DOSA KEJUJURAN

Reportase Kenduri Cinta MEI 2019

Kerinduan yang menggembirakan. Itulah suasana yang tergambar pada setiap Kenduri Cinta diselenggarakan. Wajah-wajah orang Maiyah yang bahagia, penuh kerinduan karena kembali berkumpul. Berbagai beban problematika sejenak ditanggalkan. Kenduri Cinta layaknya oase di tengah keramaian hiruk-pikuk ibukota.

Meski diselenggarakan pada bulan puasa, namun suasana malam itu tak banyak berbeda dari biasanya. Selepas Magrib, sebagian jamaah melaksanakan salat tarawih di masjid tak jauh dari lokasi panggung. Sebagian lagi reriung di sekitaran plasa sembari menunggu maiyahan dimulai, mereka bercengkerama, menikmati kudapan-kudapan yang dijajakan para pedagang kaki lima.

Forum diawali dengan pembacaan surat Yaasin, dilanjutkan dengan lantunan shalawat dan wirid. Jamaah khusyuk, larut bermunajat kepada Allah, menyambut kehadiran Rasulullah Saw. Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’ma-l-maula wa ni’ma-n-nashiir. Dosa Kejujuran, itulah tema yang diangkat pada Kenduri Cinta edisi Mei 2019. Apa maksudnya? Apa tujuan tema itu diangkat? Memang paradoks, jujur kok dosa? Tapi orang Maiyah tidak rumit dalam membaca tema. Orang Maiyah tidak pernah merasa rugi. Banyak hal yang didapatnya. Anggap saja tema hanya pijakan awal. Maiyah menawarkan banyak khasanah ilmu yang bisa dibawa pulang sebagai bekal.

Adi Pudjo ikut menekankan itu di awal diskusi, bahwa tujuan kita datang ke Kenduri Cinta adalah untuk belajar bersama (sinau bareng). Maka, kita semua lah yang akan mencari maksud apa yang terkandung dari tema. Jamaah lainnya, Dicky Wisnu, menempatkan tema sebagai perenungan ke dalam diri masing-masing. Menurutnya, dinamika kehidupan tentu terdapat momen di mana ada benturan antara jujur dan tidak jujur.

Kejujuran ini memang kian banyak dibicarakan. Terutama terkait proses penghitungan suara, tema perdebatan soal kejujuran atau ketidakjujuran. Idealnya, jika semau elemen yang terlibat dalam proses pemilihan umum berpijak pada asas kejujuran, maka tidak akan ada polemik berkepanjangan.

“Bijaksana terhadap apa yang kita ketahui dan rendah hati terhadap apa yang kita tidak ketahui,” Cak Nun pernah berpesan. Dalam konteks tertentu, tidak semua kejujuran itu menjadi suatu yang baik. Ada kebenaran yang harus kita simpan dan tidak bisa disampaikan untuk kebaikan bersama, ada juga kebenaran yang memang harus disampaikan dengan jujur demi kebaikan bersama. Kita musti menimbang, mana kebenaran yang musti disampaikan dengan kejujuran, dan mana kebenaran yang harus disimpan dengan kejujuran.

Pramono Abadi menggambarkan keadaan di tempat kerja, dimana saat dirinya mengutamakan kejujuran malah diremehkan oleh para kolega. Kondisi itu yang menurutnya sebagai Dosa Kejujuran. Kejujuran menjadi sebuah kesalahan, sementara ketidakjujuran dianggap kewajaran karena telah terbiasa. Pendapat Pramono direspon oleh Dwi, jamaah asal Pondok Bambu, bahwa kejujuran dalam dunia kerja akan berhadap-hadapan dengan kebutuhan.

Suasana diskusi terasa sangat dinamis sejak sesi prolog. Jamaah interaktif saling merespon paparan para penggiat. Seperti itulah maiyahan, tidak ada narasumber utama, semua yang hadir adalah narasumber bagi yang lain. Khasanah ilmu di Maiyah tidak terbatas bagi beberapa orang saja, setiap orang berhak untuk menyampaikan apa saja, tanpa ada batasan, tanpa ada sekat, tanpa ada larangan. Masing-masing akan mengukur sendiri informasi mana yang layak untuk disampaikan dan mana yang tidak.

Memperkaya nuansa forum, kelompok musik Silaturasa yang digawangi oleh Krist tampil membawakan beberapa lagu yang diaransemen dangdut. Tabuhan gendang mengalun mengiringi gitar dan bass yang dimainkan. Silaturasa menyegarkan suasana, tidak ada yang berjoget berlebihan, jamaah menikmati dengan kadar yang tepat.

“Yang bisa dikendalikan adalah akalmu, alam bawah sadarmu tidak bisa dikendalikan.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2019)

AKTIVASI MALAIKAT

FORUM malam itu dilanjutkan dengan hadirnya Ust. Noorshofa di Kenduri Cinta. Beliau mengawali dengan menukil sebuah hadits Rasulullah Saw dimana ada tiga kelompok manusia yang akan merugi di hari akhir nanti. Ketiga kelompok itu adalah orang yang tidak ber-shalawat saat nama Rasulullah Saw disebut, Kedua, orang ketika Ramadan berakhir namun dosa-dosanya belum terampuni, Ketiga, orang yang diberi kesempatan untuk hidup bersama kedua orang tuanya, tetapi tidak memanfaatkannya untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya.

