apa saja (kegiatan yang dilakukan) kalau membuat engkau mempersempit diri, kamu harus mulai gelisah, itu artinya (apa yang kamu lakukan) nggak bener.”

“Kalau anda ingin menemukan 7 langit didalam diri anda, sederhana aja, coba anda berangkat dari ‘tahu’. Anda kan sebelumnya ndak tahu menjadi tahu, disitu anda menemukan sekolah, ada koran, ada buku dan sebagainya. Tapi sekarang orang tidak memperluas dirinya, harap diingat tauhid itu adalah jalan untuk kamu memperluas sampai ke tingkat tak terhingga. Karena Allah itu laisa kamitslihi syaiun, tan kinoyo ngopo, tan keni kinir. Allah itu begitu luasnya, tanpa batas sehingga kalau bertauhid anda harus memperluas diri anda. Semakin anda mempersempit pikiran, hati dan pandangan-pandangan anda, berarti anda bertentangan dengan mekanisme tauhid,” lanjut Cak Nun.

“Dalam diri anda saya sebut saja sebagai 7 langit. Dari anda tidak tahu; berarti 0 (nol), menjadi tahu; satu (1). Anda tidak cukup tahu, anda harus paham; berarti dua (2). Anda tidak hanya paham, anda harus ngerti; tiga (3). Ngerti beneran bahwa memahami sesuatu secara ta’rif. Mulai dari ta’lim, kemudian tafhim lalu ta’rif. Setelah anda mengerti bener, anda harus ta’dib; empat (4). Tidak sekedar tahu, paham dan mengerti, tetapi anda bisa melakukannya. Anda beradabkan diri dengan kebisaan (kemampuan) dengan melakukannya.

“Tapi orang yang sudah bisa ta’dib belum tentu dia mau. Maka setelah (ta’dib) itu dia harus mau; lima (5). Mau pun belum tentu beres kalau anda tidak ikhlas; enam (6). Kalau anda mencapai sampai ke enam tingkat ini, maka anda akan mudah mencapai yang puncaknya; ke tujuh (7), yaitu bahagia. Pemuaiannya begitu: tahu, faham, mengerti, bisa, mau, ikhlas, bahagia. Temanya adalah batas dan ketidakterbatasan,” tutur Cak Nun menjelaskan.

IMG_1752

“Agama harus menjemput manusia bertransformasi menuju Tuhan.”

Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Jan, 2016)

Melanjutkan, malam itu Cak Nun bertutur, “Muhammad yang anda kenal, yang anda maulidi itu adalah Muhammad dalam batas kecil. Anda harus memperluas cintamu kepada Muhammad dengan memahami Muhammad dalam batas besar; Nur Muhammad. Yang usianya sekarang kalau menurut hitungan tafsir Alquran sekitar 19 milyar tahun.”

Cak Nun menekankan bahwa Nur Muhammad adalah makhluk pertama yang dicipta oleh Allah, yang kemudian diberi batas kecil untuk hadir didunia melalui Abdullah dan Aminah, dan diberi usia selama 63 tahun, wilayah ini merupakan Muhammad dalam batas kecil. Cak Nun juga menyampaikan bahwa Maiyah akan mulai menginisiasi Mualidu-n-Nuur (Muhammad), sehingga bukan hanya maulid Nabi saja yang kita rayakan setiap tahunnya, kita mengulangtahuni ciptaan Allah yang pertama.

“Jadi, tauhid adalah memperluas diri sampai ketidakterbatasan dan kita berdoa: Ya Allah jangan izinkan saya untuk tidak terbatas sehingga aku menyatu dengan-Mu, sehingga aku hilang dan hanya ada Engkau. Aku menginginkan selulas-luasnya diriku, tetap hentikan aku didalam batas tertentu. Sebab kalau Allah sudah tidak membikin batas lagi, sudah nggak ada apa-apa lagi kecuali Dia, nggak ada kemesraan lagi. Dunia adalah batas kecil dan akhirat adalah batas besar,” lanjut Cak Nun.

