Maiyahan Sekala Selampung

Seusai Kenduri Cinta pada malam harinya (15/11) hingga pukul 04.00 pagi, Cak Nun beserta Toto Rahardjo dan Sabrang bertolak ke Lampung untuk maiyahan disana. Hujan deras yang mengguyur Lampung sejak sore hari tidak menghalangi tekad masyarakat untuk berkumpul bersama dalam payung Maiyahan Sekala Selampung pada hari Sabtu 16 November 2013. Pukul 20.00 maiyahan dibuka dengan beberapa nomor oleh Jamus Kalimasada, sebuah kelompok transformasi dari Kiai Kanjeng. Paduan suara Universitas Negeri Lampung turut pula memeriahkan suasana.

Maiyahan Sekala Selampung diselenggarakan atas inisiasi CPB. Awalnya CPB yang ketika itu mengalami konflik sosial serius mengundang Cak Nun dan Kiai Kanjeng ke Tulangbawang dan tidak lama kemudian sudah kembali tenang dan produktif. Dari pengalaman itu, lahir gagasan untuk menciptakan atmosfer yang sebaik-baiknya antar kelompok di Lampung.

Maiyahan Sekala Selampung merupakan laboratorium untuk menumbuhkan manusia Indonesia baru yang lebih bertanggung jawab, murni, progresif, tangguh, dan lebih bisa diandalkan untuk memimpin dan dipimpin. Cak Nun memposisikan diri sebatas sebagai katalisator supaya Lampung yang memang bagus benihnya dapat tumbuh menjadi tanaman subur.

Tidak ada manusia yang mampu melakukan apapun. Yang ada adalah Allah menyuruh orang untuk mampu melakukan ini-itu.
Emha Ainun Nadjib

Membuka acara, Cak Nun sampaikan, “Hujan ini harus kita syukuri karena dengannya kita tak perlu lagi repot-repot meneliti siapa yang patriotis dari Lampung. Hujan adalah filter yang baik. Dalam sejarah angkatan ’28 dulu melakukan Sumpah Pemuda, tolong dicari berapa jumlahnya. Saya kira tidak ada setengah dari yang hadir malam ini. Jadi kalau malam ini yang datang sedikit, tidak ada masalah. Sumpah Pemuda yang sedikit tapi mampu melahirkan paradigma baru. Anda jangan terjajah dengan standar bahwa yang datang harus seribu atau dua ribu.”

Cak Nun meminta tokoh-tokoh masyarakat Lampung yang sudah datang satu persatu mengidentifikasikan persoalan yang sedang dihadapi Lampung saat ini. Pak Ikram menyebutkan bahwa persoalan itu adalah konflik sosial baik yang terjadi antardesa, antaragama, maupun antaretnis. Sementara itu Pak Anshori merasa bahwa meskipun ada permasalahan, kita jangan pernah mengabaikan perkembangan Lampung yang telah terjadi dengan sangat baik.

Menjadi zero trust society, itulah yang dirasakan Pak Heri Wardoyo pada Lampung. Bermacam konflik sosial yang muncul lahir karena masyarakat sudah saling tidak percaya satu sama lain serta kepada aparat pemerintah. Masyarakat bergerak dengan alur logikanya sendiri yang tidak tepat. “Semoga Sekala Selampung ini menjadi panggung bersama untuk membicarakan masalah apapun dari skala paling kecil sampai yang paling besar. Semoga keindonesiaan dan kedaerahan berjalan pada nafas yang sama,” kata Pak Heri.

Pak Rahmat, seorang petani dari Lampung Timur, berharap Lampung dapat menjadi rumah bersama seperti yang terjadi pada tahun ’70-an di mana penduduk asli Lampung sangat rukun dengan para pendatang, misalnya yang berasal dari Jawa. Bu Siti Noor Laila dari Komnas HAM menegaskan bahwa para penguasa merupakan pelayan masyarakat, jangan hanya menuntut rakyat tanpa memberikan kemakmuran kepada seluruh rakyat.

