Upacara Tahlukah

PhotoGrid_1380495754452 copy

Pada malam Ahad Legi 28 September 2013 digelar upacara tahlukah (ruwatan) di Kadipiro dengan mengangkat lakon Séna Suci. Wayangan yang berlangsung selama 9 jam dari pukul 20.00 WIB ini seratus persen berfungsi bukan sebagai tontonan atau hiburan melainkan sebagai upacara doa tanpa pengurangan unsur apapun.

Upacara sesaji keselamatan Nusantara ini berkerjasama dengan Pak Manu J Widyaseputra, seorang filolog dan dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM. Beliau mewarisi berjilid-jilid teks wayang Brantakusuman yasan dalem Kangjeng Raden Tumenggung Brantakusumadari kakeknya sepanjang kurang lebih 1.500 halaman. Dari 250 halaman yang sudah Pak Manu terjemahkan dari bahasa Sansekerta, salah satu lakonnya adalah Séna Suci.

Mewakili Rumah Budaya dan keluarga Cak Nun, Pak Toto Rahardjo mengucapkan selamat datang kepada yang telah hadir dan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah sejak lama bekerja mempersiapkan hal-hal yang diperlukan dalam ruwatan – Pak Manu, dalang Ki Gondo Suharno bersama rombongan, Mas Amir dengan kelompok musiknya, serta teman-teman Progress. Lantas Cak Nun menceritakan satu-dua hal sebagai pengantar upacara tahlukah ini.

HANCUR UNTUK LAHIR KEMBALI

Ruwatan atau tahlukah artinya penghancuran. Penghancuran itu merelakan sesuatu pada suatu tahap supaya pada tahap berikutnya kita dapatkan kelahiran atau kematangan baru. Kalau padi terus kita pertahankan sebagai padi, tak akan kita dapatkan nikmatnya beras. Kalau beras tidak kita relakan hancur eksistensinya sebagai beras, kita tak akan bertemu nasi.

Begitu pula yang terjadi dalam proses sosial, kebudayaan, politik, dan semua yang lain. Kita harus setiap kali sanggup menemukan apa yang harus mati supaya mampu lahir kembali.

Yang disebut ruwatan sebenarnya sederhana saja. Kalau badan kita kotor, ya mandi. Kalau lapar, makan. Kalau sakit, disembuhkan. Hanya saja, ada pekerjaan transformasi melahirkan kembali yang sifatnya permukaan dan ada yang lebih mendalam.

“Dalam kondisi Indonesia yang sudah begini rupa, malam hari ini kita bukan sekadar ingin membersihkan diri, tapi mungkin kita juga harus menghancurkan diri dalam arti dari beras menjadi nasi. Indonesia sudah terjerat oleh ilusi-ilusinya sendiri; hidup dalam neraka tapi merasa sedang di surga, berada di tengah kebusukan tapi merasa berjaya,” ungkap Cak Nun.

DHARMA DAN PERJALANAN ILLA

Ada atau tidak ada masalah, ada satu pekerjaan yang harus dilakukan manusia, yaitu dharma (amal shalih). Semakin ruwet masalah, semakin banyak dharma yang harus ditunaikan. Beberapa dharma ditentukan oleh Allah sendiri bentuknya – misalnya salat lima waktu. Tapi di luar itu ada ribuan bentuk yang bisa dikerjakan: memberi tambahan kepada tukang parkir, berderma kepada pengemis, dan banyak lagi. Ruwatan malam ini posisinya sebagai sebuah bentuk dharma.

Sebab manusia tak punya kemungkinan lain untuk berbuat baik, yang di ujungnya nanti hanya ada Tuhan. Kalau kita ucapkan kata ilaa sampai nafas habis, kita akan bertemu dengan huruf terakhir h. Ila itu menuju ke-, marang, atau menyang. Ilaha atau Ilahun itu artinya Allah.

Lakon Séna Suci ini merupakan salah satu lampahan wiracarita Mahabharata yang menceritakan perjalanan Ilahi Séna (Bima atau Werkudara) dalam usahanya untuk berjumpa dan menyatu dengan Ilahi.

“Malam hari ini sebenarnya adalah cara kita bersama-sama untuk kembali kepada sangkan-paransupaya kita bisa ilaaa sampai bertemu huruf h.”

