Astina Menuju Senja

PAMOR POLITIK Prabu Duryudana tidak berkurang meskipun sang Putra mahkota Lesmana Mandrakumara menerima kekalahan dalam pencalonan menjadi Senopati Kurawa pada perang Baratayuda. Sebaliknya, Prabu Duryudana justru menjadi play maker di tengah kancah perpolitikan Astina.

Bahkan, Ibu Gendari yang sedang jatuh hati pada kepiawaian dan ketangguhan Basukarna dalam bertarung dan bersiasat, terpaksa mesti menggantungkan nasib calon Senopati besutannya itu kepada Sang Prabu Duryudana. Meskipun Prabu Duryudana tidak begitu akur dengan sang Ibu, namun dalam situasi seperti ini hanya mengandalakan Prabu Petruk Palsu sepertinya terlalu berisiko untuk kelangsungan Kurawa. Ibu Gendari memang selalu mementingkan dirinya sendiri. Sejak dahulu dianggapnya urusan Astina hanyalah urusan Kurawa saja. Karena itu pula arah politik Prabu Duryudana berbeda dengan sang Ibunda.

Di era keterbukaan informasi, publik semakin pintar dalam menilai sepak terjang para wayang-wayang politik. Kurawa dan Pandawa tidak lagi dinilai dengan kacamata hitam-putih. Kurawa tidak lagi dituduh salah 100% dan Pandawa-pun tidak dianggap benar 100%.

Begitu pula dengan era demokrasi saat ini, dimana kepercayaan publik bahwa suara rakyat adalah suara tuhan semakin kuat. Karenanya perang Baratayuda sekalipun seakan dapat dirancang melalui deal-deal politik yang dilangsungkan oleh para elite. Wayang-wayang politik bergerak pragmatis tidak lagi menuruti pakem pedalangan. Akselerasi politik tokoh-tokohnya praktis hanya memperjuangkan kepentingan pribadi dan golongannya semata. Skenario dan adegan-adegan politik yang terjadi bukan merupakan sebuah rangkaian kontinyu dari rentetan sejarah yang baik untuk kelak diwariskan kepada generasi penerus.

Yang terjadi hanyalah fragmen-fragmen yang tidak sambung antara satu adegan dengan adegan lainnya. Tiba-tiba ada adegan Pandita Durna dituduh makar, Sengkuni mengancam Duryudana, Burisrawa dan Kartamarma  bekerja sama, Srikandi merayu Butho Cakil, Samba menyamar menjadi Kakek Basudewa melakukan perang tanding melawan Basukarna, sementara Arjuna dan Sri Kresna sedang dipingit dalam hutan belantara oleh Punakawan supaya tidak masuk ke pusaran perpolitikan Amarta-Astina. Yang pagi hari dihina, siang hari bisa dipuja-puja. Sore hari bekerjasama, malamnya bermusuhan diantara mereka. Berperan brahmana namun polah-tingkahnya sudra, pakaiannya satria namun lelakunya denawa. Protagonis berlaku antagonis, antagonis mengaku protagonis.

Nasib Astina sedang menuju senja, namun Yamawidura tetap optimis terhadap fajar dari anak-cucu Pandawa yang kelak akan mewarisi Hastinapura. “Jika Baratayuda berlangsung di Padang Kurusetra  tidak akan ada yang dapat menghindarkan perang saudara Pandawa-Kurawa.  Diantara mereka sama-sama mengaku yang paling benar dan paling berhak atas Astina. Meraka akan saling menggalang kekuatan untuk saling berusaha membunuh lawan yang tidak lain adalah saudara mereka sendiri. Kalian anak-anak dari Pandawa akan menjadi korban dari perang saudara Baratayuda yang dipupuk oleh orang-orangtua kalian. Pandawa pasti menang dalam Baratayuda, tapi bagaimana dengan kalian menghadapi Baratayuda dan bagaimana nasib Hastinapura setelahnya?” Di hadapan Gatotkaca, Abimanyu, Antasena, Antareja dan Wisanggeni, Yamawidura menyampaikan pertanyaan kepada anak-anak dari Pandawa itu.

“Kakek Yamawidura, apakah Baratayuda harus terjadi?  Sekiranya Kakek bersedia mengambil hak sebagai pewaris tahta Hastinapura, pastinya akan lain cerita. Kakek Yamawidura mungkin dapat mendamaikan Pandawa-Kurawa dan membatalkan Baratayuda, meskipun itu melanggar pakem.” Abimanyu bukanya menjawab pertanyaan dari  Yamawidura, tapi justru mengalihkan pembahasan.

“Bimanyu, seenaknya kamu kasih usul. Kakek Bisma, Ibu Gendari, Guru Durna, Paman Prabu Duryudana dan Balakurawa pasti tidak setuju. Bahkan orangtua kita Pandawa juga belum karuan setuju.” Gatotkaca langsung menyangah usulan sepupunya.

