FUNDAMENTALISME KHANDAQ

REPORTASE KENDURI CINTA februari 2017

DALAM SEJARAH Islam Perang Khandaq merupakan salah satu peperangan yang sangat bersejarah. Pada peperangan tersebut Allah kembali membuktikan bahwa kuantitas pasukan bukanlah hal yang utama untuk memenangkan sebuah peperangan. Salman Al Farisi, salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang berasal dari Persia, memperkenalkan sebuah strategi baru dalam peperangan yakni berupa penggalian parit guna melindungi wilayah agar tidak mudah diserbu oleh musuh.

Pada edisi Februari 2017 ini Kenduri Cinta memilih tema yang mengambil hikmah dari spirit Perang Khandaq. Beberapa bulan yang lalu, Cak Nun merilis sebuah tulisan yang berjudul Ummat Islam Dijadikan Gelandangan di Negerinya Sendiri, sebuah esai dengan gambaran Ummat Islam di Indonesia saat ini yang tidak hanya dipersempit ruang geraknya, melainkan juga dilemahkan secara masif dan terstruktur.

Melalui berbagai cara, Ummat Islam di Indonesia dibikin agar tidak memiliki Ukhuwah Islamiyah yang kuat. Bahkan, dengan mudah dapat dibenturkan satu sama lain dalam urusan-urusan yang seharusnya sudah selesai. Fenomena ini sama dengan apa yang dialami Rasulullah SAW dalam Perang Khandaq, dimana terdapat sebagian Ummat Islam yang saat itu tidak yakin dengan kekuatannya sendiri di Madinah, sehingga mereka membelot dan menyebrang ke pihak musuh. Akan tetapi, walaupun mengalami pengurangan jumlah pasukan, atas izin Allah pasukan Islam berhasil mengalahkan musuhnya. Dari peristiwa itulah Kenduri Cinta februari 2017 ini menuliskan temanya: Fundamentalisme Khandaq.

Salah satu filosofi dari Sun Tzu yang terkenal dalam peperangan adalah kenali dirimu, kenali musuhmu dan kenali medan tempurmu. Dan, kau akan memenangi seribu pertempuran. Mengenali potensi diri dan memahami kelemahannya dalam sebuah peperangan sangatlah penting. sebab, dalam rasio kolektif, sebuah pasukan dituntut untuk mampu mengidentifikasi bagian dari dirinya yang siap untuk menjadi infantri, menjadi artileri, dan mana yang menjadi Kavaleri. Selain itu, mengenali musuh dan medan tempur yang akan dihadapi juga merupakan syarat mutlak untuk memenangkan sebuah pertempuran. Dan, dalam rangka menguasai laga di medan tempur, jika memungkinkan kita mesti dapat menarik musuh masuk ke dalam wilayah yang tidak mereka kenali.

Sayangnya, Ummat Islam dan Rakyat Indonesia hari ini berada pada posisi yang tidak mengenali dirinya, tidak mengenali potensinya, tidak memahami kelemahannya. Sehingga pihak musuh dengan sangat mudah melancarkan serangan dari berbagai sisi. Kita melihat hari-hari ini, Ummat Islam dan Rakyat Indonesia sangat mudah dibenturkan satu sama lain melalui isu-isu yang setiap hari disuguhkan melalui berbagai media.

Seiring dengan Pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada 15 Febrauri 2017, Jakarta sebagai pusat pemerintahan tentunya menjadi tolak ukur bagaimana kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan, kemananan dan hukum. Situasi politik di Jakarta pun, mau tidak mau, turut memberi warna bagi Kenduri Cinta.

Dalam beberapa kesempatan ada saja jamaah yang mempertanyakan sikap Maiyah terhadap konstelasi politik di Jakarta. Dan, tidak hanya di Kenduri Cinta, pada beberapa forum Maiyahan di kota-kota lain pun seringkali Cak Nun disodori pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana sikap Maiyah terhadap kondisi politik Indonesia hari ini. Sedangkan Cak Nun, sebagai orang tua dari Maiyah, tidak pernah turun ke dalam politik praktis di Indonesia.

 

 

 

 

KHANDAQ

HUJAN YANG mengguyur Jakarta di pagi hari masih menyisakan genangan air di pelataran Taman Ismail Marzuki. Menjelang maghrib beberapa penggiat Kenduri Cinta segera mempersiapkan segala keperluan untuk Maiyah bulan ini.

Lepas pukul delapan malam, Kenduri Cinta dibuka dengan prosesi pembacaan wirid Ta’ziiz dan Tadzlil yang kemudian dilanjutkan dengan Wirid Tahlukah. Jama’ah khusyuk mengikuti ritme wirid yang dipandu oleh beberapa penggiat Kenduri Cinta. Setelah prosesi kedua wirid tersebut, Kelompok Hadroh Syifa’ul Qulub membawakan beberapa nomor sholawat menyambut jamaah yang terus berdatangan. Sigit, Adi Pudjo, Ali Arrida dan Donny secara bergantian memandu sesi prolog untuk mbeber kloso diskusi. Pointer-pointer awal dari tema Fundamentalisme Khandaq pun diuraikan.

Di awal, Ali menjelaskan bagaimana proses hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah yang secara mengejutkan berlangsung tanpa kendala berarti. Bahkan, Rasulullah SAW bersama rombongan Ummat Islam saat itu diterima dengan baik oleh penduduk Madinah. Oleh karenanya, dari Mekah, kaum Kafir Quraisy pun berangkat melancarkan serangan-serangan ke Madinah dimana Perang Khandaq adalah salah satunya.

Dalam Perang Khandaq, Salman Al Farisi menginisiasi penggalian parit di wilayah terluar Madinah, strategi yang berhasil menyulitkan pihak musuh untuk berhadapan langsung dengan Pasukan Islam. Walau demikian, di dalam diri Ummat Islam sendiri terdapat pula penyusup-penyusup yang berhasil memecah belah ukhuwah.

“Jika Ummat Islam bersatu, maka Islam tidak akan mudah dikalahkan. Tetapi, jika Ummat Islam terpecah belah, maka akan sangat mudah dihancurkan dari dalam. Sehingga, setelah Perang Khandaq dan Khaibar, yang dilakukan oleh musuh-musuh adalah menyusup kedalam Ummat Islam dan menghancurkan dari dalam”, pungkas Ali.

