Mukadimah: KONGSI KA CAI

MUKADIMAH JAMPARING ASIH januari 2016

BUDAYA SUNDA dikenal sangat kental dengan budaya lisan dan bertutur. Pada zaman dahulu, penuturan kisah di tatar Sunda biasanya dilakukan oleh seorang juru pantun yang tidak dapat melihat yang menuturkan kisah sembari memainkan kecapi. Selain pantun, budaya mendongeng pun begitu melekat di Nusantara. Terbukti dari banyaknya dongeng yang turun-temurun dari generasi ke generasi. Dongeng biasa digunakan sebagai cara meninabobokan seorang anak maupun sebagai media penyampai beragam pesan moral kepada anak-anak kecil. Sebagai cara kepengasuhan antarmanusia, utamanya pengejawantahan sifat Rabbun Allah pada diri orang tua terhadap anaknya.

Latar belakang dongeng-dongeng Sunda sangat erat kaitannya dengan alam. Salah satu dongeng yang paling terkenal di tatar Sunda dengan latar yang sangat dekat dengan alam antara lain adalah “Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet”. Latar belakang tempat yang digagas dalam dongeng “Sakadang Kuya ejeung Sakadang Monyet” tak jauh dari kebun, leuweung, dan walungan. Ketiga tempat yang secara ekologis saling berhubungan dan menunjang satu sama lain. Ekosistem hutan dan daerah aliran sungai saling berkaitan dalam menyangga suatu ekosistem. Pun halnya dengan kebun manusia. Dimana ada air maka di situ akan ada kehidupan. Akan ada denyut nadi manusia untuk menyambung hidup.

Pentingnya air sebagai anasir kehidupan selain dari api, tanah, dan hawa, telah disadari oleh manusia bihari melalui kebudayaan. Tak terkecuali di tatar Sunda, air disimbolkan menjadi penamaan daerah. Hampir semua kota dan desa memakai nama yang berawalan ci – , yang berarti cai atau air, atau pun bisa diartikan sungai. Masyarakat Sunda memiliki cara tersendiri untuk menjaga sumber daya alam yang ada. Bila merefleksikan kembali kepada tema Jamparing Asih bulan Desember 2015, “Sunda Mengasuh ___”, masyarakat Sunda karuhun telah memiliki kesadaran yang tinggi akan alam. Kesadaran bahwa sebenarnya alam dan diri manusia saling resiprokatif dalam menjaga, melindungi, dan melestarikan, sehingga pola hidup mereka tidak secara eksploitatif dan destruktif.

Kearifan kebudayaan Sunda memiliki nilai turun-temurun terhadap sakralitas alam yang menghampar di sekelilingnya. Dalam ritual-ritual kampung, tak jarang nasi atau bubur yang akan dijadikan kenduri bersama harus dimasak menggunakan mata air yang disakralkan atau disebut sebagai air kabuyutan. Masyarakat Sunda menghargai air dengan sungguh-sungguh karena menyadari bahwa air merupakan berkah hidup yang akan membawa kelestarian bagi mereka. Tak jarang kemudian muncul mitologi mengenai air yang disandingkan dengan sistem budaya untuk dijadikan sebagai nilai kehidupan. Maka kolot baheula melakukan pelarangan dengan beragam mitos yang nyatanya dapat melindungi sumber-sumber kekayaan alam yang ada.

Perlahan, unsur sakral pada banyak budaya lisan tradisi Sunda kian luntur. Karakteristik kebudayaan Sunda yang penuh kelenturan itu di satu sisi memang adaptif, tapi di sisi lain dianggap terlalu terbuka menyebabkan terjadinya pergeseran nilai yang pesat. Mengambil contoh kasus dari booming-nya berita mata air (cinyusu) Cilembang di daerah Hariang, Buahdua, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, di mana mata air yang sebelumnya tidak terjamah, lalu mendadak menjadi lokasi rekreasi saking banyaknya pengungjung yang datang silih berganti. Mitos sakralitas yang dahulu tersemat di Sirah Cilembang itu perlahan terkikis dengan pergeseran nilai budaya yang terbentuk karena arus perkembangan teknologi. Tak segan beberapa pengunjung ‘nakal’ mendobrak larangan-larangan yang telah ratusan tahun ditaati masyarakat sekitar.

Nyatanya permasalahan adab, mentalitas, dan sakralitas nilai terus menggiring manusia kepada permasalahan satu dan lainnya. Sakralitas nilai tidak lagi diperhatikan dari tataran adat hingga ke tingkat global sekalipun. Terlebih lagi, ketika penghancuran-penghancuran dapat terjadi kerena dalih kertas-kertas bertanda tangan, maka tatanan nilai, kebudayaan, dan kemanusiaan akan kian terombang-ambing tak jelas arah. Padahal sejatinya dalam kehidupan, segala sesuatu yang dilakukan manusia sebagai khalifah haruslah memiliki asas saling menyelamatkan. Esensi saling menyelamatkan itu dielaborasikan oleh Cak Nun dengan penggalian makna salam. Bahwa kandungan makna salam atau assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh merupakan komitmen dari yang mengucapkan salam untuk saling mengamankan, serta agar semua bisa menjelma rahmat dan barokah. Karena Islam itu tatanan dari Allah di antaranya dengan memerintahkan manusia jadi khalifah sehingga mereka harus saling menyelamatkan seperti yang telah terpancarkan di dalam diri Rasulullah.