“Menurut anda Indonesia ini baik-baik saja atau perlu diperbaiki? Kalau perlu diperbaiki, berapa persen tingkatnya? Saya hanya memancing supaya kita mulai berpikir jernih dalam melihat kembali Lampung dan Indonesia tanpa menuding dan memprovokasi siapa-siapa, tetapi menemukan apa yang paling persis dan obyektif dari seluruh keadaan kita,” Cak Nun bertanya kepada jamaah.

Ada banyak konflik sosial, entah itu di perusahaan, di kampung, atau di mana saja. Motivasinya bermacam-macam, kepentingannya berbeda-beda. Sekala Selampung harus mengidentifikasi ini bersama-sama untuk mengawali perhimpunan motivasi kenapa kita berkumpul.

“Kita sedang menghadapi gerbang perubahan serius satu atau dua tahun lagi. Kalau kita tidak siap, kita akan menjadi seperti roket yang meluncur bukan ke arah yang benar-benar kita butuhkan sementara kita tidak bisa berbalik lagi. Mudah-mudahan Lampung menjadi perintis dari seluruh masyarakat Indonesia yang paling mengerti harus bergerak ke mana.”

Yang primer adalah perubahan yang Allah lakukan. Yang bisa manusia lakukan adalah terus-menerus memperlihatkan kepada Allah keseriusan berjuang.
Emha Ainun Nadjib

MENUMBUHKAN RASA PERCAYA

Kalau salah satu persoalan yang kita hadapi adalah zero trust society, maiyahan Sekala Selampung semoga pelan-pelan bisa menumbuhkan rasa percaya di wilayah apapun khususnya di Lampung. Contoh bentuk rasa saling percaya ini bisa kita lihat di lingkaran Padhangmbulan Jombang, di mana 35.000 orang berkumpul tanpa dijaga petugas keamanan, tanpa ada panitia. Tidak ada orang kehilangan sandal, tidak ada rebutan tempat parkir, tidak ada orang jahat, sebab tercipta aura yang bisa dipercaya sehingga orang-orang merasa aman dan saling menjaga satu sama lain.

Hal serupa terjadi juga di lingkaran-lingkaran di Jogja, Jakarta, Malang, Surabaya. Setiap orang merasa aman sehingga mereka menjadi murah hati, dengan sukarela membawakan makanan dan minuman untuk yang lain. Masyarakat seperti ini merupakan bentuk organisme yang indah dan solid. Masing-masing mempelajari satu sama lain, saling memaklumi, dan mencari kebaikan dari yang paling buruk sekalipun.

“Kalau bisa acara ini tetap dilakukan rutin tanpa saya perlu datang. Semakin saya tidak ada, semakin sukses saya. Kalau sudah tumbuh keperluan murni dari teman-teman Lampung untuk berkumpul, nanti akan menjadi blessing country. Sakit, miskin, pertengkaran, membuat kita menjadi makin kuat dan makin baik. Tidak ada peristiwa buruk di dunia; yang ada adalah orang memaknainya atau tidak.”

Cak Nun juga meminta penyelenggara untuk memikirkan formula teknis Maiyahan Sekala Selampung ke depan. Tidak usah mewah-mewah karena justru kesederhanaan yang membuat semua orang berani datang tanpa merasa dibatasi oleh agama maupun level sosialnya.

KONFLIK SOSIAL

Kalau anjing bertengkar dengan kucing, kita harus mencari apakah itu karena anjingnya atau karena kucingnya, ataukah karena anjing adalah anjing dan kucing adalah kucing maka mereka bertengkar, atau karena anjing dan kucing berada di rumah yang tidak kondusif sehingga mereka mudah bertengkar.