Mengutip Al Baqoroh ayat 42, Adi Pudjo menjelaskan bahwa tema Talbis beberapa kali disampaikan oleh Cak Nun dalam forum-forum Maiyahan. Wa laa talbisuu-l-haqqo bi-l-baathili wa taktumuuna-l-haqqo wa antum ta’lamuun; dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil, dan janganlah kamu sembunyikan yang hak, sedangkan kamu mengetahui. Dari ayat ini, Adi Pudjo mengajak jamaah untuk membangun Khandaq dalam diri masing-masing. Khandaq yang dimaksud bukan parit fisik seperti halnya dalam Perang Khandaq, melainkan Khandaq yang dimaksud adalah batas atau wilayah yang kita bangun sendiri, yang kita gali sendiri, agar kita mampu mengetahui informasi-informasi yang masuk dari luar diri kita, sehingga kita mampu membedakan mana informasi yang berupa kebenaran dan mana yang bukan. Karena, hari ini, serangan-serangan yang gencar masuk ke dalam Ummat Islam merupakan akibat dari tidak terbangunnya Khandaq yang jelas dalam diri Ummat Islam. Persatuan Ummat Islam saat ini sangat rapuh dan sangat mudah dihancurkan bahkan dari dalam Ummat Islam sendiri. “Dari ayat ini kita belajar bagaimana cara agar kita bisa mengidentifikasi mana yang bathil dan mana yang haq”, lanjut Adi Pudjo.

“Jika Ummat Islam bersatu, maka Islam tidak akan mudah dikalahkan. Tetapi, jika Ummat Islam terpecah belah, maka akan sangat mudah dihancurkan dari dalam. Sehingga, setelah Perang Khandaq dan Khaibar, yang dilakukan oleh musuh-musuh adalah menyusup kedalam Ummat Islam dan menghancurkan dari dalam. “
Ali Arrida, Kenduri Cinta (Februari, 2017)

SELANJUTNYA, DONNY mengambil frame lain dari peristiwa Perang Khandaq. Ia mengambil hikmah bahwa kemenangan Islam dalam Perang Khandaq merupakan hasil dari proses musyawarah yang tidak ditinggalkan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabatnya. Semua keputusan yang diambil merupakan hasil musyawarah bersama. Strategi penggalian parit  muncul atas ide Salman Al Farisi dalam sebuah musyawarah, juga ketika Ali bin Abi Thalib diputuskan untuk berduel dengan Amr bin Abdi Wadd ketika parit berhasil ditembus oleh pasukan musuh.

Meski demikian, Donny juga menyimpulkan bahwa salah satu sebab kekalahan Pasukan Islam di Perang Uhud yang terjadi sebelum Perang Khandaq adalah adanya rasa takut dalam diri pasukan Islam. Ada sebagian mereka yang tidak yakin dengan Rasulullah SAW. Maka, yang terjadi pada saat itu adalah, pasukan yang seharusnya masih bersiaga diatas bukit, terpancing untuk turun ke bukit karena takut dan khawatir tidak kebagian harta rampasan perang.

Menurut Donny, Khandaq yang dimaksudkan bukan hanya prit-parit yang digali, melainkan juga strategi yang lain. Misalnya, menyusupkan pasukan sendiri untuk menyusup ke pasukan lawan, itu juga merupakan bagian dari strategi Khandaq. Lalu, sebagai refleksi bagi Maiyah sendiri, Donny berpandangan bahwa Maiyah selama ini sudah membangun Khandaq. Maiyah merupakan bagian yang tidak pernah dianggap oleh Indonesia dan Maiyah memang memposisikan diri untuk tidak ingin terbawa mainstream di Indonesia. Maiyah tidak bisa difahami sebagai sebuah gerakan. Maiyah bukan organisasi masyarakat seperti NU dan Muhammadiyah. Namun, kondisi ini semakin membuat Maiyah lebih cair dan justru terbukti lebih bisa diterima oleh banyak pihak dan golongan.

Tedi, jama’ah asal Tangerang, mengambil pelajaran dari Perang Khandaq yakni kita harus satu langkah lebih maju dari musuh kita. Jika musuh kita sudah berbekal 7, maka kita harus memiliki bekal 8 agar kita bisa mengalahkan mereka. Hal inilah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam setiap peperangan sehingga beliau mampu memimpin Pasukan Islam untuk mengalahkan musuh. Dan, inilah yang seharusnya juga kita lakukan saat ini. Kita harus menggali khandaq kita masing-masing untuk mengalahkan musuh-musuh kita saat ini.

Lain lagi dengan Agung, jama’ah asal Palembang ini memaknai Khandaq sebagai salah satu cara bertahan dalam sebuah peperangan. Pada era informasi yang begitu gencar saat ini, kita harus memiliki khandaqnya masing-masing agar mampu menemukan esensi dari setiap informasi yang masuk ke dalam. Kemampuan bertahan dalam menghadapi arus informasi yang sangat deras ini akan menentukan kejernihan kebenaran yang kita dapatkan. Khandaq yang dimaksudkan oleh Agung adalah bahwa setiap informasi yang kita terima dari luar harus diseimbangkan dengan pengetahuan yang ada dalam otak kita. Sementara itu, kebanyakan masyarakat saat ini membiarkan dirinya terbawa emosi dan terbawa arus informasi yang disampaikan oleh media, sehingga justru tergiring oleh opini media. Teori media darling, bad news is a good news tumbuh dengan subur dan dicerna dengan gampangnya oleh masyarakat tanpa ada filter diri yang kuat.

Usai menyerap berbagai uraian awal tentang Khandaq, sebelum memasuki diskusi sesi pertama, Komunitas Musisi Jalanan Center membawakan beberapa lagu bernuansa nasionalisme seperti Tanah Air, Rayuan Pulau Kelapa dan Indonesia Pusaka untuk memberi jeda.

Walaupun langit Jakarta makin mendung, jama’ah yang datang semakin banyak dan memenuhi area pelataran Taman Ismail Marzuki. Mereka datang dari latar belakang yang bermacam-macam, tidak semua dari mereka adalah kaum pekerja dan akademis. Bahkan, tidak jarang sebagian dari  mereka datang bersama keluarga.

PARIT KETELADANAN

MEMASUKI DISKUSI sesi Pertama, Tri Mulyana bersama Donny Kurniawan memoderasi diskusi sesi pertama yang menghadirkan Bang Mathar, Bang Amsar, Pramono Abadi dan Ali Hasbullah. Bang Mathar yang mendapat kesempatan pertama tidak menjelaskan tentang Khandaq, melainkan tentang Fundamental dalam diri manusia yang disebut sebagai fondasi utama diri manusia menurut Bang Mathar. Kehidupan masyarakat Betawi pada abad 18 diceritakan oleh Bang Mathar sangat kental dengann ruh-ruh ke-Islaman. Tradisi dan suasana seperti itu saat ini sudah hilang dan lenyap. Bang Mathar yang merupakan putra asli Betawi menyayangkan mengapa masyarakat Betawi hari ini menghilangkan esensi kehidupan agamis peninggalan orang tua zaman dahulu. Bang Mathar bercerita bahwa zaman dahulu rukun Islam merupakan ruh kehidupan sosial masyarakat Betawi yang sangat terjaga turun temurun. Dan semua itu sudah hilang hari ini.