Wa ‘alama Adamal asma-a kullaha tsumma ‘aradhahum ‘alal malaikah. Allah mengajarkan nama benda-benda kemudian Adam menuturkan nama-nama itu kepada malaikat. Dengan bahasa apa Tuhan mengajarkan nama-nama itu?

Kita punya bahasa sejati yang langsung diberikan oleh Allah. Dia ada di antara bahasa Jawa, bahasa Inggris, bahasa Melayu, dan bahasa-bahasa lain tanpa pengguna bahasa itu sadar bahwa ada bahasa sejati dalam bahasa-bahasa mereka.

Nama yang paling umum digunakan di Jawa mengandung unsur man atau min; entah itu Paiman, Sukimin, Sukarman. Menurut Pak Manu, man ini lalu mendapat perkembangan kebudayaan menjadi manuso atau manungso atau manusia. Bahasa Inggris mengenalnya sebagai man atau human. Bahasa Arab menggunakan man untuk menyebut makhluk berakal, makhluk yang ditiup dengan frekuensi, gelombang, dan kehendak Allah sehingga mampu berpikir. Untuk makhluk atau benda tak berakal, bahasa Arab menyebutnya ma.

Dalam bahasa apa saja, manusia disimbolkan oleh huruf ‘m’ dan ‘n’ itu. Dalam perjalanan ila, man harus berbekal iman untuk untuk sampai aman, maka bunyi doanya adalah amin. Yang bisa dititipi Tuhan untuk membuat aman bumi dan alam semesta adalah manusia karena hanya dialah yang bisa dititipi iman.

UBARAMPE SEBAGAI PASSWORD

Hanya kepada Allah bersujud segala yang di langit dan di bumi. Setiap sembahyang, di dalam kesadaran kita bawa seluruh muatan hati kita. Tapi tidak mungkin melakukan ibadah mahdhah dengan mengajak seluruh isi alam semesta. Tidak mungkin kita salat Jumat membawa kucing, anjing, burung, tikus.

Maka Allah memperbolehkan kita menciptakan dharma dengan beribu bentuk di mana seluruh alam semesta bisa kita ajak. Upacara tahlukah ini melibatkan 84 macam ubarampe, dari daun jati, dhadhap srep, dua tundun pisang raja, angsa, tiga jenis ular berbisa, sepuluh macam tumpeng, berbagai macam jajan pasar, tiga jenis ikan laut, air dari mata air, kepala lembu, dan masih banyak lagi. Beberapa yang sangat sukar dicari mendaftarkan dirinya dengan merelakan datang. Seekor burung dara hitam datang sehari menjelang acara, bunga patra manggala yang selama ini luput diadakan dalam ruwatan-ruwatan ternyata tumbuh di salah satu sudut Rumah Budaya. Kita adalah khalifah yang harus melibatkan seluruh penghuni semesta untuk turut bertasbih kepada Tuhan.

Ubarampe yang ditentukan secara detil merupakan password, kalau huruf ‘i’-nya kecil ya harus ‘i’ kecil, kalau ‘p’ ya ‘p’, ‘w’ ya ‘w’. Password itu sangat disiplin. Dan ini bukan urusan klenik. Ini merupakan hasil penelitian, hasil kerja ijtihad manusia Jawa.

Karena lahir bungkus pada Ahad Legi seperti kelahiran Séna, Sabrang didaulat untuk memerankan Séna dalam upacara ini. Juga sekaligus mewakili dua adiknya –Jembar dan Rampak– yang sama weton-nya. Untuk itu, sebelum hari-H Sabrang harus menjalani puasa ngrowot dan upacara-upacara lain.

“Puasa ngrowot itu untuk menuju hidup yang sejati. Semakin kamu tidak tergantung pada makanan semakin kuat sel-selmu dan semakin kau dapatkan quwwah yang sejati sampai suatu hari nanti akan menjadi sulthan. Sulthan itu orang yang diberi kekuatan khusus dan oleh Allah dijanjikan kemungkinan bisa menembus dimensi.”

Dengan bahasanya, Sabrang menyebut bahwa puasa ngrowot yang dijalaninya justru mengembalikan kesadarannya ke frekuensi dasar. Terhadap kemungkinan tuduhan menjalani upacara syirik atau bidah, ditanggapinya enteng, “Kalau orang bertanya sesuatu yang tidak dipahaminya, berarti memang bukan posisi dia untuk memahami. Dia memang harus salah paham dengan tingkat pengetahuan seperti itu. Anak kelas 1 SD pasti menganggap angka 1 tak masuk akal, apalagi bilangan irrasional.”

