Guyub

SEJUMLAH BESAR kampung di serata tlatah nusantara, tetap melazimkan adat berkumpul untuk merembug persoalan-persoalan sosial yang menyasar mereka. Penduduknya masih rela sepikulsejinjingan dalam membantu hajatan tetangga, memperbaiki sarana umum yang rusak di kawasan pemukiman, mengerahkan sokongan dana untuk anggota masyarakat yang dililit kesulitan akut, hingga bahu-membahu secara cuma-cuma dalam mengurusi pemakaman warga yang meninggal. Mereka setia melakukan itu. Mandiri, atas nama hubungan kemanusian. Kegiatan-kegiatan seperti gugur gunung, kerig, sinoman, bersih desa dan semacamnya, masih dirutinkan tanpa harus didorong oleh anjuran-anjuran pemerintah atau paksaan undang-undang. Bahkan, seumpama negara sama sekali tak hadir di keseharian mereka sekalipun, hal-hal serupa itu agaknya bakal terus dilakukan.

Gotong-royong bukan mitos. Namun benar-benar masih berlaku, terutama di daerah-daerah yang jauh dari pusat-pusat kekuasaan negara. Watak itu telah menjadi nadi kehidupan sejak berabad-abad silam. Rentang usianya, barangkali setara dengan umur kebudayaan masyarakat itu sendiri. Sejak sebutan puak atau wanua jamak dipakai untuk menamai komunitas-komunitas ramping terorganisasi yang menghuni suatu wilayah politik. Sekali-kali, kunjungilah desa-desa di pedalaman Indonesia yang lekat dengan penerapan nilai-nilai tradisi leluhur, untuk menyaksikan itu semua. Ini kenyataan melegakan, di saat bangsa ini tengah repot dengan ancaman keterceraiberaian.

Orang Jawa menyebut gagasan kebersamaan harmonis tersebut sebagai guyub. Artinya, berhimpun dalam kerukunan. Istilah yang juga telah diserap dalam Bahasa Indonesia, dengan makna senapas. Dari sebenih falsafah, guyub kemudian tumbuh mempengaruhi pola pikir orang dalam memerankan fungsinya sebagai makhluk sosial.

Pada kultur masyarakat agraris, semangat guyub melandasi pengelolaan irigasi yang mengaliri sawah-sawah. Peluang kericuhan akibat perebutan jatah air pun bisa diredam. Saat menghadapi masa tanam dan panen, guyub menjadi tulang punggung bagi teraihnya kerjasama yang setimpal serta saling menguntungkan antar petani. Demikian pula dengan istiadat dalam masyarakat maritim. Sebelum mengarungi lautan, gabungan nelayan berembug lebih dulu untuk membahas seluk-beluk perburuan serta porsi-porsi pembagian tangkapan. Sebab hasil-hasil alam tidak diperuntukkan cuma pada kelompok tertentu saja. Kepenguasaan sepihak hanya akan membuahkan ketimpangan yang menyengsarakan. Untuk itu, monopoli sumber ekonomi harus dihindari.

Dalam sejarah manusia, perebutan sumber-sumber penghasilan selalu menjadi pangkal dari perselihan-perselisihan yang berbuntut pahit. Kerapkali, hingga menumpahkan darah. Persaingan yang liar merupakan musabab galibnya. Maka guyub menjadi jalan keluar, agar tiap-tiap pribadi bisa menahan diri untuk tidak saling terjang dalam mengusahakan mata pencaharian. Kesejahteraan pribadi adalah bagian dari kesejahteraan kelompok. Begitu pula sebaliknya. Kompetisi diperbolehkan asalkan sesuai kesepakatan. Syarat pokoknya, tidak boleh melanggar kemaslahatan hidup bersama. Pengupayaannya pun, diasasi keadilan. Tanpa itu, kesejahteraan hanyalah ilusi belaka.