“Perang Khandaq ini adalah perang mental”, Pramono mengawali paparannya. Dalam sebuah referensi yang ia baca, Parit yang digali selama 6 hari ini merupakan sebuah strategi untuk menguji mental masing-masing pasukan. Dalam tradisi peperangan sebelumnya, kedua pasukan yang saling berhadapan ketika bertemu dalam sebuah arena pertempuran maka akan saling baku hantam. Dengan adanya Parit yang digali itu, kedua pasukan sama-sama menahan nafsu mereka untuk menyerang. Disinilah kekuatan mental masing-masing pasukan diuji sebenarnya. Siapa yang mampu menahan emosi, ia yang akan memenangkan peperangan. Hingga akhirnya, ketika salah satu kabilah dari Pasukan Rasulullah SAW berkhianat, yaitu Bani Quraizhah, Rasulullah SAW sebagai panglima perang tidak lantas terpancing emosinya untuk kemudian tergesa-gesa menyerbu pasukan lawan. Dan, ternyata justru pasukan lawan yang terpancing, ketika salah satu dari mereka yaitu Amr bin Abd Wadd menyebrang parit dan kemudian menantang berduel, Rasulullah SAW melakukan musyawarah bersama para sahabat. Singkat cerita, Ali bin Abi Thalib yang kemudian menerima tantangan duel tersebut dan berhasil mengalahkan Amr bin Abd Wadd.

Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa Perang Khandaq ini adalah perang yang paling sedikit modalnya dan paling sedikit pertumpahan darahnya. Pada saat itu musim panen dipercepat sehingga perbekalan Ummat Islam sudah diamankan terlebih dahulu sebelum peperangan dilaksanakan. Dengan pasukan yang kecil perbandingannya, ditambah dengan adanya pengkhianat dari segelintir oknum yang ada saat itu, nyatanya Rasulullah SAW berhasil memimpin pasukan Islam untuk mengalahkan musuh dalam Perang Khandaq ini. Pramono mengambil poin dari Perang Khandaq yaitu adanya kesabaran dalam mengambil keputusan, tidak tergesa-gesa, sehingga dengan bekal yang sangat minim mampu memenangkan peperangan dengan pertumpahan darah yang juga sangat minim. Dan, Allah akhirnya mengirimkan angin badai pasir untuk membubarkan peperangan ini.

Pelajaran lain yang diambil oleh Pramono dari Perang Khandaq adalah bagaimana Pasukan Islam terseleksi secara otomatis, ketika ada beberapa orang yang merasa takut dan pesimis akan memenangkan peperangan ini, kemudian juga terdapat Bani Quraizhah yang berkhianat, menurut Pramono proses tersebut pada akhirnya menyeleksi mana orang-orang yang benar-benar beriman kepada Rasulullah SAW yang kemudian menjadi syarat Allah memberikan bantuan berupa badai pasir. Kemudian, keteladanan Rasulullah SAW sendiri merupakan pelajaran yang tidak kalah berharga. Dalam satu momen, ketika proses penggalian parit berlangsung, ada salah seorang sahabat yang melihat Rasulullah SAW mengganjal perutnya dengan batu yang diikatkan kain di perut beliau. Dari peristiwa ini kita belajar bahwa seorang Pemimpin adalah orang yang harus mencontohkan perilaku yang memang harus dilakukan oleh pasukannya.

Rasulullah SAW berani berlapar-lapar dalam rangka melatih ketahanan pasukannya untuk menahan diri, disamping memang karena perbekalan perang yang sangat terbatas saat itu. Dari sini kita melihat bagaimana seorang panglima perang memberikan contoh terlebih dahulu sebelum ia meminta pasukannya melakukan apa yang ia lakukan. Keteladanan seperti inilah yang saat ini tidak kita lihat dalam sosok pemimpin hari ini. Di Maiyah kita belajar bahwa lapar itu baik, yang tidak baik adalah apabila kita menjadi kelaparan.

“Kalau anda datang kesini (Maiyahan) itu pamrihnya dunia, maka anda akan rugi. Tetapi jika anda datang kesini itu ikhlas atas keinginan hati anda, maka Allah tidak akan diam. Kapan saatnya, pertolongan Allah akan datang.”
Syamsul, Kenduri Cinta (Februari, 2017)

BANG AMSAR, salah seorang sahabat Bang Mathar yang juga asli Betawi menyikapi bahwa Perang yang dialami masyarakat hari ini adalah perang globalisasi yang semakin rumit. Ketahanan fondasi setiap masing-masing diri manusia harus kuat. Paparan singkat Bang Amsar menyiratkan pesan bahwa ketidakadilan di Indonesia hari ini mengakibatkan kesenjangan sosial yang terlampau lebar jaraknya. Banyak sekali orang yang lupa bagaimana mereka dahulu berjuang sebelum menduduki jabatan-jabatan penting dan kemudian melupakan orang-orang yang dulu meperjuangkan dirinya. Menurut Bang Amsar hal ini merupakan salah satu potret nyata ketidakadilan di Indonesia saat ini.

Selanjutnya, Syamsul, salah satu Penggiat Maiyah Dusun Ambengan, Lampung, pada Kenduri Cinta kali ini turut hadir dan diminta untuk urun pemikiran. Syamsul memiliki pandangan bahwa tersebarnya jamaah Maiyah di seluruh Indonesia juga dalam rangka pembangunan parit-parit layaknya Perang Khandaq. “Kalau anda datang kesini (Maiyahan) itu pamrihnya dunia, maka anda akan rugi. Tetapi jika anda datang kesini itu ikhlas atas keinginan hati anda, maka Allah tidak akan diam. Kapan saatnya, pertolongan Allah akan datang”, ungkap Syamsul.

Hujan turun. Jamaah pun mendekat merapatkan barisan. Terpal yang awalnya menjadi alas duduk berubah menjadi pelindung dari basah. Dan, bukan peristiwa  yang aneh, hampir setiap kali hujan turun di Kenduri Cinta, setiap jama’ah akan secara mandiri mengatur diri masing-masing, tidak ada yang beranjak pergi, semua tetap menunggui hingga akhir acara.

“Berbicara tentang peperangan, apa yang kita hadapi hari ini adalah bahwa kita digempur dari berbagai arah karena musuh ingin menguasai apa yang kita miliki”, Ali Hasbullah mengawali paparannya. Dengan merefleksikan apa yang dialami oleh Rasulullah SAW dalam Perang Khandaq, posisi Ummat Islam di Indonesia saat ini sebenarnya sama persis dengan Pasukan Islam saat itu di Perang Khandaq. Jumlah Pasukan yang sangat sedikit melawan pasukan musuh yang jumlahnya berlipat-lipat. Ditambah faktor infiltrasi beberapa oknum yang pesimis dan berkhianat, praktis posisi Ummat Islam hari ini berada dalam posisi yang lemah di arena peperangan melawan kapitalisme internasional.

Semangat yang muncul dalam Perang Khandaq saat itu sebenarnya juga sudah terbangun di Maiyah hari ini, yaitu mencari apa yang benar, bukan mencari siapa yang benar. Salman Al Farisi saat itu merupakan tokoh yang datang dari Persia. Ide menggali parit merupakan sebuah strategi yang baru dalam dunia peperangan di Arab masa itu. Disini kita bisa melihat bahwa sebuah ide dan gagasan muncul dari orang yang jauh datang dari Persia, tetapi bisa diterima oleh Ummat Islam saat itu di Madinah.

