SOLD OUT

reportase kenduri cinta november 2011

Kenduri Cinta diawali dengan pembacaan Al-Quran. Adi Pujo lalu mengawali forum dengan paparannya tentang tafsir Sold Out yang diangkat menjadi tema acara malam itu, “Sold out ini bahasa Indonesianya kan laris, sampai habis-habisan. Apapun yang kita tawarkan dan mendapatkan imbalan, itulah yang dinamakan ‘jualan’, walaupun mungkin kita tidak meniatkannya untuk bener-bener jualan. Kalau diperhatikan sebenarnya yang diikutin menurut saya hanyalah angan-angan saja, korban mode, tanpa tahu apa yang sebenarnya diinginkan. Seperti juga mungkin tokoh-tokoh yang mengobral habis semua yang dimilikinya.”

Rusdianto menambahkan, “Berangkat dari tema sold out pada bulan ini, ini tema yang juga masih dalam wacana Kenduri Cinta. Di dalam Kenduri Cinta sudah kita pelajari bahwa hidup adalah tafsir. Saya ingin juga di Kenduri Cinta ini bagaimana sold out ini kita jadikan tafsir, kita bedah dari masing-masing yang hadir hari ini: ada dari aktivis perempuan, ada yang dari koperasi, ada yang dari segi keagamaan, maksudnya dari tafsir-tafsir maupun fikih-fikihnya. Nanti kita lihat bahwa ternyata transaksi kita kepada Allah itu sudah menjadi materialis, seperti kalau kita sedekah sekian dapetnya sekian. Jadi bukan kecintaan kita kepada Allah lagi dasarnya.

“Kita sudah belajar bahwa di Kenduri Cinta itu tidak ada guru dan tidak ada murid. Siapapun yang hadir di atas podium ini adalah guru. Cak Nun juga kan telah membuang jauh ketokohannya, label-label apapun dalam hidupnya. Kita menuntut ilmu dengan sabar seperti Musa belajar kepada Khidir, dan kita sami’na wa atho’na saja. Banyak SMS-SMS yang datang yang mengatakan bahwa Kenduri Cinta saat ini sudah banyak sekali aksinya. Dan kita sengaja jelek-jelekin Kenduri Cinta. Bahwa yang akan kita tanamkan adalah munculnya tokoh-tokoh dan pemikiran-pemikiran itu dari jamaah sendiri. Kita tidak menyediakan tema sold out ini sebagai makanan jadi. Hidup adalah tafsir, dan kita jangan takut menafsirkannya.”

“Kita sudah belajar bahwa di Kenduri Cinta itu tidak ada guru dan tidak ada murid. Siapapun yang hadir di atas podium ini adalah guru.”

Rusdianto

NEGERI TANPA REALITAS

Salah satu jamaah yang hadir merespon paparan awal sebelumnya, “Kedatangan saya yang pertama adalah silaturahim. Sold out bagi saya adalah hal yang sangat istimewa. Pertanyaan yang menjadi ganjalan bagi saya adalah: kalau barang sudah terjual habis, takutnya nggak ada stok lagi. Mungkin kalau di Jawa ada ungkapan rame ing gawe, sepi ing pamrih.

Adi Pudjo kemudian menyampaikan tanggapannya, “Sebenarnya tidak ada larangan dalam hal jual-beli. Yang kita garis bawahi adalah: mengapa kita menjual? Apakah karena memang kebutuhan atau hanya karena nafsu saja? Saya tidak berani menafsirkan ‘nafsu’ lebih banyak. Kalau soal Indonesia ini sudah habislah. BUMN sampai beras kita, semuanya sudah sold out. Juga penjualan-penjualan saham, yang nanti akan kita bicarakan lebih detail. Di dalam diri kita sudah sold out belum? Demi mendapatkan kekayaan, jabatan, seberapa yang sudah kita jual? Seberapa jauh kita menjual harga diri kita?”

Amsar A. Dulmanan, Msi FKGM NU ikut menambahkan: “Negeri ini sudah teralienasi dari realitasnya. Dia sudah menjauhi rakyatnya. Ini sebuah pengkhianatan, bukan sekadar menjual, karena kita tidak cuma lepas barang, tapi juga rakyat menjadi terbengkalai. Di mana ada eksplorasi tambang, rakyat di situ dimiskinkan. Tidak ada relasi antara kesuksesan usaha tambang dengan rakyat.”