Cak Nun malam itu menambahkan, meskipun akhirat dikatakan oleh Allah sebagai khoolidiina fiihaa abadan, namun itu merupakan konteks bahwa akhirat juga merupakan salah satu batas juga. Karena jika akhirat itu benar-benar abadi, maka kita akan selesai, kita akan musnah, yang ada hanya Allah. Tauhid adalah anda memperjuangkan sesuatu bukan anda mencapai sesuatu, dan tidak akan pernah selesai. Maka Islam adalah proses untuk mencari terus menerus, proses menyelamatkan dirimu secara terus menerus dihadapan Allah, sehingga anda juga menyelamatkan makhluk lain, manusia lain.

Mengambil istilah yang digunakan Sabrang, saat ini kita menginginkan lingkaran yang lebih besar lagi dari papan tulis yang ada tadi. Artinya, nanti akan ada papan tulis yang lebih besar lagi, dan kita juga akan membuat lingkaran yang lebih besar lagi, terus menerus berkesinambungan seperti itu. Sampai akhirnya nanti ada papan tulis seluas langit, terus kita ingin membuat lingkaran yang didalamnya ada papan tulis, inilah esensi perjuangan. Kita justru menemukan kenikmatan pada proses dinamis perjuangan itu, bukan dalam menemukan. “Sehingga kita memohon pada Allah: Ya Allah, mbok bikin terus. Kalau Allah menghentikan semua ini, semua sudah diserap menjadi hanya satu-satunya, menjadi Allah Al Ahad, selesai kita.”

Cak Nun menyambung, Allah menciptakan batas dengan membuat ruang dan waktu, yang harus kita lakukan adalah memperluas ruang kita, bukan memperluas fisik kita, karena fisik kita sangat terbatas. Seperti konsep Allahu Akbar, Allah selalu menjadi yang lebih besar, selalu terasa lebih besar dari yang kita sadari, sehingga Allahu Akbar bukan Allahu Kabiir.

kc8

“Agama memberi kita batas agar kita lebih mengetahui keberadaan kita yang sejati, karena keberadaan itu sendiri dasarnya adalah batas.”

Sabrang M.D.P, Kenduri Cinta (Jan, 2016)

Mencuplik ayat Alquran yang menyatakan bahwa kehidupan hanyalah main-main dan senda gurau belaka, Cak Nun menyatakan bahwa sejatinya justru kita tidak bisa main-main dan bersenda gurau dalam kehidupan ini, bahkan tidak ada celah sedikitpun bagi kita untuk main-main dan senda gurau. Apapun yang kita lakukan, mulai dari bangun tidur, hingga tidur kemudian bangun lagi, tidak ada satupun yang bisa kita lakukan dengan main-main dan senda gurau, semua harus kita lakukan dengan sungguh-sungguh, bahkan tertawa sekalipun harus kita lakukan dengan sungguh-sungguh.

“Saya sudah cari, kapan manusia bisa main-main? Apa kemampuan manusia untuk main-main? Saya tidak pernah bisa melakukan apapun dimana saya main-main. Kencing bisa main-main? Bener-bener harus kencing. Tidak ada sedikitpun saya bisa main-main. Main sepakbola saja yang disebut permainan saja, kita melakukannya dengan sungguh-sungguh. Bener nggak? Apapun harus sungguh-sungguh,” tegas Cak Nun.

“Teman-teman sekalian, saya ingin katakan, mungkin saya salah, mudah-mudahan Allah membenarkan saya, kalau Allah mengatakan bahwa hidup itu sesungguhnya hanya main-main dan senda gurau, tolong diingat bahwa itu bukan untuk kamu. Itu hanya peringatan bahwa Allah satu-satunya subyek yang bisa bermain-main dan bersenda gurau,” terang Cak Nun.

