Tidak

Menyambut 3 tahun Maiyah Rebo Legi

Selasa malam Rebo Legi, tanggal 6, bulan 6, tahun 2012, pertama kali Maiyah Rebo Legi diselenggarakan. Malam musim pancaroba amat dingin di Malang. Demikian halnya dengan malam itu. Dengan segala keterbatasan, maiyahan mengambil tempat di Aula Misykat, lantai 2 kediaman Cak Fuad di Landungsari Asri D 77 (LAD 77). Tidak banyak rekan-rekan Maiyah yang hadir. Hanya dua puluh sampai tiga puluh orang. Hanya wajah-wajah yang itu-itu juga. Bertahun-tahun akrab satu sama lain. Semua adalah produk Padhangmbulan atau Mocopat Syafaat. Paling banter, produk Maiyah Yu Tubiyah. Kendati demikian, tetap saja kegembiraan menghasut hati setiap orang. Bisa jadi karena pada akhirnya rindu dendam yang lama terpendam itu terwujud.

Setelah berpindah-pindah tempat, mulai lapangan parkir ruko terminal Landungsari, halaman masjid hingga kembali ke LAD 77, satu setengah tahun kemudian maiyahan Rebo Legi mendapatkan tuan rumah yang sejak semula justru tidak disangka-sangka: beranda Masjid An Nur, Politeknik Negeri Malang (Polinema). Sejak awal, maiyahan Rebo Legi memang di-design di kampus atau ruang publik lain. Tapi, Polinema sungguh diluar perhitungan.

Sejak awal, Tim membidikkan sasaran pada universitas-universitas yang secara konsep pendidikan nasional memang di-set up kuat pada teori dan pemikiran. Sebabnya adalah asumsi bahwa universitas lebih cocok sebagai ekosistem dari design Maiyah Rebo Legi. Tapi apa lacur, mendadak Allah memperjalankan ReLegi ke Politeknik yang secara konsep pendidikan nasional di-set up sebagai ruang terapan. Mahasiswanya pun lebih cenderung sebagai  pejuang lapangan dibanding sebagai akademikus teoretis.

Rupanya begitulah Allah berkehendak, kadang kita diberikan sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan. Maka, lahirlah generasi baru Maiyah. Mereka bukan produk Padhangmbulan atau Mocopat Syafaat. Anak-anak muda itu produk asli Maiyah Rebo Legi dan mereka disiapkan oleh lingkungannya sebagai pejuang lapangan yang tangguh. Anak-anak muda politeknik yang siap turun begitu saja ke medan berlumpur tanpa banyak bertanya argumen dan teori. Tapi, adakah pesan Allah dibalik itu semua?

Menjelang ReLegi berusia 3 tahun, sedikit demi sedikit pesan itu coba diterjemahkan. “Terapan” lah kata kunci dari Politeknik. Dan rupanya kata itu yang “mengganggu” Jamaah Maiyah di Komunitas Rebo Legi. Apalagi bagi Jamaah Maiyah yang mahasiswa Politeknik. Setelah 22 tahun belajar terhitung sejak hari pertama Padhangmbulan, tidak adakah yang bisa “diterapkan” Jamaah Maiyah, kendati hanya sedikit? Secara individual telah banyak yang dilakukan. Bahkan bisa jadi, jumlahnya jauh lebih banyak dari yang bisa diperkirakan. Tapi, bagaimana secara komunitas?

Di Bangbangwetan sejak beberapa tahun lalu telah ada Lembaga Amil Sanabila. Di lingkaran lain barangkali ada aktivitas dengan kekhasannya masing-masing. Namun, pesan untuk Relegi sangat tegas dan tidak ada pilihan lain—kalau ditafsir demikian. Maka, sejak beberapa bulan lalu, Maiyah Rebo Legi menginisiasi aksi terapan. Wujudnya adalah pengabdian di pulau Sapudi, 3 jam dengan kapal ferry dari ujung timur Madura. Para mahasiswa Politeknik lah yang berjuang mewujudkannya.

Mereka adalah anomali. Di saat tema besar mahasiswa adalah soal mendapatkan pekerjaan terbaik, ikut riuh dalam politik nasional dan Jakarta oriented, mereka justru mencari tempat terpencil, jauh menyeberangi laut dan tersembunyi untuk mengabdi. Ataukah Maiyah memang dilahirkan untuk menginisiasi dan menemani anomali-anomali?

Puncaknya adalah ketika diselenggarakan Rembug Inspirasi yang menghadirkan Ricky Elson, Dr. Heri Budianto dan Anton Muhibuddin, PhD. Mereka bertiga adalah anomali di dunianya masing-masing. Orang-orang yang dijuluki pendekar hebat dalam bidang keilmuwannya tapi merasa diri bahwa apa yang dimiliki semata-mata hanya Tuhan yang mengkaruniakan. Ketiganya adalah orang-orang “luar biasa” yang merasa diri hanya sebagai “hamba”.     

Anomali adalah puasa tatkala semua berlomba mengejar kepuasan, waspada ketika semua merayakan, TIDAK saat setiap orang meng-IYA-kan. Sampai jumpa di Maiyah ReLegi Malang.

Teks: Prayogi R. Saputra