Banawa Maiyah, Sekar Kebangsaan

Topik sejarah mengenai masa-masa akhir Majapahit, tak habis-habis untuk dibicarakan. Kejatuhannya yang tragis, menyimpan pelajaran besar. Imperium raksasa yang tumbuh dengan percaya diri tersebut, pada akhirnya mesti bertekuk lutut dengan perubahan zaman. Banyak faktor yang menyebabkan runtuhnya kerajaan itu. Semuanya jalin-menjalin, membentuk pola yang saling mempengaruhi dan berhubungan sebab akibat.

Dari berbagai penelitian yang mengupas perihal Sendyakalaning Majapahit, rata-rata menyebut, bahwa pemicu pokok dari kehancurannya, bersumber pada nilai-nilai keluhuran yang tak lagi dipegang teguh. Seperangkat tata hidup yang pernah membawa Majapahit pada puncak kejayaannya telah ditinggalkan. Sistem hukum serta etika sosial-politik, hasil dialektika berabad-abad dalam masyarakat kosmopolitan dan multikultur tersebut, terlanggar secara fatal. Periode pamungkas dari Majapahit ini, selayaknya menjadi cermin bagi Indonesia, agar tak terjerumus dalam kesalahan yang sama.

Seorang sastrawan dan spiritualis yang mahir bahasa Sansekerta serta bahasa Jawa Kuna, bernama Mpu Tanakung hidup pada periode akhir Majapahit itu. Gelar empu yang disandangnya, memperlihatkan bahwa Tanakung adalah orang suci yang dihormati. Ia aktif sebagai kawi pada kisaran tahun 1466-1478. Salah satu karya besar Mpu Tanakung yang digubah pada periode tersebut adalah Kakawin Banawa Sekar.

Sekilas, tak ada yang istimewa dari karya sastra tersebut. Selain kata-kata indah sebagai penceritaan atas upacara yang disebut Sraddha. Persembahan agung yang diselenggarakan untuk menghormati leluhur, khususnya arwah raja ke-8 Majapahit yang bergelar Rajasawardhana Dyah Wijayakumara Sang Sinagara. Menyertakan perahu yang dibangun dari bunga-bunga aneka ragam, untuk menghantarkan puja bagi arwah sang prabhu. Sraddha yang dikisahkan dalam kakawin Banawa Sekar tersebut, diselenggarakan oleh anak keturunan Sang Sinagara, 12 tahun setelah raja itu meninggal.

Namun, bila ditelaah lebih dalam, rupanya Mpu Tanakung hendak mengungkapkan solusi tersirat atas permasalahan yang membelit negaranya. Lewat perlambang-perlambang dalam Sraddha yang dikisahkan melalui kakawinnya itu, ia mengingatkan kepada rakyat Majapahit, untuk kembali kepada nilai-nilai luhur warisan nenek moyang. Tentang bangsa yang sanggup membangun kemakmuran dalam kultur maritim serta agraris sekaligus. Mengenai bangsa yang memiliki daya adaptasi tinggi, kemampuan akulturasi yang mumpuni, hingga tetap mampu mempertahankan identitas diri tanpa harus menolak perkembangan dunia. Bangsa yang lebih mengunggulkan konsep-konsep cinta dalam membangun peradabannya dengan damai.

Secara tidak langsung, kisah Banawa Sekar juga hendak mengungkapkan, bahwa hanya golongan-golongan yang masih menerapkan nilai-nilai keluhuran tersebutlah yang bisa bertahan dari terjangan zaman. Tidak ikut terkikis, seperti Majapahit yang telah keropos digerogoti pertikaian demi pertikaian. Pesan implisit Banawa Sekar ini, ternyata relevan dengan kondisi obyektif Indonesia terkini. Saat identitas kebangsaan sudah tak dikenali lagi, ketika ranah politik kenegaraan banyak diisi oleh kecurangan-kecurangan terhadap amanat rakyat.

Seruan-seruan untuk terus-menerus menggali pemahaman tentang identitas kebangsaan, juga kerap dilontar Cak Nun dalam forum-forum Maiyahan. Sebagai sebuah wahana, maiyah layaknya laboratorium yang tak henti berdialektika dengan perubahan untuk menemukan kreativitas-kreativitas baru dalam mencari formula untuk Indonesia. Sebagai sebuah ideologi, Maiyah menjadi pisau bedah untuk mencari jalan bagi persoalan bangsa, dengan tetap memegang teguh asas-asas tauhid, untuk senantiasa memprioritaskan akhlak mulia. Banawa sekar adalah salah satu wacana yang dikupas, untuk mencari model solusi di tengah sengkarut politik Indonesia yang tak tentu arah.