Asas menyelamatkan tentunya harus diperhatikan dari setiap aspek kehidupan. Dari tingkat diri hingga kepada tingkatan-tingkatan yang berlapis. Dari aspek kerjasama sederhana antar satu atau dua orang hinga kerja sama banyak pihak yang dalam istilah perdagangan diistilahkan dengan kongsi atau dalam islam disebut sebagai Musyarakah. Dalam Islam, aspek kerja sama harus memiliki prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai suatu validitas terjadinya sebuah ikatan kerja sama. Untuk kerja sama tataran kecil seperti kerjasama perdagangan kerupuk kulit ataukah ekspansi bisnis bakso di sebuah kota kecil, misalnya, tentunya tidak akan serumit perkongsian yang terjadi di tingkat global. Di kancah nasional maupun global, perkongsian sudah laksana permainan catur yang terus-menerus berisi penyusunan strategi oleh tangan-tangan tertentu yang memegang kuasa untuk menggerakan elemen-elemen yang dimiliki oleh sebuah tatanan pemerintahan yang diwakilkan oleh simbol raja, ratu, dan menteri. Sementara itu yang pertama kali harus dikorbankan dan ‘mau tidak mau’ melangkah adalah rakyat yang tidak memiliki kekuasaan yang diwakilkan oleh simbol pion-pion. Penguasaan dan perkongsian beragam aspek kehidupan, dari kekayaan alam hingga terutamanya sumber-sumber mata air dan air bersih oleh tangan-tangan yang mempermainkan dan memegang kendali tidak mungkin dapat diambil alih oleh pion-pion kecil. Karena semuanya telah dikendalikan, mungkin hal mendasar yang dapat dilakukan para pion adalah menyadari apa yang terjadi meski para pion telah berada di pusarannya sekalipun.

KEHIDUPAN DEWASA INI tentu tak dapat diidentikkan dengan kenaifan kisah-kisah dongeng. Tentunya akan sangat lucu apabila manusia-manusia dewasa saat ini mencoba membaca ulang beragam dongeng berhikmah. Dongeng Sakadang Kuya ejeung Sakadang Monyet yang menceriterakan kisah-kisah kenakalan sederhana seperti kerakusan akan hasil kebun mungkin sudah tidak akan relevan lagi untuk menyampaikan pesan moral di tengah arus global yang membuat kiblat manusia dalam memandang kebenaran menjadi sangat saru. Percandaan-percandaan antara sakadang kuya yang cerdik dan sakadang monyet yang bedegong di dekat hutan ataupun aliran sungai mungkin memang sudah tidak relevan lagi untuk menyampaikan begitu eratnya kaitan antara karamahtamahan manusia dan alam. Dalam dongeng tersebut juga diceritakan bagaimana kawanan monyet telah berpindah tempat dikarenakan ketidakberdayaan mereka terhadap invasi manusia.

Dahulu dongeng biasa digunakan meninabobokan anak kecil. Kemudian apabila sang anak kecil telah tumbuh dewasa dan melihat realita bagaimana caranya memandang realita yang ada. Apa yang akan terjadi apabila kita terus tertidur dan terlelap di zaman Kalabendu seperti ini. Salah satu upaya kecil yang dapat dilakukan Jamparing Asih adalah menyediakan wadah untuk dapat saling bertukar kisah guna memperluas cakrawala dalam memandang kehidupan. Namun begitu, seperti jamaah yang nantinya hadir, Jamparing Asih pun tidak memiliki otoritas apapun terhadap segala hal yang tengah terjadi ini. Tapi setidak-tidaknya, kita dapat saling merasakan kebersamaan di tengah sejuknya kota Bandung.

Dengan segala kerendahan hati, Jamparing Asih mengundang masyarakat untuk bermaiyah di tatar Pasundan dengan tema “Kongsi Ka Cai” yang akan dimulai pukul 16 : 30 WIB. Semoga persinggungan yang akan terjadi nantinya dapat menuntun kita semua tidak lagi menuju gerbang mimpi. Bukan lagi menyuguhkan manusia kepada dongeng yang meninabobokan, melainkan kepada apapun yang mampu membangkitkan lagi rasa tunduk kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Karena selayaknya seorang anak kecil yang tidak mampu menggapai tangga-tangga yang menjulang tinggi tanpa bantuan orang dewasa, manusia pun tidak akan bisa melakukan apa-apa selain mengadu dan memohon kebaikan kepada Allah yang ahad.