Tasyakur Emas Dies Natalies UNJ ke-50

Setelah malam harinya maiyahan dalam rangka Pra Conference ASEAN-China di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Ciputat, senin pagi (16/6) pukul 09:00 WIB Cak Nun, Novia Kolopaking, dan Kiai Kanjeng sudah berada di Universitas Negeri Jakarta dalam rangka acara Penutupan Dies Natalis Universitas Negeri Jakarta ke-50. Dimulai dengan sambutan sekaligus penutupan rangkaian acara Dies Natalis Universitas Negeri Jakarta ke-50 oleh Rektor Universitas Negeri Jakarta. Disampaikan agenda-agenda kegiatan yang sudah diselenggarakan dalam rangkaian acara Dies Natalis, berupa seminar nasional dan internasional.

Acara kemudian dilanjutkan dengan Kenduri Tasyakur Emas UNJ. Diawal, Cak Nun menyapa para akademisi, dosen, serta staff UNJ, “Saya sebagai Rektor Universitas Kiai Kanjeng mengucapkan selamat Dies Natalis yang ke-50, selamat dan berkah atas semua penyelenggaraannya dan selamat atas penutupannya,” ucapan tersebut langsung disambut tawa oleh para hadirin yang berada pada Hall Perpustakaan UNJ.

“Saya diberi panduan muatan Dies ini, jadi saya hanya akan berbicara sekitar yang sudah dipandukan kepada saya, tujuan kegiatan Dies ini. Meskipun nanti kalau ada yang saya omongkan, yang sampean tidak cocok, tidak perlu kecewa, dibuang saja dianggap tidak ada. Saya kesini sebagai tamu dan saya ingin mengucapkan selamat qul indallahu fa innama abdiluh ala nafsih, fain hidadaitu fabimayuhhiyah ila ya robbi. Kalau yang saya ungkapkan nanti salah, maka saya yang salah, saya mohon maaf. Kalau yang saya ungkapkan menurut anda benar dan ada manfaatnya, kembalikan kepada Allah SWT yang merupakan sumber dari segala kebenaran, kebaikan dan keindahan.”

Cak Nun bertanya kepada jamaah “Dies itu bahasa apa, Pak?” Sebagian jamaah menjawab: bahasa Latin. “Kenapa pakai bahasa latin? Kok tidak pakai bahasa Indonesia, Melayu, Jawa, Madura? Kata dies kalau dibaca dengan grammar bahasa Inggris artinya mati. Tapi begitu anda bikin dies, anda tidak punya konteks dan asosiasi bahasa Inggris. Alhamdulillah, Allah melindungi anda dengan tidak punya kepekaan bahasa Inggris pas dies. Sebab kalau pas ini kita ngomong dies kan artinya meninggal. He dies, dia meninggal. Tapi rasanya dies natalis ini kan bahasa Latin. Karena memang di dunia ini peradaban Latin yang menguasai dunia sekarang, dan mereka menyingkirkan peradaban Nusantara dan menyingkirkan peradaban Mesir. Kalau anda lihat antropologi dan sejarah panjang, sebenarnya kita sekarang sedang dikuasai oleh habitat dan sistem nilai yang bukan anda, bukan saya, bukan kita semua.”

KULIYAH DAN DZUZIYAH

Termasuk universitas, saya ini kan tidak pernah kuliah. Hanya empat bulan di fakultas ekonomi UGM. Jadi saya akhirnya mengundurkan diri dan tidak kuliah. Dan sekarang saya sangat cemburu dengan semua teman-teman yang kuliah. Tapi kadang saya bingung, sebenarnya tidak ada orang yang kuliah di universitas. Sebab kuliah itu berasal dari bahasa kullun, kalau kuliyah itu mempelajari segala sesuatu secara menyeluruh. Jadi kuliah itu adalah mempelajari segala sesuatu secara universal dan komprehensif. Kalau fakultas itu kan fakultatif. Kalau kita pakai kata kuliah, maka belajar di fakultas itu namanya dzuziyah, mempelajari sesuatu secara spesifik dengan bidang tertentu, didalami, terus nanti sampai ada jurusan-jurusan dan spesialisasi. Dan anda semua selama ini serta seluruh Universitas dunia hanya melahirkan sarjana fakultatif, tidak ada sarjana S1 yang universal. Jadi sebenarnya sarjananya bukan sarjana universitas. Ketika S2 baru mulai agak kuliyah, kalau S1 masih dzuziyah. Jadi tidak ada sarjana universitas yang ada sarjana fakultas, nanti S2 baru mulai melebar, S3 baru mulai menyeluruh.