Ust. Noorshofa menyampaikan, seluruh ibadah yang kita lakukan seumur hidup tidak akan menjamin kita masuk surga. Dalam hadits yang lain, Rasulullah Saw menyampaikan bahwa satu-satunya yang menyebabkan kita dimasukkan ke surga oleh Allah adalah rahmat yang Dia berikan.

Ada sebuah kisah, Fulan seorang ahli ibadah, suatu hari didatangi oleh malaikat, kemudian ia menyampaikan berita dari Allah bahwa Fulan ini adalah ahli neraka. Fulan menjawab, “Alhamdulillah.” Malaikat tercengang, Fulan mengatakan, “Saya ibadah bukan mengharapkan surga, saya ibadah mengharapkan rida Allah. Kalau Allah rida saya masuk neraka, maka saya pun rida.” Ucapan alhamdulillah yang diucapkan Fulan seketika mengubah takdirnya, di lauhil mahfudz namanya tertulis di daftar ahli surga. Ketika malaikat bertanya kepada Allah mengapa demikian, Allah mengatakan bahwa ucapan “Alhamdulillah” yang diucapkan itulah yang menyebabkan ia menjadi ahli surga.

Tak lama, Cak Nun hadir menyapa jamaah, “Saya mohon kepada Allah Swt, dalam keadaan apapun saja, susah atau senang, tenang atau rebut, tanah bergoyang atau tidak, siang atau malam, apapun saja keadaan yang Anda alami, Allah berkenan untuk mengaktivasi sekumpulan malaikat yang mengelilingimu masing-masing bersama keluargamu. Tetap membuat Anda stabil rizqi-nya, tetap membuat Anda sehat badannya, sehat akal pikirannya, dan penuh iman dan taqwa hatinya, rukun keluarganya, dan semua yang Anda perlukan selama masa ujian di dunia. Allah memerintahkan secara khusus kepada para malaikat yang mengawal Anda untuk melindungi dan mengaplikasi semua yang Anda harapkan dari Allah Swt. Ilaa hadzihi-n-niyah as-sh-sholihat, wa ilaa hadroti-n-nabii al-musthofa Rasulillah Muhammad Saw, Al Fatihah” Cak Nun lantas meminta beberapa jamaah maju ke depan untuk memimpin shalawatan. Tiga orang kemudian maju bergabung ke panggung.

Sebelum shalawatan, Cak Nun sampaikan sebuah penelitian bahwa dalam kesadaran manusia memiliki kemampuan merekam 40 frame kejadian atau peristiwa dalam satu detiknya, sementara pada alam bawah sadarnya ada sekitar 1,2 juta peristiwa yang mampu terekam. Data yang tersimpan di alam bawah sadar itu lah yang seringkali terlontar secara spontan saat kita ditanya tentang sesuatu. Saat manusia mengambil keputusan, sesungguhnya merupakan hasil dari pertarungan antara yang 40 melawan 1,2 juta informasi itu.

Shalawat ini tidak usah terlalu dipikir-pikir, tidak usah terlalu diolah dengan logika, atau diolah akal, karena dia letaknya di bawah sadar,” Cak Nun melanjutkan, “Yang bisa dikendalikan adalah akalmu, alam bawah sadarmu tidak bisa dikendalikan.” Maka, setiap keputusan ada baiknya dipertanyakan kembali, apakah diambil berdasarkan aktivasi alam sadar atau alam bawah sadar. Seringnya, manusia tidak menggunakan akalnya untuk mengkonfirmasi ulang.

“Allah mengatakan: Aku tidak memberikan ilmu kepadamu kecuali sangat sedikit. Maka itu urusannya adalah yang 40 frame. Jadi Anda jangan terlalu mengandalkan ilmu dalam konteks bahwa sesungguhnya Anda itu dikuasai oleh bawah sadarmu secara terus menerus,” tambah Cak Nun.

Dzikir dan shalawat menjaga kewasapadaan kita, sehingga kita tidak akan berani apalagi terlalu berani kepada Allah.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2019)

“CARA menggunakan akal adalah berlatih seperti pada maiyahan ini. Kita mengelaborasi, kita menemukan komprehensi, kita menemukan bermacam-macam hal. Kita menemukan apa bedanya fakta, makna, kenyataan dan seterusnya, kita hitung secara akal. Tapi kalau bawah sadarmu, kamu tidak bisa melakukan birokrasi dengan logic Anda,” lanjut Cak Nun.

“Nah satu-satunya cara menguasai alam bawah sadarmu adalah bergantung kepada Allah. Itulah sebab kita ber-shalawat, itulah sebabnya Anda ber-dzikir, itulah sebabnya Anda salat. Jadi kalau Anda salat, tidak perlu tanya-tanya lagi, ngapain kok takbir, ngapain kok rukuk, ngapain kok sujud dan seterusnya. Anda lakukan saja, karena itu sebenarnya urusannya adalah bawah sadar,” Cak Nun menjelaskan.

