Kebebasan Demokrasi dan Analisa Krisis

Semua terjual habissold out, itulah pemaknaan mentah dari saya terkait segala sektor aset negara dari pertambangan, komunikasi, manufaktur dan satu lagi sektor pertahanan dan keamanan. James Kynge—penulis sejarah pembangunan China—memaparkan bagaimana pengorbanan secara besar-besaran rakyat China dalam mengepakkan sayap perekonomian negara yang berbasis pembangunan skala mega proyek yang di dukung oleh sektor manufaktur berbasis UMKM. Pertanyaannya kemudian adalah apa efek langsung dari pola pembangunan Uni-Eropa kemudian China bagi Indonesia.

Sekali lagi ada uraian yang jikalau kita dapat kembali ke era pasca krisis 1998, di benua Eropa dengan kembalinya semangat bersatu secara ekonomi.  Jika kita kemudian melihat satu dekade ke belakang, tingkat ketergantungan negara penganut paham kapitalisme global—seperti Eropa dan Amerika—terhadap sektor industri modern sangat-lah besar. Keterwakilan kaum pemodal ini teruji dengan keberadaan Wall Street sebagai simbol kekokohan industri mereka. Tetapi bila kita menapaki kekuatan baru ekonomi dunia Barat, sebenarnya baru teruji pasca perang dunia ke-2. Artinya, pasca 1950-an. Kesan—kekokohan ekonomi—berlebih timbul ketika potensi itu didukung pencitraan melalui media teknologi informasi dan media massa yang kita ketahui hampir dikuasai oleh Amerika. Fakta lain adalah kerapuhan kekuatan industri besar Eropa dan Amerika. Hari ini tingkat pasar mereka terancam oleh China dan India.

Kemudian, posisi Indonesia terletak dalam zona apa? Mari kita urai sedikit demi sedikit. Syarat keberadaan demokrasi negara berkembang—jika kita mencoba memenuhi standar internasional—salah satuny adalah kebebasan pers. Keberadaan 9 televisi swasta dan stasiun lokal, serta semakin kokohnya media cetak—koran dan majalah bahkan media online lainnya—sebagai pengawas pemerintahan yang bersih layak ditandai positif. Kemudian jaminan hukum bagi rakyat untuk hidup bebas, serta kesejahteraan masih terus digodok di parlemen dan masih terus dikawal oleh LSM lokal. Sehingga elemen dasar diberlakukannya sebuah kekuatan demokrasi untuk kemanfaatan rakyat mendapatkan angin segar.

Permasalahannya kemudian adalah terlupakannya nilai dasar pembangunan moral dan mentalitas generasi kedepan yang mulai dilupakan oleh banyak tokoh besar republik ini. Kekuatan gerakan bawah tanah seperti yang dilakukan banyak komunitas era angkatan 1920-an dan 1960-an kini sudah hampir punah. Gerakan ruang publik seperti Komunitas Kenduri Cinta, kelompok Cipayung bahkan komunitas Utan Kayu sudah semakin jarang kita jumpai di daerah-daerah. Prosesi pengkaderan yang semakin melemah, transformasi perjuangan yang sudah bergeser. Organ-organ lama yang tidak lagi otentik dalam nafas proses perjuangan kini telah bergeser dalam komoditas kapital. Ibukota sebagai wilayah sentral kekuasaan—dengan segala bentuk perencanaan pembangunan nasionalnya—tidak lagi ditempati oleh kaum pejuang militan. Bisa dikatakan pejuang-pejuang dan kader organisasi di Jakarta sudah terkooptasi ketergantungan kapital.

Komunitas Kenduri Cinta yang saya pahami hampir 5 tahun ini—dan beberapa komunitas ruang publik lainnya—masih memiliki militansi dan visi misi yang jelas. Bangunan yang terbuka dalam pola pikir, sifat egaliter begitu terasa. Dan bisa jadi dari komunitas-komunitas semacam inilah, para tokoh-tokoh di Jakarta menjadi besar. Tetapi kita tidak mencoba menguak siapa-siapa diantara mereka yang besar dari komunitas ruang publik ini.

Titik tarik dari dialektika ini—perjuangan alam reformasi yang bergeser menjadi parsial—bisa jadi merupakan sindikasi kekagetan angkatan baru yang hanya mengandalkan kapital dan kebanggaan masa lalu. Kesiapan Indonesia dalam menyambut pasar bebas dan persaingan internasional tidak di dukung oleh tingkat wawasan moralitas dan mentalitas pemimpin saat ini. Efek inilah yang membuat keberadaan negara yang dikelola para birokrat dan pemimpin karbitan menjadi penyakit dan tabungan yang berbahaya. Sudah barang tentu, banyak proses kepemimpinan yang dilewatkan demi teladan dan amanah yang konsisten. Kelemahan para pemimpin negara ini masihlah cukup beruntung apabila kita melihat kondisi rakyat yang begitu arif dan bijak menghadapi sulitnya ekonomi. Pekerjaan inilah yang harus banyak kita jawab. Minimnya ruang publik, minimnya gerakan militansi generasi muda—karya yang semakin tergerus.