BERKACA PADA MASA LALU

Menjelang keruntuhannya, Majapahit layaknya berada dalam rerimbunan kabut yang menggiriskan. Kegelisahan rakyat menjalar, saat menyaksikan pertikaian para petinggi Istana. Intrik politik berseliweran, kasak kusuk antara para pejabat meluncur saling menjatuhkan. Sepeninggal Hayam Wuruk yang mangkat pada tahun 1389, percik-percik kehancuran mulai terlihat di tubuh imperium itu. Patih Amangkubhumi Gajah Mada sendiri telah wafat 25 tahun sebelum sang prabhu.

Tidak adanya sosok kuat yang sanggup mengontrol jalannya kekuasaan membuat suasana pemerintahan menjadi limbung. Perang paregreg yang meletus tahun 1404, telah menjadi pemicu mematikan dengan buntut pahit yang panjang. Konspirasi para bangsawan silih berganti menggeroti kebesaran Majapahit. Nilai-nilai luhur kepemimpinan pada ajaran astabrata, astadasa, kotamaning prabhu, panca titi darmaning prabu dan catur praja wicaksana, yang selama ini mengiringi kerajaan itu mencapai kejayaan berangsur-angsur ditinggalkan. Sistem perundang-undangan Kutaramanawa tidak lagi dijalankan sebagaimana mestinya.

Konstelasi politik kian ruwet, saat krisis ekonomi melanda. Korupsi merajalela. Elit Majapahit terjebak pada tujuan-tujuan egois. Sembari mengejar ambisi politik golongan, mereka berlomba menumpuk kekayaan pribadi. Hasrat konsumtif kaum aristokrat meninggi. Beras, lada, garam, kain dan satwa-satwa indah yang selama ini menjadi komoditas ekspor ke mancanegara, mesti dipertukarkan dengan Mutiara, emas, perak, sutra dan perkakas keramik, yang hanya akan dimiliki oleh para bangsawan itu. Kerja keras rakyat menjadi tak sebanding lagi, ketika para pengendali kekuasaan tidak melakukan kewajiban utama mereka untuk menyejahterakan rakyat. Kejahatan-kejahatan mengisi jalanan kotaraja tiap hari. Para prajurit dan jajaran penegak hukum yang selama ini menjaga suburnya keadilan, sudah tak peduli lagi dengan situasi. Mereka yang tengah dililit kemiskinan, sebab gaji yang tak diterima, lebih fokus untuk mencari sumber penghasilan lain daripada melakukan kewajibannya sebagai abdi negara.

Keadaan yang sedemikian kacau itu masih harus ditambah dengan merebaknya ketidakpercayaan politik dari negara-negara bawahan. Disintegrasi akhirnya menjadi pilihan. Negara-negara kecil yang selama ini bernaung di bawah payung persemakmuran Majapahit mulai melepaskan diri, sebab berniat membangun pemerintahan mandiri. Majapahit memasuki usia senja dengan persoalan yang berlipat-lipat.

Menilik peristiwa-peristiwa yang tengah berlangsung di Indonesia pada hari-hari belakangan, layaknya memutar kembali rekaman masa silam tentang kejatuhan Majapahit itu. Terdapat topik-topik yang mirip. Kegaduhan para elit politik di Jakarta pasca pemilu 2014, menghadirkan kegelisahan lama tentang pertanyaan : mampukah Indonesia bangkit dari keterpurukan yang kompleks? Ditengah kabar-kabar korupsi serta kejahatan regulasi yang tak habis-habis, rakyat masih harus disuguhi adegan para politisi yang saling tawar dan tawan, berebut remah-remah kekuasaan.

