Padhangmbulan September 2013

Padhangmbulan edisi September 2013 jatuh pada hari Jumat tanggal 20. Menjelang peringatan ulang tahun Padhang Mbulan ke-20 sekaligus menyongsong tahun baru yang tak lama lagi, Cak Nun sengaja tidak hadir. Sebagai gantinya, Beliau kirimkan tulisan sepanjang lima halaman berjudul Maiyah Buka Jendela 2014 sebagai sangu untuk dijelajahi dalam diskusi.

Sebelum masuk ke bahasan-bahasan, ada beberapa hal yang harus terlebih dahulu disyukuri. Pertama, kondisi fisik Padhang Mbulan semakin baik dengan kanopi di sisi kiri dan kanan dan sound system yang semakin memadai. Ini semua tak lepas dari partisipasi para jamaah.

Kedua, Pesantren Padhang Mbulan sudah resmi berjalan sejak hari Sabtu pekan sebelumnya. Setiap ba’da Ashar, anak-anak SMA Global ngaji hadits. Lalu ba’da Isya’ mereka belajar lagi dengan materi yang bervariasi – sejauh ini sudah pernah diberikan pelajaran Bahasa Arab percakapan dan dasar-dasar kepemimpinan. Kemudian ba’da Subuh difokuskan pada tadarus dan tadabur Al Qur’an. Sementara itu, selang waktu antara Maghrib sampai Isya’ diisi dengan kajian umum untuk masyarakat sekitar. Sudah banyak ibu-ibu dan bapak-bapak yang mengikutinya.

Untuk tadabur Al Qur’an, Cak Fuad sudah menyusun panduan berupa pertanyaan-pertanyaan untuk memancing para santri mencari informasi dari ayat-ayat suci. Dengan begitu, mereka lebih mampu memahami kandungan Al Qur’an secara sistematis sehingga mudah mengingatnya kembali. Santri-santri antusias dengan metode ini.

Sebagai bahan renungan bersama atas perjalanan istiqomah selama 20 tahun, Cak Nang meminta masukan-masukan berupa apa saja dari jamaah. Dikawal oleh Amin, satu demi satu jamaah menyampaikan kesan-kesan yang didapat dari ngaji di Padhang Mbulan dan ide-idenya untuk langkah ke depan.

Beberapa masukan yang terkumpul antara lain: usulan untuk memperbanyak dzikir bersama, mengadakan kegiatan-kegiatan sosial, mengembangkan lagi Maiyah Pertanian, dan membentuk forum kecil yang lebih fokus yang terpisah dari diskusi Padhang Mbulan. Ada juga yang mengeluhkan kemunduran Padhang Mbulan dibanding masa-masa Gus Dur. Dulu jamaahnya puluhan ribu sampai-sampai jarak tempat parkir ke lokasi acara satu kilometer jauhnya.

ORBITASI PADHANGMBULAN

Padhang Mbulan itu ibarat tarian sufi; berputar-putar dalam poros masing-masing tanpa bertabrakan satu sama lain. Tarian ini sebenarnya merupakan bentuk upaya mendekati sunatullah, di mana setiap unsur alam semesta tak henti-hentinya berputar. Bulan terhadap bumi, bumi terhadap matahari, matahari terhadap pusat galaksi, juga elektron-elektron terhadap inti atom. Lalu Allah mengenalkan kepada kita satu bentuk putaran bernama shalat lima waktu.

Maka menanggapi keluhan kemunduran Padhang Mbulan, Cak Dil berpendapat bahwa berkurangnya jumlah jamaah bukan merupakan kemunduran. Padhang Mbulan tetap istiqomah setiap bulan selama 20 tahun. Bahkan meskipun yang datang tiga orang, misalnya, diskusi tetap berjalan dan yang dibicarakan tetap soal-soal kemerdekaan berpikir dan kembali kepada Allah.

Kalau memang ada yang mrotholi, itu bukan Padhang Mbulan-nya melainkan “yang seolah-olah”. Kekuatan Padhang Mbulan memang terdapat pada narasi-narasi Cak Nun dan Cak Fuad, yang ketika bertemu dengan kondisi sosial-politik pada masa itu, ia menjadi sangat besar.

“Untuk 20 tahunan, menurut saya jangan Padhang Mbulan-nya, tapi bagaimana masing-masing individu menciptakan orbitasi-orbitasi kecil apapun dengan irama yang jelas. Cobalah ikut menciptakan dinamika orbitasi tadi. Jamaah Padhang Mbulan sebaiknya punya karya, punya orbitasi kecil-kecilan yang dinamis. Semakin besar energi yang kita keluarkan dalam putaran-putaran itu, semakin banyak nanti yang akan terbawa.”

