Ketika Indonesia Masih Indonesia

Kelompok Musik Dinasti Yogyakarta bersama Emha Ainun Nadjib diminta menggelar kembali nomor-nomor musik puisi era 1976-1988 persis sebagaimana dulu digelar di Taman Budaya Yogyakarta tgl 7 Desember 2013, sebagai puncak rangkaian acara musikalisasi sastra yang berupaya meretrospeksi sejarah lahirnya pergelaran karya sastra yang di-support dengan disiplin musikal.

Beberapa forum diskusi digelar selama dua hari, kemudian dua malam berturut-turut digelar sejumlah pementasan musikalisasi sastra, dipuncaki oleh kelompok musik Dinasti, yang personil-personilnya merupakan embrio dari kelahiran Kiai Kanjeng yang lahir sesudahnya.

Dinasti sebenarnya adalah sebuah group teater, yang selama hampir dua dekade dikenal sebagai kelompok teater genuin yang mementaskan karya-karya bukan terjemahan dan ‘tidak patuh’ kepada tradisi kebudayaan teater yang mengacu pada estetika ‘Shakespearen’ dengan asal usul peradaban Yunani kuno. Dinasti tidak menolak pangkal peradaban Yunani Kuno atau Mesir Kuno, melainkan mengkhususkan diri menggali kontinyuitas peradaban Nusantara Kuno, yang bagi mereka merupakan pijakan kebangkitan masa depan nusantara-Indonesia di masa depan.

Di sela-sela pergelaran teater Dinasti yang monumental misalnya Jendral Mas Galak, Geger Wong Ngoyak Macan, Sepatu Nomer Satu, Patung Kekasih, Pak Kanjeng dll hingga era Perahu Retak sampai ke Tikungan Iblis, Nabi Darurat dan persiapan Kekasih Anjing, meskipun nama kelembagaannya mengalami metamorphosis, personil-personil yang relatif sama mementaskan musikalisasi puisi bekerja sama dengan penyair Emha Ainun Nadjib.

Di dalam pergelaran 7 Desember 2013 nanti Musik Dinasti diminta untuk membawakan kembali nomer-nomer pusakanya seperti Nyanyian Gelandangan, Tuhan, Aku Berguru Kepada-Mu, Klembak Menyan dll yang puisi-puisinya persis sebagaimana aslinya, dan musiknya dibunyikan persis sebagaimana aransemen orisinalnya.

Apakah kelompok ini tidak punya karya-karya baru sehingga harus membawakan barang-barang lama? Novi Budianto pimpinan Musik Dinasti menjawab, “Alhamdulillah bersama Kiai Kanjeng dan Cak Nun kami belum pernah nganggur-pentas. Kami diminta keliling terus menerus dengan frekwensi yang tinggi, di dalam maupun luar negeri, sehingga tidak mudah menemukan waktu untuk melatihkan kembali musik-puisi Dinasti. Sampai hari ini Kiai Kanjeng sudah mencapai pementasan ke-3519, meskipun kebanyakan personil Kiai Kanjeng tidak percaya pada hitungan itu, termasuk saya. Banyak yang tidak tercatat.”

“Kami memenuhi permintaan untuk menggelar kembali musik-puisi Dinasti,” kata Nevi lagi, “karena kami percaya dan menghormati sejarah, sehingga kami juga sangat menjunjung siapa saja yang percaya dan menghormati sejarah, di tengah era di mana masyarakat yang tenggelam dalam budaya copy-paste, tidak mengerti asal-asal usul apa saja, tidak perduli karya dan hak cipta, mencuri karya malah dirayakan dan diindustrikan.”

Emha sendiri mengemukakan, “Saya senang pada pergelaran ini, lumayan bisa merasakan kembali Indonesia ketika masih Indonesia, mengalami nuansa bangsa Indonesia ketika masih bangsa Indonesia.”

foto-foto Musik Dynastie 1976-1981