WAJIB MERASA

Reportase Kenduri Cinta Februari 2011

Mengambil frasa Wajib Merasa sebagai judul, Kenduri Cinta edisi bulan Februari 2011 diawali dengan tilawah Alquran disusul pementasan beberapa kelompok musik, sebelum kemudian masuk ke sesi diskusi. Di depan, duduk lima pembicara dari berbagai latar belakang. Efendi, berasal Jaring Madani, dengan singkat menyampaikan bahwa ‘wajib merasa’ ini jika dibuka akan berbeda arah antara satu orang dengan yang lain. Poinnya adalah bahwa ketika manusia mencapai titik wajib merasa berarti menjadi dosa bila dia tidak melakukannya.

Agung Pambudi mengawali uraiannya dengan bertanya mengenai silsilah dari rasa itu sendiri karena Allah menciptakan langit dan bumi semua ada silsilahnya. Berdasarkan penemuan pribadinya, sebelum ada apapun juga yang ada hanyalah suwung, hampa, tanpa koordinat, yang kemudian kehampaan itu menghasilkan materi. Dari hampa, muncul nur Illahi yang kemudian melahirkan nur Muhammad. Nur Muhammad ini mengandung magnet yang mempunyai lima daya yaitu: rasa, aroma, warna, hawa, dan suara. Sekumpulan magnet disebut ether. Sekumpulan ether disebut partikel. Sekumpulan partikel membentuk unsur. Sekumpulan unsur menjadi molekul. Sekumpulan molekul dinamakan organ. Organ-organ yang menyatu, itulah raga. Inilah yang dinamakan tujuh lapis bumi. Di samping itu, Nur Muhammad juga melahirkan apa yang dinamakan tujuh lapis langit, yaitu:

  • Naluri, pancaindera; melahirkan lima daya yang merupakan pilah-pilahane rasa, akal – mempunyai tiga daya: daya pikir, daya cipta, daya rencana.
  • Amarah; sari patinya adalah api/geni/agni; merupakan sifat setan.
  • Supiah; sari patinya air [H2O]; merupakan sifat tumbuhan.
  • Alwamah; sari patinya angin; merupakan sifat binatang.
  • Muthmainah; sari patinya tanah; melambangkan kesetiaan yang menjadi sifat malaikat.
  • Ilusi; daya terawang di waktu tidur.
  • Halusinasi; daya terawang di waktu terjaga.

Ilusi dan halusinasi ini bisa menjadi jembatan jin untuk menyampaikan informasi. Informasi yang berasal dari akal dan panca indera dinamakan karomah, sedangkan jika ia berasal dari emosi dan ambisi, maka itulah yang dinamakan sihir. Pembelajaran seperti yang diperoleh Nabi Muhammad di Gua Hira, seperti yang diperoleh Sidhatta di pohon boddhi, itu disebut ngelmu, di mana Allah yang langsung menjadi gurunya dan alam semesta menjadi kitabnya. Pembelajaran model inilah yang pada zaman dahulu menjadi salah satu metode pembelajaran, sehingga itulah mengapa leluhur kita punya kemampuan untuk mukso, kembali ke rahmatullah secara utuh: ruh dan raga.

“Kata pertama dalam frasa wajib merasa, yaitu wajib, berasal dari bahasa Arab, yang memiliki dua makna. Makna pertama adalah pasti/otomatis. Bahasan teologisnya adalah: Tuhan itu wajib wujudnya. Makna kedua adalah beban yang harus dilaksanakan. Urutannya adalah dari ‘merasa wajib’ menjadi ‘wajib merasa’. Ini harus menjadi perjalanan tauhid dari aktivitas epistemik manusia.”

Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Feb, 2011)

Uraian tema kemudian disambung oleh Ade Apriansyah yang memfokuskan uraiannya pada gerakan pengumpulan koin untuk Presiden SBY sebagai wujud rasa sayang rakyat kepada pemimpinnya, yang katanya sudah menyejahterakan rakyat, sudah menghapuskan kemiskinan, dan sudah-sudah yang lain.