“Supremasi itu bukan hukum tapi keadilan. Hakim datang ke pengadilan bukan dengan pasal hukum, tapi dengan rasa keadilan.”
Emha Ainun Nadjib

INDONESIA RAYA

Cak Nun lalu meminta kepada Kiai Kanjeng untuk mengingatkan kembali kepada istiqlal Indonesia atau kemerdekaan Indonesia yaitu dengan Indonesia Raya yang diciptakan oleh WR Supratman. Lagu Indonesia Raya memiliki tiga stanza. Stanza pertama: Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku. Stanza kedua: Tanah yang suci, tanah kita yang sakti. Ketiga: Indonesia tanah yang mulia, tanah kita yang kaya, dst. Stanza kedua dan ketiga tidak pernah dipakai, karena Indonesia memang tidak pernah mau belajar tahap-tahap yang dialami sebagai bangsa Indonesia. Kalau stanza pertama cocoknya adalah sebelum Indonesia merdeka.

“Saya sama UNJ, UNY, UNM itu punya rasa kedekatan berbeda dengan UI, UGM. Karena anda punya sejarah yang menarik. Kalau UI, begitu masuk UI semua orang yang lain dianggap bodoh. Nah UNJ ini kan dulu IKIP dan saya dulu sangat sering kesini, saya dapat sahabat Sapardi Djoko Darmono. Orang yang masuk IKIP itu dianggap kelas dua, dan tidak ada orang yang beruntung melebihi orang yang dianggap kelas dua, tidak ada orang yang mendapat berkah Allah melebihi orang yang dinomor dua-kan. Maka orang yang dianggap kelas dua, dianggap tidak lulus UI, tidak lulus universitas negeri yang utama, mereka menjadi punya kerendahan hati, mereka terhindar dari kesombongan, mereka terhindar dari keangkuhan. Itu yang membikin ternyata nanti prestasinya lebih bagus dari universitas yang disebut unggul-unggul itu. Sampean lihat di UNY di Yogyakarta, termasuk UNNES, hampir setiap tahun saya ke UNNES, mereka berbeda wataknya, mereka tidak punya kesombongan, mereka belajar lebih tekun. UNJ ini punya sejarah yang membuat mahasiswanya lebih lebar ruang kreatifnya, karena mereka tidak ditutupi oleh kesombongan, tidak ditutupi oleh arogansi, jadinya psikologinya psikologi andap asor kalau bahasa Jawanya. Saya mending dikenal oleh orang yang dianggap nomor dua dari pada dikenal oleh orang yang menganggap dirinya nomor satu.

“Kalau anda ke Yogya, di perempatan Samsat Yogya ada gelandangan namanya Slamet, anaknya kurus, kecil, dan jelek. Dan dia selalu tertawa dan senyum, setiap kendaraan yang lewat, dia selalu hormat. Dia dikasih duit banyak ndak mau, dia hanya mau seribu rupiah. Dikasih lima ribu dia tolak, dikasih baju dia tolak, dia hanya ingin seribu rupiah. Nanti seribu rupiah yang mungkin sehari dapat dapat lima belas ribu, yang dua belas ribu dibagi-bagikan ke anak kecil, dia cukup tiga ribu untuk satu hari. Itu namanya Slamet, dan ternyata Slamet kenal saya. Jadi saya bangganya luar biasa. Kalau lewat situ dia panggil saya: Cak Nun, Cak Nun!. Saya meskipun dikenal oleh Obama, saya tidak bangga, tapi dikenal oleh Slamet, mongkok hati saya.”

“Orang sudah tidak bisa lagi mengembangkan pengetahuannya mengenai pusaka, Indonesia sekarang ini secara Konstitusi sudah tidak punya pusaka lagi, sudah tidak punya aura.”
Emha Ainun Nadjib

Cak Nun kembali ke topik mengenai lagu Indonesia Raya. Di dalam Undang Undang tahun 1959 diatur bahwa lagu kebangsaan yang dipakai adalah stanza satu. “Tapi kan boleh presiden agak cerdas sedikit bikin undang-undang baru bahwa sebaiknya kita melakukan ketiga-tiganya, terserah pakai yang mana. Untuk menambah penghayatan nasionalisme kita,” ujar Cak Nun. Dalam lirik lagu Indonesia Raya stanza satu, terdapat kalimat: Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku. Hal ini menjadi pertanyaan kenapa tanah tumpah darahku, apa maksud sesungguhnya? Cak Nun menjelaskan bahwa tanah tumpah darahku maksudnya adalah bahwa tanah air yang kita peroleh adalah hasil perjuangan yang penuh dengan darah para pahlawan. Namun melihat kondisi hari ini, bangsa kita malah saling musuh-musuhan menumpahkan darah saudara-saudaranya sendiri.

