SERIBU BAYANG PRASANGKA

Reportase Kenduri Cinta edisi April 2018

Kejernihan serta ketelitian masyarakat dalam menangkap serta membaca informasi dirasakan terus mengalami penurunan. Acapkali informasi-informasi tanpa validitas kini begitu cepat tersebar luas. Pertentangan pengakuan kebenaran menjadi akibatnya. Informasi yang tak utuh itu membuat tumbuhnya prasangka-prasangka, ditambah lagi kemalasan orang untuk mencari tahu lebih mendalam yang efeknya terjadi disinformasi, sehingga muncul ketidakselarasan serta ketidakharmonisan dalam hubungan sosial kehidupan antar manusia. Forum Maiyah Kenduri Cinta edisi April 2018 mengangkat tema Seribu Bayang Prasangka. Pada tahun 2016, Kenduri Cinta juga pernah mengangkat tema Deformasi Informasi yang memiliki relevansi kuat dengan tema malam itu.

Cuaca Jakarta terik sejak jumat siang, panas matahari terasa menyengat. Namun itu tak banyak dirasakan para penggiat yang sejak siang melakukan berbagai persiapan teknis acara, seperti pemasangan tenda, tata suara dan panggung. Selepas Asar, tim tata suara tiba di lokasi, satu jam kemudian peralatan tata suara telah rapi tertata. Proses check sound pun dilakukan. Menjelang Magrib, Bajaj pengantar alas duduk tiba, satu per satu alas dibersihkan dan digelar. Forum Kenduri Cinta tak muncul tiba-tiba. Penggiat adalah orang-orang di balik layar yang meluangkan waktu dan tenaganya dalam mempersiapkan forum. Tak melulu perkara teknis seperti tata suara, tenda dan karpet, mereka juga menyusun tema dan narasi diskusi.

Penggiat kesenian komunitas, El Bams, sejak sore telah menyiapkan peralatan musiknya. Para personel El Bams melakukan check sound, mencari settingan audio yang tepat, tentu agar penampilan mereka tidak mengecewakan. Beberapa nomor lagu mereka bawakan untuk menemukan pengaturan suara yang tepat dan seimbang. Menjelang Isya jamaah berdatangan. Para penjaja kopi dan makanan ringan mulai tampak menggelar lapak dagangan mereka, tak terkecuali Warung Angkringan yang sudah menjadi salah satu ikon Kenduri Cinta.

Selain para penjaja makanan, tukang parkir pun merasakan keberkahan tersendiri dari pelaksanaan Kenduri Cinta. Halaman parkir Taman Ismail Marzuki seringkali tak mampu menampung kendaraan jamaah, parkir liar di pinggir jalan menjadi solusi yang tak bisa dielakkan. Sebuah papan penunjuk terpampang di pinggir jalan, bertuliskan “Parkir Cak Nun”, tentu saja maksudnya bukan penunjuk lokasi parkir mobil yang dikendarai Cak Nun, melainkan penunjuk bagi jamaah yang sudah tidak kebagian tempat parkir di dalam area Taman Ismail Marzuki. Jamaah ingin bersegera datang di Kenduri Cinta, hal itu agar mereka mendapat tempat nyaman dan ideal.

Menjelang pukul delapan malam, Forum Kenduri Cinta dimulai dengan pembacaan Wirid Tahlukah beserta ru’us-nya. Sekitar 30 menit lamanya jamaah diajak untuk menep sejenak, melantunkan wirid, Yaa Dzal Wabal, Yaa Dzal Adli, Yaa Dzal Qisthi, Yaa Syadiidal ‘Iqob. Suasana terasa syahdu mendayu saat wirid dilantunkan.

Setelah prosesi pembacaan wirid, perwakilan penggiat komunitas, Bukhori dan Tri Mulyana, lantas membuka forum diskusi sesi awal. Pada sesi ini jamaah diberi kesempatan luas untuk merespon tema. “Forum maiyahan bermula dari forum silaturahmi keluarga,” Adi Pudjo menyapa jamaah sembari mengingatkan kembali asal muasal forum PadhangmBulan (cikal bakal forum maiyahan) yang merupakan forum pertemuan keluarga. Berbekal spirit itu, Adi Pudjo meletakkan wadah silaturahmi yang berdasar rasa kekeluargaan sebagai spirit dasar Kenduri Cinta. Seperti yang termaktub pada Surat Al Hujurat ayat 13, bahwa manusia diciptakan, laki-laki dan perempuan, dijadikan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal satu dengan yang lain.

“Hidup itu jangan repot-repot amat. Begitu banyak jalan keluar, begitu banyak ruang untuk bahagia, begitu banyak ruang untuk kuat, begitu banyak ruang untuk yakin dan berdaulat atas diri anda sendiri.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (April, 2018)

Prasangka dan Tipu Daya

Merespons Adi Pudjo, Bukhori membahas kembali materi yang pernah dibahas pada Kenduri Cinta lalu, yaitu tentang kejernihan informasi yang didasarkan pada udzunul yaqin, ‘ainul yaqin, ‘ilmul yaqin dan haqqul yaqin. “Prasangka muncul karena kita belum mengalami,” tambah Amien Subhan. Menurutnya, dalam prasangka terdapat rasa ingin tahu, “Prasangka itu urusannya hanya benar dan salah, tapi pada tahap berikutnya akan menghasilkan suka dan benci. Sehingga, ketika menyukai seseorang yang kita munculkan hanyalah hal-hal yang benar dari orang itu, sementara hal-hal yang salah akan selalu disembunyikan.”

Pramono Abadi ikut menambahkan dengan membubuhkan pengalamannya di dunia professional. Risk Management melatih para pekerja untuk lebih peduli terhadap pekerjaan yang ia tekuni, di Kenduri Cinta ini pula, bagi Pramono, merupakan arena dimana melatih diri untuk seimbang dalam berprasangka. Seperti ungkapan dari Sun Tzu bahwa peperangan itu dipenuhi tipu daya. Tipu daya sebenarnya juga bersumber dari prasangka-prasangka itu sendiri.