Dika dari Lingkar Studi Mahasiswa (Lisuma) Indonesia, mendukung dan melengkapi uraian dari pembicara sebelumnya mengenai Gerakan Sayang Presiden. Diungkapkan bahwa ketika saat ini para pejabat semakin sulit merasa, mengapa tidak kita balik saja menjadi: sebagai rakyat, mari kita pandai-pandai merasa. Terhitung sampai tanggal 11 Februari, untuk wilayah Jakarta saja koin yang terkumpul telah mencapai kisaran angka 10 juta. Koin-koin ini yang pada Valentine’s Day nanti akan diberikan secara simbolis ke istana.

Ima, seorang aktivis pendidik dari Muhammadiyah, lebih banyak menceritakan pengalaman-pengalamannya yang penuh hikmah sebagai guru dan dosen. Salah satunya mengenai seorang mantan muridnya yang karena kecerdasannya selalu menempati ranking pertama dari SD sampai SMA. Tapi di tahun terakhirnya di SMA, dia menemui kenyataan pahit bahwa dia tidak lulus UAN. Hal ini membuatnya sangat terpuruk. Ima berhasil menguatkan pemuda itu untuk mengikuti Paket C kemudian apply ke universitas swasta. Segalanya berjalan baik-baik saja sampai pada suatu hari seorang dosen menganggapnya sebagai tidak pintar karena hanya lulusan Paket C. Merasa sangat terhina, dipukullah dosennya itu, sehingga dia terkena skors dan bahkan mendapat ancaman akan dikeluarkan dari universitas. Dari situ mulailah dia terjebak pada narkoba, menghamili pacarnya, dikejar-kejar orang tua karena tidak bertanggung jawab. Sampai keluarlah ucapan “Semuanya brengsek!” dari mulutnya.

Hikmah yang bisa ditarik dari pengalaman ini adalah pemerintah tidak pernah merasa bahwa UAN dengan standar-standarnya terlalu berat untuk kita, padahal banyak aspek lain yang dapat dijadikan ukuran dalam prestasi seorang anak didik. Hikmah berikutnya adalah bahwa pada dasarnya manusia selalu ingin menjadi baik dan benar dalam setiap perilakunya. Baik itu tentang rasa, sedangkan benar itu menyangkut aturan, menyangkut pemerintah. Mana yang kita kedepankan antara baik dan benar ini? Ima juga sedikit menyinggung masalah Ahmadiyah yang baru-baru ini sedang menjadi hot issue di Indonesia. Sederhana saja: kita semua ini hanyalah manusia, tidak usah menjadi tuhan-tuhan baru dengan menjustifikasi pihak-pihak yang bukan-kita.

“Proses berpikir dimulai dari keraguan (skeptic), yang kemudian diikuti dengan pencarian-pencarian jawaban. Inilah yang disebut sebagai scientific thinking. Dan sesungguhnya scientific thinking itu bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan Islam.”

Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Feb, 2011)

Atas uraian dari kelima pembicara di sesi pertama ini, muncul respon dari lima jamaah sebagai berikut:

“Banyak orang tidak menjalankan salat, puasa, dan sebagainya tapi mengaku sebagai seorang muslim. Lalu sampai di mana batasan Islam itu? Sampai di mana kita harus menjalankan syariat?” [Indra]

“Memang UAN punya dampak-dampak tertentu, memang banyak yang perlu dibenahi, tapi jangan UAN-nya yang disalahkan melainkan standar-standar dalam sistemnya. Saya adalah orang yang anti. Mungkin anti-SBY, mungkin anti sama temen-temen yang di depan. Pokoknya saya ini oposisi. Mengenai metode pembelajaran menyepi ke gunung, saya setuju dengan “menyepi”-nya, tapi tidak dengan ke “gunung”-nya. Pada zaman seperti sekarang ini menurut saya yang dibutuhkan adalah menyepi ke tempat-tempat seperti perpustakaan atau internet untuk menampung arus informasi.” [Budi dari Depok]

“Sebagai seorang pemuda yang plural, saya memandang masalah Ahmadiyah sebagai sah-sah saja. Mengapa kita dibikin pusing oleh masalah semacam itu sedangkan di sekitar kita banyak masalah yang jauh lebih penting seperti korupsi dan sebagainya.” [Andreas]

“Saya sepakat dengan gerakan koin-koin tadi. Memang kitalah, orang-orang miskin, yang seharusnya menyumbang, karena toh kita sudah terbiasa dengan kondisi tak punya uang. Inilah sinetron paling menggelikan di negeri ini. Mari terus kita kagumi para pemimpin kita itu.” [Abdullah dari Maluku]