Seperti menonton pementasan drama dengan lakon yang mengecewakan. Yang tampak pada babak demi babak hanyalah fragmen-fragmen konspirasi antar partai politik agar bisa mencapai dominasi kelompok. Transaksi-transaksi digelar, suara rakyat pada pemilihan umum tempo hari dijadikan mata uang. Panggung politik Indonesia menjelma balai lelang dengan pialang-pialang cupet sebagai penyelenggaranya. Mereka mengejar laba sesaat tanpa menghitung resiko besarnya: masa depan rakyat dan sumber kekayaan negara yang tergadai serta dijarah segelintir orang. Rakyat menyaksikan dengan mengelus dada. Menyimpan kembali harapan-harapan yang nyaris membumbung sebelum pemilu legistlatif berlangsung. Meski begitu, rakyat kebanyakan tetap setia bergelut dengan keseharian yang tak kalah dinamis. Gelombang sejarah Indonesia yang turun naik, bahkan sebelum negara ini didirikan tahun 1945, telah mewariskan mental tangguh dalam menghadapi kehidupan yang sulit. Mereka telah terbiasa mandiri dan tidak tergantung kepada institusi negara. Lalu bertanya-tanya, apakah ke depan, keadaan negeri ini akan lebih baik atau justru makin buruk.

Suasana batin yang tidak jauh beda, juga dirasakan oleh kalangan jelata ketika Majapahit berada diambang kejatuhan. Naiknya Wijayaparakramawardhana Dyah Kertawijaya menduduki singgasana keraton sebagai raja yang ke-7 pada tahun 1447, sempat memberikan kayakinan bagi sebagian besar orang. Sosok yang di dalam prasasti waringin pitu dijuluki “Sri Bhattara Prabhu” itu, disebut-sebut sebagai pemimpin yang bisa menyelesaikan huru-hara di jantung kekuasaan Majapahit. Ia dijadikan model, bagi generasi baru raja Majapahit yang bisa menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Selain itu, Dyah Kertawijaya juga dianggap bisa menyelesaikan krisis kepercayaan dari rakyat terhadap elit politik yang terus berselisih, sebagai kelanjutan dari dendam masa lalu. Namun, malang tak dapat ditolak, Kertawijaya mengalami kebuntuan. Ia keliru memilih jalan, dengan mengangkat orang-orang yang khianat untuk menjadi pendampingnya dalam memerintah. Para pejabat yang mengelilinginya, tak lebih hanyalah bangsawan-bangsawan penjilat yang haus kuasa. Kertawijaya terbunuh dalam serangkaian upaya kudeta pada tahun 1451.

Penggantinya, Rajasawardhana Dyah Wijayakumara Sang Sinagara juga bernasib miris. Pemerintahannya hanya berjalan 3 tahun. Kematiannya mencengangkan, karena tenggelam di laut saat sedang bertamasya dengan putra-putrinya. Desas-desus yang berkembang di istana, mengatakan bahwa Dyah Wijayakumara terjangkit hilang ingatan. Batinnya tertekan ketika harus menyelesaikan persoalan Majapahit yang kompleks dalam waktu sesegera mungkin. Kondisi ini membuatnya jatuh dalam kubangan putus asa. Intrik-intrik politik dari aristokrat lain yang berkeliaran mengancam tahta, membuat kesehatannya menurun dan kewarasan pikirannya terganggu. Saat putra-putrinya berusaha menghibur dengan mengajaknya berwisata dengan perahu di laut, Sang Sinagara lepas kendali. Ia menceburkan diri lantas tenggelam. Setelah peristiwa itu, Majapahit mengalami kekosongan kekuasaan selama tiga tahun. Disintegrasi kian menjadi-jadi. Kriminalitas bertebaran tak tertanggulangi. Makin banyak daerah taklukkan yang memisahkan diri dari Majapahit.

Duabelas tahun setelah Sang Sinagara meninggal, anak-anaknya menggelar upacara persembahan atau disebut pula dengan Istilah Sraddha Banawa Sekar. Sebuah gelaran besar yang diselenggarakan oleh seorang anak Sinagara yang menjadi pemimpin di Kahuripan, salah satu negara bawahan Majapahit. Oleh sebab tersebut, ia dikenal dengan gelar Bhre Kahuripan. Ketika itu, Majapahit dipimpin oleh Girisawardhana Dyah Suryawikrama Hyang Purwawisesa yang memegang tampuk kekuasaan dari tahun 1456 hingga 1466. Upacara inilah yang kemudian direkam oleh Mpu Tanakung dalam kakawinnya yang berjudul sama dengan upacara itu, yaitu Banawa Sekar.

