Wali Ziro’ah

Reboan 9 Desember 2020

PENGGIAT Kenduri Cinta melingkar di Reboan minggu kedua di bulan Desember 2020. Reboan secara offline kembali diselenggarakan setelah sekitar 8 bulan ditiadakan karena pandemi Covid-19. Tentu saja dengan penerapan protokol kesehatan. Memang, Maiyahan Kenduri Cinta beum bisa diselenggarakan seperti sebelumnya karena situasi dan kondisi yang belum memungkinkan. Setidaknya, melalui forum Reboan ikatan silaturahmi sesama penggiat Kenduri Cinta tetap terjalin.

Maiyahan Kenduri Cinta yang diselenggarakan di Plaza Taman Ismail Marzuki sebenarnya hanyalah forum Reboan yang skalanya diperbesar. Maka sebenarnya forum Reboan Kenduri Cinta juga merupakan forum yang terbuka untuk umum, yang diselenggarakan setiap Rabu malam di Taman Ismail Marzuki. Sebelumnya, Reboan digelar di teras Galeri Cipta II. Namun karena area TIM sedang proses pemugaran, maka Reboan bergeser tempatnya di teras Pepustakaan Daerah di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta.

Seperti pesan Cak Nun di beberapa momen sebelumnya, bahwa dalam hidup ini ada dua pilihan; taat atau kreatif. Di masa pandemic seperti ini, jika kita memilih untuk taat kepada kehendak Allah Swt, maka kita cukup mengikuti aturan yang ada, membiasakan kondisi yang baru dan menjalani kehidupan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Namun, pintu kreatifitas tentu tidak tertutup rapat. Maka, penggiat Kenduri Cinta memilih pilihan yang kedua; kreatif.

Forum Reboan kemudian dijadikan ajang diskusi antar penggiat Kenduri Cinta untuk membahas segala macam ilmu. Siapa saja boleh menjadi narasumber, siapa saja boleh bertanya, siapa saja boleh urun ide. Dengan adanya konsep seperti ini, penggiat Kenduri Cinta mengharapkan bahwa potensi dari setiap masing-masing penggiat dapat tersalurkan dan juga dimaksimalkan. Sembari secara perlahan, kembali menata kuda-kuda, menyiapkan langkah-langkah baru setelah sekian bulan hibernasi. Meskipun sebenarnya secara faktanya penggiat Kenduri Cinta selama masa hibernasi pandemi Covid-19 ini tidak benar-benar vakum. Ada banyak hal yang juga sudah dilakukan, seperti misalnya ketika awal-awal masa pandemi menyelenggarakan Reboan on the Sky.

Situasi akhir-akhir ini memang sedang tidak dalam kondisi yang ideal. Banyak hal yang harus dibiasakan kembali, belum lagi situasi politik nasional yang juga menambah efek tambahan dalam tatanan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar kita saat ini. Benar-benar tidak mudah menjalani kehidupan di saat-saat seperti sekarang ini.

Salah satu langkah pengembangan yang terus dicoba yaitu mengemas kembali Reboan, dengan mencoba menghadirkan nuansa baru yaitu dengan memunculkan ide tema-tema yang dibawakan oleh para penggiat secara bergiliran di setiap Reboan. Tema untuk minggu ini adalah “wali ziro’ah” yang dimoderatoroi oleh Bagus dan dipantik diskusi awal tema oleh Adam.

Wali Ziro’ah

Adam memulai dengan memaparkan wali ziro’ah dengan menceritakan sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya di bidang pertanian pada beberapa tahun terakhir ini. Bidang ziro’ah salah satu sumber yang dapat dipelajari yaitu dapat melihat rujukan pada Kitab Al Ihtisan Firrizq oleh Muhammas bin Al Hasan asy Syaibani (132-189H/ 750-804M). Di kitab tersebut dijelaskan tentang pendapatan kehidupan yang bersih. Dan tata cara untuk melakukannl kepentingan suatu pendapatan seperti: Ijaroh (sewa menyewa), tijaroh(perdagangan), ziro’ah (pertanian) dan sina’ah (industri).

Ilmu ekonomi islam berkembang sebagai suatu ilmu kajian para kaum fukaha, sufi, filsafat, sosiologi dan politik. Adanya sumbangan pemikiran para ulama tasawuf bagi pemikiran ekonomi pada jaman ini yakni untuk menarik diri secara tetap, untuk tidak memberi nilai terlalu tinggi pada kekayaan materiil dan tidak mementingkan kepentingan diri sendiri melebihi ciptaan Allah.

Masuk kedalam pembahasan pertanian di Indonesia, dengan satu pertanyaan dasar: “Apa yang salah dengan pertanian di Indonesia?” Indonesia sangat cocok dengan gambaran “Baldathun toyyibatun wa Rabbun Ghafur”. Mentadabburi dari ayat ke-15 surah Saba (34), dapat kita pelajari ciri-ciri negeri yang baik dan limpahan ampunan dari Allah, yaitu: “Sungguh bagi kaum saba’ ada tanda kebesaran Allah, yakni (tempat kediaman mereka) dua buah kebun di sebelah kanan dan kiri. Dan kebun tersebu dapat dimakan oleh masyarakatnya dan merupakan rezeki yang dianugerahkan Allah, sehingga masyarakatnya harus bersyukur.” Mengamati ciri-ciri tersebut, menurut Adam permasalahan pertanian di Indonesia membagai menjadi 5 hal: Tanah, Pupuk, Bibit, Teknologi serta SDM (Sumber Daya Manusia) dan Pasar.

Permasalahan-permasalahan tersebut tentunya dapat menjadi kajian bahasan yang panjang. Namun selalu kita bisa mengambil pelajaran dari perjalanan Kanjeng Nabi terhadap dunia pertanian ini. Salah satunya adalah; saat hijrah ke Madinah. Baginda Rasulullah menolak tawaran para Anshor berupa harta dan rumah, namun lebih meminta ijin untuk mendapatkan hak garap di lahan-lahan kaum Anshor untuk sebagai lahan pertanian dan rumah tinggal kaum Muhajirin.

Dengan lahan yang masih luas yang ada di Indonesia, potensi pertanian di Indonesia masih sangat mungkin untuk dimaksimalkan. Swa sembada pangan bukanlah hal yang sulit untuk dicapai. Meskipun pada akhirnya akan berhadapan dengan tantangan-tantangan yang tidak mudah ketika bersinggungan dengan dunia bisnis.

Namun demikian, nilai yang selalu ditanamkan oleh Cak Nun di Maiyahan adalah bahwa tugas utama kita adalah menanam. Andaikan pun tidak mampu mewujudkan swa sembada secara Negara, setidaknya kita mampu mewujudkannya dalam skala yang kecil di sekitar kita.