Dua jamaah lantas merespon. Habibie menyatakan bahwa prasangka itu bergantung pada input yang ada dalam diri. Baginya, yang sulit dilakukan hari ini adalah menemukan filter prasangka sehingga output dari prasangka dapat menuju kebaikan. Lain dengan Budi, ia mengakui bahwa terhadap Cak Nun sendiri pada awalnya ia berprasangka. Melalui tulisan-tulisan Cak Nun, ia berprasangka bahwa Cak Nun hanyalah penulis. Namun, dalam kurun tiga bulan terakhir, Budi menemukan sosok Cak Nun yang lain. Ia pun menyimak video-video maiyahan yang banyak tersebar di Youtube. Baginya, Cak Nun merupakan sosok yang tulus dan ikhlas. Ia pun tanpa segan menyatakan Maiyah adalah rumahnya, Maiyah adalah tempatnya. “Ini tempat gue!!” teriak Budi lantang.

Memberi jeda diskusi, Reza, seorang pelaku seni pantomim malam itu menampilkan keahliannya berpantomim dengan melibatkan beberapa jamaah Kenduri Cinta. Pertunjukan apik ditampilkan Reza. Dengan dandanan ala aktor pantomim, dilengkapi dengan peci Maiyah, Reza menghibur jamaah malam itu. Reza, jamaah Kenduri Cinta, menggeluti pantomim sejak tahun 2013. Setelah penampilan Reza, Raras Ocvi bersama adiknya Ranu kemudian turut menampilkan nomor-nomor lagu yang tak kalah apiknya. Lagu-lagu seperti Zona Nyaman, Dari Mata dan Semusim dinyanyikan Raras dan Ranu, menghangatkan suasana.

Tri Mulyana dan Sigit lantas tampil memoderasi diskusi sesi berikutnya. Tampil juga Mathar Kamal, Ali Hasbullah dan Fahmi Agustian. Berpijak pada hadits qudsi, ana ‘inda ‘abdii bii, Mathar menuturkan bahwa Allah berendah hati memperlakukan diri-Nya berdasarkan prasangka hamba-hamba-Nya terhadap diri-Nya. Allah sebagai Rabb mewujudkan eksistensi diri-Nya memperkenalkan diri-Nya atas dasar inisiatif-Nya. Karena memang sejatinya manusia tidak akan mampu mengenal Allah kecuali Allah sendiri yang memperkenalkan diri-Nya. “Kalau anda tidak mau berprasangka, maka berhentilah berpikir,” lanjut Bang Mathar.

Fahmi Agustian menyambung, Alquran sebenarnya telah membekali kita panduan-panduan dengan sangat lengkap. Pada Surat At-Thoha ayat 2, Allah menjelaskan bahwa sesungguhnya Alquran diturunkan bukan dalam rangka menyusahkan manusia. Sebelum Nabi Muhammad Saw diutus menjadi Rasul, ada banyak prasangka manusia terhadap Tuhan. Bahkan nama-nama Tuhan pun dikarang oleh manusia sedemikian banyaknya. Alquran diturunkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad Saw, salah satunya adalah dalam rangka Allah memperkenalkan diri-Nya. Allah sendiri yang memperkenalkan nama Allah itu kepada manusia. Sehingga, turunnya Alquran adalah fakta dari prasangka-prasangka manusia sebelumnya tentang Tuhan itu sendiri.

“Maiyah mengajak kita untuk kembali kepada kesejatian dan kemurnian agama.”
Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (April, 2018)

FAHMI AGUSTIAN lantas menyampaikan penuturan Cak Nun saat mampir ke Forum Reboan Kenduri Cinta beberapa hari sebelumnya. Di hadapan para penggiat, Cak Nun sampaikan; antara khusnudzon dan suudzon itu harus berdialektika dan berjalan seimbang, karena kita tak terlatih waspada jika terlalu banyak ber-khusnudzon, sementara jika lebih sering ber-suudzon, maka kita akan berlaku sembrono, melihat segala sesuatu dari sisi buruknya saja.

Prasangka demi prasangka banyak menjadikan orang semakin mendewakan kebenaran yang mereka yakini. Perdebatan-perdebatan yang terjadi di media sosial hari ini lahir karena prasangka manusia yang berbeda satu sama lain, sementara masing-masing tidak memiliki kebiasaan untuk rendah hati, menghormati pendapat orang lain, sehingga yang terjadi semua merasa saling benar sendiri. “Semua ini terjadi karena kita mendapatkan informasi dengan cara yang instan,” tutup Fahmi.

Setelahnya, Ali Hasbullah, penggiat yang sebelumnya mengikuti Maiyah Mandar yang bertajuk “Manaraturrahmah”, berbagi cerita dengan jamaah tentang pengalamannya bersilaturahmi dengan saudara-saudara Maiyah di Mandar, Sulawesi Barat. Pada 9-10 April 2018 lalu, Cak Nun bersama KiaiKanjeng menghadiri undangan di Mamuju dan Majene. Pada sela-sela perjalanan, Cak Nun bersama KiaiKanjeng berkunjung ke Mandar, dan bersilaturahmi ke kediaman Bunda Cammana.

Persambungan Cak Nun dengan Bunda Cammana dan masyarakat Mandar telah terjalin erat sejak tahun 80-an. Alm Alisyahbana dahulu mengajak Cak Nun datang ke Mandar, kemudian bersama Pak Nevi Budiyanto KiaiKanjeng merintis berdirinya Komunitas Teater Flamboyant di Mandar. Perjalanan Mandar adalah perjalanan yang panjang, sebab belum adanya akses pesawat hingga Mandar. Setelah mendarat di Makassar rombongan harus melanjutkan perjalanan dengan transportasi darat yang memakan waktu hingga 13 jam lamanya.

