Padhang mBulan, Pohon Rindang

“Kita, anak-anak muda , selalu bergelepotan kata-kata besar tentang kebenaran, perjuangan hari depan, semangat perjuangan, nafsu politik, tangan yang mengepal, termasuk bagaimana meramu masakan bagi hari esok negeri kita, serta segala sesuatu tentang kesejahteraan bangsa. Tapi sungguh, tidak jarang bahwa segala kegagahan kata itu, tinggal menjadi kembang plastik, ketika sampai pada manusianya.”

Penggalan itu diambil dari lajur paragraf surat-surat Cak Nun yang ditulisnya saat tinggal di Eropa, selama beberapa waktu. Catatan-catatan perenungan, yang ditujukan untuk adiknya, Cak Adil Amrullah, pada pertengahan dekade 1980-an. Dengan gaya tulisan trengginas, layaknya obrolan di gardu ronda yang akrab, diperkaya oleh perlambang-perlambang fenomena, yang dekat dengan keseharian. Isinya mengungkapkan suasana batin dan pikir dalam merespon kondisi di sekitar. Cak Nun tengah berdialog juga bergulat sekaligus, dengan riuh lingkungan yang dihadapi maupun ingatan mengenai Indonesia. Seakan-akan, tiap kejadian yang diperhatikannya, berganti wujud menjadi pertanyaan-pertanyaan. Dengan sigap, Cak Nun merenggut satu demi satu hunjaman tanya tersebut, seperti menangkapi sekian anak panah yang mengarah beruntun.

Kabar-kabar yang berseliweran dari berbagai arah, diolah pada dapur intelektualitasnya. Perpindahan sementara ke benua seberang, tidak lantas membuatnya berhenti memperhatikan dan memasak lontaran-lontaran peristiwa. Baik yang berlangsung di Eropa maupun yang bergejolak di tanah air. Semua diuleg luget dengan perspektif-perspektif yang cerdas lintas penjuru. Bagaikan berjalan mengelilingi sebuah benda dalam ritme teratur. Tiap ordinat yang ditapaki pada garis lingkaran itu, diamati dalam-dalam. Ditinjau dengan seksama, hingga menemukan nilai-nilai yang menyembul. Meski nyempil kecil, tapi sedemikian berharga.

Paragraf lainnya, menyiratkan hal yang kurang lebih sama. Sebagaimana yang termuat pada buku Dari Pojok Sejarah yang pernah diterbitkan Mizan pada tahun 1985. Oleh Penerbit Progres, Yogyakarta, buku itu kemudian di keluarkan ulang, tiga belas tahun setelahnya. Bisa ditiris, dari torehan yang tercantum disana, bagaimana lincahnya pikiran-pikiran Cak Nun, menelaah kompleksitas persoalan: dari tengara per individu hingga dinamika sosial. Apalagi, jika ditilik dari kondisi kala itu, Indonesia sedang berada dalam pusaran represif penguasa. Sedang Cak Nun adalah figur yang tidak bisa dilepaskan dari obrolan-obrolan tentang perlawanan terhadap kepongahan orde baru itu. Berangkat sebagai anak kampung Menturo di pelosok Jombang, singgah di kehidupan pondok pesantren gontor, lalu hinggap di Yogyakarta di awal dekade 1970-an, Cak Nun bergumul dengan ranah sastra yang lentur. Tidak hanya berkutat dalam petak-petak puisi serta prosa. Namun meliuk jauh hingga ejawantah kegelisahan sosial dalam tatanan politik dan budaya berjalan, telusur terhadap nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan, yang dimaktubkan dalam karya-karyanya. Cak Nun telah melintasi aneka keadaan, melakoni sekian peristiwa. Memperhatikan gejala-gejala manusia secara pribadi, perilaku hingga kelompok. Turun ke jalan, membela korban kesewenang-wenangan kekuasan dan menemani mereka yang tertindas.

