Mukadimah: TANDHUR WAL TANDZUR

TANDHUR ADALAH kata untuk menyebut para petani ketika mulai menanam bibit padinya di sawah. Tandhur, seringkali dikerjakan khusus para petani perempuan, berjajar membentuk barisan, membungkuk dan berjalan mundur sambil menancapkan batang padi di lumpur sawah. Sehingga mutlak butuh kehati-hatian dan presisi, baik untuk lurusnya tanaman dan terjaganya tubuh setiap melangkah.

Orang-orang di perdesaan menemukan musim Tandhur berarti musim kedamaian, musim harapan dan tanam keyakinan bahwa sebentar lagi akan mengalami masa-masa sulit, paceklik atau musim merawat dan menyiangi tanaman, dan kemudian merasakan kebahagiaan yaitu ketika sudah masuk musim panen. Musim Tandhur selalu diiringi suasana sejuk dan curah hujan yang dianggap cukup.

Orang desa, selalu berpegang teguh pada prinsip, apa yang ditanam itulah yang akan diunduh. Menanam dalam peribahasa arab dikenal dengan sebutan, zaro. Manzaro’a hashoda, barang siapa menanam pasti mengetam.

Tandhur, bukan sebatas menanam. Tandhur sebagai sikap dan kesiapan memanen adalah proses yang mesti punya keseriusan sejak dari kemampuan membaca musim, mengolah tanah, menyeimbangkan air dan memilih bibit, merawat dengan kesungguhan dan keuletan hidup yang hanya dimiliki para petani, serta perencanaan yang matang untuk mendapat panen maksimal.

Karena unsur Tandhur yang begitu kompleks, para petani wajib memiliki jiwa membersamai. Tandhur bukan mengeksploitasi tanah. Melainkan sebagai upaya memandang dengan penglihatan yang mendalam.

Kata Tandhur dalam vokabuler bahasa arab juga dikenal dengan arti memandang sesuatu dengan pemikiran mendalam, bukan parsial apalagi sebatas wadak. Kita dapat mentadaburi Al Qur’an surah al hasr ayat (18) mengenai pengertian Tandhur ini.

Yaa ayyuhaa alladziina aamanuu ittaquu allaaha waltandhur nafsun maa qaddamat lighadin waittaquu allaaha inna allaaha khabiirun bimaa ta’maluuna.

(Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan).

Dalam ayat ini kata tandhur menekankan seruan agar manusia memperhatikan apa yang diperbuat untuk mempersiapkan hari esok dengan didasari keimanan dan ketaqwaan. Hari esok adalah kehidupan masa depan akhirat. Kehidupan abadi pasca kehidupan dunia.

Allah Subhaanahu wa Ta’aala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk melakukan kehendak dari keimanan dan konsekwensinya yaitu tetap bertakwa kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala, dalam keadaan rahasia maupun terang-terangan dan dalam setiap keadaan serta memperhatikan perintah Allah baik syariat-Nya maupun batasan-Nya serta memperhatikan apa yang dapat memberi mereka manfaat dan membuat mereka celaka serta memperhatikan hasil dari amal yang baik dan amal yang buruk pada hari Kiamat. Karena ketika mereka menjadikan akhirat di hadapan matanya dan di depan hatinya, maka mereka akan bersungguh-sungguh memperbanyak amal yang dapat membuat mereka berbahagia.

Kalimat pesan Sayyidina Ali RA  “unzdur manqola wala Tandzur manqola” (Perhatikan apa yang dikatakan dan bukan memperhatikan siapa yang mengatakan), juga  menemukan relevansinya dalam kehidupan masyarakat desa. Sehingga baik pesan yang tersurat dalam ayat 18 surah Al Hasr maupun petikan ilmu hikmah dari pernyataan dari Ali RA, sangat relevan diangkat sebagai tema Maiyah Dusun Ambengan untuk mempelajari hakekat Tandhur orang-orang desa. Menanam segala bentuk kebajikan, kebaikan dan kemanfaatan dan bahkan tak pernah melihat yang ditanam sebagai puncak kebaikan setiap pribadi, mesti melekat pada jiwa serta mejadi kesadaran orang-orang Maiyah.

Pada masyarakat desa, dikenal esensi “hanya orang-orang Tandhur yang mampu mendapatkan kemuliaan hidup.” Sebab, keberuntungan mesti dilalui dengan proses menanam, hati-hati, berjalan pelan agar mendapat kongklusi yang benar.

Ada istilah Al Quran tentang kata keberuntungan atau “al falah”, dimana berasal dari kata “membelah.” Membelah tanah adalah proses penting yang harus dilakukan petani sebelum Tandhur. Maka tak mengherankan bahasa arab petani adalah “falahun”.

Mengapa banyak ayat Al Quran mencontohkan keberuntungan dengan istilah petani atau dunia pertanian? Beruntungnya petani ketika menanam satu bulir padi, kemudian mampu menghasilkan beratus-ratus biji gabah? Manusia jika meminjam kearifan masyarakat Desa adalah orang yang hanya menanam. Wongkang Nandhur.

Kita juga sejatinya hanya sebatas menanam. Baik Tandhur kebaikan, kebajikan maupun ada juga yang terjebak dalam laku menanam berbagai benih keburukan. Dalam khasanah ilmu maiyah, Guru Emha Ainun Nadjib menandaskan dengan kalimat kunci “kewajiban manusia adalah menanam, sedangkan panennya pasrahkan sepenuhnya kepada hak Allah SWT”.

Dalam konteks pemaknaan yang lebih subtantif,lainnya, cak Nun juga mewanti-wanti, bahwa kehidupan di bumi ini adalah semacam “out bond”, untuk menuju kehidupan di kampung halaman sejati surga.

Sedikit sekali manusia yang sadar diri sedang melakukan Tandhur, akan tetapi rumus kehidupan dalam ajaran Islam sudah jelas. Manusia menanam jauh lebih mulia daripada orang yang berpangku tangan dan hanya menerima panen dari tanaman orang lain. Karena pentingnya menanam, sampai-sampai Rasulullah menyuruh umatnya tetap menanam, meskipun kiamat sudah dekat. “Jika datang hari kiamat dan di tangan salah seorang kalian ada fasilah (bibit kurma) maka tanamlah.”

Tidak berlebihan ketika majelis rutin digelar di tengah Desa ini berusaha mendedah makna Tandhur sebagai kebersamaan untuk mencari berbagai buah-buah kebaikan, kebajikan dan terus memproduksi amal ibadah yang bernilai bagi kemanusiaan. Mari melingkar dan berkumpul, ngaji bersama Majelis Maiyah Dusun Ambengan di Rumah Hati Lampung, Metro Kibang, Lampung Timur, Sabtu malam, 18 Februari 2017 jam 19.30 WIB.