“Kalau anda mengerti betapa nikmatnya memperluas diri, anda akan menemukan bahwa Indonesia sebuah batas kecil yang tidak perlu bikin anda pusing, itu masalah kecil. Buktinya anda tidak bisa mengatasi Indonesia, seluruh jamaah Maiyah tidak bisa mengatasi Indonesia, kan asyik? Kan berarti bukan anda petugasnya? Masa anak TK suruh nyurung truk? Nah, bebaslah anak-anak TK meskipun ada banyak truk macet di jalan. Merdekalah anda, berarti nanti Allah sudah punya petugas untuk menghidupkan dan mendorong truk. Maiyah ini jubahnya dunia. Maiyah adalah embrio dari peradaban baru yang akan tumbuh di seluruh dunia.

“Ini ajaib, ini masa depan. Anda berdiri berjam-jam, ini masa depan. Bener-bener masa depan, maka cintailah anak-anakmu, merekalah yang kelak akan menikmati. Kalau kita sudahlah, sudah terlanjur kaya begini ndak masalah, kita begini-gini aja sudah seneng. Tapi percayalah, percayalah. Ini ajaib, Maiyah ini ajaib. (Pagelaran) Wayang saja ndak bisa kayak gini, Maiyah ini Alhamdulillah bukan karena ada yang hebat, tetapi karena ada yang mengikat hati anda dari langit,” ujar Cak Nun dengan gembira.

“Allah selalu menjadi yang lebih besar, selalu terasa lebih besar dari yang kita sadari, sehingga Allahu Akbar bukan Allahu Kabiir.”

Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Jan, 2016)

Menjelang puncak acara, Cak Nun memberi kunci agar jamaah semakin menyadari bahwa kebanyakan manusia telah salah memahami era informasi. Manusia kebanyakan berpikir sebagai subjek, merasa dirinya sebagai suplier, sebagai produsen. Jarang ada yang menyadari bahwa dirinya adalah objek, sangat sedikit yang menyadari bahwa dirinya adalah korban. Di Maiyah, kita bersama-sama membongkar tembok-tembok itu dan memperluas diri kembali. Bukan berarti kita membongkar tembok sehingga tidak memiliki tembok sebagai batas, melainkan membongkar tembok untuk memperluas diri kita dan membangun tembok batas diri kita masing-masing. Kita terus memohon kepada Allah agar tidak berhenti untuk menciptakan segala sesuatunya di alam semesta, kita memohon agar Allah terus menerus menjaga siklus kehidupan agar terus berjalan, sehingga kita mampu untuk terus mencari dan tidak pernah berhenti untuk memaknai kehidupan, tidak pernah berhenti melakukan perenungan-perenungan dan tidak pernah berhenti untuk mencari jati diri kita sendiri, jati diri yang sejati.

Cak Nun berpesan kepada jamaah, meskipun setelah ini setiap individu memperluas diri tetapi tetap harus menentukan batasan-batasan dalam hidup, karena kemerdekaan itu merupakan salah satu bentuk eksplorasi untuk kemudian kita menentukan batas dari hari ke hari, dan bisa berubah-ubah dan bisa berbeda-beda. Merefleksikan kehidupan Rasulllah SAW yang dicipta sebagai An Nabi Al ‘Ummiyyi, yaitu Nabi yang buta huruf, maka apa yang lahir dari Rasulullah SAW adalah sesuatu yang orisinil, datangnya dari Allah. Rasulullah SAW tidak akan menjadi plagiator, karena beliau adalah An Nabi Al ‘Ummiyyi. Rasulullah SAW dijadikan sebagai nabi yang buta huruf supaya tidak terkontaminasi oleh lingkungan dan kondisi apapun disekitarnya. Sangat berbeda dengan apa yang kita alami saat ini, semakin kita dibukakan informasi, justru semakin banyak yang tidak orisinil dari dalam diri kita.

Kenduri Cinta Januari 2016 dipuncaki KiaiKanjeng dengan nomor Takbir Akbar dan dipungkasi dengan doa bersama yang dipimpin oleh Syeikh Muhammad Nursamad Kamba.