Dalam surat-surat itu, Cak Nun meneropong Indonesia dari pandangan yang paling fundamental. Bahwa persoalan sistem yang ganas menerjang nilai-nilai kemanusian, diawali dari kerusakan cara berpikir, dialektika batiniah para manusia pelaksananya. Terdapat komponen-komponen inti dari struktur kesehatan akal yang rusak hingga mencacatkan fungsinya. Memantik tindakan keserakahan yang bertubi-tubi, kompetisi untuk memuaskan diri sendiri secara berlarut-larut. Batas-batas perilaku nyaris pudar hingga tak dikenali. Orang berbuat semaunya, meluapkan hasratnya masing-masing, melampiaskan habis-habisan hingga lumpuh logikanya serta tumpul hatinya. Apapun yang ditujukan demi kesejahteraan hidup bersama, gagal dicapai, karena tiap orang memakan satu sama lain, saling menaklukkan, demi kemenangan diri sendiri atau kelompoknya saja. Kondisi demikian sudah membatu, berkarat, yang akhirnya menjadi tutorial baku bagi segala perilaku. Kekeliruan yang direpetisi terus menerus tersebut, membabi buta dan diselenggarakan kolektif, lambat laun menjelma menjadi kebenaran baru. Cak Nun membidik fenomena kemanusiaan ini sebagai bibit dari kerusakan terhadap apapun yang dibangunnya. Dari cara-cara beragama, memposisikan Tuhan, hingga bernegara. Serpih-serpih detil yang pada sebagian orang terdengar normatif, tapi disampaikan oleh Cak Nun dengan bahasa-bahasa yang akrab melalui metafor-metafor terdekat. Tuangan analisa yang mengusik batin terdalam, hingga siapapun, akan melihat wajah dan tubuh manusia —juga Indonesia— tidak hanya dari sisi yang nampak dan kasar. Namun menelisik jauh sampai pada rinci-rinci yang halus dan kerap terlepas dari perhatian.

Sepulangnya ke tanah air, Cak Nun tidak serta merta istirahat. Justru aktifitasnya kian padat. Sebelum berangkat ke eropa Cak Nun yang memang telah rutin mengisi acara-acara diskusi berbagai ruang sosial hingga menulis pada banyak media. Lalu sekembalinya dari benua jauh itu, Cak Nun makin rapat saja jadwalnya. Buah-buah pikirannya menarik banyak kalangan, karena bersifat alternatif. Sudut pandangnya unik dan lepas dari konvensi-konvensi yang dipahami sementara orang. Undangan-undangan seminar dengan beragam tema, menumpuk di Patangpuluhan, rumahnya di Yogyakarta. Periode ini, Cak Nun layaknya pohon besar nan rindang , tempat orang-orang berteduh dan mencari jawab atas keresahan yang mengancam mereka. Tinjuannya terhadap persolan-persoalan agama, hukum, politik, budaya kontemporer dan sejarah, seperti magnet yang telah menarik rintik hingga bongkah logam yang berdiam di kisar medannya.

Aktivitas yang berdesakan itu, membuat kekerapan Cak Nun untuk menyambangi Menturo, menjadi jauh berkurang. Ibunda dan kerabat keluarga lainnya menjadi susah mendapat kesempatan untuk bertemu dan ngobrol panjang lebar dengannya. Ini yang membuat Cak Adil Amrullah, adik kandungnya, melecut inisiatif untuk merancang acara pada jadwal yang tetap di Menturo, semata agar Cak Nun bisa berpeluang pulang ke kampung halaman. Setelah berembug dengan dua kakaknya yang lain, yaitu Cak Ahmad Fuad effendy dan Cak Nashrullah, disepakatilah ide tersebut.

Cak Adil —akrab disapa Cak Dil— bukanlah orang yang tidak sibuk. Kegiatannya juga banyak. Dia seorang aktivis yang menggalang kesadaran dan kemandirian terutama bagi petani, dari kampung ke kampung. Begitu Juga, dengan Cak Fuad, panggilan akrab untuk Ahmad Fuad effendy. Dia anak sulung dari keluarga itu yang juga berkecimpung dalam ruang waktu yang rapat. Sebagai akademisi yang tinggal di Malang, Cak Fuad mesti mengolah lagi tempo aktifitas, agar acara rutin yang dirancang bersama Cak Dil bisa terwujud. Lain halnya dengan Nashrullah, kakak Cak Nun yang biasa disapa Cak Nash. Karena tinggal di Menturo dan didapuk untuk mengelola sekolah yang didirikan oleh Ayahnya pada periode 1950-an, menangkap ide Cak Dil dengan suka cita. Harapannya untuk memliki arena dan waktu khusus, demi berkumpulnya keluarga, ternyata tak bertepuk sebelah tangan. Dengan semangat-semangat untuk mengeratkan persaudaraan itu, maka Cak Nun bisa ditarik dalam ritme tetap, untuk pulang dan beranjangsana dengan keluarganya.