“Saya sudah sarankan ke sekian gubernur termasuk Pangdam, mbok sekali-kali baca yang stanza kedua atau ketiga. Itu tidak ada yang berani, karena takut melanggar undang-undang. Dipikir undang-undang itu nomor satu, dipikir supremasi itu hukum. Supremasi itu bukan hukum tapi keadilan. Hakim datang ke pengadilan bukan dengan pasal hukum, tapi dengan rasa keadilan. Kalau pasal hukumnya tidak cocok, hakim boleh menciptakan fenomena baru dengan rasa keadilan dia, apa gunanya dia kuliah. Jadi yang atas itu keadilan bukan hukum, kalau hukum itu tidak boleh jadi supremasi. Kalau supremasi hukum, saya tidak disini, sebab saya tidak mau diundang ke UNJ kan tidak ditangkap. Kalau hukum tidak bisa mengikat saya karena hukum itu rendah. Yang tinggi adalah keadilan, cinta kasih, silaturahmi, hubungan baik, itu baru supremasi. Kalau hukum itu pas diperlukan pagarnya, maka pagarnya harus ada. Tapi kan hidup ini tidak menanam pagar, hidup ini kan menanam tanaman.”

Cak Nun lantas meminta Imam Fatawi membacakan Indonesia Raya Stanza ke-2 dan ke-3.

Stanza II
Indonesia tanah yang mulia, tanah kita yang kaya
Di sanalah aku berada, untuk selama-lamanya
Indonesia tanah pusaka, pusaka kita semuanya
Marilah kita mendoa, Indonesia bahagia

Suburlah tanahnya, suburlah jiwanya
Bangsanya, Rakyatnya semuanya
Sadarlah hatinya, sadarlah budinya
Untuk Indonesia Raya

Stanza III
Indonesia Tanah yang Suci Tanah Kita yang sakti
Di sanalah Aku Berdiri menjaga Ibu sejati
Indonesia Tanah Berseri Tanah yang aku sayangi
Marilah Kita Berjanji Indonesia Abadi

S’lamatlah Rakyatnya S’lamatlah Putranya
Pulaunya Lautnya Semuanya
Majulah Negrinya Madjulah Pandunya
Untuk Indonesia Raya

“Saya hanya mengingatkan, tapi ini boleh anda tidak pakai. Apa yang semuanya saya omongkan itu dianggap wis omongannya arek gendeng, ndak masalah. Tapi saya punya kewajiban. Jadi misalnya gini, kenapa kita tidak bawakan ini, karena banyak kalimat yang kita sudah tidak paham. Misalnya: pusaka, siapa yang bisa menjelaskan pusaka itu apa? Orang sudah tidak bisa lagi mengembangkan pengetahuannya mengenai pusaka, Indonesia sekarang ini secara konstitusi sudah tidak punya pusaka lagi, sudah tidak punya aura, kita tidak punya MPR yang diatas DPR dan diatas presiden.

“Kita tidak punya orang tua, tidak punya panembahan, tidak punya punokawan. Ibarat Majapahit, kita tidak punya Hayam Wuruk, kita punyanya Gajah Mada. Karena Hayam Wuruk itu kepala negara, Gajah Mada itu kepala pemerintahan. Di Indonesia kepala negara dan kepala pemerintahan sama-sama dipegang oleh presiden. Kita sekarang kenalnya pedang paling tinggi, tapi sehari-hari yang kita pakai pisau dapur, kita ini kapitalis dan materialistik saja. Alat itu hanya dipakai untuk makan, untuk duit, sebab kalau pedang kan ksatria dan keberanian, itu yang sudah tidak kita punya.”

“Dosen itu petani dan mahasiswa adalah sawahnya. Dosen menanamkan biji-biji, benih-benih, mahasiswa yang menyuburkan menjadi tanaman.”
Emha Ainun Nadjib

MAKNA PUSAKA DALAM LAGU INDONESIA RAYA

Kita sudah tidak ngerti pusaka, tidak ngerti keris, kita tidak ngerti kalau keris itu bukan alat untuk perang, sebab tidak efektif untuk perang, keris itu pusaka. Pusaka itu sesuatu yang sifatnya rohaniah. Ibu-ibu mau kesini tidak pakai jilbab kesini? Ndak bisa toh. Nah jilbab itu adalah pusaka dalam jiwa ibu-ibu. Pusaka itu penting, saya pakai akik ini bukan apa-apa, kalau ngga pakai akik ngga enak rasanya. Apa saya tergantung akik? Nggak, akiknya tergantung saya. Kenapa? Karena manusia khalifah dan Allah memberi fenomena, zamzam itu oleh Allah diperintah: sembuhkanlah orang yang meminummu, sesuai dengan sakitnya. Jadi ada fenomena dimana manusia, ditransfer hak otoritas untuk mengatur alam.