Orbitasi itu bisa dalam bentuk apapun, bisa berupa kelompok sekecil apapun. Tapi yang utama, sifatnya jangan ad hoc; harus ada waktu yang disepakati dan mudah diingat sehingga tak perlu ada undangan lagi. Misalkan diadakan tiap sore menjelang Padhang Mbulan, atau bisa juga mencari waktu-waktu rutin dengan putaran yang lain – bisa bulanan, selapanan.

Dan orbitasi itu juga perlu tema supaya kuat. Misalkan temanya kecintaan kepada Rasulullah. Dari tema besar ini, bisa diturunkan topik-topik antara lain: mempertanyakan kecintaan kepada Rasulullah dengan menemukan indikator-indikatornya, mempelajari model-model masyarakat yang mencintai Rasulullah. Setiap orang di dalam orbitasi perlu mengikhlaskan diri untuk tidak membicarakan hal-hal di luar tema. Kalau dijaga terus, ini akan menjadi kekuatan.

Akan tetapi penentuan tema ini tak perlu diterapkan dalam Padhang Mbulan inti, karena Cak Nun sendiri adalah sebuah super tema, sebuah fenomena – tidak bisa dikurung dengan tema-tema.

SERUPA BUIH DI ALIRAN SUNGAI

Setelah uraian Cak Dil soal orbitasi jamaah, Cak Fuad menyambung dengan membahas hadits. Rasulullah pernah bersabda bahwa pada suatu masa akan ada umat-umat yang mengerubuti umat Islam seperti orang yang sedang menyerbu tumpeng. Semua dilahap habis. Para sahabat bertanya apakah pada masa itu umat Islam sangat sedikit jumlahnya.

“Tidak. Jumlah kalian banyak sekali waktu itu, tapi kalian seperti buih di aliran sungai,” begitu jawab Rasulullah.

Buih terombang-ambing mengikuti jalannya arus sungai. Sungai ini bisa jadi dalam bentuk suhu politik. Setiap hari manusia modern menghabiskan energi pada isu yang disuguhkan media massa, lalu besok berbelok menuju isu baru. Begitu terus tiap hari, tanpa sempat berpikir lagi ada apa di belakang penyuguhan isu-isu itu.

Umat Islam menjadi buih, menurut informasi Rasulullah, adalah karena adanya penyakit wahn  di dalam hati mereka. Hubud dunya wa karahyatil maut, cinta dunia dan takut mati. Maka diangkatlah oleh Allah rasa takut di hati musuh-musuh kepada umat Islam.

Cak Nun di dalam Maiyah Buka Jendela 2014 menggambarkan apa yang sudah sejak jauh-jauh hari digambarkan oleh Rasulullah itu. Aset-aset dikuras habis, baik di Indonesia maupun di negara-negara Timur Tengah. Pangeran-pangeran kaya Arab Saudi mendanai penyerangan Amerika Serikat ke Iran, ke Syiria.

Kalau orang sudah sedemikian rupa mencintai dunia, dunia lah yang menjadi fokus perhatian, menjadi ukuran-ukuran kemuliaan dan keberhasilan hidupnya sehingga ia kehilangan kemampuan untuk melihat yang sejati.

Cak Fuad

ENAM YANG MERUSAK AMAL

Hadits kedua yang dikaji oleh Cak Fuad adalah hadits mengenai enam hal yang menyebabkan amal baik kita menjadi sia-sia. Enam hal itu adalah al istighlal bi ‘uyubil khalqi (sibuk dengan aib orang lain), qaswatul qalbi (kerasnya hati), hubud dunya (cinta dunia), qilatul haya’ (tipisnya rasa malu), thulul amal (angan-angan yang berkepanjangan), dan dhulmun la yantahi (berbuat dzalim tak berkesudahan).

Menghabiskan waktu untuk sibuk terhadap aib orang lain akan menjauhkan orang tersebut dalam melihat aib-aibnya sendiri. Dengan begitu, ia tak sempat memperbaiki diri karena hanya fokus pada kuman di seberang lautan.

Hati yang keras atau tertutup tak bisa mendengar kebenaran dari orang lain. Kerasnya hati bisa dipicu oleh tidak adanya tradisi analisis dan dialog sehingga yang tidak diketahuinya disimpulkan tidak ada. Allah memberi satu contoh mengenai kerasnya hati dalam Surah Al-Hadid ayat ke-16, di mana para ahli kitab tak mampu menerima kebenaran datangnya agama baru.