“Hikmah yang terpenting lagi adalah bahwa persoalan apapun yang kita hadapi di dunia ini, solusinya adalah solusi segitiga seperti yang seringkali Cak Nun sampaikan”, Ali melanjutkan. Dalam Perang Khandaq terbukti bahwa pasukan Islam yang konsisten keimanannya kepara Rasulullah SAW akhirnya benar-benar mendapat pertolongan langsung dari Allah dalam memenangkan pertempuran tersebut. Meskipun ada yang berkhianat, meskipun ada yang mundur dari pasukan, tetapi keteguhan hati mereka dalam beriman kepada Allah dan Rasulullah SAW akhirnya membuahkan hasil.

ADAM DAN PEMBANGKANGAN IBLIS

MEMASUKI TENGAH malam, Balte Irama duo musikus asal Tanah Abang yang sering membawakan nomor-nomor dangdut karya H. Rhoma Irama tampil di panggung Kenduri Cinta menemani jama’ah yang semakin serius menyimak jalannya diskusi ditengah hujan. Setelah penampilan Balte Irama, YAH, yang juga merupakan salah satu grup musik didikan Komunitas Jazz Kemayoran dibawah bimbingan Beben Jazz turut memeriahkan Kenduri Cinta dengan membawakan beberapa nomor akustik.

Sejak Diskusi sesi pertama sebelumnya Cak Nun sudah hadir dan menyimak paparan-paparan yang disampaikan oleh teman-teman narasumber. Setelah resume diskusi sesi pertama disampaikan oleh Donny dan Ali Hasbullah, Cak Nun menyapa jamaah Kenduri Cinta dan mengungkapkan rasa syukur serta kegembiraannya melihat antusias jamaah dan juga paparan-paparan narasumber yang sebelumnya berbicara. “Intinya saya ingin bersyukur, bergembira dan memuji anda semua, termasuk yang tadi berbicara dari awal di sini. Bukan soal mengagumi anda, bukan soal anda mentakjubkan saya, tetapi karena anda telah menunjukkan kepada saya perilaku-perilaku dan ekspresi yang membuat saya mau tidak mau lebih mencintai anda lagi. Jadi, karena menambah cinta saya itulah saya bergembira”.

Agaknya Cak Nun memang memahami bahwa salah satu isu yang sedang ditunggu oleh jamaah untuk disikapi olehnya adalah terkait Pilkada Jakarta. Cak Nun kemudian memberi landasan metafor sebelum berbicara lebih jauh, yakni terlebih dulu memperjelas parameter Khandaq yang akan kita bangun. Cak Nun memberikan ibarat tentang sebuah alat transportasi. Saat ini yang akan kita gunakan itu Ojek, Kereta, atau Pesawat? Jika kita berbicara Pilkada, Cak Nun mengibaratkan bahwa perjalanan yang akan dilalui ini adalah perjalanan menggunakan Ojek. Karena, Ojek adalah transportasi yang skalanya hanya menempuh jarak dari kampung ke kampung. Lain halnya dengan Kereta misalnya yang jarak tempuhnya melampaui antar kota, bahkan lebih jauh dari itu Pesawat adalah alat transportasi yang jarak tempuhnya bisa mencapai antar pulau. Dari sini Cak Nun menjelaskan bahwa Maiyah adalah perjuangan dengan skala Pesawat karena menempuh perjalanan yang sangat jauh dengan skala yang juga sangat luas, sementara Pilkada Jakarta hanyalah sebuah perjalanan yang skalanya sebatas Ojek, sebuah pertempuran sesaat yang durasinya sangat pendek.

Melanjutkan alas tersebut, Cak Nun menguraikan secara singkat bagaimana peristiwa Talbis yang dimulai oleh Iblis terjadi. Allah menciptakan manusia dengan tujuan menjadikan Khalifah di muka bumi. Pada satu momen, Iblis berusaha menegakkan aturan main yang sudah dibuat oleh Allah sebelumnya yaitu bahwa manusia akan menjadi Khalifah di Bumi, sementara itu Adam diciptakan dan diberi hak tinggal di Surga. Singkat cerita, Iblis kemudian berhasil masuk ke Surga dan “menipu” Adam dengan prosedur talbis itu tadi. Talbis adalah fenomena kemunafikan atau metode pencitraan dimana seseorang berlaku seperti bukan dirinya.

Iblis melakukan talbis agar dirinya dianggap sebagai Malaikat yang Adam kenal, dan berhasil mengelabuinya untuk melanggar aturan yang membuat Adam diusir dari Surga. Tetapi, apa yang dilakukan oleh Iblis dalam peristiwa ini sebenarnya adalah karena Iblis ingin menegakkan hukum konstitusi yang sudah dicanangkan oleh Allah sebelumnya, bahwa Allah berencana menciptakan manusia agar menjadi Khalifah di Bumi. Maka, Cak Nun berpesan agar tidak berhenti pada simbol atau materinya saja. Misalkan, ada orang menggunakan atribut-atirbut yang mencermikan kebaikan, ternyata hatinya penuh dengan keburukan, maka jangan disalahkan atribut atau simbolnya.

Di dalam Al Quran sendiri, konstelasi yang digambarkan adalah Muslim berhadapan dengan kemunafikan, kedzaliman, kekufuran, kemusyrikan, kefasiqan. Bukan Muslim berhadapan dengan Yahudi, Hindu, Nasrani, Buddha dan sebagainya. “Saya tanya sama anda dulu, supaya objeknya lebih jelas. Menurut anda yang penting itu anda atau kelakuan anda? Jadi, yang penting itu akhlaknya atau identitasnya?”, Cak Nun melempar pertanyaan awal kepada jama’ah dan dijawab dengan tegas oleh jama’ah, “akhlaknya”.

Dari kepastian jawaban pertanyaan tersebut, Cak Nun menjelaskan bahwa kemungkinan terbesar musuh utama orang Islam adalah dirinya sendiri yang memiliki kemungkinan berlaku kafir, munafik, dzalim, fasiq atau musyrik. Begitu juga dengan orang Nasrani, Hindu, Buddha dan lain sebagainya, mereka juga sangat mungkin memiliki parameter dalam keyakinan mereka tentang kafir, musyrik, fasiq, munafik, juga dzalim itu tadi. Ini berbicara dalam konteks kualitatif. Kembali kepada Pilkada, Cak Nun lalu melontarkan perumpamaan tentang bagaimana menyikapinya. Menurut Cak Nun, kita ibarat disuguhi 3 jenis makanan, 2 diantaranya belum tentu enak dan sehat, tetapi 1 diantara 3 makanan itu sudah pasti beracun.