“Apakah orang Islam dan orang Kristen bertengkar karena saling benci atau karena ada situasi bersama yang tidak rasional, sedemikian rupa sehingga membuat mereka tidak bisa apresiatif satu sama lain? Indonesia ini ahli perdamaian sejak dulu kala. Di Jombang ada gereja tertua di Jawa, namanya Gereja Katholik Jawi Wetan. Sampai hari ini tidak ada pertengkaran antaragama sedikitpun di Mojowarno. Tiap Idul Fitri orang Kristen mbantuin keperluan ketupat, tiap Natal orang Islam juga bantu-bantu.

“Kadang-kadang konflik sosial ada karena memang tidak ada yang bisa dipegang. Konflik-konflik sosial ada karena sistemnya tidak membuat masyarakat aman. Manajemen dari pemerintah kurang bisa mengakomodasi secara komprehensif. Tapi memang ada juga jenis manusia yang mbeguguk ngutho waton, susah diajak solusi. Kemudian ada pihak yang memanfaatkan manusia jenis ini untuk memelihara konflik. Saya mohon dengan sangat di sini jangan ada yang memelihara konflik. Kita bersama-sama mencari solusi. Komnas HAM juga saya harap mendorong solusi, bukan pertentangan.”

REDEFINISI KEKERASAN

Cak Nun mengajak jamaah meredefinisi arti kekerasan. Dalam budaya Jawa Tengah mungkin kita harus halus, tapi di Jawa Timur, kekerasan agak penting sebagai ekspresi keakraban. Hal-hal semacam ini kalau distandardisasi secara nasional atau internasional, akibatnya hilanglah local wisdom.Tabbat yada. Tuhan saja mengutuk dengan sangat keras.

“Sesuatu itu diukur berdasar verbalnya atau produknya? Sesuatu baik ketika ia mendekatkanmu kepada Allah. Ada orang yang dekat dengan Allah melalui pengajian, ada juga yang dekat justru dengan mengalami sesuatu yang buruk. Yang kita lihat untuk menilai apakah pengajian, parpol, Indonesia itu baik atau tidak, adalah apakah mereka membuatmu lebih dekat dengan Allah atau tidak.”

Kita perlu belajar pada Al-Fatihah, Jangan meminta sebelum memberi. Allah tidak menyuruh hamba-Nya sholat dan puasa sebelum memberikan alam semesta yang subur dan rizki yang melimpah. Negara jangan menyuruh rakyat bayar pajak sebelum infrastruktur terpenuhi. Inilah rumus suami-istri; suami jangan minta istrinya melayani sebelum dia penuhi tanggung jawab sebagai suami.

Percintaan suami-istri dimulai dengan Bismillahirrahmanirrahim, suami memuji istrinya. Alhamdulillahirrabbilalamin, kalau diterjemahkan secara horizontal ‘dia istriku wanita yang terpuji’. Arrahmanirrahiim, penuh kasih sayang terhadapku. Maliki yaumiddin, dia sebenarnya yang berkuasa atas hatiku. Setelah memuji, berikutnya adalah penegasan cinta. Kalau sudah, barulah meminta ditunjukkan jalan yang lurus.

FILOSOFI GUNDUL PACUL

Konsep pemimpin sebagai pelayan diajarkan di Jawa dalam lagu Gundul Pacul. Kalau anda masih kecil, masih gundul pacul, anda boleh gembelengan. Tapi begitu sudah nyunggi wakul harus benar-benar serius. Wakul merupakan lambang kesejahteraan rakyat, yang harus di-sunggi, diletakkan lebih tinggi daripada kepala kita sendiri.

“Bakul kesejahteraan yang harusnya diantarkan para pemimpin ke tempat rakyat itulah BUMN. Kalau pada masa Pak Harto bakul ini dithithili sedikit demi sedikit oleh para pejabat di sepanjang jalan, sekarang malah dijual. Beberapa hari yang lalu hampir saja Merpati dijual, tapi alhamdulillah berhasil kami antisipasi.”