Yang berkesan bagi Ali Hasbullah adalah ketika berkunjung ke kediaman Bunda Cammana. Secara langsung Ali melihat bagaimana orkestrasi sholawatan dengan rebana yang dipertunjukkan Bunda Cammana bersama anak didiknya, berbalas sholawat dengan Cak Nun dan KiaiKanjeng. Peristiwa yang menyentuh hati, bagaimana mereka di Mandar mampu mempertahankan tradisi sholawatan, mengungkapkan kecintaan kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw.

“Orang seperti Bunda Cammana adalah orang yang sudah tidak memiliki prasangka,” ungkap Ali. Apa yang dilihatnya di Mandar menunjukkan bahwa Bunda Cammana juga merupakan manusia yang sudah selesai dengan dirinya dan dunia. “Pertemuan antara Cak Nun dengan Bunda Cammana adalah pertemuan yang tanpa prasangka. Pertemuan yang terjadi setelah memendam kerinduan, ber-sholawat bersama kepada Rasulullah Saw,” Ali melanjutkan. Antara Cak Nun dengan Bunda Cammana sudah tidak ada lagi diskusi, yang ada hanyalah ritual sholawatan, kemudian menangis bersama, tenggelam dalam kekhusyukan ber-sholawat pertemuan hamba-hamba Allah yang sangat mencintai kekasih-Nya yaitu Rasulullah Saw.

Satu hal yang digarisbawahi oleh Ali Hasbullah, Cak Nun menyampaikan dihadapan teman-teman Maiyah di Mandar bahwa persambungan Maiyah merupakan suatu hal yang wajib disyukuri. Dengan Maiyah, kita memiliki saudara dimana-mana, di berbagai daerah, semuanya tersambung dalam frekuensi sama dalam persaudaraan yang tulus dan ikhlas, Al-Mutahabbiina Fillah.

“Dari Bunda Cammana kita belajar tentang kesetiaan dan kesungguhan beliau mencintai Rasulullah Saw. Berada jauh di ujung Sulawesi, ada manusia-manusia yang tulus dan ikhlas membumikan sholawatan,” Fahmi menyambung cerita Ali. Bunda Cammana menjalani kehidupan dengan sederhana. Baginya, hidup adalah mencintai Nabi Muhammad Saw. Hari ini, 85 tahun usia beliau, sepenuhnya disedekahkan untuk mengajarkan nilai-nilai Islam di Mandar.

“Mantaplah dengan yang kamu lakukan, Tuhan akan menolongmu, Tuhan akan membahagiakanmu, Tuhan akan menjauhkanmu dari yang menyedihkanmu. Anda percaya itu.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (April, 2018)

HAKIKAT RUANG KOSONG

Malam itu, Aminullah dari Bangbang Wetan juga turut hadir. Bangbang Wetan merupakan komunitas simpul maiyah di Surabaya. “Kita (di Maiyah) ini sudah menjadi saudara meski tanpa hubungan darah,” ucap Amin. Persaudaraan yang terbangun di Maiyah tulus dan ikhlas, sehingga menjadi awet. Kemanapun kita berkunjung, jika bertemu teman-teman Maiyah, akan disambut hangat, seperti yang dirasakan Ali Hasbullah saat ke Mandar.

Di tengah diskusi, Cak Nun bergabung ke forum. Sigit dan Tri Mulyana lantas menyampaikan resume diskusi. Cak Nun menyapa, “Sebenarnya mau prasangka, mau nggak prasangka, mau benci, nggak benci bukan itu masalahnya. Yang penting output-nya anda tidak menipu orang, output-nya anda tidak mengganggu hak pinjaman Allah kepada makhluk-Nya, yang penting anda tidak menyakiti siapa-siapa, yang penting anda tidak mencuri, yang penting anda tidak menipu, dan sebagainya. Inputnya mau prasangka, monggo, mau fakta, monggo. Sebab kalau anda mengejar prasangka, nanti anda akan menemukan bahwa anda tidak akan mampu mengejar prasangka.”

Cak Nun malam itu menyoroti kata “bayang”. Sebagai orang Jawa Timur, Cak Nun memahami bahwa bayang adalah ranjang, dipan atau tempat tidur. Pada bagian bawah bayang terdapat longan yaitu ruang kosong dibawahnya. Ada nuansa yang berbeda ketika seseorang tidur diatas ranjang yang ada longan-nya daripada tidur diatas ranjang yang tidak ada kolong tempat tidurnya. Cak Nun bercerita, ketika Alm. Rendra tampil pada pementasan Bengkel Teater, jika ia duduk diatas kursi yang ada kolong di bawahnya, ia mendapat asupan energi yang lebih. Secara akademis, ini belum ada penelitiannya, tetapi secara nuansa, menurut Cak Nun, keduanya sangat berbeda.

Tentang hidup dan mati saja orang masih penuh dengan prasangka. “Manusia betul-betul bodoh terhadap kematian, mereka malas memikirkan kehidupan yang sejati karena mereka tidak pernah paham tentang kematian. Mereka menyangka akan mati, padahal anda tidak akan mati selama janji Tuhan masih dipenuhi, anda hidup abadi,” lanjut Cak Nun.

Seperti layaknya komposisi lagu dimana letak keindahannya terdapat pada ruang kosong, baik itu partitur susunan nada-nadanya, maupun pada saat syair dinyanyikan. Indonesia Raya misal, pada bait pertama ada ruang kosong antara indone dan sia, juga ketika pada kata air dan ku. Jika ruang kosong itu dihilangkan, maka eseteika dan keindahan lagu Indonesia Raya akan hilang. Begitu juga ketika seorang qori’ melantunkan ayat Alquran, selalu ada jeda ruang pada saat ia membaca kalam Ilahi. Ruang-ruang kosong itulah yang menjadi keindahannya. Diantara jeda ayat satu dengan yang lainnya akan tampak mental, psikologi, moral sang qori’ tersebut.

