RENJANA NASIONALISME

KENDURI CINTA edisi Oktober dihelat di Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Seperti biasanya, sejak sore hari penggiat Kenduri Cinta sudah berada di lokasi Maiyahan untuk mempersiapkan keperluan teknis Maiyahan rutin di Jakarta ini. Setelah tenda dan panggung yang mungil itu sudah tertata rapi, dilanjutkan dengan penataan sound system, kemudian pemasangan backdrop hingga karpet-karpet digelar untuk dijadikan alas duduk jamaah. Menjelang maghrib, seluruh persiapan teknis sudah selesai. Tampak beberapa jamaah sudah datang sejak sore di lokasi. Setelah Maghrib, mereka pun mulai menempati alas duduk yang sudah digelar, memilih posisi duduk terbaik menurut mereka.

Selepas Isya’, beberapa penggiat Kenduri Cinta naik ke panggung untuk membaca Surat Yasin dan beberapa sholawat dan munajat. Setelah itu, sesi diskusi awal Mukadimah pun dibuka. Adi Pudjo, salah satu penggiat Kenduri Cinta yang sangat awet, karena memang ia satu-satunya penggiat yang sejak awal berdirinya Kenduri Cinta masih konsisten untuk terus menemani penggiat Kenduri Cinta yang muda. Malam itu Adi Pudjo membuka diskusi Mukadimah dengan sebuah pantikan; “Renjana Nasionalisme, atau Ghirroh Nasionalisme ini untuk kejayaan bangsa ataukah hanya untuk syahwat semata? Mengingat kita sudah memasuki tahun-tahun politik untuk mempersiapkan pesta politik 2024.”

Dan memang bukan hal yang aneh lagi, suasana politik di Indonesia ini sejak tahun 2012 sampai hari ini tidak pernah surut. Gejolak demi gejolak yang muncul pun semakin terasa untuk membuat kita sebagai masyarakat terpolarisasi. Seharusnya, kita sebagai masyarakat semakin peka dan semakin kuat pula filter informasinya, sehingga tidak terjadi lagi polarisasi yang sudah terbukti telah memecah belah bangsa ini.

Amien Subhan lalu menambahkan, bahwa dulu sebelum bangsa ini merdeka, seluruh elemen bangsa ini bersatu karena ada musuh bersama. Yang terjadi sekarang, setelah 70 tahun lebih kita merdeka, justru kita berperang melawan bangsa kita sendiri. “Karena saat ini kita sudah tidak punya lagi musuh bersama”, lanjut Amien.

Dulu, kita terjajah oleh bangsa lain. Setelah merdeka, kita justru melawan penjajah yang berasal dari bangsa kita sendiri. Orde baru yang dilengserkan tahu 1998 dengan tujuan merobohkan tradisi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, nyatanya sampai hari ini praktek KKN itu tidak benar-benar bersih, justru semakin liar dan semakin berani. Adanya lembaga anti rasuah bernama KPK pun nyatanya tidak membuat para pelaku korupsi itu jera, selalu saja mereka menemukan celah untuk melakukan praktek korupsi.

Mengisi jeda sesi pertama, anak-anak dari seniman teater pesisir menampilkan sebuah naskah mini teater yang mengangkat tema-tema tentang keadaan sosial budaya masyarakat. Anak-anak kecil yang dibina oleh Presiden Trotoar itu menyampaikan pesan yang jelas tentang ketidakberpihakannya penguasa kepada rakyat- kecil di negara ini. Sejalan dengan tema Kenduri Cinta yang diangkat, mereka mempertanyakan seberapa besar komitmen penguasa untuk berjuang demi kesejahteraan rakyat melalui naskah teater yang ditampilkan.

Ditengah penampilan anak-anak itu, Cak Nun tiba di Taman Ismail Marzuki. Sejenak duduk di belakang panggung menikmati teh panas. Cak Nun memilih untuk tidak buru-buru naik ke panggung, ingin menikmati forum terlebih dahulu, duduk di sayap panggung, bersama jamaah. Sementara itu, Fahmi dan Tri Mulyana melanjutkan diskusi, memasuki sesi yang kedua.

“Nasionalisme itu hanyalah bahasa administratif untuk menyatakan persatuan ummat manusia. Apakah kalau Anda memiliki Renjana Nasionalisme yang kuat terhadap Indonesia, lalu anda menemukan orang Malaysia kecelakaan di jalan tidak Anda tolong? Tentu akan tetap Anda tolong. Itu namanya Nasionalisme Muhammad.“
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Oktober, 2022)

TRI MULYANA sedikit memberikan gambaran tentang ancaman resesi ekonomi yang akan dihadapi oleh dunia secara global di tahun 2023. “Problem utamanya adalah supply chain yang akan terhambat karena beberapa hal”, Tri Mulyana menjelaskan bahwa serangkaian peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia belakangan ini, seperti perang antara Rusia dengan Ukraina, memberi dampak yang sangat signifikan terhadap kondisi ekonomi global. Dan yang terbaru adalah mundurnya Perdana Menteri Inggris yang baru menjabat selama 45 hari karena kebijakan ekonominya tidak berhasil membuat keadaan menjadi lebih baik di Inggris. Sayangnya, budaya mengundurkan diri itu tidak kita temui di Indonesia.

