FREENOMICS

Reportase Juguran Syafaat edisi Maret 2015

Juguran Syafaat diawali dengan tadarus surat Al Waqiah secara tartil terpimpin, dilanjutkan dengan suluk pembuka dan wirid padhang bulan. Malam itu, Juguran Syafaat kedatangan tamu spesial dari Yogyakarta, yaitu Harianto dari Nahdlatul Muhammadiyyin, Helmi Mustofa dari Progress dan dari penerbit Bentang Pustaka. Tampak hadir beberapa perwakilan dari elemen kampus dan organisasi kepemudaan yang sengaja diundang agar sesi diskusi nanti bisa lebih padat dan kaya.

Sesi pertama diawali oleh Kukuh yang bercerita tentang pengalamannya memandu penelitian ekonomi pertanian untuk demografi UI yang bertempat di beberapa kecamatan di kabupaten Banyumas. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa dalam sehari petani di Banyumas bisa hidup cukup dengan uang 10.000-15.000 rupiah. Ini dikarenakan mereka masih mempunyai cadangan beras hasil tani dan keperluan uang tersebut hanya untuk membeli lauk saja. “Bagi saya itu merupakan fakta menarik. Ternyata hidup itu tidak perlu dengan sumber dana yang besar. Atau bahkan jika itu dikelola lagi, keluarga petani itu bisa dalam sehari-hari tidak keluar uang sepeserpun,” kata Kukuh. Karyanto menambahkan bahwa di desanya pun sama seperti yang diceritakan oleh Kukuh.

Nurhidayat dari Universitas Sudirman ikut membagi pengalamannya sebagai mahasiswa perantauan, menurutnya kehidupan di desa bisa menjamin pangan melalui sistem kekeluargaan. Hal itu diperkuat kembali oleh Cipto. Ia menambahkan pengalamannya di Lampung, dimana dalam perayaan hajatan disana, pelaksanaan hajatan dari tratag tenda, makanan hingga penerimaan tamu, sudah bisa dijamin tanpa memerlukan biaya besar oleh sistem sosial masyarakatnya.

MENULIS MENYERAP REALITAS

Diskusi berikutnya kemudian dipandu oleh Kusworo, ia mempersilakan tim Bentang Pustaka, Helmi Mustofa dan Harianto untuk masuk ke forum. Helmi Mustofa mengawali dengan memperkenalkan Bentang Pustaka sebagai “anak” dari Penerbit Mizan yang merupakan cikal bakal penerbit buku dalam bidang pemikiran Islam. Setiap buku Cak Nun yang diterbitkan Bentang selalu menjadi best seller. Menurutnya, buku-buku Cak Nun sampai saat sekarang masih memiliki relevansi dan pandangan-pandangan yang tetap aktual. Buku-buku Cak Nun yang sudah diterbitkan ulang oleh Bentang Pustaka adalah Arus Bawah, Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai dan Sedang Tuhanpun Cemburu.

“Dalam buku Anggukkan Ritmis Kaki Pak Kiai, banyak sekali pandangan tasawuf dan keberagaman, kalau saya katakan dari situlah sebenarnya akar pemikiran Maiyah. Tasawufnya, pemahaman mengenai hukum Islam, fikih, Islam sebagai kata kerja dan kata benda, semua ada disitu,” terang Helmi Mustofa.

“Untuk anda yang masih segar, ini adalah sebuah peringatan, bahwa 20 tahun lalu Cak Nun sudah melakukan proses berpikir, merenung dan menuliskannya. Dan sampai sekarang ternyata apa yang dilakukan oleh Cak Nun masih relevan dan sepertinya kok belum banyak anak muda yang menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam karya tulisan yang tidak harus mirip, tapi menjawab juga permasalahan disekitar kita saat ini,” ujar Sholahudin dari Tim Bentang Pustaka.

Sholahudin lalu bercerita bahwa tulisan-tulisan Cak Nun adalah tulisan yang bisa dibaca oleh manusia lain, tidak hanya untuk dirinya sendiri. Sholahudin mengajak teman-teman muda untuk segera melakukan proses kreatif dalam bentuk tulisan.

Setelahnya, Rifangi dan tim musisi mempersembahkan nomor lagu Shalom Alaeheim, sebuah nomor lagu dari Kiai Kanjeng. Malam itu juga diresmikan nama kelompok musisi Juguran Syafaat yang bernama Ki Ageng Juguran.

Kata profesi itu muncul bukan dari kata profit, tapi dari kata profetik, yaitu kenabian. Maka profesi itu mengemban nilai kenabian didalamnya.

Manusia saat ini menulis lebih banyak menggunakan motif-motif ekonomi, sehingga yang terjadi bukan keabadian karya, tapi kesementaraan,” demikian yang disampaikan Harianto. Harianto juga menyampaikan  bahwa dalam Islam ada 3 level dari efek terjadinya sesuatu: dari manfaat, mashlahat hingga barokah. Barokah ini tidak bisa diukur secara materi, tapi secara rohani dan inilah yang bisa mengantarkan kita kepada keabadian.