Akbar, yang juga seorang aktivis LSM sampaikan harapannya, “Harapan dari mahasiswa hari ini mungkin adalah tidak terkooptasinya manusia oleh pragmatisme. Ketika tahun 1998 kita menurunkan rezim. Masalahnya sekarang di berbagai kalangan, idealisme sudah terpinggirkan. Nantinya negara kita tidak terkooptasi oleh pragmatisme lagi, itu harapan kita.”

Melanjutkan diskusi, Ramdansyah Bakir, Msi., yang juga menjabat sebagai Ketua Panwaslu Jakarta, memberikan sudut pandangnya, “Tahun 1998 saya jadi aktivis mahasiswa. Yang saya bayangkan demokrasi saat itu adalah jatuhnya rezim digantikan rezim yang lebih baik dan semua rakyat sejahtera. Tapi yang saya rasakan sekarang kekuasaan yang dulu terdistribusi di eksekutif, sekarang justru terdistribusi rata ke eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif. 11 tahun saya ikut-ikutan dalam sebuah sistem. Saya bertanya, demokrasi itu baik atau buruk? Kemudian saya bertanya, bisa ular itu baik atau buruk? Tanduk rusa itu baik atau buruk? Apakah voting itu baik? Apakah musyawarah mufakat itu tidak baik? Menurut saya pemilukada ini merupakan akal-akalan. Ketika ular, perlu nggak bertanduk? Ketika rusa, bisa nggak punya bisa? Tentunya saya hari ini seorang pemimpi. Saya berharap mimpi saya di tahun 1998 bisa terwujud. Apa yang diperlukan bangsa ini sepertinya kita perlu meng-ada, untuk menjadi bangsa yang sempurna.”

“Silaturahmi berasal dari dua kata, shilah (sholah) adalah sesuatu yang menghubungkan; rahmi artinya kasih sayang.”

Emha Ainun Nadjib

Selanjutnya, jamaah diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangan dan pemikirannya. Salah satu jamaah tampil kedepan dan menyatakan, “Saya punya pengalaman nggak enak sama orang Cina. Waktu saya ngamen baca puisi, mereka cuma cekikak-cekikik. Yang saya tanyakan, kalau itu bukan Cina, ya berarti saya salah. Saya punya puisi yang berjudul Kesaksian Cinta di Pinggir Trotoar. Pendidikan di Indonesia ini sangat minim. Saya pernah melihat sebuah sekolah SD rubuh. Itu kok bisa rubuh itu dananya ke mana? Katanya sangat banyak dana pendidikan dikucurkan, tapi ke mana?”

Salah satu narasumber yang dituju oleh pertanyaan jamaah, Maria Sahida, menjawab, “Ari, kamu sangat rasis. Tadi kamu bilang kamu nggak suka sama orang Cina, tapi ini kontradiktif dengan puisimu. Kita batasi Indonesia tahun 1965 sampai 1998. Siapa yang berkuasa waktu itu? Soeharto. Di baliknya ada lembaga-lembaga dari Amerika, Prancis. Kita sudah biasa miskin, biasa nggak sekolah, biasa nggak punya rumah. Makanya kita tenang-tenang saja. Soal pendidikan, apakah ada keadilan dalam sistem pendidikan kita? Ke mana yang sudah lulus? Beberapa operator punya asing. Bahkan BUMN pun sudah dimiliki oleh asing juga. Kita lihat sekarang ini di Indonesia apapun milik asing. Dari gas bumi sampai telekomunikasi. Per tahun, para operator mengeruk 100 Trilyun. 300 Milyar per hari berasal dari pencurian pulsa. Ada 211 juta pemegang handphone di Indonesia. Itu baru sebagian kecil pengerukan-pengerukan uang rakyat oleh asing. Tower-tower itu izin membangun saja, tidak ada pajak untuk itu.