“Kalau pakai bahasa musik, Beethoven pernah berkata dia tidak mengaransir musiknya untuk anjing dan babi karena mereka tak akan pernah paham. Kalau pakai bahasa Al-Quran, salamun ‘alaikum la nabtaghil jahilin,” Cak Nun menambahi. “Malam ini kita menelusuri sangkan-paran kita sendiri sambil memohon kepada Allah agar momentum 28 September ini kita jadikan tonggak supaya kita mengambil keputusan-keputusan yang benar baik untuk masalah pribadi maupun untuk masalah yang lebih luas, terutama masalah nasional. Malam ini anda jangan menunggu apa-apa; anda harus masing-masing melakukan perubahan, pembunuhan, dan kelahiran kembali diri anda.”

Sebelum menyerahkan wayang Sénakepada Ki Gondo Suharno, Cak Nun membacakan ayat ke-35 Surah An-Nuur dan Al-Fatihah. Setelah itu wayangan resmi dimulai.

PhotoGrid_1380495903810

RINGKASAN CERITA

Jějěr Kahyangan Jonggringsalaka

(Gěnḍing: Gěnḍing Karawitan Jangkěp, Sléndro Paṭět Ěněm)

Baṭara Guru dan para déwa, yang dipimpin oleh Baṭara Narada, sedang mengadakan pertemuan dalam rangka membahas terjadinya huru-hara yang menempuh Kahyangan Jonggringsalaka. Huru-hara itu berasal dari dua hal, yakni:

(1). Tapas raja dari Negara Sungsang Buwana, yaitu Prabu Naga Jalasěngara disertai oleh kedua orang adiknya, yaitu: Déwi Naga Sangsangan dan Radèn Naga Jalabanda. Mereka menuntut anugerah yang berupa Swarga Tuṇḍa Sanga;

(2). Tapas putra Paṇḍu, yaitu:Séna, Bima atau Wěrkudara yang menginginkan anugerah déwa, yaitu: Tirtamahāpawitra.

Tapas dari Prabu Naga Jalasěngara dan tapas Wěrkudara mengakibatkan terjadinya hawa panas yang menyerang Kahyangan Jonggringsalaka. Untuk mengatasi hawa panas itu, Baṭara Guru memberi perintah dua hal kepada para déwa:

(1). Para déwa diperintahkan untuk mengikuti Baṭara Guru yang akan mengusir sendiri Prabu Naga Jalasěngara beserta saudaranya dari Kahyangan Jonggringsalaka;

(2). Baṭari Durga diberi perintah supaya menghadap Sang Déwa Ruciuntuk menjadi saksi turunnya Tirtamahāpawitra dan kemudian diminta untuk mendadani Brataséna dengan pakaian yang berciri ke-Śiwa-an. Akhirnya Baṭara Guru berhasil mengalahkan Prabu Naga Jalasěngara beserta saudaranya. Ketiganya berubah menjadi seekor naga yang kemudian diberi nama Naga Amburnawa dan diperintahkan turun ke Samudra Minang Kalbu untuk memperoleh anugerah yang berupa Swarga Minulya. Sementara itu, Baṭari Durga pun berangkat segera menuju ke Kahyangan Rasa Sundari.

Jějěr Pěrtapan Sokalima

(Gěnḍing: Ladrang Rarasingrum, Pélog Paṭět Lima)

Paṇḍita Durna menerima tamu Brataséna dan Kuṇṭinalibranta. Di sini Brataséna memohon kepada Durna agar diberitahu tempat di mana ia dapat memperoleh anugerah déwa Tirtamahāpawitra, sementara Kuṇṭīnalibranta minta diberi wejangan tentang Sastra Sějatining Lanang Sějatining Wadon. Durna menyanggupi semua permintaan itu.

Brataséna diberi petunjuk bahwa ia harus masuk ke dalam Samudra Minang Kalbu karena di tempat itulah ia dapat menemukan Tirtamahāpawitra. Brataséna pun menyanggupinya dan meminta diri untuk kembali ke Ngéndrapraṣṭa untuk memohon izin kepada saudara-saudaranya.