“Kalau Anda difitnah, dan orang yang memfitnah Anda tidak mau berhadapan langsung dengan Anda, itu urusannya bawah sadar. Jadi, cara mengolah bawah sadar adalah mengaktivasi malaikat Allah, agar supaya mereka yang menata komposisi bawah sadar itu sampai dia kompatibel dengan kehendak Allah,” tambah Cak Nun.

Penelitian itu sekaligus membantah ilmu modern bahwa seluruh informasi yang diserap manusia tersimpan pada salah satu bagian otak manusia. Karena ketika manusia mati, praktis seluruh organ tubuh manusia juga akan mati dan selesai tugasnya, dan tidak berfungsi lagi. Maka, ketika manusia mati, alam bawah sadar manusia yang akan menjadi modal manusia ketika berhadapan dengan malaikat Munkar dan Nakir. Maka, ketika ada pertanyaan: man robbuka? Yang bekerja untuk menjawab bukanlah ingatan atas sadar, melainkan ingatan bawah sadar manusia.

Dan tentu saja, tidak bisa kita bayangkan bahwa kelak nanti kita akan menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat itu dengan mulut kita, karena secara jasad tubuh manusia ketika sudah mati, kemudian dikubur akan hancur. Maka akan ada satu sistem kehidupan baru, ia bertransformasi ke dalam kehidupan yang lebih tinggi dari sekadar kehidupan jasad.

Maka, jika selama hidup di dunia kita selalu ditemani dengan iman, taqwa, dzikir, shalawat dan seterusnya, di alam bawah sadar kita akan tertanam informasi-informasi yang sangat berguna pada proses transformasi kehidupan kelak. Seluruh informasi yang tersimpan di alam bawah sadar kita akan kompatibel dengan Allah. Menjawab pertanyaan man robbuka bukan lah jawaban yang kita latih setiap hari, melainkan muncul berdasarkan informasi alam bawah sadar kita.

Cak Nun menjelaskan bahwa posisi shalawat itu seperti sebuah voucher. Manusia tidak akan mungkin mampu menghadap Allah tanpa melalui Rasulullah Saw. Seperti yang dijelaskan oleh Ust. Noorshofa sebelumnya, bahwa untuk masuk surga bukan berdasarkan atas ibadah yang kita lakukan selama di dunia, melainkan atas rahmat Allah Swt. Dan untuk mendapatkan rahmat Allah itu caranya adalah dengan ber-shalawat kepada Rasulullah Saw, kekasih Allah. Dan shalawat itu urusannya adalah cinta. Cinta itu merupakan ujung dari rahmat Allah Swt kepada manusia. Kita memerlukan “vouchershalawat itu, karena kita tidak bisa hanya mengandalkan ibadah kita di dunia ketika menghadap Allah.

Cak Nun melanjutkan, Alquran merupakan wahyu yang ditujukan kepada manusia melalui wasilah Rasulullah Saw. Secara tegas Allah menyatakan di dalam Alquran: Yaa ayyuha-n-naas, Yaa ayyuha-l-ladziina aamanu dan seterusnya. Sangat jelas dan gamblang bahwa ayat-ayat Alquran adalah wahyu yang ditujukan kepada manusia. Dzikir dan shalawat menjaga kewasapadaan kita, sehingga kita tidak akan berani apalagi terlalu berani kepada Allah.

“Kalau Anda minta doa kepada saya, kemudian terkabul itu bukan karena saya, melainkan karena Allah yang mengabulkan.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2019)

“ANDA tahu bahwa hidup itu komanya tidak hanya satu,” Cak Nun melanjutkan dengan menyoroti fenomena perilaku manusia yang terlalu tergesa-gesa menyimpulkan informasi tanpa melakukan konfirmasi. Dalam Alquran: fawailul li-l-musholliin, ayat tersebut belum selesai meskipun itu sudah lengkap satu ayat, karena penjelasannya ada pada ayat selanjutnya: alladziina hum ‘an sholaatihim saahuun, bahkan juga bersambung ke ayat setelahnya: alladziina hum yuroo uun, kemudian dipuncaki ayat terakhir: wa yamna’uuna-l-maa’uun.

Malam itu ia juga merespon video yang tengah viral. Cak Nun menjelaskan bahwa dua kali ke Istana Negara, yang pertama urusannya adalah untuk meminta Soeharto turun dari jabatannya sebagai Presiden, kemudian yang kedua adalah meminta Gus Dur segera keluar dari Istana dan kembali ke rumahnya setelah dilengserkan melalui sidang di parlemen. Cak Nun mengakui bahwa ada banyak hal yang disampaikan seringkali menjadi bias dan disalahartikan. Contohnya, jika ada orang yang sakit keras, kemudian dibesuk Cak Nun, beberapa saat kemudian orang yang sakit itu meninggal dunia. Karena informasi itu, seorang artis suatu kali bertemu dengan Cak Nun, meminta kepada Cak Nun agar jika ia sakit jangan sampai ia menjenguknya.