MAKNA TERSIRAT BANAWA SEKAR

SRADDHA merupakan upacara yang lazim terselenggara di zaman Majapahit. Upacara ini merupakan tradisi dari agama Hindu. Fungsinya, sebagai upacara penghormatan, atas anggota keluarga yang meninggal dunia. Biasanya, dilakukan oleh keluarga yang masih hidup. Upacara sraddha dilangsungkan pada jangka 12 tahun setelah meninggalnya seorang raja yang diperingati itu. Rupanya, jarak waktu 12 tahun ini sudah merupakan aturan, karena di dalam dua buah Prasasti Jiu terdapat istilah dwadasawarsa sraddha. Pada jaman keemasan Majapahit, yaitu pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk, upacara sraddha semacam itu pernah berlangsung dalam rangka memperingati arwah ibunya yaitu Tribhuwana Wijayottunggadewi. Upacara sraddha ini terekam dalam kitab Kakawin Nagarakrtagama dan Kitab Pararaton. Upacara sraddha untuk rajapatni tersebut berlangsung 12 tahun setelah wafat nya Tribhuwana Wijayottunggadewi, yaitu pada tahun 1350 M.

Dalam Bahasa Jawa Baru, kata sraddha ini masih dipakai, meski berubah lafal menjadi Nyadran, dengan terjadi metatesis huruf “r”. Istilah ini dipergunakan oleh para peziarah yang mempunyai adat kebiasaan mengunjungi makam nenek moyangnya pada bulan Ruwah (dari kata Arab: arwah). Hidupnya kata sraddha dalam adat yang populer di Jawa bahkan hingga kini, menandakan bahwa upacara tersebut telah lama di lakukan, bahkan setelah agama Islam masuk. Sraddha yang menjelma menjadi Nyadran pun tidak mengandung perbedaan motif yang besar. Tetap berkisar pada wilayah penghormatan leluhur, sembari dijadikan refleksi bagi pelakunya, untuk senantiasa membersihkan diri sebelum maut menjemput.

Hal yang patut dicatat pada Sraddha Banawa Sekar sebagaimana yang dituliskan Mpu Tanakung dalam kakawinnya, adalah soal yang istimewa. Disamping penyelenggaraannya yang megah, juga karena alat-alat upacara yang digunakannya lain dengan lazimnya. Bila tradisi Hindu India menggunakan komponen persembahan berupa : air suci, butir-butir padi dan makanan sebagai sesaji, maka pada Banawa Sekar, Sraddha dilaksanakan dengan menggunakan perahu yang dihias bunga-bunga. Itu merupakan kreativitas baru, yang menampakkan akulturasi budaya, antara Hindu India dan tata nilai lokal.

Dari sejarahnya, perahu bukanlah alat yang asing bagi penduduk Asia tenggara, khususnya Majapahit. Tak sekadar alat transportasi dan perangkat ekonomi, perahu menuansakan peran yang jauh lebih filosofis. Perahu adalah produk budaya maritim yang sekaligus menandakan kesadaran manusia akan teritori maritim tersebut. Sejak berabad-abad silam, masyarakat Austronesia – termasuk Majapahit didalamnya – menyebut perahu dengan aneka bahasa. Para pelafal Tagalog dan Cebuano menyebutnya Baranggay atau Balanggay. Orang Toraja, Palawan, Jawa, melayu, bali, bugis menyebutnya dengan kata Banawa. Kata-kata tersebut berkembang pemaknaannya menjadi rumah, rumah tangga, kelompok sosial atau masyarakat.

Bahkan di Sumba, kepala rumah tangga diidentikkan layaknya pemimpin sebuah perahu. Di pulau Kei, Tanimbar dan Sawu, bentuk rumah adat selalu dikiaskan sebagaimana perahu. Bagian-bagian rumah tersebut, dinamakan layaknya bagian-bagian pada perahu : lunas, tiang pancang layar (sokoguru/mast), layar dan kemudi. Di daerah mandar, Sulawesi barat, kerajaan pamboang memiliki tiga menteri utama yang disebut Pa’bicara. Ketiganya kerap disosokkan dengan perlambang tiga layar (Pallayarang tellu) yang merupakan pengiasan atas perahu. Dari sini, makin terkuak, betapa perahu menempati posisi yang penting dalam kehidupan orang-orang di kepulauan nusantara dari masa lalunya, terutama pada masa Majapahit.