Nama yang dipilih adalah Padhang mBulan. Perlambang tentang bumi yang sedang indah-indahnya. Cahaya temaram menempel pada benda-benda. Bumi, bulan dan matahari berada dalam suatu garis lurus, yang menyebabkan gaya tarik bulan lebih kuat. Simbol tentang masa, dimana harapan-harapan yang membuncah dalam diri manusia, bisa tertarik naik, meninggi dan sublim menjadi restu Tuhan. Tepat pertengahan bulan, kalender jawa, yang bertepatan dengan Oktober 1993, perhelatan itu dimulai. Dari sebuah pengajian keluarga, lambat laun membesar, menarik minat orang-orang sekitar untuk datang. Bermacam-macam topik digelar, lalu di kupas dengan cara bedah yang menyegarkan. Padhang mBulan menjelma menjadi oase bagi sekian ratus —lalu ribu— khalayak. Mereka yang haus dengan nilai-nilai yang nyaris punah. Perspektif yang melapangkan dada, membahas isu-isu aktual maupun wacana yang telah ditenggelamkan zaman. Lingkaran kebersamaan dalam menggapai ridlo Allah dan mengeratkan pegangan pada temali-Nya. Dalam istilah Arab, gagasan ini disebut Maiyatullah. Di kemudian waktu, Padhang mBulan berlaku sebagai embrio, untuk tumbuhnya lingkaran-lingkaran serupa yang bernaung dalam atap yang disebut Maiyah.

Secara simultan —bersama dengan sepak terjang Cak Nun yang makin padat dengan advokasi, ceramah dan menulis— Padhang Mbulan di datangi oleh aneka jenis manusia dari berbagai daerah dan klasifikasi sosial. Tentu, perkembangan ini mengundang dampak baik bagi lingkungan sekitar. Sektor ekonomi informal tumbuh, warga kanan-kiri, kreatif membuka lapak dagangan untuk melayani kebutuhan pengunjung Padhang mBulan. Ditahun-tahun selanjutnya, terjadi kenaikan tajam pada jumlah jamaah. Jangka 1996-1998, orang-orang yang bertandang ke sana mencapai angka 50.000 lebih. Nyaris separuh wilayah kampung, berjejal manusia setiap tengah bulannya. Daya tarik yang dipicu oleh tampilnya Empat intelektual dan ulama dari Menturo, yang telah dikenal luas. Cak Fuad adalah narasumber yang pandai mengupas metodologi memahami Al-Quran, Cak Dil adalah figur yang jitu memetakan strategi-strategi gerakan sosial, Cak Nas adalah orang yang mumpuni berbicara dibidang pendidikan dan manajemen organisasi. Sedang puncaknya, Cak Nun adalah seorang dengan multi-prespektif yang mengkaji perihal pembenahan cara berpikir.

Tak jarang, tokoh-tokoh populer datang. Baik dari kalangan selebritas, intelektual akademik, politisi profesional, hingga kyai-kyai yang namanya sudah kondang atau belum pernah di dengar sama sekali di telinga publik. Forum terbuka yang lesehan itu, memberi kesempatan siapapun untuk menuangkan gagasan, memberikan pandangan-pandangan dari tiap celah keresahan masyarakat. Ibaratnya, Padhang mBulan telah menjadi Indonesia kecil yang telaten meneropong Indonesia Besar. Menelaah negeri yang sedang goncang akibat ditimpa berbagai krisis. Menggedor-gedor pintu kekuasaan yang angkuh dengan bersholawat dan membangun itikad baik dengan memikirkan konsep-konsep, apa sebenarnya manusia itu? Apa hakekatnya hidup bersama itu? Orang seperti terlanda rindu yang akut. Tentang cara pandang alternatif tentang tafsir agama, kabar-kabar “bawah tanah” kondisi politik terkini dan kesegaran baru dalam menjalani hidup