“Hal-hal seperti ini yang sering menjadi bias informasi di masyarakat. Karena Anda tahu bahwa saya tidak punya kemampuan apa-apa. Kalau Anda minta doa kepada saya, kemudian terkabul itu bukan karena saya, melainkan karena Allah yang mengabulkan. Ketika Anda meminta doa untuk sakit Anda, kemudian sembuh, bukan berarti saya yang menyembuhkan,” lanjut Cak Nun.

Seperti yang dijelaskan Cak Nun bulan lalu di Kenduri Cinta, segala hal yang dilakukan adalah atas dasar memang seharusnya dilakukan. Tugas manusia adalah bekerja. Segala pekerjaan yang dilakukan Cak Nun adalah atas dasar tanggung jawab, kerja keras, dengan niat yang baik. Semua dalam rangka menjalankan tugas sebagai manusia. Selain juga sebagai ibadah, bekerja adalah pelengkap dari fungsi manusia di dunia, karena tugas manusia tak hanya beribadah mahdhloh semata.

Cak Nun kemudian mengajak jamaah ber-shalawat. Diawali dari jamaah yang memimpin shalawatan. Cak Nun lantas memanndu Shalawat Nur, jamaah mengikuti. Seluruh jamaah tampak khusyuk, menundukkan kepala, doa-doa dipanjatkan, kalimat-kalimat indah menyapa Rasulullah Saw dilantunkan.

Setelah rangkaian shalawat, hujan turun, cukup deras. Langit seolah menyambut untaian shalawat yang dilantunkan. Jamaah merapatkan posisi duduk, beberapa ibu-ibu yang membawa anak kecil dipersilakan untuk duduk di panggung, sementara yang tidak kebagian tempat berteduh di bawah terpal alas duduk yang difungsikan sebagai payung berteduh. Sebagian lagi berteduh di teras-teras gedung dan kios ATM di Taman Ismail Marzuki. Tak satupun jamaah bergeming meninggalkan forum. Seakan eman rasanya jika melewatkan kegembiraan bersama di Kenduri Cinta. Mereka sepertinya enggan jika harus menunggu lagi satu bulan untuk merasakan kebersamaan di forum ini.

“Kita berpihak kepada Indonesia, kita berpihak kepada umat manusia, kita berpihak kepada yang paling jernih dari masa depan kita semua.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2019)

MALAM ITU, Cak Nun banyak dilontari pertanyaan-pertanyaan seputar sikapnya yang pasif terhadap berbagai tuduhan-tuduhan sebagian masyarakat yang mengatakan keberpihakan Cak Nun pada salah satu pasangan calon presiden tertentu.

Ndak relevan Anda tanya sama saya dengan pertanyaan: saya positioning-nya di mana? Saya kan bukan orang penting, saya hanya orang pinggiran,” Cak Nun merespon, “Saya tidak bertahan dari apa-apa dan dari siapa-siapa, saya bahagia-bahagia saja, saya mantap dengan pilihan hidup saya. Saya tidak terikat dengan Republik Indonesia. Saya menyayangi Indonesia. Indonesia bagian dari kampung saya. Jadi saya tidak masalah, saya tidak berperang melawan siapa-siapa, karena saya menjalani hidup yang saya yakini dan yang saya pelajari dari Allah. Dan ndak penting pendapat saya ada di posisi mana, karena saya bukan siapa-siapa.”

Dhimas, jamaah asal Bumiayu ikut merespon. Menurutnya, mengapa Cak Nun akhir-akhir ini diserang di media sosial, karena Cak Nun tidak secara tegas mendeklarasikan dukungannya. Para pendukung itu kecewa sebab Cak Nun tidak tegas berada di kubu mereka. Bagi Dhimas, meskipun suatu kali pernah ada salah satu calon wakil presiden yang datang ke Kadipiro, nyatanya memang tidak cukup kuat untuk menjadikan alasan bahwa Cak Nun berada di salah satu kubu. Menurut Dhimas, posisi Cak Nun tidak mudah, karena Cak Nun menyampaikan apa saja, akan dipelintir dan dapat dimanfaatan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

“Kalau Anda yang ditanya (tentang Pilpres) kan tidak masalah. Tapi kalau saya ditanya, kemudian saya menjawab teknis, pragmatis, kan berbahaya. Kalau saya milih 01, separuh bangsa Indonesia marah dan membenci saya. Kalau saya milih 02, separuh bangsa Indonesia marah dan membenci saya. Kalau saya cinta 01 dan 02, KPU marah. Kalau saya tidak pilih kedua-duanya, saya kena pidana, karena Golput itu haram. Jadi saya harus bagaimana? Saya selama ini berusaha menempatkan diri pada posisi sebisa-bisanya nasionalis, kita berpihak kepada Indonesia, kita berpihak kepada umat manusia, kita berpihak kepada yang paling jernih dari masa depan kita semua,” Cak Nun merespon Dhimas.

Cak Nun meminta maaf karena tidak bisa menjadi sosok yang diharapkan oleh masing-masing kubu, karena harapan dari masing-masing kubu bertentangan satu sama lain. “Padahal saya saudaramu semua, saya mencintai semua,” lanjut Cak Nun.