Perahu juga mengandung nuansa spiritualitas yang kuat. Di masyarakat kepulauan Indonesia pada masa lalu, perahu dianggap sebagai kendaraan imajiner seseorang yang meninggal, untuk menuju ke alam berikutnya. Dalam kesadaran kosmik bangsa-bangsa di antero Majapahit, perahu dipercaya sebagai simbol wahana penghubung antara dunia bawah atau bumi dan dunia atas atau kahyangan.

Unsur bunga dalam Sraddha Banawa Sekar, tidak hanya digunakan sebagai syarat upacara. Bunga adalah perlambang tentang cinta dan keindahan. Menurut tradisi budaya veda, bunga-bunga merupakan perwujudan Dewa Kama di alam materi yang akan menjadi perantara jiwa manusia untuk mencapai pembebasan yang sempurna dari ikatan duniawi. Yang tak kalah penting, fungsi bunga-bunga dalam Sraddha Banawa Sekar itu adalah representasi kultur masyarakat Majapahit yang agraris. Dalam tradisi, kehadirannya kerap disandingkan dengan dupa, sebagai perangkat sesaji untuk kenduri di sawah-sawah. Penggunaan bunga itu masih terbawa hingga kini, ketika sebutan upacara Sraddha telah berubah nama menjadi Nyadran.

Fenomena Banawa Sekar yang berlangsung di masa-masa akhir Majapahit, sesungguhnya mengemukakan dimensi kearifan lokal yang kental. Saat situasi politik makro sedang goncang, rakyat diajak untuk berselancar lagi pada lautan filosofi dan nilai luhur yang diwariskan nenek moyang. Semangat sebagai masyarakat agraris dan maritim dipertemukan lagi. Penggabungan simbol perahu dan bunga-bunga, merupakan representasi dari semangat penyatuan semangat maritim dan agraris tadi. Niat hidup yang bengkok, mesti diluruskan, agar bisa kembali ke kesucian. Identitas sebagai bangsa yang terdefinisi dari nilai-nilai luhur yang mengutamakan kesejahteraan bersama lewat cara-cara beradab, harus kembali dipegang. Tujuannya agar kedamaian bisa diwujudkan dan kejayaan bisa direngkuh.

YANG BERTAHAN DALAM PUSARAN POLITIK

SEBAGAI sebuah produk kebudayaan, Banawa Sekar adalah buah pikir yang lahir dimasa krisis. Perangkat itu dimunculkan oleh golongan-golongan yang masih bertahan ditengah disorientasi sosial-politik Majapahit. Saat Negeri itu diambang keruntuhan, terdapat unit-unit masyakat yang tidak turut terseret pada kericuhan-kericuhan. Mereka adalah lingkungan kecil yang berada di jarak yang jauh dari pusat pemerintahan Majapahit. Unit-unit ini terlatih untuk mandiri dan tidak terpengaruh akan imbas buruk konflik-konflik elit yang tengah dialami Majapahit. Unit sosial tersebut adalah Wanua dan Mandala. Dalam istilah lain, keduanya bisa disebut sebagai unit-unit penyintas krisis.

Wanua merupakan istilah yang diterapkan untuk menunjuk tipe desa khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada masa mataram kuno atau bahkan sebelumnya. Namun secara umum, kata ini juga lazim digunakan di wilayah kepulauan yang sekarang disebut Indonesia. Dalam prasasti-prasasti semasa mataram kuno, kata itu mempunyai arti “kelompok” dan arti itu rupanya dapat dihubungkan dengan kata dari bahasa khmer kuno “vnvak” yang juga mempunyai arti kelompok. Prasasti kedukan bukit pada abad ke-7 di Sumatera Selatan menempatkan kata Wanua dengan arti “wilayah yang sudah ditempati atau diadabkan”. Karakteristik Wanua adalah kawasan mandiri di pedalaman pulau, yang mememenuhi kebutuhan sendiri. Wanua bukanlah sebuah tempat hasil koloni dari kelompok sosial yang lebih besar. Kesatuan kolektif ini lahir dari konsesus sekelompok orang yang menjalin ikatan sosialnya lewat norma-norma kekeluargaan dan gotong-royong yang lekat. Dalam struktur administrasi politik Majapahit, Wanua ditempatkan sebagai unit terbawah yang dikepalai oleh seorang Thani atau Tuha Wanua. Warganya sendiri disebut sebagai Anak Wanua.

