Bumerang Kebebasan Demokrasi

DEMOKRASI SEPERTINYA sudah dianggap sebagai sarana untuk menemukan solusi paling canggih dari berbagai permasalahan sosial. Suara terbanyak dalam memilih menu masakan demokrasi dijadikan hidangan bagi seluruh masyarakat pemilih. Ketika masakan sudah ditentukan, mau tidak mau, suka tidak suka, doyan tidak doyan, masyarakat mesti memakan, mengunyah dan menelan hidangan menu demokrasi yang terpilih. Persoalannya, Koki pemasak masakan yang dipilih itu juga ditentukan menggunakan demokrasi yang sama. Lantas ketika protes masyarakat mulai bermunculan, ketidakpuasan mulai nampak, kekecewaan terhadap hidangan yang tersaji tidak beres-beres, malahan si Koki menyalahkan racikan menu demokrasi-nya itu sendiri.

Suara terbanyak belum tentu enak, jangan harap dapat memuaskan semua pihak. Padahal demokrasi sudah pasti mengenai menang-kalah. Dengan demokrasi untuk memilih Koki terbaik sangat berpotensi keliru dalam pemilihan, apalagi ujian memasak hanya berdasarkan pencitraan dari satu-dua masakan yang dihidangkan para kandidatnya. Koki yang memperoleh dukungan 51% suara dapat mengalahkan yang memperoleh 49% suara, padahal belum tentu yang menang adalah pilihan Koki yang tepat. Namun Koki terpilih harus dapat memuaskan orang-orang yang memilih ataupun yang tidak memilihnya.

Berbeda dengan musyawarah mufakat, dalam demokrasi nyaris tidak memungkinkan sebuah keputusan yang dapat benar-benar menjadi win-win solution demi kepentingan bersama. Politikus hanya memperjuangkan kepentingan pribadi melalui partai-partainya, berusaha mengalahkan lawan-lawan politik dan tidak mempedulikan nasib lawan-lawan politik mereka. Kepedulian antar politikus bersifat temporer untuk penggalangan kekuasaan semata. Begitu kekuasaan diperoleh, saling sikut diantara mereka sangat mungkin terjadi. Apalagi antara politisi partai-partai penguasa dan partai-partai oposisi saling melancarkan manuver-manuver politik tidak dalam kerangka untuk mendapatkan kemenangan bersama namun lebih ditujukan untuk mengalahkan lawan-lawan politik.

Padahal tidak semua hal dapat selesai dengan demokrasi. Dua orang Polisi melawan lima orang gerombolan maling tidak dapat ber-demokrasi dalam proses penangkapan. Penegakan hukum mesti dilakukan oleh Polisi meskipun secara jumlah suara kalah. Dalam supremasi hukum, penegakan hukum sudah semestinya menjadi tiang bagi bangunan demokrasi. Namun jika yang terjadi justru hukum dikorbankan atas nama demokrasi, pasti ada yang salah dengan demokrasinya.

Di Masyarakat Maiyah yang diutamakan adalah supremasi keadilan, supremasi akhlak. Tidak soal, mau demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi sosialis, demokrasi mbelkeduwel, demokrasi kerajaan, atau model khilafah sekalipun bukanlah masalah yang utama. Masalahnya adalah ketika terjadi monopoli kekuasaan, ketidak-adilan, penindasan penguasa terhadap rakyat, perapuhan kedaulatan bangsa yang disengaja, dan penjajahan terselubung dibalik jargon pembangunan. Pertanyaannya, apakah politisi-politisi yang ada dapat mengatasi permasalahan itu atau malahan sebaliknya para politisi-politisi itu justru yang menjadi bagian dari masalah itu sendiri? Jadi apapun tatanan sosial yang diterapkan dalam suatu lingkup masyarakat, selama orang-orang didalamnya tidak mengutamakan keadilan, maka benturan-benturan dalam kehidupan masyarakat akan potensial terjadi.

Benturan-benturan yang terjadi di masyarakat terjadi karena adanya batasan-batasan yang dilanggar. Maiyah berhimpun diantaranya untuk memahami batas. Ada wilayah dimana demokrasi boleh diterapkan ada wilayah dimana demokrasi tidak boleh memasukinya. Ada wilayah dimana individu boleh berkreasi, ada wilayah dimana individu harus taat. Misalnya soal cara ibadah Shalat, Cak Nun sering kali mengilustrasikan bahwa dalam Shalat tidak bisa seorang muslim seenaknya menambah jumlah rakaat subuh menjadi 4 rakaat karena pertimbangan di pagi hari setelah bangun tidur masih semangat untuk beribadah. Ada batasan yang perlu ditaati sehingga mau tidak mau kita harus tunduk dan taat.

Dalam konteks sosial berbangsa dan bernegara, pemahaman mengenai batas juga sangat penting. Sementara di era pasar bebas, batasan-batasan ini menjadi semakin kabur. Ketika tatanan global internasional mengharuskan setiap negara untuk menggelar karpet globalisasi, eksistensi Negara untuk melindungi warga-negaranya semakin kabur. Wilayah-wilayah yang semestinya dilindungi oleh negara justru semakin tenggelam oleh pengaruh pasar bebas. Bidang pendidikan, kebudayaan, kesehatan dan fasilitas keagamaan bagi warga-negara yang semestinya menjadi tanggung jawab Negara justru banyak yang menjadi ladang investasi dan dikuasai oleh swasta dari dalam maupun luar negeri. Demokrasi yang kebablasan sudah sedemikian mendukung praktek-praktek pelanggaran ini. Akankah kesadaran situasi dan kondisi berbangsa dan bernegara kita dalam demokrasi saat ini hanya berkutat pada suara rakyat adalah suara tuhan? Atau sebaliknya kesadaran itu harus menunggu Suara Tuhan adalah suara rakyat.