The King of Kantong Bolong

LOJITENGARA MENJADI kotak penyimpanan uang rahasia Kurawa dan Pandawa sejak masa kecil. Kebiasaan menabung sudah di ajarkan sejak dini oleh Guru Durna kepada Pandawa dan Kurawa. Sebagian uang sisa jajan disimpan ditabungan yang terpantau oleh Guru Durna dan sebagian lagi mereka simpan di Lojitengara tanpa sepengetahuan Guru Durna. Lojitengara yang dikelola oleh Petruk menjadi kotak penyimpanan rahasia yang aman, bahkan uang hasil kenakalan Kurawa dapat tersimpan di Lojitengara dengan baik. Lojitengara menjadi kotak penyimpanan yang penuh misteri, bahkan sosok Petruk yang mengelola uang tidak diketahui oleh Pandawa dan Kurawa.

Seiring berjalanya waktu, tabungan Pandawa dan Kurawa yang dikelola oleh Petruk menjadi modal usaha, berkembang menjadi permodalan dan simpan-pinjam rahasia yang terpercaya. Dari mulut kemulut Lojitengara berkembang menjadi tempat penyimpanan dana rahasia para raksasa-raksasa, raja-raja dan kesatria-ksatria di dunia pewayangan. Dasarnya Petruk mempunyai sifat usil, merasa dirinya memiliki pengaruh besar di dunia pewayangan, Petruk melantik dirinya sendiri menjadi Prabu Kantong Bolong, raja negara Lojitengara. Momentum ini tidak disia-siakan oleh Petruk untuk menggugat tokoh-tokoh dunia pewayangan yang selama ini hanya asik mengakselerasikan perang-peperangan tanpa mempedulikan nasib rakyatnya.

Pada pidato kenegaraannya yang kocak, Petruk alias Prabu Kantong Bolong berpidato dihadapan raksasa-raksasa, raja-raja, para ksatria dan para tamu undangan. ‘Hadirin yang saya hormati, saya Prabu Kantong Bolong melantik diri saya sendiri sebagai raja Lojitengara dengan gelar mBelkeduwelblegh, saya adalah rakyat yang menjadi raja. Hayo sekarang kalian nggak bisa mengatasnamakan rakyat untuk mengambil tabungan yang tersimpan di Lojitengara.”

“Kalian nggak bisa lagi mengatasnamakan bantuan kemanusiaan untuk rakyat, karena saya tahu ternyata kalian memasok persenjataan untuk menindas rakyat. Kalian tak perlu lagi berpura-pura membawa misi perdamaian, karena saya tahu kalau kalian diam-diam mendanai media-media permusuhan ditengah masyarakat. Tak perlu kalian berkoar-koar untuk mendirikan demokrasi, karena saya tahu sebenarnya kalian didanai oleh agen kolonialisasi. Hayo mau pembelaan macam apa yang dapat kalian ajukan? Reformasi? reformasi apa yang intinya privatisasi. Jangan bilang kalau reklamasi untuk bangun perumahan rakyat? Rakyat yang mana mampu bayar cicilan ‘hanya enam juta rupiah’…” Belum usai Petruk berpidato, entah dari arah mana tubuh Petruk diterjang oleh Raksasa. Segera diikuti oleh Raksasa-raksasa lainnya yang merasa terusik oleh polah tingkah Prabu Kantong Bolong. Kericuhan tak terelakan. Untung Pandawa segera berusaha menyelamatkanya, meski sudah compang-camping nyaris tak berupa.

Sebuah inisiatif yang keterlaluan dilakukan oleh Petruk untuk mengekspresikan frustasi yang dialaminya dalam menghadapi keadaan. Ekspresi serampangan yang tidak memperhitungkan siapa lawan siapa kawan. Aksi individu yang sekedar mengikuti hawa nafsu, jelas hanya akan membuang-buang waktu. Keinginan untuk merubah keadaan secara instan, justru memungkinkan menambah keadaan semakin berantakan. Cobalah sejenak kita renungkan apa yang sebaiknya kita lakukan dan apa yang sudah sepatutnya kita tanggalkan.

Mengatasnamakan diri sebagai rakyat untuk melakukan gerakan perubahan juga perlu diintrospeksi. Rakyat yang mana yang sedang kita bela? Jangan-jangan hanya kita sendiri yang merasa GR, gede rumangsa merasa mewakili rakyat. Padahal ditengah masyarakat, diantara rakyat kita tidak diakui keterwakilan mereka pada usaha kita. Atau jangan-jangan kita justru yang sebenarnya sedang dicurigai mengemisi suara-suara rakyat  untuk sekedar mendapat contrengan-contrengan di bilik suara pemilu maupun pilkada.

Maiyahan selama ini terselenggara dipenuhi dengan tebaran benih ilmu-ilmu kebaikan, curahan cinta dan kasih sayang, menyuguhkan pendidikan politik ditengah masyarakat, menyemaikan kedaulatan-kedaulatan rakyat, meresonansikan pemberadaban kemanusiaan, dan berbagai pengetahuan yang mendalam dan meluas mengenai kehidupan, kita sadari maupun tanpa kita sadari menghasilkan manfaat yang dapat langsung kita rasakan. Dengan maiyahan kita bersama belajar bersyukur dan bersabar mengahadapi keadaan zaman yang semakin tidak karuan. Setidaknya kita mulai dapat membedakan antara pemimpin dan petugas pemerintahan. Apa yang dilakukan Maiyah selama ini tidak hanya soal pendidikan politik, interaksi sosial, dan dekonstruksi pemikiran. Tetapi proses merawat negeri, dimana suatu saat negara akan mengalami fase stagnan, mereka mau tidak mau harus menjadi masyarakat negara yang lebih siap dari masyarakat sebelumnya. [AS]