Berawal dari YouTube

SALAH SATU fasilitas yang mudah diakses bagi orang yang tinggal di Jakarta adalah internet. Sebagai pusat pemerintahan, internet merupakan kebutuhan yang wajib hukumnya terpenuhi di Jakarta. Tidak terkecuali saya, sebagai pekerja seni dan kreatif, internet adalah kebutuhan primer. Berawal dari keisengan saya ketika mencari video dengan kata kunci “ceramah lucu”, saya menemukan sebuah video dokumentasi Kenduri Cinta di YouTube. 2011 adalah tahun pertama kali saya datang ke acara Kenduri Cinta. Saya yakin, saya bukanlah satu-satunya Jamaah Maiyah yang mengenal Maiyah pertama kali melalui video-video di YouTube.

Setelah beberapa kali saya menonton video Kenduri Cinta di YouTube yang sebelumnya membuat saya tertawa, akhirnya justru saya malah tersentuh dan tergerak untuk datang langsung ke Kenduri Cinta. Di hari pertama kali saya datang ke Kenduri Cinta, saya sudah mempersiapkan list pertanyaan yang rencananya akan saya tanyakan langsung kepada Cak Nun. Pertanyaan-pertanyaan itu sudah saya ketik dengan rapi dan terstruktur di smartphonesaya.

Terus terang, jika sekarang ditanya, apa saja dan ada berapa pertanyaan yang saya siapkan waktu itu, saya sendiri tidak mengingatnya secara detail. Lagipula, sampai akhir acara, saya tidak sempat mengajukan satupun pertanyaan dari daftar pertanyaan yang sudah saya siapkan dari rumah itu tadi. Lebih tepatnya bukan tidak sempat, tetapi memang tidak jadi saya tanyakan kepada Cak Nun.

Begitu terkesimanya saya dengan cara penyampaian ilmu Cak Nun malam itu. Sampai-sampai saya sendiri merasa tidak rela jika Cak Nun harus menghentikan pemaparannya hanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Saya bergumam dalam hati; “Rasanya kok apa yang beliau sampaikan jauh lebih berharga dari pada pertanyaan yang hendak saya tanyakan ini”. Anehnya, setelah dua tiga kali saya datang ke Kenduri Cinta, saya justru menemukan sendiri jawaban dari pertanyaan-pertanyaan saya.

Satu hal yang saya ingat, kedatangan pertama saya waktu itu bertepatan dengan bulan puasa. Sebuah momen yang sangat berkesan bagi saya. Saat itu, usai Kenduri Cinta saya menyaksikan Cak Nun menikmati santap sahur bersama para penggiat Kenduri Cinta dan pengisi acara di panggung dengan leluasa tanpa ada jamaah yang berebut mengajak salaman. Saya pun dengan polosnya sempat minta foto bersama Cak Nun dan leluasa tanpa harus antri berebut dengan jamaah lainnya, karena memang saya satu-satunya orang yang minta foto bareng saat itu. Hal seperti ini rasa-rasanya tidak mungkin bisa dijumpai di saat-saat sekarang ini.

Sekarang, jamaah tidak akan beranjak pulang sebelum Cak Nun benar-benar meninggalkan lokasi Kenduri Cinta. Selama Cak Nun masih ada di sekitar Taman Ismail Marzuki, jamaah akan mengerubuti beliau, nggak ada habis-habisnya. Ada yang minta tanda tangan di buku, minta didoakan atau sekadar minta salaman. Kalau minta foto bareng itu sudah pasti, tidak usah ditanya. Bahkan, sejak Cak Nun terlihat di gerbang Taman Ismail Marzuki, jamaah sudah berebut bersalaman dengan Cak Nun. Padahal, Cak Nun belum sempat naik ke panggung.

Kenduri Cinta adalah satu dari banyak acara serupa yang diselenggarakan oleh Jamaah Maiyah di seluruh penjuru Nusantara. Hampir di semua acara Maiyah jamaah berkumpul dan duduk tekun, menyimak apa yang disampaikan oleh Cak Nun di panggung sampai lewat tengah malam sampai pagi. Bahkan, tidak sedikit pula yang rela berdiri hingga acara usai. Terkadang, mereka juga ikut menyumbang saran dan terlibat berdiskusi. Metode public speaking yang ditawarkan Cak Nun memang sangat menyegarkan, sesekali diselingi humor-humor ringan penuh hikmah yang tentu saja membuat jamaah tertawa.

Saya adalah salah satu dari sekian banyak Jamaah Maiyah yang setia menunggu datangnya hari Jumat minggu kedua setiap bulannya, hari diselenggarakannya Kenduri Cinta yang sampai tulisan ini di buat sudah berlangsung selama 17 Tahun!

Saya adalah satu di antara banyak orang yang senantiasa berharap semoga Cak Nun bisa selalu hadir dalam setiap acara Kenduri Cinta. Dan berharap mendapatkan kunci-kunci berpikir langsung dari Cak Nun yang genuine, yang tidak mungkin didapatkan dari siapapun, di manapun.

Cak Nun adalah guru besar Jamaah Maiyah yang berkali-kali mengatakan bahwa dirinya enggan untuk dipuja secara berlebihan. Meskipun demikian Jamaah Maiyah tidak mungkin bisa menyangkal bahwa Cak Nun yang belakangan mulai banyak disapa dengan sebutan Mbah Nun adalah sosok yang memang sudah seharusnya mendapat penghormatan yang tinggi dan ditakdzimi, bukan hanya oleh Jamaah Maiyah tapi juga oleh seluruh anak Bangsa Indonesia.

Beliau sudah banyak sekali mewakafkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk memikirkan nasib Bangsa Indonesia yang lahir dari rahim Nusantara ini. Banyak ilmu yang beliau buka dan berikan sebagai solusi atas berbagai permasalahan yang silih berganti menerpa anak asuhnya yang bernama Indonesia ini.

Sekarang, ketika kita membuka situs YouTube di internet dan mengetikkan kata kunci “Kenduri Cinta”, maka akan muncul puluhan ribu video yang siap untuk ditonton kapan saja dan di mana saja, syaratnya tidak ribet; kuota internet beserta sinyalnya dan baterai smartphone yang memadai.

Secara logika, ketika orang sudah terbiasa menikmati tayangan video Maiyahan melalui YouTube, maka tidak ada alasan lagi untuk datang langsung ke lokasi dimana Maiyahan berlangsung. Terlebih lagi di Jakarta, di mana Kenduri Cinta dilaksanakan di lokasi yang sangat mudah dijangkau dengan moda transportasi umum.

Mungkin sebagian orang bergumam dalam hati; “Toh isinya sama aja”. Namun pada kenyataannya tidak demikian. Tentu saja aura dan nuansa yang dirasakan sangat berbeda jika dibandingkan dengan datang secara langsung di lokasi Kenduri Cinta di Plaza Taman Ismail Marzuki ini.

Semakin hari jumlah jamaah yang hadir secara fisik di acara Kenduri cinta semakin bertambah. Saya yakin mereka yang hadir merasakan hal yang sama dengan apa yang saya alami, rasa haus akan suasana hangat dan akrab sambil belajar bersama di majelis ilmu Kendiri Cinta.

Salah satu bukti bahwa yang datang ke Kenduri Cinta semakin banyak jumlahnya. Di setiap Kenduri Cinta dilaksanakan, di pinggir jalan raya depan pelataran Taman Ismail Marzuki akan banyak kita jumpai tukang parkir yang menawarkan jasanya dengan meneriakkan kalimat, “Parkir Cak Nun, Oom. Parkir Cak Nun. Di dalam penuh!”