“Kita sudah tidak paham pusaka. Bahkan aksara sama huruf saja kita tidak tahu bedanya. Kita ngertinya huruf latin. Kalau ada kursus buta huruf, itu curang, yang dia maksud adalah buta huruf latin. Kalau mau, bilang kursus buta huruf Latin, sebab kepala pengursusnya itu buta huruf Arab, buta huruf Sunda, buta huruf Jawa. Mbok terang-terangan, kursus buta huruf Latin, jangan bilang kursus buta huruf. Akhirnya yang belajar bahasa Arab ngikut, seharusnya Alif, Ba, Ta, sekarang A, Ba, Ta, Tsa. Terus anak-anak kita jadi lucu, kalau dulu qiroah ada huruf Alif Lam Mim (dibaca Alif.. lam… Mim..). Karena tidak kenal alif, maka bacanya alaama. Pembelajaran sekarang tanpa estetika, karena estetika dan art sudah ada fakultasnya, di luar itu tidak perlu estetika. Jadi cara berpikir kita ini aneh, kebudayaan jadi departemen. Di luar kementerian kebudayaan boleh tidak berbudaya. Kebudayaan itu bawahan presiden, jadi presiden sama sekali tidak terikat oleh kebudayaan. Bahkan dia yang membawahi kementerian kebudayaan, jadi cara berpikir kita ini agak lucu.”

Cak Nun mengingatkan peserta acara hari itu, bahwa lambat atau cepat kita harus bangun kembali. Kita harus mendapatkan kebenaran yang pernah didapatkan oleh nenek moyang kita kembali. Lambat atau cepat, anak-anak kita harus lebih hebat dari kita, cucu kita harus lebih dewasa dari kita. “Jadi saya hanya nyiram-nyiramin supaya ini tidak mati beneran, bahwa nanti tumbuhnya besok-besok tidak masalah,” kata beliau.

MAKNA SUCI DALAM INDONESIA RAYA

Pada lagu Indonesia Raya terdapat kata suci. Kata suci saja kita sudah tidak paham. Suci itu selalu dihubungkan dengan agama. Suci itu, main sepak bola sportif. Suci kalau dalam ilmu adalah objektif. Suci dalam akhlak adalah jujur. Kalau kesenian, suci itu pas. Tapi Tuhan bermurah hati, kalau fals itu tidak dianggap dosa dalam bernyanyi. Kalau ilmu itu fals tidak boleh, lima kok dianggap empat.

Nyanyi, ngaji kalau fals itu ndak kenapa. Tapi ajaibnya kalau nyanyi bareng itu ndak kelihatan falsnya, padahal kalau dites satu-satu, ada yang fals, ada yang pendek, kurang separoh, meleyot, dan seterusnya. Tapi kalau bareng itu ndak ada yang fals. Pokoknya kalau jelek semua suaranya, tapi kalau bareng bagus semua. Itu adalah rahasia jamaah, rahasia nasionalisme, rahasia kebersamaan. Kalau kita semua berpikir ke-Indonesia-an, maka tidak ada yang fals. Pokoknya asal bareng, benar-benar, tulus, jujur, pasti baik.

“Nah ini tidak ditiru oleh politisi-politisi kita, mereka saling menjelekan satu sama lain. Padahal jamaah itu, kalau dalam teorinya Islam: yang bajunya sobek dibelakang tolong berdiri di depan, yang bajunya sobek di depan berdiri dibelakang, yang bajunya sobek sebelah kiri berdiri disebelah kanan, yang bajunya sobek sebelah kanan berdiri disebelah kiri. Jadi dari luar itu kompak.”

“Hari ini karena watak manusia yang rakus dan tamak, banyak berkah dari Allah yang menjadi azab.”
Emha Ainun Nadjib

REFORMASI DAN HARI INI

Presiden kita itu semua akhirnya khusnul khotimah. Dulunya Bung Karno kan abangan tidak karuan, tapi pada akhirnya dia deket kepada Allah. Dulu Pak Harto itu sampai tahun 1989 adalah Islam Jawa, Islam tapi Jawa. Artinya Jawanya lebih dominan dari pada Islamnya. Tapi mulai 1990 kemudian Pak Harto bikin ICMI, tentaranya dirubah dari merah putih menjadi tentara hijau, dari Benny Moerdani menjadi Hartono. Dan kemudian sekarang konstelasinya berpolarisasi yang hijau ada di Prabowo dan yang merah putih berada di Jokowi, yang akan meneruskan pertarungan lama dan ini memiliki potensi konflik yang tinggi. Pak Harto itu sebenarnya kesalahannya, dalam tanda petik, secara global adalah karena dia menjadi Jawa Islam, kalau dia tetap Islam Jawa tidak masalah bagi Amerika. Tapi karena Jawa Islam, Islamnya lebih menonjol, dia mau wiridan, salat, salat dhuha, salat tahajud. Amerika tidak suka kalau kita jadi macan Asia yang pakai peci, kalau mau jadi macan ya macan saja jangan pakai peci. Akhirnya Soros ambil alih, Indonesia kacau karena rupiah anjlok sampai dua belas ribu dolarnya.

“Hari ini potensi untuk konfliknya cukup besar dan saya mencoba mengelaborasi semuanya, saya selalu kontak dengan mereka, saya ada di group mereka semuanya, saya seorang nasionalis. Saya tidak punya kepentingan apa-apa, saya tahunya rakyat tersenyum dan tidak bertengkar di desa, di jalanan, dan di mana-mana. Perkara saya tidak menjadi apa-apa, tidak menjadi masalah. Karena saya tidak mau menjadi apa-apa kalau yang mengangkat adalah manusia. Untuk apa saya jadi burung kalau saya diburung-burungkan, untuk apa saya jadi macan padahal aslinya Tuhan nyuruh saya jadi kucing.