Lalu Cak Nun menjelaskan pemahaman tentang fasik. Bahwa dalam Al Qur’an surat Al Hasyr dijelaskan, orang yang fasik adalah orang yang tidak mau mengerti asal usul dirinya, sehingga ia tidak mengenal dirinya. Sementara orang yang dzalim, Cak Nun merefleksikan dalam satu istilah Jawa, dzalim adalah sifat yang adigang adigung adiguna. Orang yang menginjak-injak orang lain, menyiksa orang lain, menyakiti orang lain dengan segala kekuatan yang ia miliki.

“Maiyah sudah melahirkan generasi yang baru di Indonesia. Anak-anak muda yang berfikirnya sudah menjangkau kedepan, yang punya keseimbangan mental dan berfikir, memiliki keadilan sikap satu sama lain, sudah belajar dan berlatih untuk tetap seimbang di tengah Indonesia yang goyang ke kanan dan ke kiri, dan anda semua adalah generasi muda yang saya tidak bisa mikir kecuali bahwa anda pasti akan melahirkan zaman yang baru. Anda pasti akan melahirkan era baru dari Indonesia yang jauh lebih bagus daripada yang sekarang.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Februari, 2017)

“ANDA HARUS takabbur kepada masalah yang anda hadapi”. Cak Nun menerangkan bahwa salah satu metode menyelesaikan persoalan yang dihadapi adalah dengan cara menjadikan diri kita lebih besar dari persoalan yang kita hadapi. Dari metode ini kita akhirnya mampu memetakan bagaimana sikap kita menyikapi persoalan dalam skala yang terkecil hingga yang paling besar sekalipun. Cak Nun mencontohkan untuk persoalan Indonesia, yang ditakabburi bukan presidennya, bukan menterinya atau gubernurnya. Yang ditakabburi adalah persoalannya. Karena, jika kita mentakabburi presidennya, maka persoalan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia masih dalam posisi yang lebih besar dari kita, sehingga kita akan kalah dari masalah itu sendiri.

Cak Nun kemudian kembali menjelaskan bahwa kafir, musyrik, fasiq, dzalim, halal, haram dan beberapa istilah lainnya merupakan sebuah kondisi yang bergantung pada kondisi lainnya. Wajibnya Sholat Subuh adalah pada saat waktu Subuh. Jika pada saat waktu Dzuhur, maka sholat Subuh menjadi haram hukumnya untuk dilaksanakan. Sedangkan kafir, secara istilah artinya adalah ingkar, maka setiap manusia memiliki wilayah ingkarnya masing-masing. Ada yang ingkar terhadap keburukan, ada yang ingkar terhadap kemunafikan dan lain sebagainya. Seperti halnya haji, seseorang disebut haji hanya pada saat ia melakukan ritual ibadah haji di bulan Dzulhijjah yang sudah disyariatkan oleh Allah dalam Al Qur’an. Begitu juga seorang jenderal, posisi Jenderal hanya berlaku pada saat ia berada dalam wilayah militer, begitu ia pulang ke rumah dan berkumpul dengan keluarganya, maka ia berposisi sebagai kepala keluarga, bukan seorang jenderal.

Begitu juga dengan posisi Rasulullah SAW. Ketika ada orang yang menyakiti Rasulullah SAW, maka Allah akan dengan tegas menyebut bahwa Rasulullah SAW adalah Rasul-Nya, tetapi manakala ada orang-orang yang sudah terlampau berlebihan memuja-muja Rasulullah SAW, bahkan hingga tahap mengkultuskan, maka Allah pun akan tegas menyampaikan bahwa Rasulullah SAW juga hanya manusia biasa yang tidak perlu disembah-sembah atau dukultuskan.

Cak Nun pun membuka optimismenya terhadap masa depan Maiyah dan Indonesia. “Maiyah sudah melahirkan generasi yang baru di Indonesia. Anak-anak muda yang berfikirnya sudah menjangkau kedepan, yang punya keseimbangan mental dan berfikir, memiliki keadilan sikap satu sama lain, sudah belajar dan berlatih untuk tetap seimbang di tengah Indonesia yang goyang ke kanan dan ke kiri, dan anda semua adalah generasi muda yang saya tidak bisa mikir kecuali bahwa anda pasti akan melahirkan zaman yang baru. Anda pasti akan melahirkan era baru dari Indonesia yang jauh lebih bagus daripada yang sekarang”, lanjut Cak Nun.

Yang ingin disampaikan oleh Cak Nun melalui tema Kenduri Cinta kali ini bukanlah tentang bagaimana menyiapkan strategi memenangkan peperangan, melainkan bahwa kita hari ini dengan berbagai ancaman yang ada, membangun sendiri Khandaq-Khandaq dalam alam fikiran kita. Karena utamanya hari-hari ini kita diserang habis-habisan melalui informasi yang begitu banyak dan mayoritas sangat bias dari fakta yang sebenarnya terjadi.

“Intinya saya ingin bersyukur, bergembira dan memuji anda semua, termasuk yang tadi berbicara dari awal di sini. Bukan soal mengagumi anda, bukan soal anda mentakjubkan saya, tetapi karena anda telah menunjukkan kepada saya perilaku-perilaku dan ekspresi yang membuat saya mau tidak mau lebih mencintai anda lagi. Jadi, karena menambah cinta saya itulah saya bergembira.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Februari, 2017)

KE BELAKANG satu langkah, Cak Nun juga mengajak jamaah untuk merefleksikan bagaimana Rasulullah SAW menyemangati pasukan beliau pada perang Uhud. Dengan pasukan yang sangat terbatas, baik dari segi kemampuan berperang, peralatan perang juga perbekalannya, Rasulullah SAW menyemangati pasukan bahwa mereka akan dianugerahi kemenangan dengan kondisi kedhuafa’an mereka. Tentu, sebagai seorang Panglima perang, Rasulullah SAW tidak mungkin menumbuhkan rasa pesimis kepada pasukan beliau, meskipun pada faktanya kekuatan pasukan memang sangat lemah jika dibandingkan dengan pasukan musuh. Tetapi, ada satu ikrar yang juga disampaikan oleh Rasulullah SAW; In lam takun ‘alayya ghodobun, falaa ubalii. Asalkan Allah tidak marah kepada beliau, maka apapun yang terjadi tidak dipedulikannya. Dari ikrar ini kita belajar, bahwa jangankan Allah marah, bahkan jika Allah tidak ridhlo dengan apa yang kita lakukan saja, itu merupakan bencana yang sangat besar bagi kita.

Berbicara tentang Pemimpin, Cak Nun menjelaskan bahwa sebenarnya tidak ada perintah dari Allah kepada manusia untuk menjadi pemimpin. “Di dalam Al Qur’an tidak ada perintah Allah kepada manusia untuk menjadi Pemimpin. Yang ada dalam Al Qur’an adalah belajar bagaimana cara memilih pemimpin. Yang ada didalam Al Qur’an adalah memilih, bukan dipilih”.

Cak Nun menjelaskan bahwa sesungguhnya manusia tidak diperintahkan untuk menjadi pemimpin, yang ada adalah anjuran bagaimana caranya memilih pemimpin sehingga umat manusia secara keseluruhan dapat dibimbing menuju kesejahteraan sosial yang adil dan makmur. Sedangkan kerusakan-kerusakan yang terjadi di dunia hari ini adalah akibat dari congkaknya manusia merasa dirinya layak untuk menjadi Pemimpin.