Sebenarnya mudah menilai Cak Nun berada di posisi yang mana, tetapi karena orang bernafsu untuk segera menentukan bahwa Cak Nun harus di posisi yang mana, maka apa yang Cak Nun sampaikan pun tidak dilihat sama sekali. Pada berbagai forum maiyahan, Cak Nun membahas banyak hal tentang nilai-nilai, dasar negara, ilmu politik, ilmu tata negara, ilmu pemerintahan, menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang persoalan agama, kehidupan sosial masyarakat dan lain sebagainya, tetapi ternyata itu semua tidak cukup untuk menjawab di mana posisi Cak Nun, karena yang dibutuhkan adalah deklarasi dari Cak Nun ada di pihak 01 atau 02.

Cak Nun juga pu telah menyampaikan agar K.H. Ma’ruf Amin tidak harus datang ke Kadipiro, sebab Cak Nun merasa bahwa tidak penting dalam kancah peta perpolitikan Indonesia. “Saya itu kebingungan sama Indonesia. How to love you, Indonesia? Bagaimana cara mencintaimu?”

Cak Nun menyampaikan bahwa ia bukan sosok tepat untuk dimintai pertimbangan, masih ada banyak tokoh yang lebih tepat untuk dimintai saran dan pertimbangan. “Semakin saya difitnah, semakin saya disalahpahami, semakin saya mendapat kemerdekaan dari Allah Swt,” ungkap Cak Nun.

“Jangan sampai ada output yang menjadikan Anda menjadi sama dengan orang yang memfitnah Anda.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2019)

AJIBAH MAIYAH

CAK NUN pernah menulis Doa Mohon Kutukan, dalam tulisan itu Cak Nun menyediakan diri untuk hancur jika memang itu menjadi syarat kebangkitan Indonesia. “Ndak apa-apa saya hancur, asal Indonesia beres. Itu tulisan saya di tahun 90-an awal,” Cak Nun berkisah. Menurut Cak Nun, serangan-serangan di media sosial itu belum seberapa, bahkan Brotoseno, sahabat Cak Nun di Yogyakarta membuat tulisan yang isinya menyerang Cak Nun. Cak Nun lantas menambah lebih kasar lagi bahasa yang digunakannya. Suatu hari Brotoseno dimarahi oleh sahabat yang lain, ia pun dengan enteng menjawab, “Lho, Cak Nun sendiri yang nambahin kok di tulisan itu.”

Maiyahan telah menjadi forum yang egaliter, terbuka bagi siapa saja, menjadi arena melatih diri setiap individu untuk berdaulat dan merdeka. Mereka juga melatih diri untuk terus mengukur keseimbangan, tidak serta-merta bebas mengungkapkan ekspresi. Mereka mengukur diri, informasi mana yang memang layak untuk mereka simpan, dan informasi yang mana yang harus mereka buang. Kemerdekaan seperti ini terus menerus Cak Nun tanamkan.

Nauval, salah satu jamaah turut merespon. Menurutnya, mereka yang menyerang karena tidak benar-benar mengenal Cak Nun. Kacamata yang mereka gunakan untuk melihat Cak Nun hanya sekadar kacamata pragmatis berdasarkan kepentingan mereka. Bagi mereka, jika Cak Nun menyampaikan sesuatu yang sesuai dengan apa yang mereka yakini, maka mereka akan diam saja. Tetapi, jika apa yang disampaikan oleh Cak Nun itu berseberangan dengan apa yang mereka yakini, maka mereka akan menyerang Cak Nun. Menurut Nauval, memang tidak mudah memahami Cak Nun. Baginya, mungkin berlebihan, tapi menurutnya Cak Nun adalah Socrates di era ini.

Karena sifatnya yang sangat terbuka, terkadang saat sesi tanya jawab berlangsung ada saja pertanyaan-pertanyaan yang nyleneh. Seperti pertanyaan seorang jamaah malam itu yang bertanya tentang bagaimana menyikapi calon istrinya yang berniat ingin membuat tato di bagian tubuhnya. Cak Nun pun merespon dengan candaan, “Karena ini orang Jombang yang tanya, maka harus segera saya jawab. Pertanyaan saya adalah bukan persoalan tatonya itu boleh atau tidak. Tetapi, siapa itu yang nato tubuh calon istrimu?” Seketika jamaah pun tertawa mendengarnya. Bisa kita bayangkan, betapa tidak mudahnya menjadi Cak Nun untuk merespon pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Maka Cak Nun pun selalu menanamkan bahwa jawaban apapun dari pertanyaan yang muncul di maiyahan bukanlah jawaban mutlak, masing-masing harus terus mencari jawaban, sehingga semakin presisi. Bisa jadi di kemudian hari aka nada jawaban yang lebih memuaskan, yang datangnya dari orang lain, bukan dari Cak Nun.

