Menjadi Ahli dan Manusia Wajib

MANUSIA LAHIR, tumbuh dan berkembang. Bukan hanya secara fisik, namun juga mental dan kompetensi serta kualitas hidupnya. Lingkungan sekitar mempengaruhi bagaimana manusia berkembang kualitasnya. Seiring berjalannya waktu, manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada yang memilih untuk menjadi pengusaha, ada yang memilih untuk menjadi pegawai, ada yang memilih untuk menjadi pedagang, dengan berbagai jenis profesinya manusia bekerja untuk setidaknya mengubah keadaan hidupnya.

Persoalannya kemudian adalah bahwa manusia seringkali terperangkap pada zona nyaman, sehingga enggan beranjak untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Padahal, manusia sejatinya menjalani kehidupan yang sangat ghaib. Bahkan satu menit yang akan datang pun tak diketahuinya secara pasti akan mengalami apa, akan melihat peristiwa apa. Dinamika kehidupan yang dijalani seharusnya menjadi arena bagaimana manusia belajar dan berusaha untuk selalu berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Kenapa akhir-akhir ini Cak Nun sering berpesan agar kita menjadi manusia yang ahli dalam bidang yang kita geluti? Keengganan manusia untuk keluar dari zona nyaman melahirkan kemalasan untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi keahliannya. Menjadi seorang ahli bukanlah ditentukan oleh kualitas kecerdasan yang dimiliki manusia semata, melainkan juga ditentukan oleh seberapa tangguh ia menempa dirinya, untuk terus mengasah kemampuannya. Manusia tidak boleh malas untuk berusaha menghasilkan karya terbaik dari sesuatu kompetensi yang dikuasainya.

Tak heran jika Cak Nun juga kemudian mengatakan bahwa malas adalah sebuah perbuatan dosa. Karena kemalasan adalah sebuah perilaku manusia yang tidak mencerminkan rasa syukur atas anugerah dan rahmat yang diberikan oleh Allah kepadanya. Setiap manusia memiliki kelebihannya masing-masing, namun seringkali manusia malas untuk menggali lebih dalam, mengeksplorasi lebih jauh kemampuan yang ia miliki.

Ungkapan rasa syukur bukan hanya soal mengucapkan kalimat hamdalah semata, namun lebih dari itu, ungkapan syukur juga dilakukan dengan cara memaksimalkan potensi yang dimiliki karena segala fasilitas untuk memperbaiki kualitas diri manusia telah diberikan oleh Allah. Ketika melihat kondisi orang lain yang lebih baik, seharusnya menjadi pelecut untuk menumbuhkan semangat bekerja lebih giat lagi, menekuni profesi yang ia geluti. Sayangnya, yang lebih sering terjadi adalah munculnya rasa iri ketika melihat orang lain dalam kondisi yang lebih baik.

Peradaban manusia hari ini berorientasi pada kekayaan, bukan kualitas manusianya. Bagi manusia hari ini yang lebih penting adalah bagaimana menjadi orang yang kaya. Apapun profesinya, apapun latar belakang pendidikannya, fokus utamanya adalah menjadi orang yang kaya raya. Orientasi hidup ini yang kemudian juga menjadikan manusia tidak pernah menjadi ahli di bidangnya sendiri. Kemuliaan manusia hari ini di mata orang lain hanya dilihat dari seberapa banyak harta yang ia miliki, bukan seberapa baik kualitas dirinya.

Manusia seringkali terbawa arus lingkungan. Kecenderungannya adalah menjadi follower bukan menjadi  trigger. Tidak salah sebenarnya ketika menjadi follower, asalkan ia serius dan tekun mendalami sesuatu yang ia ikuti. Namun, yang terjadi hari ini adalah ketika trendsetter berubah haluan, ia pun kemudian juga mengubah fokus yang digelutinya.

Menjadi pedagang, jadilah pedagang yang ahli berdagang. Menjadi pengusaha, jadilah pengusaha yang ahli dalam berbisnis. Menjadi ulama, jadilah ulama yang ahli dalam berdakwah. Menjadi guru, jadilah guru yang ahli dalam mengajar. Bahkan menjadi pegawai sekalipun, jadilah pegawai yang ahli di kantor tempat bekerja. Sehingga, dengan menjadi manusia ahli, maka secara tidak langsung juga menjadi manusi wajib. Manusia wajib adalah manusia yang kehadirannya mutlak dibutuhkan, ia tak tergantikan oleh siapapun.