Kehancuran peradaban manusia hari ini adalah akibat dari perbuatan riba yang semakin subur. Cak Nun menjelaskan bahwa pada intinya perbuatan riba adalah perbuatan manipulasi, terserah bagaimana praktek dan prosedurnya, tetapi yang pasti adalah bahwa dalam riba yang seharusnya 100 menjadi 110, yang seharusnya buruk kemudian dicitrakan menjadi baik, dan banyak lagi parameter-parameter lainnya. Sehingga, riba itu sebenarnya bukan hanya urusan perbankan semata, sebab pada hakikatnya riba adalah perbuatan ketidakjujuran antar manusia. Maka konteks riba pun pada dasarnya tidak hanya dalam tataran ekonomi, tetapi juga ada riba kultural, riba nilai, dan pencitraan itu sendiri adalah riba. Dan, ketika manusia sudah mulai terbiasa memakan dan mengkonsumsi riba, ibarat sedang menaiki pesawat terbang, kita mengalami turbulensi yang luar biasa kencang. Ketika turbulensi berlangsung, hal yang baik sekalipun kita lakukan akan menjadi peristiwa yang buruk.

“Ini Kenduri Cinta bukan panggung Nasional. Kenduri Cinta bukan mimbar bebas yang bernilai politik dan tidak ada kata-kata di sini yang merupakan political statement of anybody. Tidak ada statemen politik. Ini hanya kelas Maiyah, pembelajaran Maiyah diantara anak-anak Maiyah. Kalau ada yang bocor-bocor keluar (dari Maiyah) itu bukan urusan saya dan bukan tanggung jawab saya”, tegas Cak Nun.

“Hidup itu bukan tentang permasalahan yang anda hadapi, tetapi hidup adalah tentang bagaimana anda menyikapi persoalan yang anda hadapi”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Februari, 2017)

SAAT INI Cak Nun mengibaratkan bahwa api berkobar di seluruh Negeri terutama di Jakarta. Api adalah sesuatu yang harus dikelola, tidak boleh ditolak, tidak boleh ditindas tetapi harus kita terima. Api tersebut jika terlalu besar, kita kecilkan dan jika terlalu kecil, kita besarkan pada skala yang wajar. Dan, saat ini api sedang menguasai kita.

Cak Nun menjabarkan bahwa api berbeda dengan air. Air bisa diukur. Begitu juga dengan gas yang juga ada ukurannya. Tetapi, tidak dengan api, kita tidak memiliki parameter yang tepat untuk mengukur besar kecilnya atau berapa jumlah api. Yang bisa diukur dari api adalah suhu panasnya. Selain itu, yang pasti kita ketahui dari api adalah bahwa api tidak pernah mengenal batas. Dari satu letupan api kecil yang muncul dari korek api bisa membakar semua yang ada jika tidak kita kelola dengan baik, api meskipun cuma sedikit kalau tidak dikelola ia akan membakar seluruh eksistensi alam semesta dan manusia.

“Nah kalau milih calon Gubernur, jangan yang bermulut bensin! Nanti api berkobar terus”, Cak Nun kembali bermetafor untuk menyikapi isu Pilkada Jakarta. Secara sederhana, Cak Nun mengibaratkan Pilkada itu seperti ujian pilihan ganda yang sebenarnya sangat mudah memilih antara 1, 2 atau 3, dari ketiga kandidat yang dicalonkan oleh partai politik.

“Ini perusahaan, bukan begara, saya serius!” Cak Nun menjelaskan bahwa pada faktanya Indonesia hari ini pada faktanya adalah sebuah perusahaan, bukan sebuah negara. Di Indonesia hari ini Presiden tidak memahami bedanya negara dengan pemerintah, mana lembaga negara dan mana lembaga pemerintah, tidak banyak orang di Indonesia yang mampu membedakannya. Sehingga tata kelola hukum dan perundang-undangannya pun silang sengkarut tidak karuan. Begitu juga dengan tatanan kehidupan sosial dan politiknya, yang pada akhirnya tidak terwujud keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, menurut Cak Nun, Bangsa Indonesia ini hakikatnya bukanlah Bangsa sebuah Republik, melainkan Bangsa Kerajaan.

Dan, Cak Nun kembali menegasakan bahwa di Maiyah jangan sampai ada pengkultusan kepada Cak Nun. Dan ketika ada yang meminta didoakan oleh Cak Nun, semua harus menyadari bahwa Allah adalah subjek utama yang mengabulkan doa tersebut. Seperti halnya petani, tugas manusia adalah menanam. “Jangan berharap panen kepada petani”, lanjut Cak Nun. Cak Nun juga menegaskan agar jama’ah maiyah berpegang teguh pada pemungkas surat Al Insyiroh; Fa idzaa faroghta fanshob, wa ilaa robbika farghob.

Cak Nun kemudian mengutip lagi salah satu ayat didalam Al Qur’an; wabtaghiy fiima aataaka daaro-l-aakhiroh walaa tansaa nashiibaka mina-d-dunyaa. Bahwa manusia akan hidup kekal abadi di akhirat, dan kehidupan di dunia ini hanya bersifat sementara. Dari ayat tersebut dirumuskan bahwa yang menjadi perjuangan primer dalam kehidupan manusia adalah akhirat, bukan dunia. Meskipun demikian Allah menyampaikan bahwa ada bagian dari dunia yang juga harus diingat oleh manusia. Oleh sebab itu manusia bekerja, mengolah sumber daya alam, mencari rezeki di dunia untuk kehidupan di dunia, tetapi manusia harus mampu menahan diri agar tidak terjerumus dan meyakini bahwa dunia adalah yang utama.

“Ini Kenduri Cinta bukan panggung Nasional. Kenduri Cinta bukan mimbar bebas yang bernilai politik dan tidak ada kata-kata di sini yang merupakan political statement of anybody. Tidak ada statemen politik. Ini hanya kelas Maiyah, pembelajaran Maiyah diantara anak-anak Maiyah. Kalau ada yang bocor-bocor keluar (dari Maiyah) itu bukan urusan saya dan bukan tanggung jawab saya.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Februari, 2017)

BANGSA NGAWULO

SUASANA SEMAKIN hangat meski hujan sempat kembali turun. Jamaah tidak berkurang. Secara mandiri semua menyesuaikan diri agar tidak basah kehujanan. Cak Nun lalu meminta Balte Irama untuk tampil kembali membawakan beberapa nomor-nomor lagu karya H. Rhoma Irama sebagai jeda memasuki diskusi sesi kedua.