Dalam ayat itu Allah melemparkan pertanyaan retoris kepada umat Islam yang tiga belas tahun sesudah kenabian sudah terjangkit penyakit wahn. Datang ke Madinah tanpa bekal apa-apa, belum ada setahun kemudian sudah jadi orang kaya-raya dari bisnis ekspor produk-produk pertanian Madinah yang awalnya hanya digunakan untuk mencukupi kebutuhan lokal. Dunia pertanian semakin maju, ekonomi menguat, tapi efeknya banyak orang melupakan Allah. Maka turunlah ayat itu – sebuah perintah dalam kalimat tanya – segeralah eling kepada Allah, jangan seperti para ahli kitab yang keras hatinya.

Kalau orang sudah sedemikian rupa mencintai dunia, dunialah yang menjadi fokus perhatian, menjadi ukuran-ukuran kemuliaan dan keberhasilan hidupnya sehingga ia kehilangan kemampuan untuk melihat yang sejati. Sementara yang dimaksud dengan tipisnya rasa malu adalah ketika nurani tidak lagi hidup. Nurani atau dhamir adalah Al Qur’an yang ditanamkan oleh Allah dalam jiwa manusia. Selama ia masih hidup, manusia tahu mana yang baik mana yang buruk, mana yang pantas mana yang tak pantas.

Surah Al-Anfal ayat ke-48 menjadi pengingat manusia bagaimana setan menghiasi angan-angan manusia dengan yang seolah-olah keindahan, mendorong manusia agar tetap berada di dalam ambisi-ambisi kekuasaannya. Wajar memang memiliki ambisi-ambisi itu, kata Rasulullah, tapi pada akhirnya manusia akan menyesal juga di hari kiamat.

Termasuk di dalam ambisi-ambisi non-realistis ini juga angan-angan yang bersifat ukhrawi, misalnya ambisi untuk masuk surga. Orang-orang ahli kitab merasa yakin akan masuk surga cukup dengan percaya, sedangkan Rasulullah mengajarkan bahwa Islam menekankan amal yang didasari iman. Untuk selamat dari api neraka orang mesti beriman kepada Allah, jangan pernah sekalipun menyekutukan-Nya, dan juga melakukan shalat, zakat, bergaul dengan keluarga dalam cara yang baik. Meskipun juga dijelaskan bahwa amal manusia tak pernah cukup untuk membuatnya masuk surga. Hanya ampunan dan rahmat Allah yang bisa. Dan rahmat Allah itu datang kepada orang-orang yang beramal baik. Kalau memang benar-benar mau dihitung, timbangan kesalahan sangat mungkin lebih berat dibanding bobot kebaikan yang mampu kita lakukan. Dan kalaupun kita beramal baik dengan memproduk manfaat bagi manusia, toh saham terbesar kebaikan itu ada pada Allah sendiri.

Rabbana dhalamna anfusana wa in lam taghfirlana wa tarhamna lanakunanna minal khasirin. Kita perlu belajar kepada Nabi Adam ketika berdoa, supaya tidak terus terjebak dalam kedzaliman yang tak sudah-sudah.

Masjid idealnya menjadi rumah dari jamaah, di mana jamaah dibina betul sehingga saling kenal satu sama lain.

Cak Fuad

DITERIMA ATAU TIDAK

“Kalau misalkan shalatnya seseorang sangat bagus dan terjaga tapi tidak pernah menyapa saudara-saudaranya sendiri, apakah shalatnya diterima?” tanya seorang jamaah kepada Cak Fuad.

Ada beberapa kemungkinan penjelasan untuk pertanyaan ini. Pertama, shalatnya tetap sah, tetap mendapat pahala, tapi dia juga mendapat dosa dari perbuatannya tidak menyapa saudara. Kedua, shalatnya tidak sempurna. Ketiga, yang lebih berat lagi, shalatnya tidak diterima. Memang ada hadits yang menjelaskan bahwa orang yang tidak akur dengan saudaranya lebih dari 3 hari, amal kebaikannya tidak diterima oleh Allah. Tinggal kita memandangnya sebagai hukum atau sebagai cara Allah dan Rasulullah menekankan pentingnya silaturahim.