“Saya memperjuangkan content provider ditutup, dan memang sekarang sudah ditutup. Hari ini kita harus menyadari bahwa ada intervensi asing, dan kita harus bertindak bersama-sama untuk melawannya. Saya sebenarnya ingin menyampaikan bahwa di Jakarta tidak mungkin ada intervensi asing. Tapi kalau intervensi pemilik modal, terserah anda. Orang berpolitik belum tentu punya uang, tapi orang punya uang pasti berpolitik. Koperasi termasuk di dalam UUD 1945, yaitu di Pasal 33. Kita harus menyadari bahwa di luar negeri itu yang main juga corporate-nya, bukan orang per orang. Kalau kita mengamalkan pasal 33 ini, pasti kita berhasil. Tapi kan harus ada yang mendidik. Konsep kekuasaan itu direkayasa, yang harus kita dobrak adalah beasiswa itu harus. Logika bagaimana kita meletakkan cita-cita kebangsaan, itu harus ditata.”

“Tuhan tidak mengajarkan sukses, Tuhan hanya mengajarkan untuk berjalan, terus berjalan.”

Emha Ainun Nadjib

Setelah melewati tengah malam, Cak Nun masuk ke forum dengan memulai uraiannya. “Kita tuntaskan ya judulnya temen-temen Kenduri Cinta. Dipastikan dulu ya bahwa anda ciptaan Allah. Kalau tidak juga nggak apa-apa tapi berarti tak bisa ikut dalam terminologi kita. Terjual habis. Apa? Siapa? Kenapa? Allah sendiri menawarkan jual beli sama kita. Allah melarang hamba-Nya menjual Allah dengan harga yang murah. Maksudnya gini, Allah itu membeli sembahyangmu, pelayananmu kepada Dia. Ongkosnya adalah alam dihamparkan, pohon-pohon ditumbuhkan, berkah alam yang tiap hari kita nikmati. Jadi Allah menjual sangat murah semua itu hanya supaya kita shalat lima kali dalam sehari. Semua Nabi berjual beli. Nabi Muhammad dijuluki Al-Amin karena dia trusted. Tapi Allah tidak menjual harga Dirinya.

“Jadi, ilmu pertama adalah apa yang boleh dijual apa yang tidak boleh. Misalnya dia nyanyi. Lagunya boleh dijual, tapi harga dari lirik-liriknya tidak boleh dikompromikan. Kehancuran manusia sekarang adalah karena tidak diurai mana hal yang boleh dijual mana yang tidak boleh. Banyak sih contohnya. Guru mengajar, bukannya menjual ilmu dan martabatnya, tapi waktu dan energinya.

“Sisi mana dari departemen yang boleh dijual, mana yang tidak? BUMN harus nyari duit untuk kemudian menyejahterakan rakyat. Sehingga seniman punya hak untuk dihidupi negara. Sampai hari ini saya tidak bisa menjelaskan kepada masyarkat mengenai pertanyaan: “Cak, kalau saya ngundang sampeyan berapa tarifnya?” atau “Berapa yang harus kami siapkan?” Saya sampai hari ini alhamdulillah tidak pernah membolehkan sekretariat atau manajemen saya untuk menyebut angka. Saya tidak ada urusan untuk menandatangani honor-honor. Kemarin ketika saya disuruh harus menandatangani honor, saya ndak mau. Tapi kan mereka mengharuskan. Kira-kira sepuluh tahun ini saya tak pernah tahu berapa dan ke mana uang itu. Saya berusaha untuk tidak menjual apa yang tidak boleh saya jual.

“Saya sebisa mungkin tidak menjual apa-apa. Saya baik sama orang lain, saya nggak nagih mereka untuk berbuat yang sama sama saya. Saking takutnya saya pada kekeliruan itu. Saya takut menyinggung Tuhan. Moso’ nulis nggolek duit? Nulis yo nulis, salat ya salat. Bahkan jualan nasi pun kan nggak harus mikirin labanya berapa. Yang harus dilakukan adalah bagaimana caranya menyajikan nasi yang enak. Apa saya kaya? Enggak, tapi Allah yang kaya. Saya kan ikut orang kaya. Saya itu tiap hari dikepung Allah. Kan hiduplah seakan-akan melihat Allah, kalau tidak bisa, seakan-akan dilihat Allah.

“Tugas kita mempopulerkan Muhammad. Jangan sampai kita lebih populer dari Muhammad. Dalam hidup ada 3: nyawa, martabat, harta. Seniman punya martabat. Pelawak juga punya martabat. Dadi sing didol iku fisik, saking gak ono uteke.