“Pak Harto dulu saya buatkan surat untuk diadili tapi tidak dipakai. Pak Harto siap diadili, siap mengembalikan hartanya kepada rakyatnya. Ada suratnya di saya dan ditandatangani Pak Harto. Siap tidak jadi presiden lagi, siap tidak ikut campur pemilihan presiden, siap diadili, siap mengembalikan harta rakyat, itu semua janji sumpahnya Pak Harto di dalam upacara Khusnul Khotimah sama saya, tapi tidak dipakai. Ternyata reformasi bukan mau reformasi, reformasi itu mau menggantikan Pak Harto. Sing nyolong moso sampean tok, aku yo kepingin. Aslinya reformasi adalah mau nyolong bareng-bareng. Saya ainul yaqin, haqul yaqin mengalami itu langsung karena semua pejuang-pejuang yang bersama saya yang merayu Pak Harto untuk turun itu ternyata tujuannya mau jadi menteri. Akhirnya jadi semua itu, saya bisa sebut namanya satu persatu. Saya itu kaget, saya mestinya jadi menteri. Tapi saya ini aslinya bodoh, soal ekonomi bodoh, soal politik bodoh, tidak punya kepekaan dan tidak punya ingatan sama sekali.”

“Kita ini suka menghancurkan diri kita sendiri karena kita tidak paham warrahmatullahi wabarakatuh.”
Emha Ainun Nadjib

TEORI KEPEMIMPINAN TUT WURI HANDAYANI

Orang yang angon bebek itu adanya dibelakang atau di depan? Ndak ada orang yang menggembalakan bebek ada di depan. Anda menggembalakan kambing, sapi, kerbau, binatang apa saja, selalu yang digembalakan ada di depan. Teori pendidikan Ki Hadjar Dewantara, prestasi yang pertama adalah memberi contoh, ing ngarso sung tulodo setelah itu meningkat ing madyo mangun karso. Ketika mereka sudah bisa mengerjakan seperti yang kamu contohkan, maka pemimpin yang sejati dia bersama-sama, bukan di depan lagi. Tapi sudah bersama-sama rakyat. Jadi jangan pilih presiden yang merakyat, kalau dia merakyat berarti dia bukan rakyat, presiden itu yang rakyat. Saya ini tidak ada hubungannya dengan Jokowi dan Prabowo, saya ini menyampaikan cara berpikir. Terus puncak prestasi dan kualitas manusia adalah kalau sudah berani dan ikhlas dibelakang, tut wuri handayani. Sekarang orang kalau berada dibelakang tut wuri hanjegali.”

Manusia Diciptakan dari Unsur Laki-Laki dan Wanita

Manusia itu diciptakan oleh Allah dari unsur kelelakian dan unsur keperempuanan. Bukan menjadi laki-laki dan perempuan. Anda perhatikan ayatnya, ini tafsir belum pernah ada dan tidak akan dilegalisir oleh ulama manapun. Jadi min dzakarin wa unsa dari potensi kelelakian dan potensi keperempuanan, kalau laki-laki dan perempuan seharusnya mudzakar wa muannats. Hidup ini apa saja harus ada kedua-duanya, laki-laki harus punya kelembutan. Laki-laki itu segala sesuatu yang sifatnya tegas, seperti: ambil keputusan, eksekutor, kalau perlu sampai tingkat kekerasan. Dia yang menanam, kalau laki-laki tidak keras, ya tidak hamil. Perempuan itu bagian yang menampung keputusan laki-laki, tapi dia yang membuat tanaman itu subur. Perempuan yang menyemaikan benih itu, janin itu menjadi bayi, nah itu ibu. Itu lambang dari kepasrahan dari keluasan, keluesan. Allah sendiri sifat-Nya 99, anda hitung berapa yang maskulin dan berapa yang feminim. Kalau Asy-Syadid, Al-Madid, Al-Qawiy, itu kan laki-laki, kekuatan. Tapi kalau Ar-rahman, Ar-rahim, itu kan feminim. Bukan maksudnya Allah laki-laki atau perempuan, tapi Allah punya dua sifat itu, demikian juga alam semesta dan manusia. Maka Allah, icon utamanya bukan Al-Qawiy bukan Al-Madid, tetapi Ar-rahman dan Ar-rahim.