“Seringkali budaya yang ada disekitar kita adalah budaya nge-fans. Jangan-jangan Maiyah nanti juga larinya ke Emhaiyah, ketika kita tidak benar-benar tahu persis proses Cak Nun bagaimana melahirkan pemikiran-pemikirannya. Nah buku-buku karyanya ini adalah bagaimana caranya kita bisa mengetahui prosesnya. Cak Nun bukan wali yang bersembunyi di dalam goa, tapi beliau orang yang bersungguh-sungguh melakukan proses fikir, tulus mencari solusi dan menyikapi dalam bentuk karya,” tambah Harianto.

Budaya Iqra tidak hanya sekedar membaca, tapi juga seharusnya menyambungkan karena berasal dari kata qoroah, yang artinya menyambungkan. Iqra juga berarti menulis, menyambungkan huruf, kata hingga paragraf menjadi tulisan. “Kenapa sampai saat ini yang digembor-gemborkan justru budaya gemar membaca? Karena sekarang ini, orang bodoh bukan karena minim informasi, tapi karena kebanjiran informasi. Orang sekarang dituntut untuk gemar membaca, maka orang yang menulis dengan berbagai macam kepentingan dan misi, inilah masa panennya,” ujarnya.

Helmi Mustofa ikut memberikan beberapa proses menulis dari Cak Nun yang menurutnya mengagumkan. Cak Nun sanggup menulis di sela-sela kesibukannya menerima tamu, event di panggung, hingga di kendaraan umum. Cak Nun dahulu masih menggunakan mesin ketik yang tidak ada fungsi delete didalamnya, disitulah kepiawaian menulisnya teruji. Beliau sanggup menuangkan pikirannya ke dalam kata-kata sehingga sangat jarang sekali dikoreksi.

“Proses menulis Cak Nun ini bukan proses menulis yang steril. Tapi beliau menulis di tengah masyarakat, melayani berbagai macam persoalan. Karya-karya beliau salah satu kekuatannya justru muncul dari situ. Maka setiap essai-essainya hampir semuanya memotret dari peristiwa yang beliau hadapi. Kenapa beliau bisa banyak sekali menulis? Karena memang supply persoalannya tidak pernah habis. Kenapa beliau begitu banyak persoalan, karena beliau terjun sebagai pelayan masyarakat,” sambung Helmi Mustofa.

Helmi Mustofa menerangkan bahwa proses menulis Cak Nun bukan dalam rangka mengejar popularitas atau mencari motif ekonomi, tapi dalam rangka menjawab persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Yang bisa kita teladani adalah bagaimana kita menjadi manusia memiliki tanggungjawab kekhalifahan, dari situ kita memiliki peluang mendapatkan gagasan-gagasan untuk menulis.

Sebagai penghangat suasana, Ki Ageng Juguran mempersembahkan satu nomor Semau-maumu dalam nuansa Reggae.

03

MELAWAN ILUSI EKONOMI

Sesi selanjutnya, Rizky memberikan pengantar ke tema Freenomics. “Kalau kita merefleksikan pada perjalanan Cak Nun 20 tahun lalu, hal ini mesti kita jadikan untuk latihan berpikir, karena ternyata selama ini kita memang sangat sedikit sekali berpikir. Kita terima jadi apa yang sudah diproduksi dari luar. Fikih terima jadi, tafsir terima jadi, undang-undang terima jadi. Minimal kita mengasah cara berfikir kita,“ kata Rizky.

Titut Edi kemudian melanjutkan forum diskusi dengan menceritakan proses kreatifnya berkesenian teater, dimana ia beberapa lalu mengadakan pertunjukan yang bertajuk Garong bukan Akik bukan pula Begal.

Menyambung diskusi, Agus Sukoco sampaikan pandangannya tentang level-level bahasa Tuhan, dari wahyu, karomah, maunah, fadilah dan ilham. Tuhan mengirimkan sinyal secara terus menerus, dan tinggal seberapa kuat kita menerima informasi-informasi tersebut. Apakah mampu sangat akurat atau justru malah terdistorsi? “Ada hal-hal yang dulu kita tidak membutuhkan uang, tidak butuh biaya, sekarang harus ada biayanya. Pertemuan kemarin Togar mengatakan, orang mati tinggal mati saja. Tidak usah bingung. Sekarang membutuhkan biaya besar. Karena lingkungan pada saat itu masih terkait dengan komunikasi yang sifatnya kasih sayang, tidak transaksional. Masih ada hubungan kemanusiaan. Ini yang membuat orang tidak terlalu ngoyo mencari uang, karena ternyata banyak hal juga yang tidak harus dengan uang. Nah sekarang, apa-apa harus dengan uang,” tambah Agus Sukoco.

Agus Sukoco sampaikan bahwa biaya-biaya hidup kita sekarang diatur oleh ilusi-ilusi yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Bukan lagi pada azas manfaat atau fungsi atas apa saja yang kita keluarkan dengan uang, tapi juga pertimbangan lain yang sebenarnya merupakan ilusi saja.