Tentang tato, ada banyak versi dan banyak interpretasi. Kalau yang aman, ya tidak usah tatoan. Setiap keputusan harus dilakukan simulasi, sehingga bisa diprediksi bagaimana dampaknya. Cak Nun menjelaskan, jika menyikapi orang yang sudah bertato itu justru lebih mudah. Misalnya ada yang menganggap bahwa orang bertato tidak sah berwudhlu. Maka Cak Nun akan membela orang tersebut. Menurut Cak Nun, wudhlu itu tidak terbatas pada urusan membasuh fisik tubuh manusia, wudhlu adalah peristiwa yang sangat ruhani, maka sejatinya yang dibasuh bukanlah sekadar organ tubuh saja, tetapi juga keseluruhan jiwa manusia. Dibasuhnya tangan, wajah, kepala, hingga kaki merupakan peristiwa fisik administratif, namun yang lebih penting adalah membasuh hati, jiwa dan pikiran kita, sehingga ketika kita salat, kita mampu khusyuk menghadap Allah Swt.

“Saya belajar dari Mbah Nun bahwa hidup adalah puasa, hidup adalah berdaulat. Kita harus bisa berdaulat tanpa harus bergantung kepada siapapun kecuali kepada Allah.”
Juhari, Kenduri Cinta (Mei, 2019)

JUHARI, seorang jamaah yang berdarah Alor, NTT, malam itu mengungkapkan kebahagiaanya berkesempatan mengenal sosok seperti Cak Nun. “Mbah Nun dianggap sebagai orang pinggiran bagi sebagian orang, menurut saya tidak masalah. Menurut saya, Mbah Nun berdaulat atas dirinya sendiri dan itu yang tidak semua orang, apalagi tokoh-tokoh nasional”, ungkap Juhari.

“Saya belajar dari Mbah Nun bahwa hidup adalah puasa, hidup adalah berdaulat. Apapun kita, dan bagaimana pun kita harus bisa berdaulat tanpa harus bergantung kepada siapapun kecuali kepada Allah dan Kanjeng Nabi Muhammad Saw,” lanjut Juhari. “Makin kepinggir Mbah Nun, kita makin cinta kok! Karena Mbah Nun berdaulat atas kepinggirannya itu, maka kita makin cinta dan sayang kepada Mbah Nun,” tambahnya. Serangan-serangan terhadap Cak Nun di media sosial baginya sama sekali tidak mempengaruhi kecintaannya terhadap sosok Cak Nun.

“Terima kasih Mbah Nun, terima kasih Kenduri Cinta. Saya dulu tidak tahu Mbah Nun itu siapa? Bahkan saya juga tidak tahu bahwa Mbah Nun pada peristiwa Reformasi 1998, ada orang yang namanya Emha Ainun Nadjib bertemu dengan Pak Harto. Dan saya tidak tahu Emha Ainun Nadjib itu siapa,” lanjutnya. Baginya, tidak banyak sosok seperti Cak Nun yang berani menyatakan kepada banyak orang untuk tidak mengkultuskan dirinya. “Bagi saya, Mbah Nun sedang berpuasa sepanjang hidup. Dan jika memang Mbah Nun harus berbuka, biarlah Allah yang membukakan jalannya, karena itu yang selalu diajarkan oleh Mbah Nun kepada kita. Saya bangga dan cinta kepada Mbah Nun.”

“Kalau saya pakai pamrih pribadi, saya memang menunggu kalimat-kalimat yang murni yang muncul dari Anda seperti itu,” Cak Nun merespon. “Anda tidak perlu terganggu oleh pendapat orang lain tentang Anda, caci maki orang tentang Anda. Anda konsentrasi kepada yang Anda yakini, Anda berdaulat atas itu, dan terus kerja, Anda terus berjalan,” ungkap Cak Nun.

“Kedua, Anda kan tidak bisa menghadapi medsos, karena itu tidak bisa dihadapi dengan cara face to face. Jadi itu urusannya bukan akal sehat, dia urusan bawah sadar,” Cak Nun melanjutkan. Cak Nun mengingatkan bahwa teman-teman Maiyah tidak perlu terlalu pusing memikirkan nasibnya dimaki-maki orang di media sosial. Mungkin kita tersinggung dan marah ketika Cak Nun diserang atau dimaki-maki, namun Cak Nun mengingatkan agar kita mampu mengendalikan rasa tersinggung dan rasa marah itu. “Jangan sampai ada output yang menjadikan Anda menjadi sama dengan orang yang memfitnah Anda,” jelas Cak Nun.

“Saya itu dipinggirkan atau saya memilih untuk minggir?” Cak Nun bertanya. Cak Nun tegaskan, ia memilih untuk minggir dari keramaian. Dalam Islam, ada prinsip bahwa manusia jangan sampai meminta jabatan, jangan sampai meminta untuk menjadi apa-apa. Jika memang kelak menjadi apa, atau menjabat suatu jabatan, itu bukan karena manusia yang mengejar-ngejar itu. Cak Nun mengingatkan, jika kita meminta jabatan kepada Allah, maka Allah tidak akan ikut bertanggung jawab. Lain halnya jika Allah yang menghendaki kita untuk menjadi apa, untuk menduduki suatu jabatan, maka jika Allah yang menghendaki, Allah akan memberi fasilitas, akan membukakan jalan, akan ikut bertanggung jawab.