“Kalau anda seorang komponis, anda akan mengerti betapa pentingnya pause atau kosong di tengah suara atau nada,” tambah Cak Nun melanjutkan. Dalam tataran tasawuf, seseorang akan menemukan bahwa diri itu sejatinya tidak ada, karena sebenarnya manusia ini hanya di-ada-kan oleh Allah, dimana sejatinya tidak ada selain Allah.

Lebih dalam lagi, segala sesuatu di dunia ini adalah prasangka. Cak Nun mengingatkan agar kita tak terjebak pada prasangka-prasangka. Bahkan sejatinya, semua informasi di dunia ini (kecuali informasi yang datang langsung dari Allah) adalah informasi yang berdasarkan kesepakatan-kesepakatan. Kita menyebut Hendra sebagai nama orang karena sebelumnya orang tuanya bersepakat memberi nama Hendra. Jika dulu bersepakat memberi nama Parjo, maka ia akan dipanggil Parjo. Begitu juga dengan benda-benda dan makhluk-mahkluk yang ada di dunia, semua istilah adalah kesepakatan-kesepakatan.

“Bekal utama manusia itu bukan ilmu, tetapi tawadhlu’, rendah hati dan tahu diri. Bahasa jawanya biso rumongso bukan rumongso biso,
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (April, 2018)

Pada kesempatan malam itu, Cak Nun mengingatkan agar kita tidak terjerumus pada perdebatan antara fiksi atau non fiksi, antara prasangka atau fakta. Input-nya bisa apa saja, namun fokus utamanya adalah apa dan bagaimana output-nya, apakah untuk kebaikan bersama atau tidak. “Terserah kamu bodoh, ndak masalah, yang penting kamu baik,” jelas Cak Nun.

Sebelum memasuki sesi berikutnya, Cak Nun mempersilakan kelompok musik El Bams membawakan lagu-lagu mereka. Malam itu, El Bams menampilkan karya KiaiKanjeng, meskipun alat-alat musik mereka tidak seperti KiaiKanjeng yang ada gamelannya, El Bams mampu menampilkan nomor-nomor seperti Hasbunallah, Duh Gusti dan Rampak Osing dengan sangat apik.

Setelah penampilan El Bams, Cak Nun mengajak Syeikh Nursamad Kamba, Ustadz Wijayanto dan Iwan Iswan untuk turut berbagi di forum. Cak Nun melambari, “Masalah-masalah di Indonesia, dimana kita saling melaporkan ke polisi, saling menggugat, seluruh kesalahpahaman dan silang sengkarut antara kebenaran dengan tidak benar, antara prasangka, fiksi, fakta dan seterusnya itu, sebenarnya petunjuk dari Allah bahwa kita harus belajar bersama, harus sinau bareng. Masalahnya, kita ini sinau saja sudah tidak mau karena merasa sudah mengerti kebenaran. Sementara kita disini sangat meyakini bahwa kebenaran itu min robbika, kebenaran itu hanya ada pada diri Allah.”

“Bekal utama manusia itu bukan ilmu, tetapi tawadhlu’, rendah hati dan tahu diri. Bahasa jawanya biso rumongso bukan rumongso biso,” lanjut Cak Nun. Sementara kita melihat hari ini di Indonesia yang terjadi adalah pementasan parade rumongso biso. Cak Nun mengingatkan bahwa kita jangan sampai memiliki sifat rumongso biso, jangan sampai memiliki sikap merasa paling benar. Di Kenduri Cinta kita belajar menyajikan masakan, bukan enak atau tidak enaknya melainkan ketulusan dan keikhlasan hati kita ketika memasaknya.

Cak Nun mentadabburi Surat Al-Hujurat ayat 12, disebutkan inna ba’dhlo dhzonni itsmun, sebagian dari prasangka itu adalah dosa. Dari ayat itu, kita belajar bahwa dengan berprasangka saja kita sudah berdosa. Selain itu, ada kalimat walaa tajassasu, ayat ini mengajarkan kita untuk tidak menjadi “intel” bagi orang lain, kecuali dalam rangka untuk menunjukkan apresiasi dan empati kepada orang lain. Dalam ayat itu juga terdapat peringatan agar manusia tidak menggunjing satu sama lain, diibaratkan Allah, barangsiapa yang mempergunjingkan orang lain itu sama saja dengan memakan bangkai saudaranya sendiri.

Cak Nun mengapresiasi penampilan El Bams saat membawakan nomor KiaiKanjeng. Dua nomor lainnya juga tak kalah bagusnya. Variasi musik yang ditampilkan secara tidak langsung juga melatih jamaah untuk memiliki kepekaan lipatan berpikir. Bahwa memandang persoalan itu tidak hanya dengan cara pandang linier, melainkan zig-zag, siklikal, juga thawaf.

Ketika kita mendapati orang bersalah, jalan terbaiknya adalah dengan menghukumnya, bukan dengan memperhinakannya. Orang yang berbuat salah lantas menjalani hukuman merupakan sebuah perbuatan yang benar. Orang salah dihukum merupakan persitiwa kebaikan. Justru, apabila ada orang yang salah tidak dihukum, maka akan menjadi salah kuadrat.

Sebuah hadits qudsi berbunyi: ana ‘inda dhzonni ‘abdi bii, Aku berlaku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Allah sendiri dengan rendah hati menyesuaikan diri-Nya sesuai persangkaan hamba-Nya. Titik baliknya, patuh terhadap apa yang dikehendaki Allah, sebagai hamba Allah, atas dasar cinta kita kepada Allah kita taati kemauan Allah.