Pemimpin adalah pelayan karena logikanya rakyatlah yang memiliki negara, lalu negara menyewa kelompok yang namanya pemerintah. Di Indonesia belum dibedakan mana negara mana pemerintah. Gajahmada adalah kepala pemerintahan, Hayam Wuruk kepala negaranya. Gajahmada mendeklarasikan Sumpah Palapa tidak punya hak sebelum dilegitimasi oleh kepala negara. Demikian juga kepala negara tidak bisa memproklamasikan sumpah karena dia bukan kepala pemerintah. Itulah bedanya bendahara dengan kasir.

Lambat atau cepat Indonesia akan berubah dengan kesadaran baru. PNS itu buka pegawai negeri tetapi pegawai negara. Negeri adalah bahasa budaya, bukan bahasa konstitusi. Dia juga bukan pegawai pemerintah maka dibayar sampai pensiun. Pegawai pemerintah merupakan jabatan politik 5 tahunan. Mereka tenaga kontrakan.

“Masa tenaga negara taat sama tenaga kontrakan? Tidak ada rakyat harus taat pada bupati atau gubernur. Yang ada adalah rakyat, pegawai, gubernur, taat pada undang-undang. Jadi kalau bikin KTP tidak harus Pak Camat yang tanda tangan, sebab legalitas KTP terletak pada undang-undang bukan pada tanda tangan. Begitulah yang berlaku di seluruh dunia kecuali di Indonesia.

“Kalau kita tidak berubah, SBY tidak akan pernah ditangkap KPK. Merupakan kesalahan kalau ketua KPK dilantik oleh presiden sebab kepala pemerintah justru orang nomor satu yang harus diawasi. Harusnya ketua KPK dilantik oleh ketua wewan negara.

“KPK nggak bisa menangkap SBY meskipun sore ini agak goyang. Ke Ibas saja KPK tidak berani. Ini mulai saya provokasi keduanya. Saya dorong Anas untuk berani membuka. Dia punya hak untuk aman sebagai manusia dan warga negara maka saya ikut melindungi. Saya provokasi dia agar berani menjadi trigger perubahan Indonesia. Kalau bisa sebelum Februari kebenaran sudah mulai terbuka.”

Kita lahir sendiri, hidup bersama, lalu mati sendiri. Tidak ada orang yang memikul tanggung jawab kita. Maka di antara kita dan Allah jangan sampai ada siapapun kecuali Rasulullah.
Emha Ainun Nadjib

PhotoGrid_1385342837057 copy

SESI TANYA JAWAB

Beberapa pertanyaan diajukan oleh jamaah:

  • Seberapa penting mempertahankan kedaerahan dalam membangun kerangka keindonesiaan? 
  • Seperti kita tahu, Nabi Muhammad dalam membangun Islam menghilangkan sedikit demi sedikit unsur kesukuan. Bagaimana Cak Nun melihat fakta runtuhnya kepercayaan rakyat kepada negara karena kasus korupsi di MK kemarin?
  • Selain Syekh Abdul Qodir Jaelani, siapa lagi tokoh yang bisa kita ikuti?
  • Mengapa ketika teori-teori sosial mengenai korupsi diterapkan di Indonesia, yang muncul adalah anomali?
  • Mas Sabrang kenapa menyebut ayahnya dengan nama Cak Nun?
  • Dimana Brahmana?

Menanggapi Bu Siti Noor Laila yang mengutip perkataan Buya Syafi’i Ma’arif bahwa kita kehilangan sosok negarawan, menurut Cak Nun justru di tengah kesengsaraan dan kebingungan lahir banyak negarawan. Persoalannya adalah negarawan tidak bisa hidup di Indonesia. Orang tidak akan bisa melihat mereka karena media massa nasional hanya tahu Thukul, Ustaz Maulana, tidak bisa melihat yang lebih dari itu.