“Kita akan mengalami kolaps-kolaps yang sangat serius, kecuali anda rakyat Indonesia. Jadi rakyat Indonesia sangat menolong SBY. Menurut saya Departemen yang paling harus hati-hati adalah pendidikan, kesehatan, kebudayaan, dan agama. Mulane ngerti dong, kalo rohani itu harus dibiayai. Cinta itu harus dibiayai. Saya tidak punya diri saya sendiri. Saya tidak punya cita-cita. Barangsiapa masih mencalonkan diri, saya tidak percaya dia. Kalau Indonesia tetap seperti ini, akan hancur dan ini tidak akan lama lagi.”

“Hiduplah seakan-akan melihat Allah, kalau tidak bisa, hiduplah seakan-akan dilihat Allah.”

Emha Ainun Nadjib

CAHAYA DI ATAS CAHAYA

Pada sesi berikutnya, Dewi Umaya menjelaskan beberapa hal tentang project film layar lebar yang tengah ia kerjakan, “Ini (film Cahaya di Atas Cahaya) film kedua saya bersama Sabrang setelah Minggu Pagi di Victoria Park. Bagian yang paling sulit adalah mendekati Cak Nun. Waktu itu kita bilang ke Cak Nun, Kalau Cak Nun sayang sama kita, sama rakyat Indonesia, bikin film dong ya. Jadi begitu, bukannya kita meng-hire beliau. Rayya (red: tokoh utama dalam film Cahaya di Atas Cahaya) adalah seorang diva yang sukses, menjadi pusat spotlight di dunia keartisannya. Suatu saat dia patah hati dan memutuskan untuk bunuh diri. Dalam perjalanan bunuh dirinya itu dia menemukan bahwa kebesaran orang-orang yang ditemuinya (pemecah batu dan lain-lain) jauh lebih besar daripada kebesarannya.”

Cak Nun menanggapi, “Aku isone ndandani, nggak iso nggawene. Ini film Islam, tapi nggak ada Allah-nya, nggak ada Subhanallah, nggak ada orang shalatnya. Ada kecolongan “alhamdulillah” di masyarakat Samin, tapi ini berbeda dengan Alhamdulillah-nya anda ketika lihat cewek. Ini film percintaan tanpa “I love You”, yang membuat suami sang aktris sangat cemburu tanpa sang aktris bersentuhan dengan aktor lawan. Ini film agama yang tidak ada tanda-tanda agamanya.”

Sebagai sutradara, Viva Westi ikut menyampaiakan tentang proses pembuatan film, “Menerjemahkan tulisan Cak Nun cukup susah. Saya nggak pernah dapat skenario yang sudah selesai. Selama kita syuting memang skenarionya tidak pernah selesai. Sampai film ini selesai pun tidak akan pernah selesai, begitu dulu kata Cak Nun di awal. Kalimat-kalimat dalam film yang dibuat Cak Nun sangat luar biasa. Buat kru saya, bunuh diri itu menjadi sangat sexy, bukannya menyeramkan. Bahwa ternyata dalam hidup kita sendiri, kita perlu untuk bunuh diri. Setiap kalimat yang ditulis CN itu sangat dalam.”

Sabrang lalu menambahkan, “Saya sebenernya dengan Cak Nun bersedia nulis ini saya sangat senang. Sebenernya sudah lama saya ingin ‘menyeret’ Cak Nun ke mainstream. Kapan saya pernah melihat bapak saya romantis? Tapi di film ini saya melihat wong iki romantis banget. Pantes bojone ayu banget. Kata sandal, lem, sepatu, di tangan Cak Nun bisa digunakan buat merayu cewek. Untung ra seumuran. Nek seumuran, iso-iso ra oleh bojo aku. Ada satu kata-kata Cak Nun yang jadi jangkar: Coba kamu setia sama kata-katanya. Setiap membaca, dapet proyeksi baru, jadi yang ngedit megap-megap. Saya akhirnya bisa kemaki punya film religi. Ning ampuh cen an, tak akoni. Ini saya hampir kehabisan kata-kata. Lho iki ket mau aku kok malah mengagumi Cak Nun to? Gengsi juga aku. Menurut saya film ini kualitasnya internasional. Saya tidak punya kata-kata untuk mengungkapkan kegembiraan saya. Saya berhasil nyeret Cak Nun ke mainstream di mana semua orang bisa melihat Cak Nun.”

