By Erik Supit

Bermain-main Dengan Bayang-bayang

Pangkal tahun 2013, seorang pegiat meminta saya untuk mendesain poster-poster Kenduri Cinta. Sekian lama berkutat di ranah rancang grafis, baru kali itu saya mendapat tawaran yang nggegirisi. Sesuatu yang bikin ciut nyali. Pasalnya, Kenduri Cinta adalah perhelatan istimewa yang mengusung gagasan-gagasan besar. Forum ini sering andil dalam perubahan-perubahan besar yang terjadi di Indonesia, meski sejarah formal tak mau mengakuinya. Wahana yang jangkep, berisi kajian intelektual hingga spiritual. Bukan perkara mudah untuk menerjemahkan tematemanya ke dalam paparan visual.

Meski demikian, saya nekad menerima tugas itu. Apa boleh buat? Sebagai jamaah alien yang rutin menumpang berteduh di baris paling belakang acara itu, sungguh ora ilok jika saya menolak. Ini juga wujud terima kasih saya kepada Mbah Nun yang telah mengajari banyak hal di Kenduri Cinta. Meskipun beliau enggan disebut guru dan menampik jika wacana-wacananya disebut sebagai ajaran.

Guyub

Pada kultur masyarakat agraris, semangat guyub melandasi pengelolaan irigasi yang mengaliri sawah-sawah. Peluang kericuhan akibat perebutan jatah air pun bisa diredam. Saat menghadapi masa tanam dan panen, guyub menjadi tulang punggung bagi teraihnya kerjasama yang setimpal serta saling menguntungkan antar petani. Demikian pula dengan istiadat dalam masyarakat maritim. Sebelum mengarungi lautan, gabungan nelayan berembug lebih dulu untuk membahas seluk-beluk perburuan serta porsi-porsi pembagian tangkapan. Sebab hasil-hasil alam tidak diperuntukkan cuma pada kelompok tertentu saja. Kepenguasaan sepihak hanya akan membuahkan ketimpangan yang menyengsarakan. Untuk itu, monopoli sumber ekonomi harus dihindari.

Stigma

Saat tiba di Malaka pada kisaran dekade kedua tahun 1500, Duarte Barbosa menyaksikan peristiwa mengejutkan. Seorang lelaki Jawa yang tinggal di bandar itu, menghambur ke jalanan dengan gelap mata. Ia menyerang dan membunuh siapapun yang ditemui. Orang-orang di sekitarnya kalang-kabut tak karuan. “Amuk…Amuk!”, pekik khalayak yang panik sembari bergegas menghindar agar tak menjadi sasaran kekalapan. Kericuhan berangsur redam, ketika sejumlah orang menghentikan kebrutalan si lelaki, dengan menghunjamkan tombak ke tubuhnya. Barbosa lantas menyebut kejadian yang disaksikannya itu dalam ejaan bahasa Portugis, “Amuco”.

Banawa Maiyah, Sekar Kebangsaan

Secara tidak langsung, kisah Banawa Sekar juga hendak mengungkapkan, bahwa hanya golongan-golongan yang masih menerapkan nilai-nilai keluhuran tersebutlah yang bisa bertahan dari terjangan zaman. Tidak ikut terkikis, seperti Majapahit yang telah keropos digerogoti pertikaian demi pertikaian.

Padhang mBulan, Pohon Rindang

Sebuah arena yang tetap teguh menjaga kesehatan akal dalam kancah Indonesia yang silang sengkarut. Padhang mBulan telah menjadi pohon yang rindang, dan tetap tak memilih siapapun yang mendatanginya. Dia tetap teguh berdiri dan menaungi.