Kebanyakan rakyat hanya mengerti hitam-putih, padahal negarawan adalah orang yang mengerti berbagai macam mozaik warna dan nilai. Negarawan bukan hanya ksatria tapi brahmana. La ya’riful wali ilal wali. Negarawan ada banyak, tapi tidak ada yang mampu mengakui mereka sebagai negarawan.

Kalau dihitung rentang waktunya, jarak antara Islam dikenal di pesisir sampai Islam dipeluk orang-orang di pedalaman adalah 700 tahun. Tiba-tiba ada sebuah momentum di mana Islam tumbuh 90% dalam waktu singkat. Ada sebuah teori menarik untuk menjelaskan fenomena ini.

Jawa mempunyai struktur pandangan yang menyerupai kasta tapi bukan dalam pengertian yang selama ini kita kenal. Pada zaman dulu, manusia yang dipandang paling tinggi kedudukannya adalah brahmana di mana dia tidak punya harta untuk dirinya sendiri. Yang dia miliki adalah ilmu, dan dengan itu dia mengabdikan dirinya pada masyarakat. Dia menjadi panutan masyarakat.

Di bawahnya ada ksatria, punya banyak harta tapi menggunakannya untuk berjuang mengabdi kepada masyarakat. Di urutan ketiga ada pedagang, yang konsentrasi hidupnya untuk mengumpulkan harta. Di bawahnya, adalah orang asing. Orang asing dianggap tidak tahu struktur masyarakat setempat sehingga dinilai paling rendah.

Maka ketika Islam dibawa oleh orang asing dan masuk lewat jalur dagang, dia tidak dipandang sama sekali. Begitu Islam disebarkan oleh walisongo, para brahmana, masyarakat berduyun-duyun masuk Islam. Hanya butuh waktu 70 sampai 100 tahun sampai 90% masyarakat memeluk Islam.

Masuknya orang Belanda sedikit demi sedikit mengubah cara berpikir masyarakat sehingga pandangan kasta ini terbalik. Yang tadinya palling rendah dianggap menjadi paling tinggi, dan sebaliknya. Orang asing kaya dianggap paling tinggi, sementara orang berilmu kalau tidak punya harta tidak dipandang sama sekali.

Menambahi uraian Sabrang, Cak Nun mengajak jamaah untuk mengelaborasi terminologi kasta tadi ke dalam pemahaman. Secara sederhana kita mengenal ada orang alim, orang pintar, orang kuat, orang berkuasa, dan orang kaya.

“Dalam pandangan orang sekarang, mana yang tertinggi dan paling dihormati? Misalnya ada bupati tapi mobilnya Kijang, masyarakat akan mengecam. Anda tidak perlu jadi bupati untuk dihormati orang. Yang penting adalah menjadi orang kaya. Dibanding 14 abad yang lalu, bangsa kita sekarang ini jauh lebih rendah frame kepercayaannya karena yang paling dihormati adalah orang kaya. Sementara jaman dulu, yang dianggap paling tinggi adalah ruhaniawan – di mana negarawan merupakan salah satu segmennya. Dengan masyarakat seperti ini kita jangan terlalu berharap banyak. Masalah kita memang seperti ini. Kalau ada orang korupsi, dia marah bukan pada korupsinya tapi mengapa tidak kebagian. Reformasi bukan gerakan marah terhadap Soeharto yang terus melakukan korupsi, tapi marah karena tidak diajak korupsi. Maka ketika berkuasa, dia lakukan hal yang sama berlipat kali.”

“Untuk Pak Sungkono saya minta maaf,” tambah Cak Nun, “Sabrang memang memanggil saya Cak Nun karena saya menggunakan jenis pendidikan di mana dia tidak pernah saya perlakukan sebagai anak tapi sebagai sahabat saya. Saya banyak minta pengetahuan bermacam-macam padanya karena untuk soal pengetahuan dia tak terlawan oleh saya sama sekali.”