“Saya mohon dengan sangat, ini besok-besok saya minta kepada Allah ada peneliti untuk bikin disertasi doktor di UNJ, yang temanya adalah menemukan perjodohan antara maskulinitas aksara Arab Islam dengan feminimitas aksara Jawa. Anda pasti belum paham, tapi percayalah suatu hari peradaban dibangun oleh yang dua ini. Karena semua ini perkawinan, hidup ini isinya perkawinan. Kawin itu artinya tidak boleh menyiksa, tidak boleh menyakiti, tidak boleh mengkhianati. Pemerintah kawin dengan rakyatnya, petani kawin sama sawahnya, laki-laki kawin sama perempuan. Semua itu namanya akad nikah, akad di dalam konteks umum namanya aqidah. Maka nomor satu dalam islam adalah aqidah, yakni perjanjian pernikahan antara Allah dengan kita. Maka disebut aqidah, baru nanti hasilnya akhlak dan seterusnya.

“Aksara Jawa dan aksara Arab ini belum ada yang mikir. Tapi suatu hari anda akan menemukan. Hari ini kita hidup sama latin. Padahal huruf Latin itu apik tapi tidak ada apa-apanya kalau melawan Arab sama Jawa. Arab sama Islam itu beda, tidak semua Arab itu Islam, tidak semua Islam itu Arab. Kalau serban itu Arab, Abu Jahal, Abu Lahab itu pakai serban. Kalau Islam sangat sederhana, yakni nutupi yang harus ditutupin, yang disebut aurat. Jadi harap dibedakan, orang pakai serban itu jangan terus terkesan Islamnya. Itu bukan Islam, itu Arab. Jadi kalau anda tidak bisa mengurai mana manis, mana gula, mana panas, mana api, mana Arab, mana Islam, maka anda akan ketinggalan zaman. Suatu hari anda akan menemukan masukulinitas huruf Arab dan feminimitas huruf Jawa itu. Saya tidak bermaksud primordial, Jawa itu kan dipakai oleh semuanya juga, dan itu harus dipelajari dari Jawa kuno, Kawi, Sanskrit, yang nanti sampai ke Arya di jerman.”

Untuk membuktikan betapa tingginya peradaban Indonesia, Cak Nun meminta kepada jamaah yang jagoan bahasa untuk menerjemahkan beberapa istilah dalam bahasa Jawa yang sangat detail ke dalam bahasa Inggris, misalnya: kelelekan, kamisosolen, cekik’en. Itu semua adalah bahasa asli kita, apa itu bahasa jawa, madura, sunda, yang lengkap dan detail. Kalau sakit perut saja dalam bahasa Jawa sangat detil, misal: senep, mules, sebah, mbededek. Begitu detail dan itu tidak ada dalam peradaban lain. Begitu spesifiknya bahasa kita. Sudah jadi bangunan keindahan peradaban kita. Sekarang kita disuruh menjadi orang lain. Maka poin ke empat dies ini bagus sekali, menemukan kembali jati diri kita sebagai bangsa Indonesia. Nah, untuk itu mari kita mencoba bersikap wajar dan objektif.

“Barokah itu tergantung pekerjaan manusia, tergantung kreatifitas intelektual manusia.”
Emha Ainun Nadjib

INDONESIA JAWA, INDONESIA SUNDA, INDONESIA BUGIS

Saya tahu kecanggungan kita bersama terhadap lokalitas. Kalau disebut Jawa, kita merasa tidak Indonesia. Padahal Indonesia itu bukan setelah Jawa jadi Indonesia. Sebab kalau kita hilangkan Jawanya, Bugisnya, Bataknya, terus Indonesia itu bisa apa. Jadi kalau saya senangnya memakai idiom begini: kamu adalah bukan kamu orang mana, tapi kamu Indonesia mana? Indonesia Jawa, Indonesia Madura, Indonesia Bugis, Indonesia Minang. Jadi Indonesia tapi Minang, dan Minangnya tidak boleh hilang. Misal spesiesnya burung, tapi ada emprit, cipret. Indonesia dibangun kalau Jawanya mateng, Bugisnya mateng, Sundanya mateng, tapi menjadi puzzle yang menyatukan ke-Indonesia-an. Kalau kita hilangkan semua itu terus kita ganti dengan Barat, itu namanya transfusi darah tapi darahnya tidak cocok. Akhirnya kita menjadi tidak karu-karuan.”

“A, B, C, D penting tapi jangan lupa alif, ba, ta juga penting. Posisinya sama semua hasil karya, hasil ijtihad manusia. Itu semua penting jangan ditinggikan dan jangan direndahkan. Tapi kenapa kita sekarang punya pendapat bahwa saturday, sunday, monday itu kenapa lebih tinggi derajatnya dibanding wahing, pon, wage, kliwon? Apa yang terjadi di dalam mindset anda? Itu kan ilmu falak yang berbeda saja, ada yang menghitung waktu dalam satuan tujuh dan ada yang menghitung waktu dengan satuan lima. Kenapa kita tinggalkan itu semua? Kenapa disebut pahing, wage? Bahkan itu lebih bermakna dari senin, selasa. Sebab kalau senin, selasa itu hanya hitungan. Tapi kalau pahing, legi, pon ada filosofinya. Kalau kita pakai itu sebagai mindset untuk membangun peradaban, kita pasti lebih unggul dari mereka.”

