Sinau Kedaulatan bareng Cak Nun

Catatan Sinau Kedaulatan bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng di Alun-alun Temanggung

Ribuan masyarakat Temanggung, khususnya para petani tembakau dari tiga gunung (gunung Sindoro, Sumbing, dan Prahu) malam tadi berkumpul di alun-alun kabupaten Temanggung untuk mengikuti acara Sinau Kedaulatan bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng dalam rangka menyambut musim tanam tembakau (3/4).

Menjelang acara dimulai, suasana tampak sudah menyatu antara hadirin dan KiaiKanjeng. KiaiKanjeng melalui beberapa nomor-nya mengajak serta masyarakat untuk bersholawat. Begitu Cak Nun naik ke panggung bersama Pak Bupati dan jajarannya, Cak Nun langsung mengajak masyarakat untuk semakin meningkatkan kekhidmatan dalam bershalawat.

Pada forum malam tadi, masyarakat meminta Cak Nun untuk ikut mendoakan tibanya musim tanam tembakau musim ini agar diberi kelancaran dan harga yang bagus pada saat panen tiba nanti. Tidak hanya itu, Cak Nun menambahkan doa malam itu dengan meninggikan harapan agar masyarakat Temanggung mendapat pemimpin nasional yang tidak menginjak nasib para petani tembakau dan berani melawan raksasa-raksasa seperti Amerika yang ingin menghancurkan tembakau Indonesia.

Mengawali Sinau Kedaulatan malam itu, Cak Nun mengajak semua hadirin untuk masuk lebih dalam lagi dalam rohani shalawat, memohon perlindungan serta perkenanan Allah agar menurunkan syafaat Rasulullah.

Panggung terlihat sangat luas. Pada kanan kirinya telah dipadati masyarakat. Wajah mereka menyiratkan harapan, doa, ketulusan, dan kerinduan. Maiyahan seperti biasanya di berbagai tempat, menemani mereka bersama-sama berjalan menuju kesejatian, kebaikan dan kemurnian. Maiyahan laksana air dari langit yang mereka tadahi dan kemudian disiramkan ke bumi untuk kesuburan kehidupan dan penghidupan.

Cak Nun dan KiaiKanjeng malam itu membawa masyarakat transenden melalui wirid, shalawat, doa, munajat, dan kepasrahan kepada Allah. Cak Nun juga mengajak para petani untuk “mengaktivasi” malaikat sebagai petugas-petugas Allah. “Setiap pagi bangun tidur, usai salat, sapalah para malaikat dengan membaca Al-Fatihah,” pesan Cak Nun kepada para petani dan masyarakat.

Di hadapan masyarakat dan petani tembakau, Cak Nun membesarkan hati mereka, menumbuhkan keyakinan akan masa depan, bahwa bangsa ini meskipun sudah dihancurkan tetapi tetap saja—bahwa mereka—tidak benar-benar hancur, mereka tetap hidup dalam ketangguhan. Cak Nun meyakinkan bahwa para petani pada masa depan nanti akan menjadi primadona.

Sebelum berdiskusi dan memberikan kesempatan bagi para perwakilan petani untuk menyampaikan gagasan-gagasannya, Cak Nun mengingatkan bahwa manusia itu tersusun atas empat unsur: kepala, hati, perut, dan sesuatu di bawah perut (syahwat). Cak Nun sampaikan: Kalau bisa pikiran (ilmu) mengendalikan hati, untuk sekaligus mengendalikan perut dan syahwat. Jangan sebaliknya, perut dan syahwat menyetir hati dan pikiran.

Setelah membangun spiritualitas, Cak Nun kemudian memandu masyarakat untuk berdialog, mengungkapkan kegelisahan tentang hal-hal apapun yang mereka keluhkan. Pak Subakir, perwakilan petani tembakau dari gunung Sumbing yang juga menjabat sebagai lurah, menggelisahkan regulasi pemerintah yang dinilainya merugikan para petani. Regulasi yang dimaksudnya yakni dengan adanya impor tembakau. Padahal, menurut pendapat Pak Subakir, tembakau di sini (di Indonesia) sudah cukup tersedia, dan merupakan tembakau yang telah diakui dunia sebagai yang terbaik.

