Stigma

SAAT TIBA di Malaka pada kisaran dekade kedua tahun 1500, Duarte Barbosa menyaksikan peristiwa mengejutkan. Seorang lelaki Jawa yang tinggal di bandar itu, menghambur ke jalanan dengan gelap mata. Ia menyerang dan membunuh siapapun yang ditemui. Orang-orang di sekitarnya kalang-kabut tak karuan. “Amuk…Amuk!”, pekik khalayak yang panik sembari bergegas menghindar agar tak menjadi sasaran kekalapan. Kericuhan berangsur redam, ketika sejumlah orang menghentikan kebrutalan si lelaki, dengan menghunjamkan tombak ke tubuhnya. Barbosa lantas menyebut kejadian yang disaksikannya itu dalam ejaan bahasa Portugis, “Amuco”.

Sesungguhnya Barbosa tidak tahu pasti mengenai motif pelaku kerusuhan itu. Informasi yang ia dapat hanya menjelaskan, bahwa keberingasan tersebut merupakan bagian dari kebaktian kepada dewa. Henry Edward John Stanley, yang menerjemahkan catatan perjalanan Duarte Barbosa ke dalam bahasa Inggris dengan judul “A description of the Coasts of East Africa and Malabar in the beginning of the sixteenth century by Duarte Barbosa”, bahkan menghubungkan kejadian itu dengan ritual penyembahan terhadap Syiwa atau Bhowani. Borbosa lalu menarik kesimpulan, “Amuk” atau “Amuco” merupakan tindakan lazim penduduk Malaka yang mengisyaratkan keterbelakangan mentalitas mereka. Bangsa yang berbahaya!

Kesaksian Barbosa tadi lantas mempengaruhi pandangan petualang-petualang Eropa lainnya. Berangkat dari secuil potret, prasangka sinis lalu berkembang menjadi konsepsi tetap. Lebih jauh, Bahasa Inggris malah secara resmi menyerap “Amuk” ke dalam almari kosakatanya di tahun 1670, sekaligus menjadikan kata itu sebagai monumen kebenaran tentang bagaimana menyifati bangsa Melayu. Keterangan etimologis yang menyertai pengartiannya bernuansa miris: “amok (adv.) in verbal phrase run amok, from Malay amuk, attacking furiously. Earlier the word was used as a noun or adjective meaning a frenzied Malay, originally in the Portuguese form amouco or amuco”.

Penjabaran itu secara khusus meletakkan bangsa Melayu sebagai satu-satunya pelaku “Amuk”, sebagaimana yang digambarkan Barbosa. Generalisasi diterapkan dengan serampangan, nyaris tanpa mempertimbangkan kompleksitas konteks. Oleh penguasa-penguasa Eropa, sekelumit pengetahuan itu kemudian dijadikan salah satu bekal untuk mensyahkan derap kolonialisme dalam panji-panji misi hiprokit bernama pemberadaban, sambil menguras sumber daya ekonomi tanah jajahan. Sekali dayung, dua tiga pulau terkuasai!

Duarte Barbosa barangkali tak menyangka, istilah “Amuk” yang diartikannya tumbuh menjadi asumsi stereotip bagi bangsa-bangsa barat dalam menilai timur, khususnya penghuni kawasan nusantara. Cap buruk itu bertahan hingga berabad-abad sampai menggerogoti kepercayaan diri masyarakat yang disasar. Menjangkitkan wabah inferioritas. Melandasi sekian penindasan dan perampokan atas nama pemberadaban. Menciptakan kelas-kelas sosial baru, memisahkan golongan pendatang sebagai pembawa keluhuran yang layak mendapat penghormatan dan kalangan jelata yang lumrah bila diperlakukan layaknya hewan. Menjulangkan jargon-jargon pongah, bahwa pencerahan selalu datang dari barat! Masyarakat terjajah diletakkan sebagai obyek penderita yang harus banyak-banyak belajar dari penjajahnya. Gerakan penalukkan memang tak melulu dimulai dengan serbuan pasukan tempur. Kerapkali hanya diawali melalui redefinisi kata tertentu, yang bisa mengubah gambaran keadaan suatu kelompok beserta nilai-nilai yang melingkupinya ke dalam aroma negatif. Memproduksi stigma-stigma yang mengeroposkan citra lawan hingga makin mudah dihancurkan. Sebab perombakan makna kata, mampu menjungkirbalikkan anggapan terhadap sesuatu, meski telah diyakini sekian lama. Bahkan rekayasa itu sanggup mewajarkan perbuatan tercela menjadi seakan-akan mulia.