“Pandawa kok dibela, kam pasti menang, katanya. Toh kalaupun perang Baratayuda terjadi, kita bakal yang jadi korban. Selagi ada kemungkinan untuk menghindari Perang Baratayuda apa salah?” Antasena menimpali dengan argumennya.

“Kalau usul ya jangan hanya usul. Konsekuensinya mesti harus mendukung si Mbah ketika kemudian ditentang kanan-kiri.” Antareja menambahi.

Wealah ini malah ribut sendiri. Kakek Widura, setelah Baratayuda semestinya Amarta akan lebur kembali dan mewarisi Hastinapura. Hastinapura semestinya akan mendapat banyak pelajaran dari perang saudara itu. Dan yang terpenting pada gilirannya setiap orang akan mengakui bahwa setiap usaha kita yang tidak berkesesuaian dengan Kehendak Sang Maha Kuasa sebagai faktor utama setiap usaha kita hanya akan berujung kehancuran. Yang dapat kita lakukan saat ini hanya sebatas menjalankan peran sesuai dengan peran kita masing-masing dengan berusaha supaya benar, baik dan indah. Namun, kalau yang kita inginkan adalah perang tentu itu tidaklah benar.” Wisanggeni berusaha menjawab pertanyaan Kakek Yamawidura.

“Benar Wisanggeni. Ditengah kondisi penuh tipu daya dan kepalsuan, orang-orang sangat mungkin keliru-keliru dalam menentukan peran. Bisa jadi yang dituduh Gendari ternyata Kunthi, yang diduga Duryudana ternyata Yudistira, dan yang disangka Lesmana ternyata Pancawala. Apalagi kondisi saat ini semuanya berusaha berperan sebagai Pandawa. Jadi sebelum Baratayuda, perang-perang yang terjadi saat ini berupa Pandawayuda.” Yamawidura melanjukan penjelasannya sembari melemparkan pandangannya kearah ibukota dari balik jendela. Lantas Yamawidura kembali menghadapkan badannya kearah anak-anak Pandawa. “Bagaimana jika Baratayuda dapat kalian masukan dalam diri kalian? Biarkan peperangan yang terjadi hanya berada di dalam diri, sehingga keluarnya berupa sikap penuh kedamaian.”

“Tapi bukan berarti membiarkan Kurawa berbuat tidak adil kepada Pandawa-kan?” Gatotkaca menyambar dengan pertanyaan.

“Tentu tidak. Namun mesti proporsional dan berimbang dalam bersikap. Ketika semuanya mengaku sebagai Pandawa tentu kita akan kerepotan menentukan siapa Kurawanya. Bagaimana jika Limasila jadi acuan pembeda mana Kurawa mana Pandawa?” Antasena mengajukan usul.

Sudah-sudah sekedar mengenali Pandawa-Kurawa saja masih minta petunjuk, tapi sudah minta Baratayuda. Mending kita bagi tugas sebagian menemani Kakek Yamawidura, sebagian mengamankan Samba yang sedang bertarung melawan Basukarna, sebagian menjemput Arjuna dan Sri Kresna yang dipingit oleh Punakawan.” Wisanggeni lantas melanjutkan. “Pada situasi Hastinapura seperti sekarang ini tidak mungkin kita hanya sekedar mengharapkan solusi dari Petruk Palsu. Rapatkan barisan berlaku sesuai peran, Sri Kresna pasti tahu apa yang mesti dilakukan dan Kakek Yamawidura monggosilahkan. Sementara aku akan menghadap Sang Hyang Wenang semoga usaha yang sedang kita lakukan berkesesuaian.” Wisanggeni menutup perbincangan.

Tentu situasi dan kondisi yang sedang terjadi di Negeri Hastinapura tidak sama dengan apa yang sedang terjadi di tempatku berdiri, Negeri Indonesia. Di sanalah para kesatria politiknya sedemikian rupa sportif dalam berbagai ajang pertarungan politik. Mereka senantiasa mengedepankan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi maupun golongan. Di sana aparatur negara begitu paham beda antara Pemerintah dan Negara sehingga tidak ada tumpang tindih kepentingan kekuasaan. Demokrasi-rakyatnya berjalan sangat berdaulat sehingga tidak dapat diintervensi oleh kepentingan pemodal lokal maupun asing. Mental individu-individunya berbudi luhur, sehingga kepatuhan dan ketaatan terhadap hukum dan perundang-undangan berjalan secara otomatis. Jika tidak begitu kemungkinan di sana itu bukan Indonesia yang mulia, semoga saja itu bukan Hastinapura yang sedang memupuk Baratayuda.