“Kalau memang wajib merasa, lalu siapa yang mewajibkan? Ada nggak sumber hukum yang mewajibkan kita untuk merasa? Menurut saya, kita penuh dengan budaya merasa, sehingga kalimat yang kita lontarkan pun adalah “saya rasa”, berbeda dengan kebudayaan Barat yang menggunakan “I think”. [Karim]

“Manusia itu tidak disalahkan karena adanya potensi-potensi dalam dirinya, yang disalahkan kalau dia mengikuti keinginan jiwanya yg tidak sesuai dengan harkatnya.”

Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Feb, 2011)

Satu demi satu pembicara merespon apa yang dilontarkan jamaah:

“Menyepi ke gunung itu merupakan metode pembelajaran bidang ngelmu, bukan kawruh. Ketika Rasulullah pertama kali mendapatkan wahyu, itu masih dalam ranah pribadi. Kawruh hanya mengandalkan kekuatan pikiran. Bahkan seorang ateis pun bisa mempelajari ilmu tauhid, tapi tidak begitu dengan bidang ngelmu. Satu contoh sederhana: kebanyakan muslim menghubungkan segala sesuatu dengan dalil. Segala sesuatu yang tidak ada dalilnya berarti bidah. Lalu siapa yang mengajari Bilal azan dan ber-iqomah? Itu kan nggak ada dalilnya, tapi ternyata masih dipakai bahkan sampai hari ini. Rasa adalah substansi dalam tubuh kita. Rasa adalah sifat kemanusiaan.”

Di tengah diskusi, tiga anak kecil yang sejak beberapa saat sebelumnya berlalu lalang menjajakan barang dagangannya diajak untuk ikut berdialog oleh moderator. Mereka adalah Kinaro, Arif dan adik perempuannya. Ketiganya tinggal di kolong Cikini. Ayah Kinaro seorang tukang ojek, dan ibunya seorang tukang cuci. Sama seperti ibu Kinaro, ibu dari Arif juga menjadi tukang cuci, tetapi ayahnya tinggal di Surabaya. Anak-anak kecil ini sama-sama duduk di bangku SD. Berikut ini cuplikan percakapan antara Iwan Gunawan (moderator) dengan Kinaro:

Iwan Gunawan: “Nanti kalo udah gede pengen jadi apa?”

Kinaro: “Dokter”

Moderator: “Kenapa dokter?”

Kinaro: “Enak, Lik!” (dan tawa pun mengalir dari segala arah)

Moderator: “Oke, jangan-jangan di antara mereka bertiga inilah yang akan membawa perbaikan bagi Indonesia? Mari kita bacakan ummul kitab, Al-Fatihah, buat mereka bertiga.”

Setelah penampilan dari seorang penyanyi punk-reggae, dimulailah sesi kedua dari Kenduri Cinta. Moderator memberikan pengantar mengenai “rasa” bisa menjadi faktor input bagi kita untuk berpikir, dan bisa juga menjadi output. Yang pertama kita kenal sebagai primary process of thinking, dan yang kedua sebagai secondary process of thinking. Sesi pertama telah membahas ilmu yang cukup mendalam, ilmu yang tidak bisa di-SKS-kan melainkan harus di-talaqqi (red: ditadah).

“Agama Islam itu agama tauhid, dan tauhid itu artinya menyatukan atau mengintegrasikan. Yang harus disatukan adalah seluruh potensi di dalam diri manusia terlebih dahulu.”

Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Feb, 2011)

Syekh Nursamad Kamba berpendapat bahwa judul kali ini merupakan judul paling bagus dari sejarah panjang Kenduri Cinta, yang pasti didapat dari proses kontemplasi, dari sebuah proses perjalanan. Kata pertama dalam frasa wajib merasa, yaitu wajib, berasal dari bahasa Arab, yang memiliki dua makna. Makna pertama adalah pasti/otomatis. Bahasan teologisnya adalah: Tuhan itu wajib wujudnya. Makna kedua adalah beban yang harus dilaksanakan. Urutannya adalah dari ‘merasa wajib’ menjadi ‘wajib merasa’. Ini harus menjadi perjalanan tauhid dari aktivitas epistemik manusia.