“Kita harus belajar bersama, harus sinau bareng. Kebenaran itu min robbika, kebenaran itu hanya ada pada diri Allah.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (April, 2018)

HIDAYAH MAIYAH

Waktu terus berjalan, tak terasa telah lewat tengah malam. Jamaah terlihat makin memadat. Pada kesempatan berikutnya, Cak Nun mengajak jamaah untuk menyampaikan prasangka-prasangkanya terhadap diri Cak Nun, “Temukan berapa fakta yang sejati dan benar menurut dirimu tentang saya sehingga anda datang kesini, dan berapa prosentase prasangkamu terhadap saya? Saya ingin kita memprasangkai diri kita sendiri sehingga kita menemukan kesejatian dalam komunikasi kita ini.” Tiga jamaah diberi kesempatan merespon Cak Nun.

Adi, dari Ragunan, memiliki pandangan bahwa beberapa kali Cak Nun memberi ungkapan yang menurutnya adalah sebuah kebohongan publik. “Kebohongan publiknya itu ketika Mbah Nun berkata begini: saya bukan ahli, saya bukan ulama,” jelas Adi sembari mempertanyakan indikator seseorang disebut ahli atau ulama, “Apakah seorang ahli pertanian itu adalah aarjana yang lulus dari IPB atau ahli pertanian adalah mereka yang sehari-hari mencangkul di sawah?”

“Kebenaran atau kebohongan itu tidak pada kalimat saya, tetapi pada maqom kalimat saya di suatu keadaan, ngerti ya?” Cak Nun merespon. “Kalau Nabi Yunus A.S mengatakan laa ilaaha illa anta subhanaka inni kuntu mina-dzalimiin, anda jangan lantas menyimpulkan bahwa Nabi Yunus adalah orang yang zalim. Karena tidak terletak pada kata-katanya itu, tapi terletak pada bahwa posisi dia putus asa, sehingga Allah menghukum dengan dimasukkan ke dalam perut ikan, itu dia menemukan bahwa dirinya adalah orang yang zalim kepada dirinya sendiri. Sebagaimana Nabi Adam A.S ketika dia merasa salah karena ditipu oleh Iblis, yang disangkanya malaikat, kemudian turun ke bumi, ia mengatakan: robbana dhzolamna anfusana wa in lam taghfirlanaa latarhamnaa lanakunannaa minal khasiriin. Jangan lantas disimpulkan Nabi Adam mengaku bahwa dia adalah orang yang zalim,” Cak Nun menjelaskan. Seperti halnya ketika Chairil Anwar menulis puisi “Aku adalah binatang jalang” tidak lantas kemudian kita menyebut Chairil Anwar adalah binatang. “Langit-bumi itu perjalanan ulang-alik kita terus-menerus, jangan menyeram-nyeramkan langit di bumi, dan jangan menyeram-nyeramkan bumi di langit. Mari kita berada di tengah-tengah, berada di dalam kefanaan hidup ini,” tutur Cak Nun.

Lawren Li, jamaah perempuan yang menyimak Cak Nun melalui video-video di Youtube mempersangkakan Cak Nun sebagai sosok kakeknya. “Bukan cuma Mbah Nun, tapi teman-teman semua disini menjadi keluarga buat saya,” ucap Li yang merasa di Kenduri Cinta ia diterima sebagai manusia, tanpa ada yang menolaknya seperti yang ia rasakan ketika datang di komunitas lain. Li bersama para sahabatnya memelihara anjing-anjing liar, itu ia lakukan sebab populasi anjing sudah over populated. Li, yang notabene seorang muslim, sering mendapat cibiran karena memelihara anjing-anjing liar di rumahnya. Li memiliki cara pandang, bahwa menyelamatkan anjing liar itu sama dengan menolong makhluk Allah, karena anjing juga berhak untuk hidup di dunia.

“Ada kisah-kisah indah seperti seorang pelacur yang dimasukkan surga karena ia memberi minum anjing yang haus,” Cak Nun merespon. “Bahwa kalau kena air liur anjing dibersihkan dengan air dan debu, itu soal prosedur. Pasti ada jawaban medisnya, pasti ada jawaban higienisnya.”

“Apakah kalau sesuatu diharamkan kemudian anda membencinya?” tanya Cak Nun. Sesuatu yang diharamkan disebut mahram. Seorang adik tidak boleh menikahi kakaknya, sifatnya adalah mahram. Tetapi bukan lantas sang adik membenci kakaknya. Begitu juga babi, hukum haram untuk dikonsumsi tidak lantas kita membenci babi. Perhatikan proporsi kita saat menempatkan sesuatu. Babi haram pada wilayah ketika kita mengkonsumsi dagingnya. Najisnya anjing adalah pada air liurnya.

“Berdaulatlah dengan dirimu, berani! Saya ini melakukan yang tidak seperti siapapun selama hidup, dan saya difitnah, dibenci sampai hari ini. Dan saya tidak ada masalah. Semakin kita dibenci, semakin kita punya peluang untuk mendoakan agar Allah memaafkan orang yang membenci kita,” tegas Cak Nun.

“Tugas agama paling mendasar adalah menjemput manusia untuk menuju kepada Tuhan, supaya bisa menjalani kehidupan secara tulus dan sejati.”
Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (April, 2018)

Merespon Cak Nun, selanjutnya jamaah bernama Budi diberikan kesempatan mengutarakan prasangkanya. “Saya ini pelaku prasangka, Cak,” Budi mengawali. Dulu, ia menganggap Cak Nun hanya penulis dan penyair. Dalam kurun 3 bulan terakhir, Budi menyimak video-video maiyahan melalui Youtube. Budi bahkan pernah menghabiskan waktu seharian untuk sekadar video Cak Nun pada sebuah acara maiyahan. Hingga Budi sampai pada kesimpulan bahwa Cak Nun adalah orang yang tulus dan ikhlas. Penampilan Budi yang bertato seperti preman, seringkali membuatnya merasa tidak diterima dan tidak nyaman ketika datang di tempat lain. Budi merasa Kenduri Cinta adalah tempatnya. Ia bertemu orang-orang baik di Kenduri Cinta.

