Komitmen Berlembaga

HAKIKAT ADANYA lembaga-lembaga, dari lembaga pemerintahan bernama Negara hingga lembaga pernikahan bernama keluarga adalah sebagai sarana distribusi Rahmat dari Tuhan supaya menjadi berkah. Seorang suami berusaha dengan cara berdagang untuk memperoleh keuntungan dari berjualan, dari keuntungan itu disalurkan untuk istri dan anak-anak anggota keluarganya. Begitupun dengan komitmen sebuah pemerintahan dalam menjalankan roda pemerintahan sebagai amanah dari rakyat. Jika menggunakan term empat pernikahan yang dikenal yaitu antara manusia dengan Allah, manusia dengan alam, pemerintah dengan rakyat dan pernikahan suami-istri hakikatnya berisikan komitmen-komitmen yang terjalin layaknya sebuah akad pernikahan yang tidak sekedar janji yang terucap. Namun selebihnya ada rangkaian proses pembuktian dari komitmen-komitmen yang terjadi. Mitsaqon ghalidzhaa

‘Pernikahan’ pasangan Capres-Cawapres Jokowi-JK berhasil memenangi Pilpres sehingga pada periode pemerintahan 2014-2019 Republik Indonesia ini dibawah pemerintahannya. Pasangan serasi antar pengusaha-politisi atau politisi-pengusaha ini, atau mungkin dapat didefinisikan sebagai pasangan politisi-politisi yang sedang berusaha atau pengusaha-pengusaha yang berpolitik, mereka berdua ini sedang menjalankan roda Pemerintahan-Negara yang sedang kita alami bersama dalam suasana ‘rumah tangga’-berbangsa-nya. Tapi perkawinan antar mereka dapat dipastikan akan segera usai pada Pilpres 2019. Jokowi akan menjadi ‘duda/janda’ yang mempesona sebagai Capres yang mungkin akan segera melamar atau dilamar oleh para Cawapres-cawapres yang saat ini sedang berjuang mati-matian untuk mendapatkan perhatian Jokowi.

Memang benar bahwa mempertahankan jauh lebih sulit ketimbang meraih. Seorang juara untuk mempertahankan gelar yang sudah diraih akan memerlukan usaha yang lebih berat ketimbang perjuangan sebelumnya sewaktu gelar itu belum didapat. Ini ternyata berlaku di banyak hal, tidak hanya di kejuaraan olahraga tapi juga dengan jabatan politik dalam lembaga Negara, karier profesi dalam bisnis dan bahkan jalinan suami-istri dalam lembaga pernikahan. Untuk mendapatkan wanita idaman, seorang pria akan berusaha sekuat tenaga agar dapat menikahi wanita idamannya. Tapi dibading dengan usahanya itu, ketika menjadi suami, ia juga akan memerlukan usaha yang lebih ekstra dalam membina keluarga. Begitu juga dengan para calon pemimpin daerah hingga calon presiden akan memerlukan usaha yang lebih besar ketika sudah menduduki jabatan ketimbang usahanya ketika kampanye dalam menyampaikan janji-janji politiknya.

Ketika kita membuat janji pada diri sendiri maupun kepada orang lain, ada semacam dorongan dalam diri kita untuk berusaha mewujudkan apa yang sudah kita janjikan. Misalnya ada orang yang berjanji pada dirinya untuk ber-Islam yang otomatis berusaha mengikuti dan mencontoh akhlak Rasulullah Saw dalam berperilaku dan bertingkah laku dalam aktivitas hidupnya. Komitmen orang ini mendorong dirinya untuk berperilaku sebagaimana Rasulullah berperilaku. Sebagai contoh dengan komitmen tepat waktu makan dengan meniru perilaku makannya Rasulullah, yaitu makan ketika sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.

Tapi misalkan ada yang memahami cara Rasulullah Saw makan as is makan dengan tidak menggunakan sendok dan garpu dengan alasan Rasulullah Saw tidak mencontohkannya, itupun boleh-boleh saja. Namun yang sedang dibahas bukan hanya soal caranya makan tapi lebih pada perilaku makannya, kalau cara makannya bebas. Boleh saja misalnya langsung dengan tangan tanpa alat atau menggunakan sumpit yang penting menggunakan alat makan yang tepat.

Dalam interaksi sosial, komitmen menepati janji terhadap orang lain semestinya memberikan dorongan yang lebih besar ketimbang janji terhadap diri sendiri. Ketika mempekerjakan orang misalnya, Rasulullah Saw senantiasa berkomitmen berusaha memberikan upah sebelum keringat orang yang bekerja itu kering. Ini juga bukan berarti bahwa karena yang bekerja tidak berkeringat lantas mengupah-nya suka-suka yang memberi upah, bukan begitu yang dimaksud. Maksudnya adalah bahwa dalam setiap pekerjaan yang ditugaskan kepada orang lain ada hak dari orang yang bekerja, dan sebaliknya ada komitmen orang yang bekerja untuk menjalankan pekerjaannya sebaik-baiknya.

Di dalam sebuah perusahaan komitmen-komitmen antara pemilik, manajemen dan karyawan perusahaan dalam kebersamaan aktivitas usaha tentu lebih kompleks sehingga perlu dibakukan dalam buku aturan-aturan perusahaan. Tapi buku aturan-aturan perusahaan itu tidak berarti apa-apa jika kemudian komitmen dari orang-orang dalam perusahaan itu mulai luntur. Rumus serupa-pun berlaku untuk kehidupan lembaga yang lebih besar terkait komitmen kita dalam berbangsa dan bernegara.

Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata lembaga dapat diartikan sebagai pola perilaku manusia yang mapan, terdiri atas interaksi sosial berstruktur dalam suatu kerangka nilai yang relevan. Dengan pengertian tersebut keniscayaan setiap orang dalam aktivitas sehari-harinya dipastikan hidup berlembaga. Pola perilaku yang mapan terjadi akibat komitmen untuk menjalankan perilaku yang berupa kegiatan rutin dan kolektif dari orang-orang yang berinteraksi. Meskipun dalam wacana umum kenyataan parilaku yang mapan itu seringnya tidak disebut sebagai lembaga, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pola aktivitas orang-orang dengan komitmen-nya itu sedang melembaga. Termasuk padatan-padatan yang terwujud dari aktivitas-aktivitas Maiyah.