Proses berpikir dimulai dari keraguan (skeptic), yang kemudian diikuti dengan pencarian-pencarian jawaban. Inilah yang disebut sebagai scientific thinking. Dan sesungguhnya scientific thinking itu bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan Islam. Ada proses konversi dari kalamullah menjadi teks yang bisa dipahami manusia.

Seluruh proses pemikiran pada manusia sesungguhnya hanya terdiri dari input-proses-output. Penglihatan, pendengaran, dan sebagainya adalah jalur-jalur input yang diolah sehingga lahirlah suatu kesimpulan. Imam Al-Junaid pernah mengatakan, “Manusia itu tidak disalahkan karena adanya potensi-potensi dalam dirinya, yang disalahkan kalau dia mengikuti keinginan jiwanya yg tidak sesuai dengan harkatnya.” Para muslim modern menyebutnya sebagai perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan syariat.

“Saingan berat Allah hanya satu, yaitu hawa nafsu manusia. Hawa nafsu inilah yang menutupi hati nurani manusia.”

Sabrang M.D.P., Kenduri Cinta (Feb, 2011)

Syekh Nursamad Kamba melanjutkan mengenai bank dan ekonomi syariah yang banyak disalahpahami sebatas pengucapan salam dan penggunaan istilah-istilah Arab. Padahal Islam memandang bahwa harta sebagai unsur perekonomian itu tidak boleh virtual kecuali di-back up oleh harta riil. Maka seharusnya bank syariah tidak hanya bicara soal valas, melainkan bergerak di sektor riil, membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Ekonomi syariah harus melibatkan pengumpulan zakat, wakaf, infaq, dan shodaqoh.

Agama Islam itu agama tauhid, dan tauhid itu artinya menyatukan atau mengintegrasikan. Yang harus disatukan adalah seluruh potensi di dalam diri manusia terlebih dahulu. Berdasarkan redaksi yang dipakai Rasulullah, setan ada di dalam darah manusia. Jangan sampai input dan proses yang bagus tercemar oleh gangguan darah itu. Saingan berat Allah hanya satu, yaitu hawa nafsu manusia. Hawa nafsu inilah yang menutupi hati nurani manusia. Jika ini yang terjadi, ilmu yang diperoleh tidak menjadi efektif, tidak menjadi pikiran yang tereksternalisasi, tidak bisa menghasilkan print-out. Negara kita juga sedang mengalami masalah ini.

Mengapa Tuhan merasa ‘keberatan’ ketika manusia mengikuti hawa nafsunya? Bukankah Tuhan tidak akan mungkin merasa rugi bahkan ketika seluruh makhluk menentang-Nya sekalipun? Itu hanya karena Tuhan merasa tidak tega jika manusia terjerumus, karena manusia yang menuruti hawa nafsunya akan menjadi lebih hewan daripada hewan. Dalam tataran peradaban modern, manusia yang menggunakan scientific thinking tapi tidak waspada terhadap hawa nafsu dan setan akan terbalik antara kebenaran dengan ketidakbenaran.

Karena kita hidup dalam peradaban kapitalisme yang hanya berhenti pada pemuasan hawa nafsu, selalu ada riya’ dalam segala aktivitas kita. Dalam forum peradaban yang hanya mengandalkan materialisme dan ego manusia, agama hanya dijadikan alat pemenuhan hasrat kapitalis. Merasa adalah firasat. Ketika seluruh pemikiran Anda sudah dilepaskan dari hawa nafsu dan egoism, itulah firasat. Kalau sudah bersih egomu, baru engkau bisa memperjuangkan orang banyak.

“Agama berfungsi untuk mengangkat manusia dari rasa itu. Jangan pernah merasa takabur dengan keberagamaan anda, karena hal itu akan melukai hati Allah. Perasaan itu harus berdasar dari pikiran, pikiran itu harus jernih.”

Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Feb, 2011)

Sabrang menyambung dengan menyebutkan tiga poin yang hendak dijadikannya pijakan dalam membahas judul Kenduri Cinta kali ini, yaitu: kenapa demo anti kekerasan dan bukannya pro kedamaian? Apa yang harusnya disatukan dengan tauhid? Malaikat-manusia-setan ditinjau dari science. “Apa yang kita ketahui tentang malaikat? Berdasar informasi yang kita dapatkan, malaikat diciptakan dari cahaya. Cahaya adalah bentuk energi murni yang tidak bermassa, yang ditimbulkan oleh induksi antara magnetic field dan electric field secara terus-menerus. Ranah cahaya adalah elektromagnet, dan elektromagnet punya sifat yang pasti, mempunyai frekuensi. Manut begitu saja,” katanya.

Ia tambahkan, “Jika malaikat berasal dari cahaya, setan diciptakan dengan bahan dasar api. Api berada dalam ranah reaksi. Api hanya ada ketika ada oksigen yang bereaksi dengan zat lain. Besar dan kecilnya api itu sangat susah diprediksi, bisa menjadi sangat besar dan juga sangat kecil.

“Manusia mengandung komponen reaksi dan juga komponen elektromagnet. Setiap fenomena dalam tubuh manusia adalah reaksi: darah, sistem syaraf, sistem pencernaan, dan seterusnya. Kita bisa ngomong reaksi kimia maupun reaksi terhadap impuls dari luar. Maka manusia membutuhkan komponen untuk menyeimbangkan keduanya. Komponen itu adalah hal unik yang tidak dimiliki malaikat maupun setan. Komponen itu adalah sambungan langsung dari Allah, yaitu roh.

“Maka dalam tauhid, yang harus kita integrasikan adalah reaksi, elektromagnetik, dan ruh. Alquran ada dalam tiga hal: alam semesta – menimbulkan reaksi, buku/kitab – elektromagnet, dan dalam diri kita. Adanya sambungan langsung dengan Tuhan itulah yang menjadikan manusia wajib untuk merasa.

“Jika dihubungkan dengan anti kekerasan, apakah dia masuk ke ranah reaksi atau pemikiran? Rasa yang dari Tuhan adalah rasa yang bukan melalui impuls dari luar, rasa yang bukan berasal dari pemikiran maupun perasaan. Puasa mengajarkan kita bagaimana bisa mendengarkan ruh. Ketika kita memberi pengemis, misalnya, apakah itu proses reaksi, elektromagnet, atau sambungan langsung dengan Allah?”

“Kita perlu redefinisi bahwa sebenarnya kita punya kewajiban, di mana kewajiban ini bukanlah sebab dan juga bukan akibat, melainkan kodrat.”

Pudji Asmanto, Kenduri Cinta (Feb, 2011)

Sebagai pembicara ketiga, Pudji Asmanto mengawali uraiannya dengan memutar video presentasi. Pudji mengajak para jamaah untuk sejenak berdiri, menghayati bumi yang kita pijak tiap hari tapi tidak kita sayangi. Padahal suatu hari nanti kita akan berada di dalam pelukannya, akan tidur di dalamnya. Akan lebih baik kalau tiap hari kita berusaha untuk mengenal diri kita sendiri, sebab dengan begitu kita tidak akan menyalahkan kondisi apapun yang ada, dan dengannya kita akan menangkap bahwa dunia ini sungguh demikian lucunya.

Pudji Asmanto melanjutkan, “Wajib itu seperti mata, membukanya dari bawah ke atas, maka kewajiban ditujukan kepada orang yang lebih tinggi, lebih tua, lebih senior, dan sebagainya. Rakyat dan pemerintah: mana yang lebih tinggi? Tanggung jawab itu seperti mulut, membukanya dari atas ke bawah. Maka laporan presiden kepada rakyat seharusnya bukan laporan pertanggungjawaban melainkan laporan kewajiban. Hak itu seperti telinga, diam saja, letaknya di belakang, ada di bagian kanan dan kiri. Maka jangan bicara hak selama kewajiban dan tanggung jawab belum dilaksanakan. Yang dimaksud hak itu meliputi juga hak kecopetan, hak dipisuhin, hak di-kamplengin, dan sebagainya. Kita perlu redefinisi bahwa sebenarnya kita punya kewajiban, di mana kewajiban ini bukanlah sebab dan juga bukan akibat, melainkan kodrat.