BELIEF SYSTEM

Kalau ada yang salah, yang pertama harus kita lihat adalah cara berpikir kita sendiri,” kata Sabrang, “Cara berpikir adalah yang pertama harus kita ubah kalau ingin melakukan perubahan. Penjara yang paling berbahaya adalah penjara yang kita tidak tahu di mana jerujinya. Belief system harus kita benahi.

“Kalau anda dikatai pesek marah nggak? Kenapa marah? Karena anda percaya bahwa pesek itu jelek dan mancung itu bagus, maka anda marah. Itu belief system yang anda bangun sendiri. Kalau anda sudah percaya bahwa pesek mancung itu nggak masalah, mereka hanya perbedaan, anda tidak akan marah dikatai seperti itu. Sumber utama marah anda ada di dalam diri anda sendiri.”

Semua jenis emosi pada manusia adalah kesempatan kita untuk berkaca di dalam diri sendiri. Setiap kita sedih atau marah, itu menunjukkan bahwa ada belief system yang sangat terpancang yang kita tidak sadari.”

Cak Nun melanjutkan, “Kalau komplikasi masalahnya seperti ini, siapa yang anda percaya dapat menyelesaikannya? Orang kaya, orang kuat, orang berkuasa, orang pintar, atau ruhaniawan? Saya tanya kepada wartawan, siapa yang kamu percaya untuk menyelesaikan masalah? Kemarin saya ceramah di rumah Anas Urbaningrum dihadiri banyak orang. Biasanya acara semacam itu maksimal 1,5 jam tapi kemarin bisa sampai 3,5 jam. Kenapa? Sebab mereka percaya kepada Brahmana. Kemudian begitu selesai, wartawan mengerubungi Anas habis-habisan dan tak satu pun mewawancarai saya. Apakah wartawan percaya pada Brahmana? Wartawan percayanya sama koruptor.

“Berharap apa anda sekarang pada Republik Indonesia? Apakah brahmana atau siapapun mampu menyelesaikan masalah kompleks di Indonesia? Lewat apa? Siapa yang mulai? Berapa orang yang terlibat? Anda pikir ada menteri atau orang parpol yang ingin keadaan berubah? Mereka senang dengan keadaan sekarang ini, dan anda ingin mengubahnya? Bagaimana?

“Saya tidak pernah merasa bisa menyelesaikan masalah Indonesia yang ruwet sekali. Kalau mau mengubah undang-undang dari presidensial menjadi parlementer, prosesnya sangat rumit, bertahun-tahun, mengundang konflik.

Innallaha laa yughayyiru ma bi qaumin hatta yughayyiru ma bi anfusihim. Ada dua perubahan, yaitu yang dilakukan Allah dan yang dilakukan manusia. Yang primer adalah perubahan yang Allah lakukan. Yang bisa manusia lakukan adalah terus-menerus memperlihatkan kepada Allah keseriusan berjuang.

“Tidak ada manusia yang mampu melakukan apapun. Yang ada adalah Allah menyuruh orang untuk mampu melakukan ini-itu. Nabi Musa tidak sakti, beliau bisa membelah lautan karena Allah yang menyuruh dan memperkenankan.

“Saya datang ke sini dan ke kota-kota lain bukan untuk mengubah Indonesia. Saya cuma sesaji, setor keseriusan kepada Allah. Perkara Allah mengubahnya dengan meletusnya 9 gunung secara berurutan mulai tahun depan atau melalui hidayah kepada seluruh bangsa Indonesia sehingga mereka tahu persis siapa pemimpin yang baik, itu terserah Allah.

“Yang penting kita terus melakukan kebaikan dan kebenaran. Kalau melihat hamba-hambanya konsisten menginginkan perubahan, nanti Allah akan nggak tega sehingga Dia turunkan perubahan. Kalau tidak percaya pada itu, maka Iblis gagal. Iblis atau Azazil, Idajil, Smarabhumi, Semar, disuruh Allah menjadi iblis sebagai katalisator untuk membedakan mana orang yang percaya akhirat dan mana yang tidak.