Viva Westi: “Hampir 30 hari kita di dalam bus, kita sampai hafal mana toilet yang bersih yang kita lewati. Kita melakukan perjalanan dari Jakarta sampai Bali. Kadang kita bermalam di bus, tidak ada istirahat, semua orang pasti tingkat emosinya naik. Tapi mobil yang begitu banyak tidak pernah pecah ban sampai di Bali, tidak pernah kena hujan. Jadi kru yang 80 orang itu tiba-tiba jadi sangat religius, walaupun tingkatannya bukan yang ayo berhenti, shalat. Bahkan sampai penata musik kita pun sampai saat ini merasa sangat religius, merasa seperti sufi. Semoga semua yang menonton film ini juga merasakan hal yang sama.”

 

Cak Nun: “Silaturahmi berasal dari dua kata, shilah (sholah) adalah sesuatu yang menghubungkan; rahmi artinya kasih sayang. Kalau kamu berada dalam kabel cinta ini, maka alam semesta akan bekerja untukmu. Kalau engkau online (berada dalam shilah), ingat, sholat itu untuk menjaga sambunganmu, maka semua bekerja untukmu. Meskipun kadang-kadang ‘bekerja untukmu’ itu ada perkecualian-perkecualian kecil, supaya kamu tetep manusia. Nggak boleh balapan menang terus. Harus sesekali kalah. Agama itu letaknya di dapur. Kalau bisa di warung tak ada tanda-tandanya, supaya orang yang tak sama denganmu tak lari duluan. Kalau bisa jadilah orang Islam yang orang tidak tahu bahwa anda orang Islam.

Kemudian diputarlah trailer Cahaya di Atas Cahaya.

“Tidak ada energi negatif, karena semua baru berupa potensi, yang di tangan khalifah baru akan menjadi positif atau negatif.”

Emha Ainun Nadjib

KETANGGUHAN RAKYAT INDONESIA

Berikutnya, Ian L. Betts sampaikan pemikirannya, “Sold out, memberi nuansa penjualan dan pembelian. Ada suatu yang sangat berharga. Kalau ada sesuatu yang terjual, bukan berarti bahwa tokonya yang terjual, atau bahkan penjaga tokonya juga. Di abad 21, Amerika sudah tidak ekonomi nomer 1 lagi. Yang naik China. Uni Eropa hanya beberapa tahun, bagaimana keadaan sekarang? Tergantung kapitalnya. Yunani punya utang besar. Italia Perdana Menterinya mau mundur. Itali punya hutang lebih besar daripada hutang Yunani. Uni Eropa sangat tergantung pada Prancis dan Inggris. Sekarang tokonya hampir tutup di Eropa. Tapi ada satu pasar. Kepulauan tidak perlu tergantung pada dunia luar. Sekarang Indonesia terlihat sangat kuat. Kemungkinan Indonesia tidak akan gagal seperti Uni Eropa. Indonesia secara ekonomis punya potensi untuk jalan terus.”

Cak Nun: “Maksudnya Mas Ian, Indonesia punya fenomena ekonomi yang berbeda. Mungkin belum diteliti dan dielaborasi oleh para ahli. Rakyat Indonesia sangat murah hati dan sangat pemaaf. Hal ini sangat membantu pemerintahnya. Teorinya Mas Ian, kalau berupa kepulauan, diembargo sudah tidak masalah karena toh kita sudah diembargo sama hutan dan alam. Dikhawatirkan akan ada gelombang banyak orang bunuh diri. Entah itu di Irlandia, entah di mana. Orang mereka nggak kuat hidup kayak anda. Kalau anda kan punya fenomena itu. Anda kan turunannya Nabi Muhammad. Kita di Maiyah jantan melihat kelemahan-kelemahan kita. Kalau saya ke luar negeri sama KiaiKanjeng, kelihatan beda banget kok orang Indonesia sama orang di sana itu. Mereka seperti digendong ibunya terus, sedangkan anda harus mengamankan diri anda sendiri. Anda tidak dikasih makan oleh siapapun. Maka siapakah yang lebih tangguh dan lebih sakti daripada anda? Orang Indonesia minimum secara psikologis lebih kuat. Orang di sini merampok itu ya biasa-biasa saja, bukan karena adanya masalah psikologis seperti di luar negeri. Maka orang indonesia itu habis nyuri banyak sekali, terus besok pagi haji, bisa.”