“Kalau kita ngomong sangkan paraning dumadi, ada kesejatian. Ada urusan yang harus kita selesaikan. Kita harus membangun sistematika untuk mewujudkan resolusi dalam konteks “wajib merasa’, agar tidak terjadi suatu stigma, seperti Ahmadiyah, teroris, dan sebagainya. Ada dialektika antara globalisasi dan kearifan lokal. Teroris diangkat untuk menghasilkan dollar. Masalah antar agama, antar suku, diciptakan untuk menghasilkan rupiah, menimbulkan orang-orang paternalistik. Dalam uang tertulis klausa: In God We Trust, menggambarkan adanya keterwakilan Tuhan di bumi. Harus ditemukan titik mana hakikatnya, titik mana syariatnya. Realitanya nanti kita pulang akan berhadapan dengan itu. Ada persepsi untuk memandang ke depan, ada yang bisa dibenturkan antara globalisasi dan kearifan lokal: keris dan warangka-nya. Yang mana keris yang mana warangka? Jangan dibenturkan.”

“Dalam tataran peradaban modern, manusia yang menggunakan scientific thinking tapi tidak waspada terhadap hawa nafsu dan setan akan terbalik antara kebenaran dengan ketidakbenaran.”

Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Feb, 2011)

Sabrang lalu melanjutkan penjelasan sebelumnya, “Sepemahaman saya, metafisika adalah hal-hal yang belum kita pahami secara utuh atau kita belum cukup paham, maka approach-nya adalah dengan yakin atau percaya. Di dunia ini Tuhan punya analogi yang loncat-loncat. Allah menyediakan anomali di mana saja, dan itu bukan berarti tidak ada penyebabnya. Kisah ‘pelacur masuk surga’ adalah ketika itu dia menimba air dengan sangat susah payah tetapi ketika air sudah di tangan justru diberikannya kepada anjing yang kehausan, sehingga dia menemui ajal dengan melakukan perbuatan baik.

“Dalam QS Al-Anbiyya, dijelaskan bahwa ada seorang pendeta yang luar biasa taat kepada Tuhannya. Pada suatu hari datang seekor belalang meminta perlindungan kepadanya, dan diiyakan oleh pendeta tersebut. Tetapi ketika kemudian istrinya meminta belalang itu, si pendeta memberikannya. Si belalang berdoa dan doanya didengar oleh Allah, sehingga dicabutlah iman dari si pendeta kemudian ditukarkan ke anjing. Nah, anjing inilah yang kemudian menjadi anjing ashabul kahfi.

“Kalau kita tidak paham, jalan kita adalah percaya. Tapi jare sopo? Kenapa tidak kita beri level dalam diri kita: jangan langsung percaya, tapi tampung informasi-informasi yang kita peroleh sebagai wacana. Pada suatu hari, Allah akan memberi petunjuk atas wacana-wacana itu. Sebanyak mungkin kumpulkan wacana-wacana itu. Yang bisa saya tawarkan hanyalah metode, bukan jawaban. Saat di mana tidak ada reaksi apa-apa, di mana tidak punya strum apa-apa, justru itulah keadaan yang saya idam-idamkan seumur hidup.

“Apakah kita ini berjalan atau diperjalankan? Berjalan dengan reaksi atau apa? Kalau kita memang diperjalankan, pertanyaan berikutnya adalah: kuatkah kita? Ketika kita bukan berjalan melainkan diperjalankan, cepat atau lambat menjadi tak jelas. Satu-satunya yang perlu dilakukan adalah meyakinkan bahwa perjalanan kita adalah diperjalankan.”

Pudji menutup diskusi, “Kesuksesan itu diukur dari ketercapaian sesuatu yang kita harapkan. Ketika titik itu tercapai, yang muncul kemudian adalah tanggung jawab. Resep untuk mengobati kebingungan-kebingungan kita adalah; mohon kepada-Nya, pantaskan diri anda untuk memohon kepada-Nya, lakukan hal-hal besar sesuai dengan ajaran. Setiap saat sebenarnya kita diberi rezeki oleh Tuhan, tapi kita terlalu malas untuk korah-korah (red: cuci piring) sehingga rezeki kita tertunda. Setiap saat kita butuh korah-korah. Kalau ada orang yang salah, sayalah yang paling salah. Kalau ada orang yang buruk, sayalah yang paling buruk. Ketika kita pergi ke pasar untuk membeli salak, jangan menutup mata terhadap durian. Kewaspadaan terhadap semua indera itu oke kalau terus diluaskan.”