Siapkan Self Receiver untuk Lailatul-Qadar (II)

JABURAN SERI KE-II EDISI KETUJUH

BANYAK ORANG bertanya kepadaku, mengulang kalimat Allah tanpa mereka sadari: wa-ma adraka ma lailatul-qadr? Apa gerangan Lailatul-Qadar itu?

Bagiku adalah sejenis Lailatul-Qadar juga kalau sampai ada yang bertanya kepadaku apa itu Lailatul-Qadar. Suatu penghormatan yang luar biasa bahwa aku dijadikan sumber pengetahuan mengenai hal-hal yang si penanya tidak tahu atau merasa tidak tahu. Mungkin, mereka menganggap aku ini akrab dengan Lailatul-Qadar. Dan itu keliru. Alhamdulillah, aku tidak percaya bahwa mereka bertanya kepada orang yang tepat. Mereka salah sangka kepadaku.

Aku bukan “Ahli Lailatul-Qadar” (al-ahl al lailah al-qadr). Aku sama dengan semua mereka yang bertanya kepadaku. Aku masih pada taraf merindukan, penasaran, dan mencari pengetahuan dan pengalaman Lailatul-Qadar. Bahkan, mungkin mereka berada di depanku dalam hal kualitas untuk “antre” mendapatkan Lailatul-Qadar.

Aku sekedar pemimpi ridla Allah di hadapan Allah. Lailatul-Qadar bagiku, puncaknya, adalah ridla-Nya atas segala yang kulakukan selama ia menugasiku di muka bumi, di Menturo, di Yogya, di Jakarta, seluruh Indonesia, dan dunia. Aku hanya tahu bahwa sebaiknya kita memusatkan perhatian kita tidak pada “cahaya dari langit” yang kita bayangkan sebagai Lailatul-Qadar. Cahaya di situ bisa simbolik, bisa letterlijk (lahiriyah/tekstual).

Yang sepenuhnya harus kita urus adalah receiver spiritual kita sendiri untuk mungkin menerima Lailatul-Qadar. Kesiapan diri kita. Kebersihan jiwa kita. Kejernihan ruh kita. Kelembutan hati kita. Keadilan pikiran kita. Kepenuhan iman kita. Totalitas iman dan kepasrahan kita. Itulah yang harus kita maksimalkan.

Kalau lampumu tak bersumbu dan tak berminyak, jangan bayangkan api. Kalau gelasmu retak, jangan mimpi tuangan minuman. Kalau mentalmu rapuh, jangan rindukan rasukan tenaga dalam. Kalau kaca jiwamu masih kumuh oleh kotoran-kotoran dunia, jangan minta cahaya akan memancar dengan jernih atasmu.

Jadi, bertapalah dengan puasamu. Bersunyilah dengan iktikafmu. Mengendaplah dengan lapar dan hausmu. Membeninglah dengan rukuk dan sujudmu. Puasa mengantarkanmu menjauh dari kefanaan dunia, sehingga engkau mendekat ke alam spiritualitas. Puasa menanggalkan barang-barang pemberat pundak, nafsu-nafsu pengotor hati, serta pemilikan-pemilikan penjerat kaki kesurgaanmu.