Sinau Bareng Melatih Kerendahan Hati

“MENULIS bukanlah untuk menempuh karir sebagai Penulis, melainkan untuk keperluan-keperluan sosial”, Demikianlah kutipan kata Mbah Nun yang saya ambil dari sebuah kolom menek blimbing di situs caknun.com yang berjudul From Beginner to be Learner karya Fahmi Agustian. Dari sebuah kutipan kata itulah, membuat saya tergugah untuk mencoba menulis ditengah ketidakpercayaan diri saya untuk membuat sebuah tulisan, pun jika saya dipekenankan untuk secara verbal menilai tulisan saya sendiri maka saya akan mengatakan bahwa tulisan yang saya buat adalah sebuah karya tulis yang jelek, disamping saya tidak memiliki riwayat pernah mengikuti kursus ataupun whorkshop terkait dalam bidang penulisan. Jadi mohon dimaklumi jika tulisan yang saya buat sangat jauh dari kata layaknya sebuah tulisan bagus.

Jurnal Cak Nun yang berjudul –Memasuki Masa Depan Dengan Kerendahan Hati– yang disajikan dalam sebuah video sangat menyentuh sensitifitas hati saya yang membuat saya nekat membuat tulisan ini. Dalam video tersebut Mbah Nun mengajak kita untuk bersama-sama men-tadabbur-i Firman Allah Yaa ai-yuhaal-ladziina aamanuu laa yaskhar qaumun min qaumin ‘asa an yakuunuu khairan minhum walaa nisaa-un min nisaa-in ‘asa an yakunna khairan minhunna” “Wahai orang-orang yang beriman, jangan lah kamu saling mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang kamu olok-olok itu) lebih baik dari kamu.” Dst.

Dalam Jurnal Cak Nun tersebut merupakan refleksi bagi kita semua untuk bercermin pada perilaku kita sehari-hari, baik di  Media Sosial seperti yang terjadi belakangan ini, maupun dalam lingkungan nyata kehidupan kita sehari-hari, mulai dari lingkungan dalam skala yang kecil sampai dalam skala yang luas atau skala besar, dari perilaku kita sehari-sehari bagi yang suka mengolok-olok, hina-menghina, kepada orang ,pihak atau kepada kelompok lain yang tidak kita sukai, sebaliknya orang, pihak atau kelompok lain yang tidak menyukai kita pun juga cenderung melakukan hal itu bagi yang yang suka melakukan hal itu, dengan demikian maka dapat kita sebut bahwa perilaku kita ini sudah mencapai tingkat kehinaan yang luar biasa karena pekerjaan kita adalah saling hina-menghina dan itu menjadi perilaku yang tidak kita sadari yang terjadi sehari-hari (bagi yang suka melakukan hal itu).

Dalam Ayat Allah tersebut di atas menunjukkan relativitas karena boleh jadi yang kamu olok-olok itu lebih baik dari kamu,  ini paralel dengan ayat Allah yang lain “Wa ‘asa antakrohu syaiaw wahuwa khoirullakum, wa ‘asa antuhibbu syaiaw wahuwa syarullakum”, yang kamu jelek-jelekkan, yang kamu benci, yang kamu bully, yang kamu rendah-rendahkan bisa jadi dia baik bagimu, sementara apa yang kamu junjung-junjung, apa yang kamu baik-baikkan bisa jadi itu yang bahaya dan buruk bagimu. Ini adalah rumus kehidupan, sehingga ilmu yang harus diserap oleh setiap manusia apalagi seorang muslim adalah kerendahan hati, tawadhu’, andhap asor, atau dalam idiom jawa bisoho rumongso, ojo rumongso biso, karena munculnya sebuah konflik pertengkaran antar manusia, antar pihak, antar kelompok, antar golongan, antar strata sosial, salah satu penyebabnya adalah masing-masing merasa paling mampu, paling hebat, paling benar, paling bagus, dan paling baik.

Bagi yang berkenan untuk kembali mengingat-ingat materi pelajaran atau sejenak membuka kembali buku pelajaran sosiologi dasar yang kita dapatkan di bangku tingkat Sekolah Menengah Atas, bahwasanya manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk monodualis yang berarti manusia sebagai makhluk individu dan manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, manusia memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur fisik dan psikis, unsur raga dan jiwa yang menyatu dalam dirinya.

Manusia sebagai makhluk individu berhak atas milik pribadinya, keselamatannya, serta martabatnya, sehingga manusia harus diakui hak-hak individunya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selain sebagai makhluk individu manusia juga berperan sebagai makhluk sosial. Secara kodrati dalam kehidupan manusia selalu membutuhkan manusia lain, ada dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi) dengan manusia lain sehingga manusia dikatakan sebagai makhluk sosial. Karena itulah manusia sering disebut sebagai Homo Homini Socius yang artinya manusia sebagai kawan bagi sesamanya bukan sebaliknya Homo Homini Lupus yang berarti Manusia adalah serigala bagi sesamanya.

Menurut ahli sosiologi John Lewis Gillin, Interaksi Sosial adalah hubungan sosial antar individu, antar individu dengan kelompok serta kelompok dengan kelompok. Jika tidak ada interaksi sosial, maka di dunia ini tidak ada kehidupan bersama. Kondisi masyarakat yang aman, tenteram serta damai sejahtera adalah kondisi ideal yang diharapkan dalam kehidupan antar manusia dengan manusia lain secara harmonis dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik secara biologis, psikologis maupun sosial tanpa tekanan, paksaan dan kekerasan (lebih tepatnya kekejaman).