Cak Nun memahami kegelisahan itu dengan mengaitkannya dengan wacana persaingan industri pada konteks global. Selain itu, bahwa yang terjadi bukanlah tembakau milik bangsa ini adalah jelek, melainkan dijelek-jelekin. Dalam konteks kesehatan, yang tidak banyak disadari adalah fungsi lidah. Selama ini lidah hanya dipakai untuk keperluan kuliner, mencoba rasa, enak atau tak enak. Padahal fungsi kuliner merupakan fungsi yang sekunder dari lidah. Lidah berfungsi utama sebagai “radar keseimbangan” kesehatan, lebih jauh lagi lidah dapat mengetahui kapan harus berhenti makan, atau sebaiknya tak makan ini atau itu.

Untitled design (3)

Kalau bisa pikiran (ilmu) mengendalikan hati, untuk sekaligus mengendalikan perut dan syahwat. Jangan sebaliknya, perut dan syahwat menyetir hati dan pikiran.
Emha Ainun Nadjib

IRONI SEBUAH NEGARA

Perwakilan gunung Sindoro kemudian tampil sampaikan pendapatnya. Mereka mengeluhkan soal regulasi tembakau yang tak selesai-selesai, tak pernah jelas dari sejak masa tiga presiden sebelumnya. Mereka mempertanyakan kesungguhan negara. Merespon dengan setengah berkelakar, Cak Nun mengatakan: “Kalian memilih-milih sendiri presidenmu, giliran ada masalah kok sambat kepada saya?” Tetapi prinsipnya, Cak Nun mengatakan bahwa soal regulasi sangat terkait dengan politk perundang-undangan dan “raksasa-raksasa” itu, maka saat ini satu-satunya yg bisa dilakukan para petani adalah tetap tandur (red: menanam) terus, tandur terus, nanti Allah-lah yang akan membuat panennya.

Seturut dengan itu, Cak Nun mengajak masyarakat untuk belajar memahami apa itu negara, pemerintah, dan hubungannya dengan rakyat. Subjek-subjek politik seharusnya memberikan pendidikan-pendidikan politik kepada rakyat, namun hal itu tidak dilakukannya. “Makanya, kalau berdemokrasi itu hati-hati, supaya mendapat pemimpin yang benar. Negara yang seharusnya melindungi anda, tetapi justru mengancam anda,” kata Cak Nun. Cak Nun juga menguraikan bahwa keluhan-keluhan seperti itu juga berlangsung di bidang-bidang lain yang juga kerap disambatkan kepada Cak Nun dalam banyak kesempatan. Semua bisa teratasi kalau kita mendapatkan pemerintahan yang sungguh-sungguh. “Anda harus yakin, dan itu tidak lama lagi. Semoga anda bisa mengalami zaman baru itu. Jangan nggege mongso atau mendahului kersaning Allah,” pesan Cak Nun malam itu.

Malam itu, musik dan dialog berpadu, suatu nuansa acara yang sangat khas terjadi di acara-acara maiyahan. Salah satunya, Imam Fatawi dengan KiaiKanjeng yang malam itu membawakan lagu Yang Kaya Makin Kaya Yang Miskin Makin Miskin sebuah karya lagu dari Haji Rhoma Irama.

Cak Nun kembali mengingatkan bahwa rakyat kita adalah manusia-manusia nusantara yang tangguh, yang mampu mengatasi keadaan, yang bisa transenden dari ketertekanan-ketertekanan. Mereka tetap bisa bahagia, dengan kebahagiaan yang tak bisa ditandingi dari bangsa manapun di dunia.

Di penghujung acara, Cak Nun berpesan: alangkah baiknya di setiap komunitas tembakau ada kelompok wirid yang rutin membaca doa yang bisa diambil langsung dari kalimat-kalimat Allah. Jika sedang sedih atau bunek, diperbanyak membaca doa Nabi Yunus. Di kantor kabupaten juga baik dilakukan hal yang sama. Hanya dengan memohon kepada Allah dan mengaktifkan “energi” malaikat, perubahan-perubahan itu dapat dimuluskan jalannya. Betapapun besar harapan kita kepada manusia atau pemimpin, kalau tak ada perintah dari Allah juga tak ada artinya.

Sesudah shalawat Indal Qiyam dalam formasi berdiri, Cak Nun memanjatkan doa yang didahului dengan ayat-ayat suci Alquran. “Ya Allah Engkau tidak main-main menciptakan tumbuhanmu bagi kehidupan manusia. Engkau tidak main-main menciptakan dan menumbuhkan tembakau dan menjadikan rezeki bagi para petani, dan barangsiapa mempermainkan tembakau dan petani, mereka akan mendapatkan murka-Mu. Barangsiapa bermain-main dengan nasib banyak orang, mereka akan mendapat azab dari-Mu….”

[Teks: Progress/Helmi Mustofa, Dok foto: Progress/Adin]