Tapi sebuah hadits qudsi mengatakan, Aku hanya mau menerima shalatnya orang yang tawadlu, yang rendah hati kepada kebesaran-Ku, yang tidak sombong, yang tidak merendahkan makhluk-Ku, yang mengasihi orang-orang miskin dan janda-janda (yang ditinggal mati suaminya dan tidak lagi dapat menghidupi dirinya sendiri).

PERJALANAN PENELITIAN HADITS

Pertanyaan kedua mengenai hadits, yang jarak pengumpulannya dengan kehidupan Rasulullah sangat panjang; bagaimana ia bisa menjadi pedoman bagi umat Islam?

Cak Fuad menjelaskan, “Hadits itu disampaikan oleh para sahabat. Kalau kita baca hadits, selalu diawali dengan penyebutan sumbernya, misalkan Abu Hurairah baru kemudian berakhir dengan nama penerima hadits, misalkan Imam Bukhari. Imam Bukhari mendapatkan hadits dari seseorang yang hidup pada zamannya, kemudian dia selidiki pertalian sumbernya. Misal si A mendapat dari gurunya, gurunya mendapat dari gurunya lagi, dan seterusnya. Ini harus berujung pada sahabat Nabi yang mendengar hadits tersebut langsung dari Rasulullah.”

Sahabat-sahabat itu menyimpan hadits di dalam hatinya, bahkan beberapa ada yang dicatat. Nabi sendiri berpesan jangan menulis ucapan-ucapannya supaya tidak tercampur antara Al Qur’an dengan hadits. Tapi hadits-hadits itu tersimpan dalam hati dan pikiran orang-orang yang mempunyai kecerdasan tertentu. Imam Bukhari, Imam Muslim, dan muhadits yang lain melakukan penelitian yang luar biasa. Kadang untuk satu hadits saja mereka harus berjalan berpuluh-puluh kilometer mencari sumbernya sampai benar-benar yakin terhadap kebenaran hadits tersebut.

Jalannya penelitian yang panjang ini, dengan berbagai kemungkinannya, menyebabkan hadits ada bertingkat-tingkat. Ditinjau dari kekuatan periwayatannya, ada hadits sahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. Kalau jalur-jalur periwayatannya merupakan orang-orang yang jujur dan cerdas, ia merupakan hadits sahih. Tapi kalau ada satu saja jalur periwayatan yang dikenal sebagai orang yang suka berbohong, hadits langsung dipinggirkan meskipun tetap ditulis. Ini jika dilihat dari sanad atau kualitas para perawinya.

Kalau ditinjau dari segi banyaknya jalur yang meriwayatkan suatu hadits, ada tingkatan hadits mutawatir, hadits masyhur, dan hadits ahad. Hadits yang berkaitan dengan amalan-amalan, fadhilah-fadhilah beramal, meskipun dhaif tetap boleh dipakai sepanjang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits sahih. Tapi kalau sudah jelas-jelas palsu, maka dia harus dibuang. Misalnya ada hadits yang mengatakan barangsiapa shalat dengan memakai sorban pahalanya seratus kali lebih banyak dibanding tidak memakai sorban. – Hadits memang ditulis lama sesudah Nabi wafat, tapi jaraknya masih lebih dekat dibandingkan jarak penulisan Injil, yang ditulis ratusan tahun kemudian tanpa model penelitian seperti yang dilakukan para muhadits.

MAUIDHAH HASANAH DAN AMAR MA’RUF

Penanya ketiga meminta penjelasan mengenai perbedaan antara mauidhahhasanah dan amar ma’ruf.

Merespon hal tersebut, Cak Fuad kembali menjelaskan: Mauidhah hasanah adalah salah satu cara dakwah. Dalam Surah An-Nahl disebutkan “Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan mauidhah hasanah”. Hikmah itu bijaksana; syaratnya harus memiliki keluasan ilmu. Sedangkan mauidhah hasanah artinya memberi nasihat yang baik. Tekanannya pada “hasanah”-nya. Memberi nasihat itu hanya kalau diminta.

Kalau amar ma’ruf, ayatnya yad’una ilal khair wa ya’muruna bil ma’ruf wa yanhauna anil munkar. Khair dan ma’ruf sama-sama “kebaikan” artinya dalam Bahasa Indonesia, tapi berbeda jenisnya. Khair adalah kebaikan sebagai nilai, sementara ma’ruf merupakan kebaikan kultural yang sudah berlaku di tengah masyarakat.