Beberapa jamaah kemudian memberikan responnya.

Dadang: “Saya jadi kafir itu kan setelah baca puisinya Cak Nun yang judulnya Muhammadkan Hamba, saya renungkan, saya cari hadits-hadits, ternyata memang kok Nabi Muhammad akhlaknya seperti orang Sunda. Maka sejak saat itu saya kafir tapi mencintai Muhammad. Di Iran, 17% warganya atheis, ada Yahudi, dan sebagainya dan masing-masing punya perwakilan yang bukan berdasar jumlah tapi keilmuan. Itu kan sesuai sama ‘hikmah kebijaksanaan’. Itu kan nasakom. Teman saya pernah ke museum Khomeini yang berdampingan dengan foto Bung Karno yang sama besar ukurannya. Bahkan Yahudi ortodox mengatakan revolusinya Bung Karno itu the holy revolution. Pendidikan di China berbasiskan budaya. China pernah mengalami revolusi kebudayaan. Seni-seni klasik dan lokal dihabisi. Seni lukis China sangat aneh, seolah-olah kayak alien, tidak mengakar. Maka China kembali ke basis kebudayaan. Kalau bicara kebudayaan, sebenarnya Indonesia di garda depan. Tuhan menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa; ini bukan agama melainkan kebudayaan. Tuhan ada di atas sana, harus dibumikan.”

“Halal haram jangan dilihat bendanya, tapi peristiwanya. Yang dilihat adalah ghayyah-nya, wasilah-nya.”

Emha Ainun Nadjib

Cak Nun menanggapi, “Krisis Amerika tidak ada dampak secara langsung pada Indonesia. Yang penting adalah apakah Indonesia sudah mempersiapkan diri. Setiap sektor ada eksepsi. Masalahnya bukan dampak dari luar, tapi justru dari dalam. Skala kecil juga penting. Bagus sekali setiap komunitas, desa, kota, penting untuk membangun industri supaya menjadi mandiri. Saya diminta untuk maiyahan sama petani Klaten. Setiap kami datang ke daerah, entah itu Kendal, entah itu Gunung Kendheng, kami tekankan bahwa yang penting bukan social responsibility, melainkan social obligation. Anda harus bisa menjamin bahwa 5 tahun ke depan mereka akan lebih maju. Kalau kamu mau bikin pabrik, kamu hitung dulu. Yang penting bukan ada atau tidak ada pabrik, melainkan bagaimana untuk saling menguntungkan.

“Erupsi Merapi 2010 memberi berkah pasir 60 kali lipat erupsi tahun 2006. Dan sudah kita tanya kepala dusun, lurah. Mereka bilang, dengan pasir ini kami mampu bikin desa yang lebih bagus. Maka yang saya lakukan ke daerah-daerah adalah meningkatkan kepercayaan orang-orang terhadap diri dan masa depannya.

“Tolong teman-teman meneliti, mana ada teks bahwa pada tanggal 17 Agustus itu kita mendirikan negara? Yang ada adalah kemerdekaan dari Jepang. Ada lima pilar, yaitu: rakyat, tentara rakyat, intelektual, kebudayaan termasuk kekuatan dari keraton-keraton, dan kekuatan spiritual dan agama.

“Rabbana ma khalaqta hadza batiilaa. Bukan Tuhan menyuruh melainkan kalimat dari manusia ke Tuhan. Ini menunjukkan Tuhan itu diplomatis. Maksudnya, alami eksplorasi kekhalifahan, baru anda katakan kalimat tersebut. Ada kualifikasi antara Allah, Rasulullah, dan pemimpin. Perintah untuk taat hanya melekat pada kata ‘Allah’ dan ‘Rasulullah’ dan tidak melekat pada kata ‘pemimpin’. Kalau sama Allah jelas kita taat total. Yang kita harus taat 100% pada Rasulullah itu pada level ibadah mahdhoh. Di luar itu mau bikin PSSI, mau bikin majlis daun-daun, walisongo and the gank, sakkarepmu. Hidup ini harus yakin. Kalau setelah baca Al-Quran, anda masih bilang “mudah-mudahan diterima” lho terus apa yang menjadi pegangan kita? Terus letak yakinmu di mana? Ada posisi doa, ada posisi yaqin. Doa dan yaqin ada batasnya.”