Pada peta kebudayaan semasa Majapahit, Wanua merupakan titik penting bagi tumbuhnya “kebudayaan kecil”, berhadap-hadapan dengan “kebudayaan besar” yang berpusat di kotaraja. Dalam hubungan pengaruh, Negara sebagai wilayah admistratif yang meluaskan kekuasan politiknya, mempengaruhi Wanua. Nagara yang menguasai pengetahuan internasional kemudian mempengaruhi wilayah Wanua yang mandiri secara kebudayaan. Lewat pelabuhan-pelabuhan dan kota-kota, pengetahuan-pengeyahuan baru, hasil dari interaksi internasional Masuk ke Majapahit dalam kemasan aslinya. Seiring waktu, Wanua-Wanua menerima rembesan pengetahuan itu. Disebabkan oleh karakter kemandirian budayanya, Wanua-Wanua tersebut tak menelan begitu saja terhadap apa yang datang. Mereka akan mengawinkannya dengan nilai-nilai pribumi. Akulturasi dua kebudayaanpun terjadi. Semakin jauh jarak wilayah Wanua dengan pusat kekuasaan maka kian leluasalah mereka mencampur nilai itu hingga lebih kuat dan menonjol nilai lokalnya.

Proses akulturasi tersebut terjadi dalam penyebaran agama Hindu dari India. Pola-pola sinkretisme religi lebih banyak terdapat di pedalaman. Kawasan pesisir yang lebih dinamis tidak sempat mengolah pengetahuan-pengetahuan yang masuk. Maka ketika agama-agama tersebut datang ke Majapahit, penduduk dikawasan itu lebih banyak menerimanya mentah-mentah, bahkan cenderung puritan. Begitu juga yang terjadi ketika Islam memasuki Majapahit. Islam yang dibawa oleh pelancong Tiongkok, Gujarat, Persia serta Arab melalui pelabuhan di pesisir, diterima dalam kemasan yang belum membumi dengan wilayah setempat. Baru setelah masuk ke pedalaman, setuhan-sentuhan akulturatif dilakukan oleh Wanua-Wanua, hingga lahirlah ajaran-ajaran yang memiliki aroma nilai lokal yang kental.

Sewaktu Majapahit tenggelam dalam kekeruhan di paruh kedua abad 14, Wanua-Wanua itu berperan penting dalam menjaga nilai-nilai keluhuran asli yang telah mengakar sedemikian lama. Mereka tetap bisa bertahan, tanpa turut hanyut dalam pusaran konflik kerajaan. Kemandirian ekonomi dan kreativitas kultural yang mumpuni dalam mengolah pengaruh-pengaruh yang masuk ke wilayahnya, adalah kunci dari Wanua-Wanua tersebut sehingga bisa terus tegak dalam arus perubahan. Konsep upacara banawa sekar adalah salah satu hasil dari sentuhan akulturatif unit-unit Wanua tersebut. Sebuah ritual dengan pranata nilai yang kuat unsur lokalnya. Di kemudian hari, mentalitas Wanua yang serba mandiri inilah yang merintis peradaban lain, setelah Majapahit benar-benar tenggelam.

Unit kedua yang tetap tegak saat Majapahit sedang goyah, adalah Mandala. Semasa itu, istilah Mandala akrab digunakan dalam dua maksud. Yang pertama adalah, Mandala yang bermakna liga raja-raja atau persatuan kekuasaan politik. Kumpulan kerajaan-kerajaan bawahan yang tunduk pada satu pusat kekuasaan yaitu Majapahit. Sedang makna Mandala yang kedua adalah lingkungan pertapaan yang dilengkapi dengan asrama (pasraman), berfungsi sebagai tempat tinggal siswa yang berguru pada orang suci. Mandala dengan makna yang terkhir itulah yang dimaksud dalam konteks tulisan ini.