Cak Nun mencontohkan, di Progress Management tidak ada yang Namanya pengajuan proposal. Kenduri Cinta berlangsung 19 tahun hingga hari ini sama sekali tidak pernah ada sponsor. Dan begitulah adanya forum maiyahan berlangsung rutin diadakan di berbagai tempat. Menurut Cak Nun, inilah ‘Ajibah Maiyah, keajaiban Maiyah yang Allah sendiri kasih kepada kita. Bukan Cak Nun, bukan jamaah Maiyah yang mampu membikin Maiyah bisa sampai seperti ini, melainkan atas kehendak dan perkenan Allah, sehingga kita dipertemukan.

“Mari kita bahagia dengan Maiyah, jangan khawatir, nanti yang menumbuhkan pohon masa depan adalah Allah Swt bukan kita, yang penting kita menyirami terus-menerus.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2019)

“KENDURI CINTA 19 tahun, Padhangmbulan 24 tahun. Tidak mungkin manusia bisa bikin acara, menarik ribuan orang setiap bulan di banyak tempat, dan mereka setia, ikhlas, mencari ilmu beneran, mencari berkah Allah sampai jam 3 pagi. Itu tidak pernah terjadi di sepanjang zaman kecuali di Maiyah ini. Dan itu mustahil itu karena saya, mustahil itu karya saya. Dan ini tidak ada copyright-nya. Copyright-nya Allah,” tegas Cak Nun.

Cak Nun juga menyampaikan, jika ada 2 pilihan tersingkir atau menyingkirkan, maka yang dipilih adalah tersingkir. Jika pilihannya adalah menganiaya atau dianiaya, maka pilih lah dianiaya. Kun madhluman, walaa takun dhaliman. Cak Nun berkisah, Mbak Via sering ditanya oleh orang lain kenapa begitu sabar dan tenang ketika Cak Nun difitnah oleh orang lain, Mbak Via dengan tenang menjawab; “Apa susahnya difitnah, justru kalau Cak Nun memfitnah orang, saya yang susah”.

“Jadi, kita ini di dalam Allah, kita tidak hanya bersama Allah, tetapi juga di dalam Allah. Karena Allah jauh lebih besar tak terhingga daripada alam semesta dan kita,” Cak Nun melanjutkan, fenomena orang bertemu Cak Nun dalam mimpi, bahkan ada yang dikasih solusi persoalannya dalam mimpi oleh Cak Nun, sepenuhnya adalah Allah yang membikinnya. Cak Nun menyebutnya sebagai usil-nya Allah kepada Cak Nun. Tidak mudah jika kita mendapat peran seperti Cak Nun, hampir setiap malam datang ke mimpi banyak orang, dan terkadang tidak hanya sekadar datang dalam mimpi, tetapi juga memberi pesan, memberi wasiat, dan sebagainya.

“Mari kita bahagia betul dengan Maiyah ini, dan jangan khawatir nanti yang menumbuhkan pohon masa depan Indonesia adalah Allah Swt bukan kita, yang penting kita menyirami terus-menerus dan melahirkan generasi muda, berdaulat, yang mandiri, yang nasionalis, yang betul-betul cinta tanah air dan kepada rakyat Indonesia semuanya,” tegas Cak Nun.

Memberi kesegaran suasana diskusi, Krist kembali tampil membawakan beberapa nomor lagu seperti Gundhul Pacul dan Panggung Sandiwara yang diaransemen ulang dengan bumbu dangdut koplo. Nomor terakhir, Syair Abu Nawas dibawakan dengan sisipan pembacaan puisi. Jamaah pun bernyanyi bersama, dan di lagu terakhir mereka menyalakan lampu flash dari ponsel mereka, menambah suasana syahdu menjelang akhir sepertiga malam.

Kenduri Cinta kali ini Cak Nun memang ingin mendengar jamaah untuk menyampaikan apa saja yang hendak mereka sampaikan, maka sesi diskusi interaktif berjalan mengalir, alami, jamaah yang berkesempatan bertanya atau menyampaikan sesuatu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.

Dan tentu saja, tidak bisa dibatasi tema bahasan yang mereka sampaikan, mulai dari yang serius, hingga yang nyleneh penuh canda dan mengundang tawa jamaah yang lainnya. Namun, apa yang mereka ungkapkan murni lahir dari kejujuran hati dan kejernihan pikiran mereka. Maka di Kenduri Cinta semua yang hadir pun melatih diri untuk ikhlas dan sabar mendengar dan menyerap semua hal yang disampaikan oleh orang lain. Kepekaan naluriah seperti ini yang juga selalu dibiasakan oleh Cak Nun kepada jamaah Maiyah, agar terlatih mendengar apapun saja, baik yang mungkin dianggap penting sampai hal yang mungkin diremehkan.

Ya, meskipun sudah menjelang jam tiga dinihari, suasana tetap segar. Tak jarang, jika ada jamaah yang terlalu berbelit-belit, bertele-tele, atau terlalu banyak basa-basi ketika akan bertanya, akan disoraki oleh jamaah yang lain. Namun sekali lagi, tidak ada kebencian sedikitpun yang muncul. Semua bergembira, semua bersyukur, semua berbahagia menikmati kebersamaan di forum ini.