“Nggak usah pamer penderitaan, karena penderitaan Rasulullah itu sangat besar, dan kita hanya bisa mencicipi sedikit-sedikit saja. Yang penting adalah deket hatimu sama Allah.”

Emha Ainun Nadjib

Jamaah: “Berkaitan dengan judul malam ini, kok seakan-akan adol ayat. Sekarang ada fenomena, yaitu fenomena habib-habib. Saya heran, apa benar mereka ini masih dalam nasabnya Rasulullah? Yang didoktrin yang umur-umur tanggung, tiap malem Jumat bakar petasan. Bagaimana masalah habib ini?”

Cak Nun: “Jual ayat atau tidak itu bukan soal ayat dibawa, tapi soal apa yang primer. Lihat peristiwanya bagaimana. Halal haram jangan dilihat bendanya, tapi peristiwanya. Yang dilihat adalah ghayyah-nya, wasilah-nya. Kalau yang dituju memang substansi ayatnya ya nggak papa. Soal habib: siapakah habaib? Sebaiknya kita teliti. Habib itu orang yang mencintai. Mahbub itu yang dicintai. Banyak orang Arab agak selatan mengagumi Muhammad. Mereka sangat mencintai Muhammad, tapi pergi dari Mekkah karena tidak tahan dengan kondisi di sekitar Nabi. Kemudian menjadi rancu. Ada Habib yang orang lain, ada juga Habib yang dari dalam (ahlul bayt). Kita sudah tidak bisa mengurainya lagi. Bukan cuma “berbangsa dan bersuku” artinya, lebih tepat adalah satuan-satuan; boleh teritorial, boleh darah, boleh ideologi.

“Satuan-satuan dalam habib juga berbeda-beda. Ada habib yang beranggapan bahwa dia berhak ditampung dalam rumah seseorang lengkap dengan makan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang lain, kerjaannya hanya memberi nasihat saja. Ada juga yang jualan sajadah, jualan karpet; mereka hanya menyalurkan keanggunan Muhammad.

“Orang Islam, khalifah Allah, tidak masalah terhadap masalah. Kecantikan jangan dicari, temukan kasih sayang itu di dalam kerja sama cinta kalian. Sing penting mlaku ae. Tuhan tidak mengajarkan sukses, Tuhan hanya mengajarkan untuk berjalan, terus berjalan. Ndak sempat putus asa. Manusia perang melawan nafsunya sendiri.”

Jamaah kembali bertanya, “Apa yang dimaksud dari ‘nabi yang ummiy’ itu?

Cak Nun: “An nabiy al ummi; Muhammad itu tidak seperti nabi-nabi lain yang mengandalkan kekuatan-kekuatan tertentu. Muhammad tidak dengan mukjizat-mukjizat yang sifatnya vulgar. Muhammad itu dilindungi Allah untuk biasa-biasa saja. Dia berjuang sebagai manusia biasa. Dia belajar ilmu ekonomi, politik, kebudayaan, untuk melawan Abu Jahal yang hendak merebut air zamzam. Rasulullah memperjuangkan sejak awal melindungi hak-haknya dengan kekuatan manusia biasa. Ummiy ini saya kira bukan buta huruf dalam pengertian wadag-nya, tapi dia awam. Nggak usah pamer penderitaan, karena penderitaan Rasulullah itu sangat besar, dan kita hanya bisa mencicipi sedikit-sedikit saja. Yang penting adalah deket hatimu sama Allah. Mana ada nabi menyebut dirinya orang baik? Adanya menyebut diri sebagai orang zolim. Zolim itu sejelek-jeleknya orang.”

Forum Maiyah Kenduri Cinta malam itu kemudian ditutup, semua yang hadir berdiri dan berdoa bersama.