Bermain-main Dengan Bayang-bayang

SAYA SELALU menganggapnya sebagai kesempatan yang mak benduduk. Mengejutkan sekaligus menghenyakkan. Semacam ketiban pulung. Meskipun bobot makna istilah Jawa itu terkesan berlebihan untuk peristiwa yang saya hadapi. Tapi, mau diungkapkan dengan kalimat apa lagi? Sedangkan Bahasa Indonesia sendiri, terasa gagap untuk memadahkan suasana perasaan yang rumit.

Pangkal tahun 2013, seorang pegiat meminta saya untuk mendesain poster-poster Kenduri Cinta. Sekian lama berkutat di ranah rancang grafis, baru kali itu saya mendapat tawaran yang nggegirisi. Sesuatu yang bikin ciut nyali. Pasalnya, Kenduri Cinta adalah perhelatan istimewa yang mengusung gagasan-gagasan besar. Forum ini sering andil dalam perubahan-perubahan besar yang terjadi di Indonesia, meski sejarah formal tak mau mengakuinya. Wahana yang jangkep, berisi kajian intelektual hingga spiritual. Bukan perkara mudah untuk menerjemahkan tema-temanya ke dalam paparan visual.

Meski demikian, saya nekad menerima tugas itu. Apa boleh buat? Sebagai jamaah alien yang rutin menumpang berteduh di baris paling belakang acara itu, sungguh ora ilok jika saya menolak. Ini juga wujud terima kasih saya kepada Mbah Nun yang telah mengajari banyak hal di Kenduri Cinta. Meskipun beliau enggan disebut guru dan menampik jika wacana-wacananya disebut sebagai ajaran.

Nyaris tak ada konsep gambar yang terlintas, tiap kali saya mendapat lemparan tema. Biasanya, ide baru muncul menjelang tenggat waktu perancangan habis. Itupun seperti bermain dengan bayang-bayang. Nggrambyang! Boleh dibilang, saya sering kelimpungan. Bahkan, hingga sekarang. Saat masih diminta merancang poster edisi khusus, saya butuh waktu yang panjang untuk meyakinkan diri sendiri, bahwa gagasan visual saya telah cocok dengan tujuan Kenduri Cinta.

Tema-tema Kenduri Cinta memang unik. Bahasanya akrobatik. Dikemas dalam frasa-frasa tidak lazim yang multitafsir. Mengandung beragam kemungkinan arti. Setiap kepala, bisa beda penyimpulan. Ini senada dengan karakter diskusinya. Hadirin acara itu selalu diajak berkelana dari ufuk ke ufuk. Melapangkan carkrawala berpikir. Dipantik untuk jitu memahami masalah. Dari soal keindonesiaan hingga perkara kening hitam. Dari masalah gaya hidup modernitas, menukik ke ihwal celana cingkrang. Dari obrolan mengenai undang-undang zaman Ratu Sima, sampai perbincangan terkait dampak buruk kapitalisme global.

Ini majelis ilmu yang kaya sudut pandang. Layaknya universitas terbuka, dengan kurikulum utama: kerendahan hati untuk mengarungi keluasan hidup, kerelaan diri untuk mewadahi hal-hal yang tak melulu menyenangkan. Memilih simbol yang bisa mewakili kedinamisan tersebut, mesti berhati-hati. Supaya tidak berseberangan dengan maksud yang hendak dibahas, sekaligus menghindari berbenturan dengan nilai-nilai Maiyah.

Meskipun tak ada yang melarang saya untuk menyematkan metafor jenis apapun, tapi sepampang poster adalah secarik pernyataan. Keliru memilih representasi visual, berpeluang menodai kemurnian gelaran. Bukankah sesuatu yang berharga harus dijaga? Dan Maiyah adalah ladang yang mesti dirawat persemaiannya. Laboratorium ilmu yang terlalu sayang jika diciderai dengan ketidaksenonohan simbol. Bagaimanapun, setiap warna, huruf, bidang, bangun, lekuk serta bentuk yang ditaruh sebagai elemen poster, tidak bebas nilai. Semuanya terikat pada asas kepatutan, baik dari pihak yang akan menggunakannya maupun dari masyarakat yang berpotensi melihatnya. Setidaknya, demikian cetusan sikap saya. Terkesan ideologis? Biarlah. Menyulitkan? Biarin!