“Maka saya nggak heran ketika MK seperti itu. Salah sendiri MK kok dianggap setinggi itu. Mahfudz saja ngertinya hanya kebenaran dan kebaikan tapi nggak ngerti keindahan, nggak paham martabat, sehingga dia jualan jamu. Martabat ini tidak lagi dikenal di Indonesia.

PENGELOLAAN SEJARAH

Pengenalan dan pemahaman nilai-nilai kedaerahan bukanlah untuk menomorsatukan daerah dan mengesampingkan Indonesia, tapi supaya kita tahu asal-usul diri kita, paham siapa nenek moyang kita, bagaimana idiom dan filosofinya. Dengan pemahaman masa silam ini kita baru bisa beranjak ke masa depan.

Nabi Khidir mengajarkan bahwa pengelolaan sejarah itu berpijak di masa kini, melihat ke masa depan, dan menengok ke masa silam. Pertama kapal dibocorkan, kedua anak kecil dicekik supaya di masa depan dia tidak mengkafirkan orang tuanya, barulah yang ketiga menegakkan pagar yang di dalamnya terisi harta masa silam.

Cak Nun menambahkan, “Tanpa tahu masa silam, bagaimana anda tahu masa depan? Saya bukannya mau primordial supaya Indonesia tidak jadi mondial, tapi kalau anda kucing anda harus tahu bahwa anda kucing. Harus jelas identifikasi mana kucing, mana sapi, mana ayam. Untuk bisa menyumbang Indonesia, Lampung harus memahami kelampungannya.

“Anda jangan bilang Rasulullah menghilangkan kesukuan. Itu kan skala dakwah. Kearifan lokal yang paling abadi sampai di akhirat kelak adalah bahasa Arab, yang hurufnya tidak mengalami perubahan sedikitpun. Bagaimana anda bisa mengatakan bahwa kedaerahan Arab dihilangkan oleh Rasulullah? Anda salat saja pakai bahasa Arab. Galilah kelampungan itu, galilah Kerajaan Sekala, galilah Kerajaan Selampung.”

MENCARI NIKMATNYA PERJUANGAN

Cak Nun: “Sampai usia saya yang sudah 61 tahun ini, saya berlaku seperti umur 20 karena saya percaya perjuangan saya masih sangat panjang. Tidak penting saya menjadi apa, karena yang saya cari adalah nikmat perjuangan.

“Saya sudah mengalami bahwa ketika saya lapar dan saudara saya kenyang, itu nikmatnya luar biasa. Bukan hanya berbagi, tapi saya dorong dia untuk menikmati apa yang tidak bisa saya nikmati. Kebaikan itu nikmat, maka ungkapannya hasbunallah wa nikmal wakil nikmal maula wa nikman nashir. Yang menjadi fokus adalah kenikmatan.

“Seandainya tidak ada Syekh Abdul Qodir Jaelani, anda bagaimana? Nggak ada masalah kan? Kok malah mencari yang lain. Seandainya tidak ada Imam Khomeini, Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattab, tidak masalah. Yang kita tidak bisa adalah kalau tidak ada Rasulullah. Beliau satu-satunya yang bisa kita andalkan untuk kita ikuti menghadap Allah.”

Kita lahir sendiri, hidup bersama, lalu mati sendiri. Tidak ada orang yang memikul tanggung jawab kita. Maka di antara kita dan Allah jangan sampai ada siapapun kecuali Rasulullah. Jangan ada kiai, syekh, mursyid, negara, dan apapun yang menghalangi.

Sebelum ditutup dengan doa yang dipimpin oleh Gus Mustofa, Jamus Kalimasada membawakan nomor Duh Gusti.