“Kelemahan kita saat ini adalah bahwa kita hidup dalam konstelasi kalah dan menang”. Cak Nun menjelaskan bahwa sebab hancurnya peradaban saat ini adalah akibat persaingan tidak sehat secara global yang dilandasi kalah dan menang. Sehingga, pihak yang hari ini kalah akan menyimpan dendam agar suatu saat bisa membalas kekalahan yang ia terima dan mengalahkan pihak lain. Persoalan di Indonesia hari ini pada dasarnya bukanlah persoalan-persoalan yang muncul dalam isu SARA yang selalu digembar-gemborkan oleh media massa. Persoalan yang sebenarnya terjadi adalah persoalan keadilan yang tidak terwujud. Sebenarnya, saat ini kita sedang berusaha mengatakan bahwa Ayam adalah Ayam, bahwa Sapi adalah Sapi, tidak ada kaitannya dengan SARA.

Seperti yang dituliskan oleh Cak Nun dalam Esai terakhir; PANDAWAYUDHA, yang dibutuhkan oleh Bangsa Indonesia hari ini adalah semua orang tua duduk bersama, membicarakan persoalan Bangsa dan berembug tentang kemungkinan-kemungkinan solusi agar menghasilkan kemenangan bersama, tidak ada yang merasa dikalahkan. Karena yang seharusnya diutamakan adalah menyelesaikan persoalan secara Akhlak dan Kearifan. Bahwa, ada prosedur hukum, itu benar adanya, tetapi bukan prosedur utama yang harus ditempuh. Metode Akhlak dan Kearifan adalah salah satu metode yang dihasilkan dalam musyawarah bersama.

Cak Nun bercerita bahwa sebulan terakhir beberapa tokoh-tokoh penting di Indonesia menghubungi beliau dan meminta waktu untuk bertemu. Yang diharapkan oleh Cak Nun saat ini adalah, semua duduk bersama dalam satu forum musyawarah bersama, meninggalkan ego masing-masing pihak. Semua tokoh-tokoh negarawan, para pemimpin tertinggi di setiap lini, para pemimpin organisasi masyarakat, para ulama, para cerdik cendekia, semua berkumpul bersama mencari solusi terbaik untuk kemenangan bersama. Itu yang diharapkan oleh Cak Nun saat ini. Karena sudah tidak ada waktu lagi untuk terus menerus menabung dendam satu sama lain. Semua harus menyadari bahwa ada hal yang sangat penting yang harus segera dibicarakan dan diselesaikan demi generasi penerus Bangsa Indonesia di masa yang akan datang.

Cak Nun pun mengupas ayat Innama amruhu idzaa arooda syaian an yaquula lahu kun fayakuun. Bahwa, kalimat fayakuun dalam ayat tersebut seharusnya diterjemahkan dengan arti kata: sedang terjadi. Sebab, dalam bahasa arab, kata fayakuun tersebut memiliki pemahaman fi’il mudhoori’, yaitu pekerjaan yang sedang dilakukan. Maka kata fayakuun lebih tepat diartikan dengan makna; sedang terjadi. Dan, jika merujuk pada awal mula Islam, maka bukan kata iqro’ yang menjadi pertanda bahwa Islam dimulai.

“In ahsantum ahsantum lianfusikum wa in asa’tum falahaa. Jika kita berbuat baik, maka kebaikan akan kembali ke dalam diri kita. Begitu juga sebaliknya, jika kita berbuat buruk, maka keburukan itu akan kembali kepada kita.”
Habib Ali Al Hamid, Kenduri Cinta (Februari, 2017)

KATA IQRO’ merupakan pertanda awal dari disempurnakannya Islam. Pada puncaknya nanti, manusia bahkan bukan hanya akan iqro’ terhadap Al Qur’an, iqro’ terhadap alam semesta, melainkan pada puncaknya manusia akan iqro’ kepada Muhammad SAW. “Asalkan anda bisa membaca Muhammad, kemudian anda meniru semua kebaikan dan kemuliannya, maka manusia akan mencapai Baldatun thoyyibantun wa rabbun ghoffur”, lanjut Cak Nun.

Dalam Kenduri Cinta kali ini hadir pula tamu dari salah satu sayap FPI. Cak Nun menyampaikan bahwa pedoman di Maiyah itu sangat jelas; yang selain Allah dan Rasulullah itu relatif. Begitu juga dengan FPI, mungkin ada perilaku dri FPI yang tidak kita sukai, tetapi bisa jadi ada sisi lain dari FPI yang juga baik dan tidak kita ketahui. “Jangan mentang-mentang anda suka dengan kelapa, lantas kemudian anda makan juga sabut kelapanya”, lanjut Cak Nun.

Perwakilan FPI yang hadir di Kenduri Cinta kali ini adalah Habib Ali Al Hamid, ketua HILMI (Hilal Merah Indonesia), yaitu Lembaga Kemanusiaan dari FPI. Habib Ali Al Hamid pun bercerita bagaimana awal mula di tahun 2008 silam ia pertama kali bersentuhan dengan FPI hingga akhirnya didapuk menajdi ketua HILMI. Di FPI, Habib Ali juga bercerita bagaimana Habibi Rizieq yang saat itu berada di tahanan Polda Metro Jaya menghubunginya agar segera bergerak menuju lokasi jebolnya Situ Gintung. Bagi HILMI, ketika terjadi sebuah bencana alam, maka hal yang pertama dilakukan adalah membersihkan Masjid yang berada di lokasi, untuk kemudian dijadikan Posko Kemanusiaan. Itu merupakan hal sama seperti yang dahulu dilakukan oleh Habib Rizieq ketika bencana Tsunami melanda Aceh tahun 2004. Berangkat dari berbagai cerita perjalanannya tersebut Habib Ali pun berpesan kepada jamaah agar terus berbuat baik dimanapun dan kapanpun, sebisa-bisanya, karena sesuai dengan janji Allah; in ahsantum ahsantum lianfusikum wa in asa’tum falahaa. Jika kita berbuat baik, maka kebaikan akan kembali ke dalam diri kita. Begitu juga sebaliknya, jika kita berbuat buruk, maka keburukan itu akan kembali kepada kita. Selain itu, Habib Ali juga menyampaikan keheranannya terhadap cara media massa memberitakan FPI dan Habib Rizieq.

Menjalang pukul 3 dini hari suasana terus menghangat, seruan “takbir” yang biasanya diteriakkan oleh para petinggi FPI pada kesempatan ini dilakukan pula oleh Cak Nun. Cak Nun mengajak jama’ah Kenduri Cinta untuk bertakbir selama 3 kali. Dan, Cak Nun berpesan 2 hal kepada jama’ah sebagai bekal. “Pertama, tolong yang sempat, pelajari surat Al Hujurat”, tutur Cak Nun. Pesan ini disampaikan agar jama’ah bisa semakin jernih membaca fenomena, situasi, dan informasi dari apapun saja yang disebarluaskan oleh media massa. Seperti halnya tentang FPI, dari cerita yang dijelaskan oleh Habib Ali Al Hamid tadi ternyata terlihat jarak sangat luas yang memisahkan pemahaman kita tentang FPI dengan apa yang kita ketahui dari media massa.