Kurang lebih setahun, saya rutin mengerjakan poster-poster itu. Tiap edisi adalah lecutan baru. Akrobat baru. Saya keponthal-ponthal! Persis menaiki gerobak beroda peyang, melewati jalan berlubang nan sempit berkelok. Penuh kejutan. Tidak semua tema tergarap mulus. Malahan, saya pernah benar-benar buntu gagasan, sehingga tidak berhasil menyediakan desain poster pada satu masa penerbitan. Sungguh kerontang. Tak ada pajangan baliho di halaman Taman Ismail Marzuki. Lintasan agenda pada akun facebook dan twitter Kenduri Cinta pun hanya berisi teks. Dan panggung penyelenggaraan acara terpaksa dibiarkan polos. Apes!

Judul-judul yang mengandung kata “Indonesia”, menjadi jenis tersulit untuk dieksekusi. Mencari visual segar serta sederhana, yang mudah dipahami sebagai simbol atas Indonesia, ibarat mengendus harta karun tanpa dibekali peta. Berputar-putar dan gagal menemukan. Pada akhirnya saya pun memakai simbol-simbol yang lazim dipakai. Seperti burung garuda, peta wilayah Indonesia atau bendera merah putih. Padahal, ingin rasanya menampilkan hal baru. Apa mau dikata? Selalu buntu. Indonesia barangkali terlalu luas dan kompleks untuk direpesentasikan pada bentuk-bentuk visual lain, di luar yang saya sebutkan tadi. Atau karena identitas nasional kita memang belum terdefinisi secara solid dan tuntas, sehingga sulit mengemasnya dalam aneka tafsir visual yang mengena? Entahlah.

Sifat serba tentatif namun tetap gravitatif menjadi ciri khas Kenduri Cinta. Demikian juga dengan perhelatan Maiyahan yang lain. Karakter ini membuatnya berbeda dengan arena keilmuan manapun. Bukan organisasi, tapi berhasil dijalankan dengan tata kerja organisme. Modalnya hanya kesetiaan mengabdi pada nilai yang diyakini serta semangat gusti mboten sare. Tak jarang dihadiri ribuan penghuni ibukota yang konon selalu sibuk, namun ternyata masih rela duduk berjam-jam mengikuti acara. Ketiadaan sponsor tak lantas membuat Kenduri Cinta ndlosor, tetap bertahan hingga belasan tahun! Tidakkah ini ajaib? Sayangnya, hanya segelintir periset yang mau menelitinya. Selebihnya terkesan ogah. Tidak jelas musababnya. Apakah karena kental dengan aroma Islam? Atau sebab pemikiran-pemikiran yang berkelebatan di dalamnya kerap melabrak arus utama, termasuk mengganggu kemapanan cara berpikir pada berbagai bidang?

Bulan ini, Kenduri Cinta berusia 17 tahun. Tema acara yang diangkat adalah Ruwaibidhoh. Istilah yang belum begitu akrab bagi kebanyakan orang. Termasuk saya. Sebab kali ini kembali diminta membuat poster, mau tak mau, saya pun menelusuri maknanya. Meski setelah mengetahui, saya tetap tak bisa cepat menemukan representasi visualnya. Namun waktu tak bisa ditawar. Sedangkan tenggat sudah dekat. Ilmu kepepet lantas dimainkan. Saya menggambar semampu mungkin, bermain dengan bayang-bayang, bersimulasi dengan bentuk-bentuk. Terwujudlah poster yang kini menjadi media publikasi Kenduri Cinta bulan Juni 2017 itu. Karakternya tersuguh multitafsir, sama seperti tema-tema yang sering diusung Kenduri Cinta. Jangan tanya filosofinya, sebab sampeyan dibebaskan untuk mengartikannya. Saya membubuhinya judul: Kekonyolan Milenial. Gagasan yang terbersit secara mak bedunduk, sesaat setelah melihat kegaduhan tekstual yang konyol serta tolol di media sosial internet, namun banyak orang yang diam-diam menikmatinya.

Selamat ulang tahun, Kenduri Cinta!