“Kalau Anda bisa mengelola, pakailah akal pikiran. Karena manajemen harus pakai akal pikiran. Tapi kalau sesuatu yang tidak bisa Anda manage, pakai wirid, pakai shalawat.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2019)

“SAYA INGIN mengatakan bahwa jika ada yang ingin menghancurkan saya, saya tidak ada masalah. Dan saya tidak akan marah, saya tidak akan menghalangi. Silakan hancurkan saya, wong aslinya saya juga tidak ada. Dan Anda urusannya tidak sama saya. Anda hancurkan kayak apapun, saya ndak ada masalah. Karena saya bukan milik saya, saya bukan bikinan saya. Itu urusannya Anda dengan yang bikin saya dan yang menyuruh saya untuk melakukan ini semua. Jadi silakan hancurkan saya, saya ndak ada masalah”, Cak Nun merespons salah satu jamaah yang mengungkapkan keprihatinan dan keresahannya karena beberapa waktu terakhir Cak Nun diserang oleh beberapa orang di media sosial, bahkan sampai pada tingkat serangan yang sangat personal.

Cak Nun kembali menjelaskan, terhadap sesuatu hal yang masih bisa dijangkau dengan ilmu dan akal, maka gunakan semaksimal mungkin akal pikiran kita untuk memahami hal tersebut, untuk menyelesaikan persoalan yang kita hadapi. Tetapi jika dengan ilmu dan akal kita sudah tidak mampu menjangkaunya, maka gunakanlah iman. Caranya bisa melalui wirid dan shalawat.

Dijelaskan oleh Cak Nun, bukan kemudian wirid dan shalawat adalah solusi untuk menyelesaikan masalah, tetapi dengan wirid dan shalawat, kita meminta pertolongan kepada Allah Swt, menyapa Rasulullah Saw agar kita dibantu untuk menyelesaikan persoalan yang kita hadapi. Presisi pijakan seperti ini yang seringkali menjadi jawaban atas keresahan atau persoalan yang kita hadapi, ketika manusia sudah mentok, sumber daya yang ia miliki sudah tidak mampu diandalkan, maka jalan terakhir adalah dengan iman.

“Kalau Anda bisa mengelola, pakailah akal pikiran. Karena manajemen harus pakai akal pikiran. Tapi kalau sesuatu yang tidak bisa Anda manage, pakai wirid, pakai shalawat. Wirid dan shalawat-nya tidak mengatasi masalah, tapi wirid dan shalawat itu bentuk permintaan dan tawakkal Anda kepada Tuhan, sehingga Tuhan akan memerintahkan makhluk-makhluk-Nya di bawah sadar kita untuk puzzling, untuk menyusun harmoni, sehingga nanti output-nya resultan dan ujung pencapaiannya itu sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah,” jelas Cak Nun.

Berbicara tentang kontestasi Pilpres, Cak Nun mengingatkan agar kita tidak terlalu berekspektasi bahwa Presiden yang terpilih adalah solusi untuk menyelesaikan semua persoalan di Indonesia. Presiden hanya salah satu onderdil, salah satu part dari sistem, sebuah negara. Ditegaskan oleh Cak Nun, salah satu tujuan Cak Nun menemani kita di maiyahan adalah dalam rangka mempersiapkan part-part yang lain, agar melengkapi kelengkapan onderdil yang sudah ada. Harapannya, kelak Indonesia menjadi lebih baik pada saat generasi hari ini, yang terlibat di maiyahan, ikut mengelola Indonesia. Karena sebuah kesebelasan tidak hanya tergantung pada siapa pelatihnya, atau kaptennya, melainkan adalah bagaimana teamwork berjalan atau tidak.

Salah satu tugas manusia hidup di dunia adalah mencari rahasia kehidupan. 1+1=2, yang kita cari bukan angka 2, melainkan angka 1+1 yang kita cari. Atau katakanlah 1+n=2, yang kita cari adalah “n”. Bahkan “n” itu sendiri ada banyak madzhab, ada banyak versi, ada banyak penafsiran. Dan jangan sampai kita terjebak pada madzhab-madzhab. Di maiyahan ini kita mencoba memperluas jiwa kita, memperluas pikiran kita, sehingga kita tidak akan terluka karena perbedaan dengan orang lain. Ditambahkan oleh Cak Nun, bahwa Syair Abu Nawas adalah salah satu contoh melatih mental kita untuk terbiasa melihat keburukan dalam diri kita.

Kenduri Cinta edisi Mei 2019 dipuncaki Cak Nun dengan mengajak jamaah bersama-sama mewiridkan beberapa ayat Alquran: Wa makaru wa makarallah wallahu khairul maakiriin, wa maa romaita idz romaita walakinnallaha romaa, dan idzaa arooda syaian an yaquula lahu kun fayakuun. Kegembiraan dalam kebersamaan di Maiyah ini tidak mungkin tidak kita syukuri, dan tentu saja terima kasih kita kepada Cak Nun yang selama 19 tahun sudah setia menemani kita di Kenduri Cinta. Semoga kebersamaan ini masih akan terus berlanjut. Aamiin.