Prinsip ini jelas berbeda dengan kaidah modernitas, yang menggambarkan perjuangan ekonomi individu layaknya perlombaan memanjat piramida dengan peserta berlimpah. Siapapun yang dapat mencapai puncak, bakal menguasai rantai makanan. Dijuluki orang sukses kemudian dianggap panutan. Dan jumlah mereka yang berhasil, tentu saja, lebih sedikit dibanding orang yang berada dibawah. Kapitalisme global dengan ideologi pasar bebasnya telah mewajarkan persaingan ketat yang seringkali kejam. Pemilik modal besar lantas meraja. Melindas si lemah seraya menumbangkan pihak-pihak yang berpotensi mengunggulinya. Demi pengerukan laba sekaligus melanggengkan kekuasaan, menginjak serta menjungkalkan liyan menjadi kelumrahan. Penghancuran satu sama lain, bahkan dipertontonkan secara telanjang.

Konsep guyub, turut pula melambari perilaku masyarakat dalam merayakan hari-hari besar. Usai mengelola hasil alam, warga akan sukarela menggelar kenduri kampung, sedekah bumi, petik laut, merti desa atau acara-acara sejenis. Masing-masing orang urun bahan-bahan makanan dan peranti pendukung lain. Biasanya, itu diselenggarakan pasca masa panen atau sekembalinya nelayan-nelayan dari samudera, tanda berakhirnya penggal musim melaut. Para perantau berduyun-duyun mudik ke kampung halaman untuk turut memeriahkannya. Mereka berhimpun memanjatkan syukur kepada Sang Maha Kuasa atas tercukupinya sandang, pangan dan papan. Ungkapan terima kasih dihaturkan pula untuk leluhur yang telah mewariskan nilai-nilai adiluhung yang menuntun hidup mereka. Di masa lalu, ritual tersebut dikenal sebagai Sraddha. Lidah Jawa lalu melafalkannya dengan nyadran. Konsekuensi dari rutinnya khalayak berkumpul itu, lantas berdampak pada tata ruang wilayah. sehingga setiap kampung hampir selalu memiliki alunalun. Atau setidaknya tanah lapang yang penggunaannya dikhususkan untuk keperluan sosial.

Tujuan upacara-upacara tadi selalu diarahkan demi kebahagian kolektif. Maka wajar, apabila penghuni kepulauan nusantara tidak mengenal perayaan yang bersifat pribadi atau berlingkup kecil, layaknya tradisi masyarakat belahan dunia lain. Seperti ulang tahun perseorangan, hari bapak, hari ibu, hari keluarga maupun semacamnya. Baru setelah terjadi persilangan budaya yang intensif, sebagai imbas pergaulan antar bangsa, acara-acara tadi lantas diakrabi. Itupun, biasanya tetap dihelat dengan menyertakan banyak orang.

Cara masyarakat dalam merancang kediamannya, juga dipengaruhi oleh konsep guyub. Pada hampir semua rumah-rumah tradisional nusantara, kerap ditemukan ruangan yang sengaja disediakan sebagai wahana berkumpul orang banyak. Entah itu berupa pendopo atau bagian depan rumah yang dibuat dengan ukuran lebih luas, dibanding bagian-bagian rumah yang lain. Paling tidak, tempat itu dirasa cukup untuk menghimpun tetangga kiri-kanan pada acara selamatan yang diikuti santap bersama. Komposisi tersebut mengiaskan, betapa kuatnya kesadaran seorang warga sebagai bagian tak terpisahkan dari kepentingan-kepentingan sosial.

Guyub adalah pondasi sekaligus atap bermasyarakat. Nuansanya dicerminkan dalam ungkapan Jawa, “Mangan ora mangan kumpul”. Bukan makannya yang penting, tapi proses berkumpulnya yang utama. Sebab, ketika bersama, tak hanya persoalan makan maupun pengelolaan sumbersumbernya yang bisa diatasi, hal-hal penting lain pun memungkinan disiasati tanpa harus saling melukai.