“Kepada Mas Budi, anda mengantarkan saya kepada kalimat Alquran: laa yamassuhu illa-l-muthohharuun. Al-Muthohhar itu artinya orang-orang yang disucikan oleh Allah. Barangsiapa belum disucikan oleh Allah, dia tidak akan bisa bersentuhan dengan Maiyah. Kalau orang sudah datang ber-Maiyah, seperti Anda, berarti anda sudah disucikan,” Cak Nun merespon.

Iwan turut merespon, “Saya sendiri berprasangka kepada Cak Nun, tetapi saya terlempar dengan sendirinya berkenalan dengan Cak Nun melalui puisi, cerpen, panggung-panggung teater, cermin, juga buku-bukunya, sampai saya sendiri dibuka hijabnya oleh seseorang bahwa Cak Nun ini bukan orang biasa. Walaupun beliau selalu mengaku orang biasa.”

Iswan bercerita, di tahun-tahun awal persinggungan dengan Cak Nun, bersama Rizal, alm. Andi Priok dan teman-teman Hammas (Himpunan Masyarakat Sholawat), mereka berkeliling kampung-kampung di Jakarta. Cak Nun membekali Iswan dengan Surat Al-Kahfi ayat 6, Fala’allaka baakhi’un nafsaka ‘alaa aatsarihim in lam yu’minuu bihaadza-l-hadiitsi asafaa. Dari ayat itu Iswan belajar bahwa jangan bersedih ketika menghadapi orang-orang yang ingkar terhadap Allah. “Saya sudah sampai pada kesimpulan bahwa ideologi sudah hilang,” jelas Iswan sambil menjelaskan lebih dalam bahwa ideologi-ideologi seperti sosialis, komunis, liberalis dan sebagainya sudah hilang, ideologi yang ada saat ini adalah kapitalis.

“Tidak ada manusia bisa dimuat oleh ideologi, tetapi berbagai macam ideologi bisa menjadi bahan pertimbangan bagi setiap manusia,” Cak Nun merespon Iswan. Maiyah sangat liberal, tidak ada yang lebih liberal dari Maiyah. Semua orang datang, berkumpul dan bersaudara satu sama lain di Maiyah. Tidak ada laki-laki dan perempuan di Maiyah, karena semua adalah manusia, semua adalah hamba Allah, semua adalah saudara satu sama lain. Radikal, liberal, moderat, konservatif bergantung pada momentumnya. Ketika memilih istri misalnya, laki-laki harus radikal, hanya memilih satu dari sekian perempuan untuk dinikahi. Ketika salat, kita tidak boleh menawar kepada Allah, mengerjakan apa yang diperintahkan. Begitu juga bernegara, ada momentumnya untuk berlaku radikal, liberal maupun konservatif. Sepak bola saja ada berbagai macam strategi, bahkan strategi yang direncanakan di ruang ganti pemain bisa berubah 100% di lapangan. “Hidup itu tidak seperti yang anda rencanakan,” lanjut Cak Nun.

“Maiyah bukan karya saya. Ini hidayah, fadhillah dari Allah Swt,” Cak Nun menegaskan bahwa manusia tidak dapat memastikan apa yang terjadi akan sesuai dengan apa yang direncanakan. “Rumusnya sederhana; fa idza faroghta fanshob wa ilaa robbika farghob,” Cak Nun berpesan agar jamaah menekuni pekerjaannya, hingga menjadi ahli.

Maiyahan melatih kita hidup di surga. Karena apa yang kita alami, apa yang kita persangkakan indah di dunia belum tentu ada di surga. Sementara kita di Maiyah, kita sudah mampu meremehkan dunia. Bukan berarti kita tidak membutuhkan dunia, melainkan kita sudah memahami proporsinya. Bahwa dunia hanya sebagian kecil hak bagi kita, tetapi fokus utama kita adalah akhirat. Wabtaghiy fiima atakallahu daarul aakhiroh, walaa tansa nashiibaka mina dunya.

 

 

“Langit-bumi itu perjalanan ulang-alik kita terus-menerus, jangan menyeram-nyeramkan langit di bumi, dan jangan menyeram-nyeramkan bumi di langit. Mari kita berada di tengah-tengah, berada di dalam kefanaan hidup ini.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (April, 2018)

“Jadilah manusia wajib yang menyebabkan jika tidak ada anda, rusak itu pekerjaan yang sedang anda tekuni,” pesan Cak Nun. Menjadi garam seolah-olah hanya garam, tetapi jika tidak ada garam, hancurlah bisnis kuliner. “Anda menjadi dirimu, pakar sebagai dirimu dengan pekerjaanmu dan profesimu, sehingga lingkunganmu tidak bisa meninggalkanmu, itulah manusia wajib,” Cak Nun mempertegas dengan kalimat “Wa illa robbika farghob” dimana hati kita terus tersambung dengan Allah.

“Saya meniatkan belajar kepada Nabi Nuh A.S dan Nabi Muhammad Saw,” Cak Nun melanjutkan. Forum Maiyahan tidak diniatkan dalam rangka pamrih apapun terhadap dunia, jika prasangka yang digunakan adalah prasangka materialistik duniawi, maka forum Kenduri Cinta ini tidak bisa didefinisikan. Mereka yang datang tidak semua berpenampilan santri layaknya pengajian, tidak juga berpenampilan seperti intelektual muda layaknya seminar, meskipun ada penampilan musiknya namun mereka tidak pernah merencanakan bahwa mereka akan menikmati lagu-lagu yang dimainkan, sementara ketika mereka diajak sholawatan ternyata juga fasih ber-sholawat.

