Bergilir Kue Kekuasaaan

SETIAP AKTIVITAS politik di berbagai belahan dunia pada zaman modern ini selalu bersifat transaksional, begitu juga orientasi politik masyarakat-nya hanya soal ekonomi. Aktivitas para partisipan pendukung tim pemenangan pilpres/pemilu/pilkada akan berusaha semaksimal mungkin untuk meng-goal-kan tujuannya dalam rangka investasi. Berbagai dukungan dari dalam maupun luar negeri berupa pendanaan, tenaga-kampanye maupun fikiran diusahakan supaya calon-calon penguasa yang didukung dapat meraih kekuasaan di tingkat daerah maupun nasional. Tidak jarang seorang investor akan mendukung setiap yang dicalonkannya yang sedang bersaing dalam sebuah pemilihan. Dengan begitu mereka tidak peduli siapa yang menjadi pemimpinnya nantinya, karena modal dukungan mereka akan terganti dengan mendapatkan potongan ‘kue-kekuasaan’ yang dibagi-bagikan oleh siapapun presiden terpilih nantinya.

Istilah bagi-bagi ‘kue-kekuasaan’ menjadi suatu yang dianggap lumrah pada etika politik transaksional. Teritorial kekuasaan  dibagi-bagi, diusahakan supaya setiap investor pendukung setidaknya dapat mencicipi kue kekuasaan itu. Presiden terpilih dan para pendukungnya menghitung-hitung modal-modal dukungan pada saat kampanye dan diproporsikan dengan jatah kekuasaan yang akan mereka bagi-bagi. Jatah kursi menteri atau setidaknya komisaris BUMN diukur sedemikian rupa sehingga berimbang antara modal dukungan kampanye dan tingkat kepantasan strategis dan lama menjabat jabatannya.

Persoalannya akan semakin kompleks jika mayoritas yang bermain adalah investor-investor dari luar negeri. Dominasi kepentingan asing yang menyokong persiden terpilih nantinya pasti akan berpengaruh terhadapap kedaulatan negara. Apalagi oleh kapitalis-global, mayoritas negara-negara-bangsa yang sekarang ini disebut sebagai negara dunia ketiga, sudah dikondisikan untuk tidak benar-benar memiliki kedaulatan sebagai sebuah bangsa. Antek-antek kepetingan asing di dalam sebuah negara akan sangat dingin dalam menjalankan kekuasaan yang mereka peroleh, bahkan tega untuk membuat sandiwara, drama konflik dan persmusuhan yang berdarah-darah ditengah masyarakat bangsa-nya demi untuk kepentingan politik-kenegaraan penguasanya.

Padahal wilayah aktivitas kehidupan sosial masyarakat sebuah bangsa tidak hanya urusan ekonomi dan politik (transaksional). Ada urusan pendidikan generasi penerus, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, kelestarian alam dan lingkungan, terwujudnya kemanusiaan yang adil dan beradab serta  terpeliharanya kebudayaan sebagai jati diri suatu bangsa. Namun ditengan zaman modern dengan arus globalisasi yang nyaris tak terbendung ini, batasan-batasan wilayah aktivitas masyarakat itu jebol oleh urusan ekonomi dan politik. Dominasi kepentingan investor dari dalam maupun luar negeri masuk ke wilayah-wilayah yang semestinya berdaulat. Pendidikan, kesehatan, agama dan kebudayaan masyarakat sebuah bangsa yang semestinya berdaulat justru menjadi barang-barang yang didagangkan. Ditengah kondisi ini, Masyarakat Maiyah menyebarkan benih-benih kedaulatan ditengah masyarakat, diantaranya melalui pendidikan politik di tengah masyarakat Indonesia dan Dunia.

Adalah proses panjang, Cak Nun personal maupun bersama Maiyah bersikap kritis terhadap jalannya pemerintahan dan adanya kebijakan negara yang melemahkan kedaulatan masyarakat di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia melalui jalan kebudayaan. Baik secara personal maupun bersama Maiyah dengan cara-caranya yang khas, tidak segan-segan mengkritisi pemerintah secara terbuka atau dengan cara-cara metafora. Dari zaman Soeharto berkuasa di negeri ini hingga kini pemerintahan Jokowi dan selanjutnya, Cak Nun telah dan terus berusaha menebarkan benih-benih kedaulatan di tengah masyarakat.

Simpul-simpul Maiyah dan aktivitas masyarakat maiyah di berbagai belahan dunia khususnya di bumi nusantara terus bermunculan secara sporadis bukan dalam rangka gerakan politik untuk berkuasa di Republik Indonesia. Maiyah tidak mempermasalahkan siapa-siapa yang berkuasa di tiap-tiap negeri, asalkan orientasi politik mereka adalah menumbuhkan kemandirian dan kedaulatan masyarakat.  Yang dilakukan Maiyah di tengah masyarakat dunia diniati sebagai sedekah, sebagai sesaji untuk kelahiran peradaban yang baru. Dengan demikian jelas bahwa masyarakat maiyah tidak sedang menuntut-nuntut kekuasaan kepada siapapun, selain menebarkan nilai-nilai Maiyah kepada masyarakat sekitarnya.