Gerakan reformasi tahun 1998, dimana Cak Nun adalah salah satu figur utama —bersama Cak Nurkholish Madjid, yang menginisiasi turunnya Soeharto dari singgasananya— menjadikan Padhang mBulan menguat daya tariknya. Figur Cak Nun tidak bisa dilepaskan dari membludaknya orang yang hadir itu. Kapasitasnya sebagai “apa saja” yang telah dikenal akrab oleh orang banyak, turut menjadi magnet bagi siapapun yang gelisah disaat-saat itu. Meskipun reformasi yang diidamkan kandas, akibat kefatalan tindakan egois kelompok tertentu, dan Cak Nun menyikapinya dengan tegas, untuk tidak ikut dalam pesta pora keserakahan reformasi, Padhang mBulan adalah rumah tempat kembalinya. Bersama keluarga, kakak dan adik-adiknya, melayani mereka yang datang, menjawab mereka yang bertanya, meneguhkan mereka yang goyah, menemani siapapun yang susah.

Padhang mBulan menjadi ibu kandung bagi gerakan-gerakan berikutnya. Di Yogyakarta lahir Mocopat Syafaat, forum yang berkarakter sama, telaga bagi siapapun yang merindukan bersapa dalam “indonesia yang lain”, ngaji dan mengkaji apapun yang berkaitan dengan kehidupan dan kemanusiaan. Bergiliran setelah itu terbit Kenduri Cinta di Jakarta, Maiyah di Mandar bertajuk Paparandeng Ate, di Surabaya bernama Bambang Wetan, di Semarang dikenal Gambang Syafa`at, serta di Malang dengan sematan Obor Illahi. Kelompok yang terakhir disebut, kemudian bertransformasi menjadi Religi, yang merupakan kependekan dari Rebo Legi. Maksudnya, sebuah forum ngaji dan diskusi yang diadakan rutin setiap bulannya pada hari rebo legi, pada perhitungan kalender Jawa.

Semua berjalan hingga kini dan terus menerus berkembang biak. Menumbuhkan kelompok-kelompok diskusi kecil dari kampung ke kampung, pelosok negeri hingga grup-grup obrolan di perkotaan. Karakter Maiyah adalah penyifatan untuk dinamika pemikiran yang komprehensif. Memandang apapun, mesti disertai kelengkapan-kelengkapan sisi dan tendensi, supaya tidak limbung diterjang angin peradaban yang kerap menggoyahkan. Berani menghancurkan pemikiran hari ini lalu bernyali untuk membangunnya kembali esok harinya. Begerak tanpa henti, memesrai Tuhan, tangguh terhadap masalah dan sensitif terhadap paradoks yang berlangsung di sekitar.

Tak terasa, Padhang mBulan telah menginjak usia dua puluh tahun, di tahun 2013 ini. Bukan perjalanan yang pendek dan gampang, untuk sebuah lingkaran kebersamaan yang konsisten mengolah cara pandang yang kerap mrucut dari perhatian khalayak. Sebuah arena yang tetap teguh menjaga kesehatan akal dalam kancah Indonesia yang silang sengkarut. Padhang mBulan telah menjadi pohon yang rindang, dan tetap tak memilih siapapun yang mendatanginya. Dia tetap teguh berdiri dan menaungi. Mendengarkan keluh pada hidup yang capek, dari tiap orang yang bersandar di batangnya. Meskipun Indonesia kian centang perenang, meskipun dunia berjalan dengan roda yang melindas apapun. Padhang mbulan tetap setia, memberi kesejukan saat senja datang dan burung-burung yang lelah, bernaung di dahannya, untuk membangun optimisme berlandaskan Karsa Allah, pada hari berikutnya.

“Ini bangsa tanpa imam. Tanpa Cahaya. Tidak tahu dimana mereka berada. Tidak tahu, akan kemana mereka pergi. Tidak tahu, bagaimana caranya melangkah. Tidak jelas, mana benar, mana salah. Mana baik, mana buruk. Tidak menentu, mana utara, mana selatan. Mana atas, mana bawah. Mana pahlawan, mana pendusta.” —Jurnal Padhang Mbulan Januari 1999.