Namun pada kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari, seringkali ditemukan berbagai persaingan dan perdebatan, dengan saling memaksakan kebenaran yang diakui, saling memaksakan kepentingan dan keinginan yang bisa terjadi antar individu dengan individu, individu dengan kelompok, serta kelompok dengan kelompok  yang akhirnya menjadi konflik yang kompleks dan berlarut-larut.

Dalam beberapa kali Sinau Bareng Maiyahan, Mbah Nun sering menjelaskan bahwa kebenaran itu ada beberapa macam jenis, yaitu: Benarnya Sendiri/Kebenaran Personal (Benere Dhewe), Benarnya Orang Banyak/Kebenaran Komunal (Benere Wong Akeh), dan Benar Yang Sejati (Bener Kang Sejati). Benar yang sejati adalah bernilai hakiki dan paling tinggi kualitasnya karena Kebenaran yang Sejati adalah Kebenaran dari Tuhan. Kita hanya bisa menafsirkan, mencoba, meraba, mencoba menemukan kebenaran, karena sekali lagi, bahwa kebenaran bukan dari kita melainkan dari Tuhan.

Saya teringat kembali ketika mengikuti Maiyahan Kenduri Cinta Edisi Bulan Mei 2017 dengan tema –Takfiri Versus Tamkiry-, beberapa catatan-catatan kecil dari poin yang saya dapatkan dari pemaparan Mbah Nun adalah Manusia menghabiskan waktunya untuk mempertengkarkan tentang kebenarannya Setiap orang menafsirkan kebenaran sesuai dengan kondisi dan semesta pikirannya, sehingga, setiap orang memiliki kebenaran yang berbeda-beda. Konflik eyel-eyelan yang tak kunjung usai ini disebabkan karena salah satu pihak memaksakan kebenarannya pada pihak yang lain dengan kata lain, kita ini sering mengatakan yang lain sakit, sebaliknya yang lain mengatakan kita sakit, dan puncak dari festival dari ini adalah sama-sama saling tidak merasa sakit.

Poin penting yang saya garisbawahi dari Maiyahan pada waktu itu, adalah Kebenaran merupakan input bukan output. Silahkan hidup dengan kebenaran atau idiologi masing-masing namun simpan dalam hati, dan outputnya adalah bermanfaat bagi orang lain serta tidak memaksakan kehendak kebenaran masing-masing. Di dalam hidup ini banyak ketidak cocokan dengan kebenaran kehendak kita masing-masing namun kita tidak bisa secara untuk memaksakan kehendak kita, maka yang kita cari adalah harmonisasi seimbang antara ketidak cocokan dengan kebenaran kehendak kita.

Begitu juga, hidup itu adalah rangkaian dan bukan sepenggal-sepenggal, maka harus berendah hati untuk menemukan kebenaran. Mbah Nun mengibaratkan kebenaran sebagai benih yang ditanam di dalam tanah yang kemudian di atasnya tumbuh tanaman atau pohon yang berbuah. Buah inilah yang kita suguhkan/berikan kepada orang lain berupa kebaikan. Yang paling penting adalah kebenaran kita membawa kemaslahatan dan manfaat yang baik pada orang lain pada semua orang. Berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. Fastabiqul Khairat.

Dari ulasan di atas, menurut hemat saya setidaknya dapat kita ambil minimal satu kesimpulan bahwa munculnya konflik salah satunya adalah disebabkan karena saling beradu kesombongan, beradu kebenaran, saling merasa paling mampu, paling hebat, paling benar, paling baik dengan merendahkan yang lain, saling mengunggulkan pembenaran diri dan mempersalahkan yang lain. Semakin seseorang ingin diakui rasa pembenaran dirinya dan rasa hebatnya, semakin besar pula potensi munculnya sebuah konflik jika pihak lain tidak mengakui kebenaran dan kehebatan yang diakuinya.

Konflik umumnya disertai dengan ketegangan, hinaan/cemoohan dan sifat emosional yang tinggi. Konflik akan meningkat menjadi pertentangan yang berlarut-larut ketika tidak ada titik temu kesepahaman pandangan. Tentunya konflik yang berlarut-larut seharusnya dapat dicegah dengan memasuki ruang kerendahan hati untuk saling melunakkan kekakuan, keegoan, kesombongan diri kita untuk memasuki jalan kesadaran akan kekurangan kita masing-masing, sebagaimana kita belajar di Maiyahan bahwasanya yang ditekankan adalah prinsip keseimbangan, ketika kita menjumpai sesuatu yang buruk sekalipun, kita mencari kebaikannya, sebaliknya ketika kita menjumpai sesuatu yang paling baik, kita tidak serta-merta untuk nggumun atau silau akan hal itu.

Pertanyaannya bagi diri kita sendiri adalah, sudahkah kita berendah hati satu sama lain? Bisakah kita menumbuhkan kerendahan hati di atas kebanggaan-kebanggaan dan kesombongan-kesombongan yang kita pamer-pamerkankan melalui identitas-identitas kita? Sudahkah kita memiliki kerendahan hati sebagai individu yang berinteraksi dengan individu lain sebagai makhluk sosial, baik dalam skala lingkungan yang kecil, seperti di lingkungan keluarga, lingkungan tetangga kiri-kanan, lingkungan RT/RW dst., maupun dalam lingkungan skala yang lebih luas atau lebih besar, seperti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?.

Tentu jawabannya akan muncul beragam dengan jarak, sisi, dan sudut pandang masing-masing, yang tidak perlu kita perdebatkan atau kita paksakan orang lain untuk menerima jawaban mana yang kita anggap paling benar, namun yang terpenting adalah semangat untuk saling belajar dan terus belajar pada jawaban itu, mari Sinau Bareng.

Wahyu Setyawan