Sementara itu Kuṇṭinalibranta ditinggal di Pěrtapan Sokalima agar ia diberi wejangan Sastra Sějatining Lanang Sějatining Wadon. Sepeninggal Brataséna, Durna berubah pikiran. Ia ingin memperistri Kuṇṭīnalibranta, tetapi putri itu menolak sehingga Durna memaksanya sampai ibu para Paṇḍawa itu lari meninggalkan Pěrtapan Sokalima. Durna tetap mengejarnya.

Jějěr Nagari Ngéndraprasṭa

(Gěnḍing: Ladrang Goñjang-Gañjing, Sléndro Paṭět Sanga)

Prabu Puntadéwa dihadap oleh saudara-saudaranya dan menerima saudara tuanya, Krěsna dari Dwarawati. Dalam pertemuan ini Brataséna memohon izin untuk mencari Tirtamahāpawitra ke dasar Samudra Minang Kalbu. Kendatipun Puntadéwa dan saudara-saudaranya berkeberatan dengan keputusan Brataséna, ia tetap bersikukuh untuk menemukan Tirtamahāpawitra. Atas saran Krěsna, para Paṇḍawa diminta untuk meluluskan kemauan Brataséna. Akhirnya Brataséna pun berangkat dengan rěstu saudara-saudaranya.

Sepeninggal Brataséna, Krěsnamemohon diri untuk mengawasi Brataséna dari kejauhan agar ia sungguh-sungguh mengetahui keberadaannya. Puntadéwa pun mempersilakannya, Krěsna meninggalkan Ngéndrapraṣṭa disertai oleh Pěrmadi dan Sětyaki.

Jějěr Kahyangan Rasa Sundari

(Gěnḍing: Ladrang Awun-Awun, Sléndro Paṭět Sanga)

Setelah melalui perjuangan yang sangat berat, Brataséna akhirnya dapat berjumpa dengan Sang Hyang Déwa Ruci dan akhirnya ia pun diberi pengertian tentang rahasia Tirtamahāpawitra. Brataséna diminta masuk ke dalam tubuh Sang Déwa Ruci. Di dalam tubuh itulah Brataséna menyaksikan rahasia Ilahi.

Setelah sempurna memahami rahasia Tirtamahāpawitra, Brataséna diminta keluar dari tubuh Sang Hyang Déwa Ruci. Ia kemudian didandani busana yang berciri ke-Śiwa-an oleh Baṭari Durga. Ketika segalanya telah usai dengan baik, Brataséna diberi nama baru, yakni Wěrkudara, Bimaséna, Bimaruci.

Oleh karena hal yang dicari telah diperolehnya, Wěrkudara pun minta diri untuk kembali kepada saudara-saudaranya di Ngéndrapraṣṭa. Sang Hyang Déwa Ruci pun mengizinkannya, tetapi dengan pesan bahwa ia harus sugguh bijaksana dan mampu melihat segala macam rahasia Ilahi. Sesampainya kembali di tepi Samudra Minang Kalbu, Wěrkudara berjumpa kembali dengan saudara-saudaranya. Namun, tiba-tiba Wěrkudara melihat Kuṇṭinalibranta dikejar-kejar oleh Durna. Akhrinya Wěrkudara mampu menyelesaikan permasalahannya dengan Durna dan menyempurnakan gurunya itu. Wěrkudara beserta ibu dan saudara-saudaranya pun segera kembali ke Ngéndrapraṣṭa.

Jějěr Wana Watu Gajah

(Gěnḍing: Ladrang Sumirat, Sléndro Paṭět Manyura)

Ketika mendengar laporan dari Aswatama, putra Durna, bahwa Wěrkudara telah berhasil memperoleh anugerah déwa, Tirtamahāpawitra, para Kurawa pun ingin merebutnya. Kurawa bersepakat melurug perang ke Negara Ngéndrapraṣṭa, tetapi di tengah jalan mereka bertemu dengan Wěrkudara. Peperangan pun tidak dapat dihindarkan. Namun para Kurawa tidak mampu me-nanggulangi kekuatan Wěrkudara. Akhirnya Kurawa pun lari, kembali ke Negara Ngastina dengan penuh kekecewaan dan dendam.

Jějěr Nagari Ngéndraprasṭa

Puntadéwa beserta saudara-saudaranya sangat bergembira dan bersyukur karena dapat kembali berkumpul dengan ibu dan saudara mereka. Kegembiraan semakin bertambah besar karena Wěrkudara telah berhasil menerima anugerah déwa, Tirtamahāpawitra, yang kelak akan berguna bagi perjalanan hidup para Paṇḍawa.