Bagaimana Memilih Pemimpin

DI SAAT sekarang manusia mengalami berbagai kejadian-kejadian yang aneh, terutama di Indonesia. Terkait Agama, Pemimpin, dan Kebingungan Nasional telah berantakan menjadi berkeping-keping masalah yang semuanya sudah menjadi satu-kesatuan saling tindih menindih. Ada Pemimpin yang Menista, ada pula yang tidak paham siapa pemimpinnya dan tidak mengerti apa yang dinistakan, dan mereka menistakan tanpa mengetahui siapa yang menista, adapula yang sudah sepakat bahwa pemimpinnya menistakan dan harus disingkirkan, namun masalahnya bertambah “Siapa Pemimpin” selanjutnya?. Kejadian ini sungguh menggelitik sampai terpingkal ketawa atas apa yang sudah terjadi meskipun justru kebingungan ini sudah sedemikian tidak terkira.

Yang lebih mengherankan, adalah fokus siapa pemimpin dan seperti apa layaknya memilih pemimpin masih menjadi perbincangan sehari-hari. Atau jangan-jangan Negeri kita tercinta ini selalu ingin mencoba dulu pemimpin siapapun dari kalangan manapun, latar belakang dan sepak terjangnya bukanlah soal, karena yang terpenting dari itu mampu mengikat hati rakyat. Maka Jadilah! Jadi. Perkara nanti rakyat ditipu barulah beramai-ramai dihujat dan dicela serta dipaksa harus turun, Tapi rakyat sudah rugi dan tidak meminta ganti rugi. Dan pelajaran berikutnya apakah rakyat harus merugi lagi dan sakit?, atau jangan-jangan memang harus menipu rakyat, agar yang diuntungkan bisa senang yang jelas-jelas bukan ingin menghancurkan.

Indonesia sedang mengalami semacam tegangan yang tinggi jika masalah Agama dan Pemimpin diperbincangkan. Namun kebanyakan kosong nilai. Sejatinya ada yang konsisten dan selalu berupaya memahami makna nilai yang universal tentang bagaimana “Agama” dan “Pemimpin” seharusnya menjiwai dan diimplementasikan dalam diri peribadi sebagai satu kesatuan yang mencakup seluruhnya. Cak Nun misalnya, jika kita pernah mengetahui tentang Maiyah atau Lingkaran Jamaah yang berkumpul dalam setiap moment bulanan atau moment khusus lainnya sedari dulu telah banyak memberikan pengetahuan tentang bagaimana “Beragama” bukan bagaimana “memiliki agama”, bagaimana “Kepemimpinan” bukan hanya bagaimana jadi “pemimpin”.

CakNun dalam Maiyahan Kenduri Cinta bulan April 2016 tentang “Pemimpi Kepemimpinan”, menyampaikan bahwa harus mempelajari dari dasarnya terlebih dahulu seperti pengertian tentang Negara dan Negeri, secara eksplisit itu hanya sebagai ucapan namun justru banyaknya ketidakseimbangan yang terjadi sekarang ini karena tidak tepat mengartikan kata-kata. Negara misalnya, “batas teritorial formal, ada perundang-undangannya, dan segala tatanan kehidupan yang sudah diatur oleh para pejabat negara”, sedangkan “Negeri tidak tidak mengenal aturan-aturan baku, karena yang menjadi batas dalam negeri adalah cinta”. Sehingga, di Maiyah yang menjadi fondasi utama adalah mencari apa yang benar, bukan siapa yang benar, karena Maiyah merupakan salah satu bentuk manifestasi sebuah negeri. Selajutnya, Cak Nun memberikan ilustrasi “ketika seorang suami harus membiayai istrinya melahirkan anaknya dan suaminya tidak mempunyai uang sehingga terpaksa mencuri sepeda untuk digadaikan dan uang nya digunakan untuk membiayai persalinan istrinya, secara hukum negara suami tersebut dinyatakan salah. Tetapi, di dalam wilayah negeri tidak sesempit itu persoalannya. Sehingga dalam sebuah negeri, kepemimpinannya tidak terbatas dalam wujud tokoh seseorang, karena semua orang berhak menjadi pemimpin. Karena pemimpin adalah output dari kepemimpinan. Tetapi, yang terjadi di sebuah negara, subjek utamanya adalah pemimpin yang belum tentu memiliki output Kepemimpinan.

Maka dari itu pertanyaan berikutnya, adalah bagaimana memilih pemimpin?.
Cak Nun, dalam kesempatan acara Kenduri Cinta 10 Februari 2017, menyatakan bahwa dalam pandangan Al-Qur’an kita diajari bagaimana memilih pemimpin dan bukan menjadi pemimpin. Saat ini Indonesia sudah terjebak dalam sebuah permainan seperti Pemilihan Pemimpin dengan segala syarat dan ketentuan yang sudah menjadi landasan Negara. Adakalanya kita sangat berharap pada sosok pemimpin yang ada dalam perspektif orang kebanyakan, seperti misalnya Pemimpin seperti Rasulullah serta Khulafaurrasyidin. Namun, konteks dan sistem yang berbeda dan kondisi zaman yang semakin hari menjauh dari nilai dan norma.
Namun, yang terjadi saat ini justru berebut menjadi pemimpin, alih-alih mengeluarkan rupiah demi rupiah untuk menjadi pemimpin. Seperti di Indonesia sebagian dari mereka pejabat dan pemimpin terpilih sebaiknya mengutamakan Indonesia atau NKRI bukan Partai Politik pengusung. Politisi dari PDI-P, Golkar, PPP, PKS, PKB, Partai Demokrat dan sebagainya ketika menjabat maka yang menjadi primer adalah NKRI dan fair dalam mengambil keputusan bukan lagi egosentris dan streotype. Sebab partai merupakan partikular dari ke universal-an Indonesia. Situasi seperti ini seperti terjebak dalam hutan dan tidak ada pilihan lain kecuali berhadapan dengan Harimau dan Serigala, serta di sisi yang lain kawanan Buaya menunggu mangsa. Terlanjur lama kita berdiam diri sehingga mereka menghampiri dan mengajak untuk dimesrai dan selanjutnya dilahaplah kita. Berkali-kali Bangsa Indonesia diajak berkompromi dengan berbagai kesulitan dan pahitnya penderitaan oleh saudaranya sendiri, di dalam rumahnya sendiri sehingga menjadi trauma untuk kesekian kalinya. Maka dari itu sebaiknya kita kembalikan kepada Allah, sebagaimana sebuah ikhtiar dan yang menentukan Allah melalui cara nya dan himbauannya dalam Al-Qur’an.

Cuplikan dari Al-Quran tentang bagaimana memilih pemimpin dan bukan menjadi pemimpin.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاء
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia atau pemimpin.” (QS. Al Mumtahanah: 1)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَن تَجْعَلُواْ لِلّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَاناً مُّبِيناً
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah kami ingin mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS:  An Nisa’ [4]: 144)

Jika kita mentadabburi ayat-ayat Al-Qur’an di atas maka yang tersirat pertama kali adalah Allah memperingatkan bagaimana memilih pemimpin. Dan selanjutnya memberikan clue dengan kata “janganlah!” yang mengisyaratkan bahwa kriteria-kriteria yang seharusnya kita selektif dalam memilih pemimpin. Hal ini memiliki hubungan ekuivalensi bahwa jika tidak mengindahkan apa yang Allah firmankan konsekuensi ditanggung penumpang.