MANUSIA RUANG DAN MANUSIA PERABOT

Cak Nun menjelaskan mengenai “manusia ruang” dan “manusia perabot”. Ruang adalah feminim dan perabot adalah maskulin. Ruang adalah yang menampung perabot, sementara perabot adalah yang mencari ruang. Indonesia ini semua orang menjadi perabot, mencari tempat dan berebut tempat. Maka wanita itu sebenarnya ruang, jadi wanita perlu kuota 30%. Sebab urusan DPR itu bukan soal laki-laki dan wanita, tapi kemampuan manajemen, kemampuan sosial, dan kemampuan bernegara. Musik KiaiKanjeng mencoba menjadi ruang, yang usianya sekarang sudah dua puluh satu tahun, dan pementasan hari ini adalah ke-3567, ada yang di dalam negeri dan di luar negeri. Di luar negeri ada 16 kota.

“Kita bukan perabot yang mencari ruang. Ekonomi saya tidak berebut, politik saya tidak berebut, agama saya tidak berebut, di dunia kesenian pun saya tidak berebut. Kalau anda baca buku kesenian Indonesia insya Allah tidak akan ada nama saya dan itu tidak masalah. Saya di dunia ini hanya mampir ngombe sebentar, nanti saya balik ke planet asli saya disana. Saya disini kasihan dengan manusia di bumi.

“Kiai Kanjeng bukan nama grup, tapi nama gamelan. Kalau di barat ada proton, elektron, neutron, dan seterusnya itu semua disebut objek. Tapi dalam kebudayaan timur setiap benda alam itu di wongke, dijadikan subjek, dijadikan sahabat. Gamelan KiaiKanjeng berbeda dengan gamelan Jawa, tetapi bunyinya tetap seperti gamelan Jawa. Gamelan KiaiKanjeng dibuat dengan notasi dan struktur nadanya untuk menampung China, Amerika, Arab, dan apa saja. Hal ini supaya menunjukan bahwa Indonesia memangku seluruh dunia. Indonesia sangat feminin dan mengasuh semua umat di dunia. Kalau Amerika kemana-mana untuk melakukan penetrasi dan perampokan, tapi kalau Indonesia memangku dunia. Maka raja-raja kita namanya Mangkubumi, Mangkunegoro, Hamengkubuwono. Dan ini bukan soal Jawa, tapi Indonesia Jawa.

“Indonesia ini memiliki sejarah inovasi musik yang dahsyat. Jadi orang indonesia punya Jawa, punya Sunda, punya macam-macam. Dan kita mengambil keputuasan untuk bahasa nasional kita bukan Jawa atau Sunda, tapi bahasa pasar Melayu yang berlaku di Batavia ketika itu. Supaya semua terasa mudah dalam berkomunikasi. Nah, musik rock barat digabung dengan musik Melayu itu menjadi musik dangdut, yang pelopornya adalah Haji Rhoma Irama. Rhoma Irama adalah bapak revolusioner musik Indonesia, setingkat dengan Tony Koeswoyo, AKAD, dan inovator-inovator musik lainnya. Prof. Wiliam Federic mengangkat Rhoma Irama yang sejajar dengan The Beatles dan John Lennon karena musiknya luar biasa.”

Perumpamaan kalimat yang baik adalah seperti pohon yang rindang, yang daun-daunnya merambah langit meneduhkan semuanya. Dan akarnya menghujam ke bumi.

IMAG6581

RAHMAT YANG MENJADI ADZAB

Hari ini karena watak manusia yang rakus dan tamak, banyak berkah dari Allah yang menjadi adzab. Musik dangdut merupakan hasil kreatifitas yang dahsyat, yang disukai oleh seluruh lapisan dari Presiden, Menteri, sampai orang dusun. Tapi kita hancurkan sendiri. Musik dangdut yang memiliki irama yang khas biasanya dibawakan secara live. Tapi hari ini banyak orang-orang yang tidak percaya kepada musiknya, lebih percaya kepada jogednya. Karena yang diutamakan adalah jogednya, maka musiknya menjadi tidak penting, yang penting adalah penyanyinya yang berjoged. Dan dampaknya para pemain musik live menjadi tidak laku dan kehilangan pekerjaan, sebab mereka bisa digantikan dengan cukup memutar kaset. Orang-orang hari ini berpandangan bahwa yang paling penting adalah jogednya, dan itu pun mengalami penyempitan bahwa yang menjadi fokus adalah pantat. Sehingga wajah manusia menjadi tidak penting.

Jadi lama-lama manusia kaget, dia terbentur pada keadaan asfala safilin. Manusia diwakili oleh wajahnya, tapi kemudian yang menjadi fokus adalah pantatnya. Makin lama manusia mengalami degradasi yang luar biasa. Padahal anda diajari berwudhu. Berwudhu itu yang diusap adalah wajahnya, tangannya, telinganya, dan semuanya yang mewakili akhlak dan perilaku kita. Wudhu itu bukan peritiwa fisik, tapi peristiwa rohani. Kalau peristiwa fisik kenapa kalau kentut yang diusaap adalah wajahnya. Karena kentut bukan masalah fisik melainkan masalah martabat. Martabat itu urusan rohaniah, mental, dan derajat dihadapan Allah. Inna akramakum ‘indallahi atqakum.