Untuk ber-amar ma’ruf, orang harus mengetahui di mana posisinya, sampai mana kewenangannya. Kalau anak pulang ke rumah membawa minuman keras, bapak berwenang untuk memarahi dan mengambilnya. Tapi kalau yang melakukan tetangga, tidak ada kewenangan untuk itu; paling-paling hanya menasihatinya saja – dan harus dengan cara yang baik (hasanah).

PERADABAN MASJID

Mengenai usulan untuk membangun peradaban dari Masjid, Cak Fuad membenarkan. Pada zaman Nabi semua berangkat dari Masjid. Tapi dakwah 13 tahun berangkat bukan dari Masjid melainkan dari rumah.

Ada tahap di mana masyarakat siap menjadikan Masjid sebagai pusat peradaban. Tapi posisi Masjid di tengah masyarakat memang bermacam-macam. Ada yang dari Masjid lahir madrasah, poliklinik, dan lembaga-lembaga sosial di mana Masjid menjadi basisnya. Tapi ada juga yang Masjid lahir dari kantor untuk memperkuat sisi-sisi ruhaniah para karyawan. Sangat bagus kalau Masjid dan Musholla betul-betul menjadi pusat pengembangan kampung. Masjid idealnya menjadi rumah dari jamaah, di mana jamaah dibina betul sehingga saling kenal satu sama lain.

ALIF LAM MIM DAN MISTERI SEMBILAN BELAS

Sebagian besar ulama cenderung menjawab pertanyaan mengenai arti Alif Lam Mim dengan kalimat Wallahu a’lam. Mungkin saja itu cara Allah menarik perhatian dengan meletakkan bunyi yang tidak ada artinya. Atau untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada kita dalam Bahasa Arab.

Tapi ada juga penelitian-penelitian mengenai misteri Alif Lam Mim ini dengan mengaitkannya pada gagasan pola numerik. Ada sistem bilangan 7, 19, 99, dan sebagainya yang terkandung dalam muatan Al-Qur’an. Ada 7 langit, 7 bumi, 7 tahun, 7 sapi, as sab’ul matsani.

Ahli Matematika dari Amerika menemukan bahwa jumlah huruf alif, lam, dan mim dalam Surah Al-Baqarah dan surah-surah lain yang diawali dengan Alif Lam Mim jumlahnya bisa dibagi habis dengan angka 19. Angka 19 ini merupakan jumlah huruf dalam kalimat Bismillahirrahmanirrahiim.

Kalau ditulis dengan ejaan bahasa Arab yang berlaku sebenarnya kalimat basmalah itu mengandung 20 huruf, tapi Allah secara khusus melalui Jibril menginformasikan bahwa penulisannya tidak menggunakan huruf alif, melainkan langsung masuk ke ba’ dan sin. Hasil dari penelitian ini kemudian bisa membawa kita pada kesimpulan bahwa tidak mungkin Al Qur’an dibikin oleh yang selain Allah.

Untuk ber-amar ma’ruf, orang harus mengetahui di mana posisinya, sampai mana kewenangannya.

Cak Fuad

MAIYAH BUKA JENDELA 2014

Cak Dil yang kebagian mentransfer tulisan Cak Nun ke jamaah Padhang Mbulan menjelaskan bahwa di situ Cak Nun menceritakan secara umum bahwa kondisi bangsa Indonesia sangat morat-marit. Ada yang bermain di Hongkong, di Tel Aviv, tapi kita yang di sini kebagian macam-macam. Yang terjadi di Jember beberapa waktu lalu merupakan permainan uji coba meletupkan konflik oleh mereka yang ada di luar. Di antara Jember dan Banyuwangi itu terdapat harta karun luar biasa besar melebihi yang ada di Papua.

Cak Nun menerangkan bahwa kita sedang menuju 2014 yang menjadi ajang pesta pora tarik-menarik kekuatan yang bermacam-macam. Maiyah Buka Jendela 2014 merupakan tumpahan kegelisahan Cak Nun. Di tengah kondisi ruwet, kualitas umat hari ini juga tidak karuan. Garuda protholprothol badannya.

 “Menurut saya yang harus kita lakukan saat ini adalah qu anfusakum wa ahlikum nara, menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Fokus penyelamatan bukanlah dari kelaparan atau kemiskinan, tapi dari neraka. Lalu yang dinamakan keluarga di sini bukan hanya keluarga inti melainkan juga jamaah yang lebih luas. Hari-hari ini kita perlu mengelola energi untuk apa yang bisa kita jangkau yang mengarah kepada Allah,” tutup Cak Dil.

[Teks: Ratri Dian Ariani dan Azam Fakhri]