Setidaknya, terdapat 200 Mandala di Jawa menjelang Majapahit jatuh. Selain sebagai Institusi pendidikan, Mandala juga memiliki peran penting dalam memelihara nilai-nilai keluhuran ditengah carut-marutnya situasi. Lingkungan Mandala ini berisi para Tapa yang berkumpul di asrama-asrama hindhu-buddha jawa untuk mempelajari teknik-teknik “Asketisme”, sumpah-sumpah agama dan meditasi, yang digubungkan demi keselamatan seluruh dunia, tetapi juga melaksanakan teknik-teknik tersebut di hutan-hutan, puncak-puncak perbukitan dan tempat-tempat suci di pulau Jawa. Mandala juga berfungsi sebagai laboratorium alam. Para Tapa yang menghuni di Mandala tersebut juga bertugas mempelajari gerak laku musim dan cuaca. Hasil analisis itu, kemudian dilaporkan pada raja, dan digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil regulasi-regulasi dibidang pertanian maupun kelautan. Sedikit banyak, keberadaan Mandala juga berpengaruh terhadap psikologis dan tata cara hidup masyarakat di pedalaman Majapahit. Keberadaan Mandala dianggap sebagai benteng pertahanan terakhir saat penguasa pusat tak lagi menghiraukan kemuliaan hakiki yang terkandung dalam ajaran-ajaran agama. Ketika negara tak sempat lagi memikirkan kebijakan dibidang yang berkait dengan mata pencaharian masyarakat secara umum, Mandala menjadi pusat rujukan rakyat tentang informasi cuaca dan iklim, untuk tetap meneruskan kegiatan pertanian, keluatan dan perdagangannya. Hembusan nilai-nilai keluhuran dan pentingnya fungsi sosial dari Mandala-Mandala itu turut urun saham dalam memberi napas spritualitas yang membumi dan memiliki implikasi sosial pada fenomena Banawa Sekar.

Seiring perjalanan waktu, para Wali penyebar agama Islam mempergunakan konsep Mandala ini sebagai institusi dakwah dan pendidikan dengan nama pesantren. Sebuah akulturasi budaya yang pada perkembangannya membawa pesantren sebagai lembaga keagamaan yang akrab dengan nilai-nilai asli pribumi. Mandala adalah salah satu komponen yang tetap berdiri melintasi zaman, tidak terpengaruh oleh konflik-konflik politik, meskipun imperium besar yang pernah menaunginya hancur berkeping-keping.

Apabila digabungkan, antara Wanua dan Mandala, keduanya bisa dibayangkan dalam metafor perahu dan bunga. Satu sama lain saling menopang dan melengkapi. Wanua bisa berlaku layaknya kapal yang membawa Mandala yang diibaratkan sebagai aneka ragam kembang. Komunitas mandiri yang bisa menampung ide-ide perubahan tapi tak melepas spirit luhur dari nilai-nilai tradisi dan agama. Kedua unit penyintas itu, jika dipadukan akan membentuk himpunan kokoh yang bisa melintasi masa krisis akut, untuk menghindari kehancuran total. Layaknya kapal bunga, yang bisa bertahan ditengah gelombang untuk berlayar menuju alam kesucian.

MAIYAH SEBAGAI BAHTERA KEBANGSAAN

Secara simulatif, konstelasi politik di indonesia pasca pemilu legislatif dan menjelang pemilihan presiden 2014 sudah bisa dibayangkan keruwetannya. Siapapun presiden yang terpilih, akan mewarisi kompleksitas persoalan dari pendahulunya. Situasi parlemenpun akan menghadapi perkara yang sama. Baik itu mengenai perilaku anggota-anggotanya maupun mutu pada hasil-hasil kerjanya. Rakyat akan tetap berlaku sebagai obyek penderita yang terabaikan kesejahteraanya. Situasi adu kuat dan saling sandera kepentingan antar golongan masih terus berlangsung, seperti tampak di panggung politik indonesia dewasa ini. Kondisi demikian akan terjadi, dengan catatan : semua pemegang kekuasaan tidak mau merevolusi dirinya sendiri.

Idealnya, pemerintahan hasil pemilu 2014 ini bisa dijadikan sebagai batu loncatan strategis untuk mengobati penyakit bangsa yang terlanjur kronis. Rentang lima tahun kedepan, bisa dijadikan masa transisi untuk bersih-bersih dan memugar konstitusi untuk mengamendemen pasal-pasal yang mengancam kesejahteraan rakyat. Perbaikan sistem pada lembaga-lembaga negara yang selama ini menjadi sarang korupsi juga bisa dilaksanakan pada masa transisi tersebut. Demikian pula dengan pembenahan mekanisme pemilu berikut revisi undang-undang kepartaian, supaya pribadi-pribadi yang terpilih untuk memegang amanat kedaulatan rakyat, bisa berkualitas dan mengedepankan keadilan. Rekonsiliasi nasional terhadap generasi-generasi yang tersakiti di masa lampau, bisa digelar. Agar Indonesia lancar berkembang tanpa diselipi dendam dari rakyatnya.