“Saya punya analogi dalam menghadapi ilusi tersebut. Kita ini punya kampung halaman, kita diutus oleh Tuhan untuk tinggal di daerah tertinggal, yaitu dunia. Untuk memajukan daerah tertinggal itu. Kita datang ke dunia melalui mekanisme biologis yaitu kelahiran. Orang tertipu melihat ini karena pandangannya materialisme, dikira kita itu jasadiyah. Tahap biologisnya itu bayi, remaja, dewasa dan tua, tapi hakekatnya esensi kemanusiaan kita tidak urusan kecil, besar dan tua. Kita hadir ke dunia, disuruh untuk memajukan daerah tertinggal. Dimana yang disebut maju bukan seperti sekarang, gedung bertingkat dan sebagainya yang sangat materi, tapi justru maju adalah meningkat derajatnya dari materi menuju ke rohani. Ukuran modern seharusnya yang rohani, bukan ke materi,“ tambah Agus Sukoco.

Menurut Agus, apabila kita bertemu dengan orang yang masih membangga-banggakan harta kekayaannya dalam bentuk materi, maka bisa jadi itu adalah penduduk asli bumi, daerah tertinggal ini. Yang sejatinya kita harus “modernkan”, harus kita majukan secara rohani, itu jika menggunakan analogi bahwa kita adalah utusan Tuhan.

Fikry menghubungkan diskusi sebelumnya tentang siaran Tuhan dengan teori telekomunikasi, dimana semua sebenarnya bisa menangkap siaran tersebut, asalkan tidak terhalang oleh ‘obstacle’ dalam kehidupan. Jika ini bisa dilewati, maka kita bisa meningkat dari ilham ke fadilah ke maunah atau bahkan ke karomah.

Manusia saat ini menulis lebih banyak menggunakan motif-motif ekonomi, sehingga yang terjadi bukan keabadian karya, tapi kesementaraan.


04

Sesi berikutnya, Titut Edi mempersembahkan sebuah nomor lagu humor diiringi oleh Ki Ageng Juguran, berjudul Sepur Logawa dan Kintel-kintel Kluyuran. Para sedulur yang hadir malam itu juga disajikan video multimedia berupa video pendek dari The Arrival Series yang membahas tentang kungkungan uang dalam kehidupan kita sehari-hari.

Menyambung diskusi, Harioanto sampaikan bahwa ekonomi dimulai dari ada kebutuhan dan ada alat pemenuh kebutuhan. Orang Barat mengatakan bahwa alat untuk memenuhi kebutuhan kita itu sangat terbatas, dan kebutuhan manusia sangat tidak terbatas. Ini adalah konsep yang dibentuk pertama untuk muncul motif teori. Maka yang terjadi adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia, dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya untuk memenuhi kebutuhan sebanyak-banyaknya.

“Dalam Islam, teori tadi itu salah besar. Allah menciptakan semua alam seisinya ini sangat tidak terbatas. Maka teori Islam mengatakan, alat pemenuh kebutuhan itu sangat tidak terbatas, dan manusia harus membatasi kebutuhannya. Disinilah terdapat batasan akhlak, batasan bagaimana memperoleh, batasan bagaimana mekanisme ekonomi, dan sebagainya.”, ujar Harianto.

Menurutnya, saat ini sudah tidak mungkin hidup tanpa menggunakan uang sebagai alat tukar, yang terpenting adalah bagaimana kita meletakkan uang dalam konsep hidup kita. Harianto juga menyampaikan bahwa kata profesi itu muncul bukan dari kata profit, tapi dari kata profetik, yaitu kenabian. Maka profesi itu mengemban nilai kenabian didalamnya.

“Mengenai buku Cak Nun, kenapa sampai sekarang masih relevan, itu bukti bahwa belum ada perubahan di Indonesia sejak tahun 80-an, bahkan sejak reformasi, ini bukti nyata bahwa persoalannya tetap sama. Orang masih menganggap reformasi sudah berjalan, dan sekarang umurnya 17 tahun, tapi belum ada perubahan sampai saat ini,” ujar Harianto.

Merespon hal itu, Agus katakan bahwa uang sekarang sudah tidak menjadi alat tukar, tapi menjadi alat penjajahan. Menurutnya, kita sudah tidak bisa memberontak melawan sistem ekonomi global yang sudah merajalela seperti ini, yang bisa kita lakukan adalah penyadaran diri. Membentengi diri dengan cara berpikir yang jernih terhadap uang, sehingga kita tidak tertipu oleh ilusi-ilusi yang diciptakan oleh kecemasan-kecemasan global. Rejeki kita dijamin oleh Tuhan dengan mekanisme min haitsu la yah tahsib, jalan rejeki yang tidak terduga-duga. Sesuatu yang tidak terduga ini selama ini kita anggap sesuatu yang tidak pasti dan tidak bisa kita jadikan pegangan, padahal yang paling pasti dari Tuhan adalah sesuatu yang tidak terduga ini. Ilusi yang diciptakan adalah memasti-mastikan hidup melalui penumpukan harta yang justru itu semua adalah bentuk ketidakpercayaan kita kepada Tuhan.

Acara malam itu diakhiri dengan bersalaman melingkar diiringi satu nomor musik dari Ki Ageng Juguran berjudul Kelayung-layung.

Comments

Comments are closed.