Dalam menyerap informasi sehari-hari pun kita memerlukan Khandaq-Khandaq yang juga canggih. Karena, salah satu penyebab ketidakfahaman masyarakat akan sebuah informasi salah satunya adalah akibat dari tidak jernihnya dan tidak seimbangnya informasi yang ia terima. “’asaa an tuhibbu syaian wa huwa syarrun lakum wa ‘asaa an tukrihuu syai’an wa huwa khoirun lakum. Ini merupakan rumus hidup yang sangat praktis, karena hidup itu sangat dinamis dan ini harus kita pakai terus. Apa yang kamu benci jangan-jangan itu baik bagimu, dan apa yang kamu sukai jangan-jangan itu adalah yang membahayakan bagimu. Ini terus menerus kita pakai”, lanjut Cak Nun.

“Di dalam Al Qur’an tidak ada perintah Allah kepada manusia untuk menjadi Pemimpin. Yang ada dalam Al Qur’an adalah belajar bagaimana cara memilih pemimpin. Yang ada didalam Al Qur’an adalah memilih, bukan dipilih.”,
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Februari, 2017)

CAK NUN lantas bercerita bagaimana beberapa bulan lalu salah satu tokoh aparat negara menemui beliau, dan kemudian oleh Cak Nun dilontarkan sebuah pertanyaan: seandainya Ahok akan diperjuangkan untuk dimenangkan di pengadilan dan di Pilkada, apakah sudah disimulasikan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dan solusi-solusi yang akan diambil? Tokoh aparat Negara tersebut spontan menjawab: sedang dipersiapkan, Cak. Kilah pertanyaan Cak Nun itu dijawab dengan jujur oleh aparat tersebut. Padahal, pertanyaan sesungguhnya yang dilontarkan oleh Cak Nun untuk dicari konfirmasinya adalah: apakah benar ada rencana untuk memenangkan Ahok di pengadilan dan Pilkada?

Kepada aparat kepolisian, Cak Nun pernah menyampaikan bahwa seharusnya Polisi adalah aparat negara bukan aparat pemerintahan. Sebagai aparat negara, maka Polisi wajib menjaga negara dan rakyat yang ada di dalam rumah negara itu agar tidak terganggu oleh siapapun saja. Jadi, siapapun yang mengancam keutuhan negara dan keselamatan rakyat, maka Polisi adalah pihak yang bertanggung jawab untuk mengamankannya. Tetapi, pada faktanya, Indonesia hari ini adalah negara yang dipenuhi oleh orang-orang yang ngawulo, yaitu orang-orang yang tunduk dan takut kepada penguasa, bukan kepada negara.

Begitu juga dengan partai-partai yang ada di Indonesia hari ini, PDIP mau bagaimanapun kelak, maka yang menjadi pimpinan PDIP harus keturunan Bung Karno. Begitu juga dengan Partai Demokrat, hingga kapanpun nanti yang menjadi pimpinan Partai Demokrat adalah keturunan SBY. Dan, yang terbaru, Hari Tanoe pun sedang membangun sebuah dinastinya sendiri, yang kita lihat juga hari ini dia bergerilya ke pesantren-pesantren dan masjid-masjid, membujuk para Kiai agar ia diterima dan diizinkan untuk berpidato di depan para santri-santrinya.

Cak Nun menceritakan bahwa salah satu kebaikan yang dilakukan oleh Soeharto adalah ia tidak melakukan politik dinasti seperti yang terjadi hari ini. Soeharto secara legowo memutuskan untuk tidak menjadikan GOLKAR sebagai alat politik dinasti yang dikuasai oleh keturunannya. Itu terjadi sejak tahun 1989.

“Anda ini dikasih perangkat-perangkat sama Allah yang fungsinya itu untuk dijadikan sensor. Misalnya lidah, ini merupakan sensor untuk kesehatan kita”, lanjut Cak Nun merespon paparan jama’ah terkait fenomena kurangnya filter masyarakat terhadap informasi yang mereka terima. Cak Nun mengingatkan bahwa terhadap informasi yang beredar saat ini, kita harus memiliki sensor dalam diri kita masing-masing sehingga kita mampu memilah mana informasi yang benar dan mana yang salah.

Seperti halnya lidah sebagai sensor kesehatan bagi tubuh manusia, maka sensor terhadap informasi yang ada dalam diri kita ahrus kita tumbuhkan dan harus kita latih terus menerus agar kita mampu membatasi diri kita dari hujan informasi yang begitu deras hari ini. Cak Nun juga mengkritisi filsafat modern yang membeda-bedakan antara sains, estetika dan agama, padahal seharusnya ketiga hal tersebut merupakan satu kesatuan metabolisme. Ilmuwan juga merupakan seorang rohaniawan, begitu juga dengan seniman, sastrawan dan lain sebagainya. Sensitifitas ruhiyah memang harus kita latih agar kita tidak mudah tekontaminasi oleh informasi yang tidak jernih. Semakin kita latih kepekaan dalam diri kita, semakin kita membatasi kemungkinan-kemungkinan kita untuk terjebak dalam informasi yang salah.

Salah satu dilema Ummat Islam saat ini adalah apabila kita menyampaikan kebaikan-kebaikan yang kita lakukan, orang akan menganggap kita riya’. Sementara, jika kebaikan-kebaikan yang kita lakukan tidak kita informasikan, maka orang hanya akan melihat keburukan-keburukan yang kita lakukan. “Kita harus punya keseimbangan, kapan informasi itu kita sampaikan. Makanya matriks hukum 5 dalam islam; wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram itu untuk bekal presisi di dalam setiap langkah sosial kita”, lanjut Cak Nun.

Kemudian, yang juga merupakan inti persoalan Indonesia hari ini adalah hilangnya presisi setiap pemangku kebijakan yang ada di Indonesia. Dikiranya apabila mereka berkuasa, maka presisi yang diaplikasikan adalah presisi partainya, presisi kelompoknya, presisi kepentingannya. Padahal, seharusnya presisi yang diaplikasikan adalah presisi NKRI. Siapapun yang berkuasa di Indonesia, maka presisinya adalah NKRI.  Dan, Ummat Islam harus memahami presisi dalam proses pemilihan pemimpin, bahwa urusannya adalah mencari pemimpin bukan menjadi pemimpin, bukan supaya dipilih melainkan bagaimana caranya memilih. Maka urusan Pilkada ini bukan hanya sebatas kandidat yang bersaing, bahkan lebih luas dari itu, yakni apakah rakyatnya pernah belajar memilih pemimpin atau tidak?

Menjelang pukul 4 dinihari Cak Nun mengajak semuajamaah Kenduri Cinta berdiri dan bersholawat bersama-sama. Meski kebanyakan yang hadir tidak tampak memiliki potongan agamis, tetapi ketika Cak Nun mengajak bersholawat, semuanya sangat bersemangat dan lantang menungkapkan rasa cinta kepada Rasulullah SAW. Kenduri Cinta pun dipuncaki doa bersama yang dipimpin oleh Habib Ali.