Kita ini suka menghancurkan diri kita sendiri karena kita tidak paham warrahmatullahi wabarakatuh. Ini pak Rektor namanya kan dahsyat, Djaali artinya kreator atau inovator. Jadi kalau Allah adalah kholik yakni menciptakan dari tidak ada menjadi ada. Maka kalau Djaali, itu maksudnya adalah menciptakan yang sudah ada menjadi ada yang baru, yang disebut inovator. Padi dijadikan beras, beras dijadikan nasi, nasi dijadikan nasi kebuli. Kapas dijadikan benang, benang dijadikan kain, kain dijadikan baju. Itu pekerjaan manusia, jangan menyuruh Tuhan untuk ngeliwet. Tuhan cukup kasih padi, kita berpikir agar padi menjadi beras dan menjadi nasi.

Allah suruh kita buat MoU dengan “Assalamu’alaikum” antara yang memberi salam dengan penjawab salam, sehingga yang dikasih salam menjawab “Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh”. Hal ini merupakan perjanjian hukum, perjanjian nurani untuk saling menyelamatkan. Maka agar rahmat Allah yang luar biasa kaya raya di Indonesia ini kita olah bersama dan transformasikan, serta kita Djaali-kan menjadi berkah. “Selama ini Pemerintahan kita belum mampu memimpin transformasi rahmat Allah menjadi barakah-Nya Allah. Masih banyak prosentase warahmatullahi wa azzabu. Banyak rahmat yang menjadi azab. Indonesia yang kaya begini, tapi masih ada masalah ekonomi, sosial, dan kesenjangan.”

MENANAM BENIH

Barokah itu tergantung pekerjaan manusia, tergantung kreatifitas intelektual manusia. Makanya jangan bilang cari berkah, carilah rahmat. Berkahnya adalah kerjasama antara Allah dengan manusia. Selama ini tidak ada transformasi itu. Jokowi belajar salawat, bolak-balik itu-itu saja. Tapi tidak belajar maknanya. “Padahal apa artinya hidup tanpa makna, untuk apa anda kawin tanpa memaknai perkawinan. Untuk apa anda mengecap nasi tanpa memaknai nasi. Untuk apa anda menjadi dosen tanpa memaknai dahsyatnya dosen?”

Dosen itu petani dan mahasiswa adalah sawahnya. Dosen menanamkan biji-biji, benih-benih, mahasiswa yang menyuburkan menjadi tanaman. Maka kalau bisa jangan tanam buah atau barang jadi. Meskipun secara akademis harus seperti itu. Tapi tetap harus nyicil peluang-peluang untuk menanam benih ke mahasiswa bukan menanam buah. Buah untuk apa ditanam, informasi tinggal diakses ke mbah google juga bisa.

“Jadi yang ditanamkan dosen kepada mahasiswa adalah benih, yaitu benih yang nantinya oleh tanah atau kreatifitasnya mahasiswa ditumbuhkan menjadi tanaman. Bukankah setiap pengajaran memakai kalimat, diktatnya, bukunya. Kalau ngomong kalimat langsung saja belajar kepada Allah. Sebab Allah mengatakan: Wa matsalu kalimatin thayyibatin ka syajaratin thayyibatin ashluha tsaabitun wa far’uha fissama. Dan perumpamaan kalimat yang baik adalah seperti pohon yang rindang, yang daun-daunnya merambah langit meneduhkan semuanya. Dan akarnya menghujam ke bumi. Jadi setiap yang dipelajari mahasiswa di UNJ akan tumbuh menjadi pohon yang rindang, melindungi masyarakat, berakar kuat menjaga nasionalisme dan masa depan Indonesia.

“Saya merasa punya hutang banyak kepada dunia pendidikan. Sehingga ketika saya bisa bangun hidup saya. Saya buat sekolahan. Saya dengan kakak saya dan adik saya punya SMK, SMP, SD, MI, dan pendidikan sosial (Padhangmbulan, Macapat Syafaat, Bangbangwetan, Kenduri Cinta). Semua saya garap karena saya merasa bersalah sama dunia pendidikan.”

Diakhir acara, Cak Nun meminta Rektor UNJ, Prof. Djaali untuk memberikan kalimat terakhir mengenai hikmah maiyahan hari ini. Prof. Djaali menyampaikan kalimat penutupnya, “Kita berbahagia sekali hari ini, karena kita mendapat pencerahan sisi lain. Biasanya berseminar, sekarang berbudaya.” Acara maiyah ditutup dengan menyanyikan bersama nomor-nomor daerah Indonesia dan doa bersama yang dipimpin oleh Cak Nun.

[Teks: Karyadi]