Yang dimaksud Cak Nun belajar kepada Nabi Nuh dan Nabi Muhammad Saw adalah ketika Abu Bakar dan Nabi Muhammad Saw suatu hari terjebak di Gua Tsur, dikejar-kejar oleh kaum kafir Quraisy, Abu Bakar begitu takut. Bukan kematian yang ditakutkan oleh Abu Bakar, melainkan karena Abu Bakar menyadari bahwa Nabi Muhammad Saw adalah kekasih Allah. Abu Bakar takut seandainya kekasih Allah yang ia damping itu tersakiti baik fisik maupun hatinya, seluruh manusia akan menanggung akibatnya jika kekasih Allah disakiti.

Begitu juga dengan Nabi Nuh A.S, bahkan istrinya sekalipun kafir terhadap Allah. Kita harus mencari pelajaran, hikmah yang terbaik dari persoalan yang kita hadapi. Cak Nun berpesan bahwa diri kita harus lebih besar dari masalah yang kita hadapi, kita harus berlaku takabbur terhadap masalah-masalah. “Takabbur kepada manusia itu tidak boleh, tetapi takabbur kepada masalah itu harus. Anda harus lebih besar dari masalahmu,” pesan Cak Nun. “Allah ndak masalah orang pada kafir. Seluruh bumi, seluruh alam semesta, sampai andaikanpun malaikat tidak ya’malu maa yu’maruun, malaikat tidak taat kepada perintah Allah, apakah Allah rugi?” tak lelah Cak Nun mengulangi.

“Saya memperbanyak orang-orang yang berkumpul untuk mencintai Tuhan. Berkumpul untuk menjadi kekasih Allah, bersaudara secara Al Mutahabbiina Fillah, meskipun bukan satu profesi, bukan satu hubungan darah, bukan siapa-siapa, bukan satu daerah, tetapi bersaudara murni karena Tuhan, maka anda menjadi Al-Mutahabbiina Fillah, anda menjadi kekasih Allah,” Cak Nun memperjelas niatan utama maiyahan adalah menghimpun sebanyak mungkin kekasih Allah.

Berikutnya, Ustadz Wijayanto yang malam itu turut hadir berbagi di Kenduri Cinta. “Pertama, kita syukuri dulu karena Allah memilih kita untuk duduk di Kenduri Cinta,” dengan gaya khasnya yang jenaka, Ustadz Wijayanto menjelaskan berbagai hikmah dan kisah, “Beruntunglah karena Allah tidak memilih berdasarkan kepandaian, kekayaan, kecantikan, ketampanan dan sebagainya, tetapi Allah memilih karena ketulusan jiwa dan keikhlasan hati.”

Ustadz Wijayanto malam itu juga menjelaskan bahwa segala sesuatunya dalam Islam itu ada momentumnya, ada illat-nya. Seperti halnya Alquran, sebuah ayat diturunkan ada asbabun nuzul-nya, dan hadits disampaikan oleh Rasulullah Saw ada asbabul wurud-nya.

Setelah ustadz Wijayanto membagikan kisah-kisah hikmahnya, Komunitas Orang Indonesia (Oi) lantas tampil ke panggung membawakan dua nomor lagu karya Iwan Fals.

“Tidak bisa anda memandang kemana pun kecuali berjumpa dengan Allah. Tidak bisa anda mendengar apapun, merasakan apapun, melakukan apapun tanpa berjumpa dengan Allah
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (April, 2018)

ALLAH, TUAN RUMAH DAN PENGASUH

“Sesungguhnya isi kandungan Alquran adalah perilaku dan prinsip hidup Rasulullah Saw,” Syeikh Nursamad Kamba mengawali paparannya malam itu. Jamaah terlihat khusyuk. Mengutip ayat di Alquran: wa zidnaahum hudaa wa robathnahum ‘ala quluubihim, Syeikh Kamba jelaskan Maiyah merupakan hidayah dari Allah dan hidayah itulah yang mengikat setiap individu yang datang. Orang-orang yang datang ke Maiyah mendapat energi lebih, karena mereka hadir atas dasar hidayah dari Allah Swt. “Kata Allah, Kami yang memberi petunjuk berupa hidayah kepada mereka, dan kami yang mengikat mereka,” Syeikh Kamba menerjemahkan.

Rasa persaudaraan yang semakin mendalam di Maiyah menjadi bukti bahwa Maiyah adalah hidayah. Kebersamaan dan persaudaraan yang kita rasakan adalah kebersamaan yang terbangun secara alami, bukan rekayasa. Menurut Syeikh Kamba, apa yang kita alami di Maiyah ini hampir sama dengan apa yang dialami masyarakat Madinah pada saat Rasulullah Saw datang dari Mekkah. Bagaimana Rasulullah Saw mempersaudarakan masyarakat Madinah asli dengan pendatang, kemudian bersinergi bersama.

Syeikh Kamba lantas mengelaborasi istilah sabiil, thoriq, syari’, shiroth. Menurut Syeikh Kamba, hanya Cak Nun yang mampu menjelaskan 4 istilah itu dalam pemahaman yang mudah. Syeikh Kamba kemudian bercerita bagaimana sejarah Shohibu Baity disusun dan dikonfirmasikan oleh Cak Nun kepada Syeikh Kamba. Maiyah hari ini menurut Syeikh Kamba adalah sebuah metode yang menawarkan pembaharuan cara beragama. Bukan berarti Maiyah akan melahirkan agama baru, namun Maiyah memberikan metode bagaimana memahami agama dengan sesungguhnya.