Sayangnya, tidak gampang untuk mencapai hal ideal tersebut. Bahkan nyaris mustahil, jika melihat peta politik terkini. Tapi, Indonesia tentu tak ingin berakhir tragis layaknya Majapahit. Luluh lantak dalam benturan berkepanjangan, tercerabut dari akarnya, lantas tersingkir dari pentas sejarah berjalan. Kajian-kajian mengenai keruntuhan Majapahit sudah selayaknya dijadikan formula untuk menemukan karakter keindonesiaan yang kokoh dan melindungi semua pihak yang bernaung didalamnya.

Perlu pemicu yang dahsyat dengan daya tembak yang hebat untuk menjebol kebuntuan sistem bangsa ini. Pada peran inilah, Maiyah bisa secara aktif terjun membuka jalan keluar kratif bagi bangsa. Menginisiasi adanya evolusi atau bahkan revolusi. Menggalang kesadaran dari berbagai pihak untuk instrospeksi diri : bahwa harus ada perbaikan yang fundamental dalam sistem ketatanegaran dan cara berpikir kebangsaan di Indonesia.

Komunitas-komunitas yang tergabung dalam ikatan maiyah berperan seperti Wanua-Wanua yang menebarkan semangat kepada daerah-daerah untuk tetap optimis menjejak masa depan. Memberi jabaran strategi, sekaligus mengiringi implementasi teknis dengan daerah-daerah tersebut, agar tidak goyah ketika Jakarta mengalami krisis. Para intelektual maiyah berlaku layaknya kaum tapa yang menghuni Mandala-Mandala. Menghuni laboratorium-laboratorium maiyah, untuk merusmuskan sekaligus menguji gagasan-gasgasan segar demi kemaslahatan bangsa.

Langkahnya bisa dimulai dengan memanfaatkan momentum pasca pemilu, agar bisa dijelmakan sebagai masa transisi untuk melakukan Nyadran bagi negeri. Menggelar upacara refleksi sekaligus konsolidasi nasionalisme. Nilai-nilai keluhuran dan konsep-konsep hidup bersama yang telah bertahun-tahun digodok dalam diskusi-diskusinya, sudah saatnya diujicobakan. Maiyah layaknya bahtera besar yang menampung aspirasi suci dan wangi bangsa ini menuju Indonesia yang memangku dunia. Menjadi banawa mengangkut sekar kebangsaan, untuk Nyadran Indonesia.

Lubuklinggau, 10 Mei 2014
PUSTAKA
—P.J. Zoetmulder, Djaman Mpu Tanakung. Laporan KIPN-II, VI, 1965
—Bambang Pramudito. Kitab Negara Kertagama: Sejarah Tata Pemerintahan dan Peradilan Kraton Majapahit. Gelombang Pasang, 2006
—Manu, Kakawin Banawa Sekar Tanakung: Studi Mengenai Upacara Sraddha Pada Akhir Majapahit. Universitas Gadjah Mada, 1987
—Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A., Genealogi Keruntuhan Majapahit, Pustaka Pelajar 2010
—Reid, A. Dari Ekspansi Hingga Krisis II Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680. Yayasan Obor Indonesia, 1999
—Masroer Ch, J. Sejarah Perjumpaan Agama-agama Di Jawa. Ar-Ruzz yogyakarta 2004
—P. Carey. Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa: Perubahan Persepsi Tentang Cina 1755-1825. Komunitas Bambu jakarta 2002
—Rahardjo, S. Kota-kota Pra-kolonial Indonesia, Pertumbuhan dan Keruntuhan, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
—Sunyoto, A. Sang Pembaharu Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar. LKIS Yogyakarta 2004
—Bayu Widyatmoko. Kronik Peralihan Nusantara: Liga Raja-raja Hingga Kolonial, Datamedia Yogyakarta, 2013
—M.C Ricklefs, A History of Modern Indonesia, Universitas Gadjah Mada, 2011
—Prof. Dr. Slamet Mulyana. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. LKIS 2005
—Prof. Dr. Slamet Mulyana, Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. LKIS 2007
—R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Kanisius, Yogyakarta 1991
—Djoko Pramono. Budaya Bahari, Gramedia Pustaka Utama 2005