“Tugas agama paling mendasar adalah menjemput manusia untuk menuju kepada Tuhan, supaya bisa menjalani kehidupan secara tulus dan sejati. Agama itu menjemput manusia untuk menemukan jati dirinya, karena itu di masa Rasulullah Saw agama tidak menjadi institusi,” jelas Syeikh Kamba, “Kehidupan beragama manusia saat ini semakin menjauh dari kesejatian agama itu sendiri, karena sekarang ini begitu banyak institusi-institusi agama yang dilahirkan oleh manusia, yang berakibat pada kesempitan pemahaman manusia dalam beragama.” Syeikh Kamba mengkritisi bagaimana masyarakat dipahamkan tentang agama dengan ancaman-ancaman, bukan dengan pendekatan persuasif. Syeikh Kamba mengakui Cak Nun menjelaskan agama dengan cara-cara persuasif. Sehingga, ia meyakini bahwa Maiyah adalah amsal dari Wa robathnahum ‘alaa quluubihim, setiap yang hadir d Maiyah diikat oleh hidayah Allah.

“Tidak bisa anda memandang kemana pun kecuali berjumpa dengan Allah. Tidak bisa anda mendengar apapun, merasakan apapun, melakukan apapun tanpa berjumpa dengan Allah,” Cak Nun menyambung Syeikh Nursamad Kamba. Menurut Cak Nun, tradisi yang dilakukan manusia selama berabad-abad pasca Rasululah Saw adalah meletakkan Allah selalu pada posisi di luar dari diri manusia. Allah diposisikan sebagai pihak ketiga dalam hidup manusia. Syair Shohibu Baity keberangkatannya adalah estetika Jawa. Karena Cak Nun ingin hubungan dengan Allah itu tanpa jarak, Shohibu Baity maksudnya adalah menjadikan Allah sebagai tuan rumah dalam diri sendiri, menyadari bahwa di dalam diri manusia adalah Allah.

“Kalau tuan rumah di dalam jiwaku adalah Allah, maka aku ngomong apapun, aku berbuat apapun sesungguhnya adalah Allah yang mentransfer diri-Nya keluar dari dalam diriku”, lanjut Cak Nun. Maiyah ini dalam rangka mengajak manusia untuk mendekat kepada Allah. Nabi Musa diutus dan diberi mandat bukan untuk menggantikan Fir’aun namun untuk menciptakan momentum bersama Fir’aun untuk menjadi pedoman bagi manusia generasi berikutnya agar tidak berlaku seperti Fir’aun yang menomorsatukan nafsu dan keinginan hatinya untuk melakukan sesuatu. “Kita tidak melakukan apapun kecuali atas perintah Allah,” tegas Cak Nun.

“Setiap anda, jangan hanya bekerja untuk mencari uang. Tetapi cintailah pekerjaanmu, sayangilah pekerjaanmu, syukurilah pekerjaanmu, dan tekunilah sampai engkau benar-benar ahli, menjadi tuan rumah dari pekerjaanmu.
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (April, 2018)

Pada penghujung acara, Cak Nun memberi bekal jamaah untuk mempelajari surat Quraisy: Li iilaa fii quraisy, iilaa fihim rihlatasy-syitaa I wa-sh-shoif, falya’budu robba haadza-l-baiit alladzii at’amahum min juu’I wa aamanahum min khoufi. Asbabu nuzul surat ini dijelaskan Cak Nun adalah tradisi orang Quraisy yang selalu bepergian ketika berganti musim, secara konteks tampak bahwa masyarakat Quraisy saat itu selalu menghindar dari ketetapan Tuhan.

“Saya tidak mau melakukan sesuatu yang menghabiskan energi saya, karena tuan rumahku adalah Allah,” Cak Nun menjelaskan mengapa kita betah berlama-lama Maiyahan yaitu karena Maiyah menghimpun energi. “Anda bermaiyah ini mengapa tidak habis energinya, karena Anda disini menghimpun energi.” Banyak orang beragama tidak berpikir panjang, tidak menghimpun energi, namun justru menghabiskan energi.

Terkait Surat Quraiys, Cak Nun menjelaskan bahwa bait yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Kabah. Kabah merupakan pusat keseimbangan bumi. Salah satu bukti keseimbangan itu adalah bahwa putaran manusia yang mengelilingi Kabah nyaris tidak pernah berhenti selama 24 jam. Di Maiyah, kenapa kita semua tidak habis energinya, karena yang terbangun di Maiyah adalah semangat melingkar.

Cak Nun menggarisbawahi ayat Falya’budu robba haadza-l-bait bahwa kata yang digunakan adalah kata Robbun, bukan Maalikun, bukan Ilaahun. Robba hadza-l-bait. Pengasuh dari rumah ini. “Jadi Allah itu datang kepadamu dengan kasih sayang, dengan pengasuhan, dengan pengayoman,” Cak Nun menyayangkan bagaimana orang banyak menganggap Allah sebagai pihak yang menyeramkan, menakutkan. Padahal seringkali Alquran menampilkan Allah sebagai Pengasuh.

“Seluruh persoalan manusia hidup di dunia ini bermuara pada dua hal; takut lapar dan takut tidak aman,” Cak Nun melanjutkan tadabburnya terkait surat Al-Quraisy. Bukan hanya lapar terhadap makanan, tetapi juga kelaparan akan eksistensi, popularitas, jabatan, harta dan sebagainya. Orang juga merasa takut tidak aman dari kesemuanya yang ia miliki di dunia ini. Sementara Allah merumuskannya dengan rumusan yang sangat sederhana, jika kita ingin aman maka rumusnya adalah: Fal ya’budu robba haadza-l-bait, alladzii at’amahum min juu’i wa aamanahum min khoufi. “Kalau engkau bersama Dia, maka Allah akan membersamakanmu, mengamankanmu dari bahaya kelaparan atas apapun, dari kelaparan apapun,” tegas Cak Nun.

“Setiap anda, jangan hanya bekerja untuk mencari uang. Tetapi cintailah pekerjaanmu, sayangilah pekerjaanmu, syukurilah pekerjaanmu, dan tekunilah sampai engkau benar-benar ahli, menjadi tuan rumah dari pekerjaanmu,” pungkas Cak Nun menutup forum. Menjelang jam empat dinihari, Syeikh Kamba memuncaki Kenduri Cinta edisi April 2018 dengan berdoa bersama.