Secara global, disruption supply chain akan sangat berdampak secara global. Terutama untuk persoalan minyak bumi, jika suplainya terkendala, maka akan sangat berdampak ke semua bidang. Seperti biasanya, jika harga minyak bumi bergejolak, maka akan berdampak pada barang-barang kebutuhan lainnya yang memang diperlukan oleh masyarakat. “Jadi saat ini secara global ada 2 hal yang perlu kita waspadai; potensi kelangkaan energi dan disruption supply chain“, lanjut Tri Mulyana.

“Yang paling penting kita persiapkan dalah pondasi yang ada dalam diri kita masing-masing”, Fahmi menyambung penjelasan Tri Mulyana. Pada masa pandemi kemarin, setidaknya kita sudah membuktikan diri untuk mampu bertahan hidup. Itu yang harus kita syukuri. Tantangannya di tahun 2023 kaitannya dengan resesi ekonomi yang dijelaskan sebelumnya, Fahmi mengulangi apa yang dipesankan oleh Cak Nun bahwa yang lebih bahaya dari krisis ekonomi yang akan kita hadapi adalah situasi dimana kita memiliki uang tetapi tidak tersedia barang yang kita butuhkan untuk kita beli.

Jika kita melihat pada peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, kita mendapati fakta bahwa sebagai rakyat, kita ternyata seperti yatim piatu di Indonesia, tidak memiliki orang tua yang mengayomi. Ketika ada ancaman resesi global, sikap pemerintah juga terkesan tidak menyiapkan rencana evakuasi bagaimana menghadapi ancaman tersebut, justru rencana pembangunan IKN tetap berjalan. Kapitalisme global pada akhirnya menjadi alasan paling mendasar bagaimana setiap Negara bersaing untuk berkuasa atas energi yang ada di wilayahnya. Perang Rusia-Ukraina pada akhirnya pun hanya soal kapitalisme energi yang ingin dikuasai oleh salah satu pihak.

Pada akhirnya, sebagai rakyat memang kita tidak benar-benar bisa mengharapkan kehadiran Negara saat ancaman resesi datang. Normalnya, ketika Negara menyadari bahwa resesi akan datang, maka disusunlah strategi evakuasinya. Misalnya, di bidang pertanian digenjot produksi makanan pokok, lahan-lahan pertanian digenjot produksinya, begitu juga di bidang peternakan, perkebunan dan lain sebagainya. Sehingga ketika resesi benar-benar datang, Negara sudah siap untuk melindungi rakyatnya. Nyatanya, kita tidak melihat tanda-tanda itu, justru yang kita lihat adalah hasrat pembangunan infrastruktur di Ibu Kota Nusantara yang terus berjalan. Padahal, resesi ekonomi adalah sesuatu yang sangat bisa diprediksi kapan akan datang dan bagaimana proses evakuasinya.

Cak Nun sering menyampaikan bahwa rakyat Indonesia adalah rakyat yang tangguh, karena begitu kuat daya tahan hidupnya dan sanggup berjuang untuk terus melanjutkan hidup, tanpa sedikitpun merasa aman karena ada perlindungan dari Negara. Namun, ini juga ibarat pisau bermata dua, disaat bersamaan Negara merasa aman juga karena memiliki rakyat yang tangguh dan merasa akan melewati kondisi apapun dengan perasaan yang baik-baik saja, karena memiliki rakyat yang tangguh.

Ada logika pemikiran yang seharusnya tidak wajar menjadi sesuatu yang wajar di Indonesia. Fahmi kemudian memberi satu contoh, bagaimana Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022 juga menjadi bukti bahwa Negara tidak benar-benar memiliki pijakan logika yang berpihak kepada rakyat. Tragedi Kanjuruhan adalah satu peristiwa yang terjadi akibat sistem yang tidak dikelola dengan baik. Ada banyak hal yang seharusnya bisa diantisipasi justru tidak dilakukan. Pihak aparat sudah merekomendasikan untuk diubah jadwal kick off-nya, tetapi tidak disetujui oleh operator Liga. Dan kesiapan aparat keamanan yang bertugas saat pertandingan berlangsung tidak menggunakan aturan main yang sudah diatur oleh FIFA yang semestinya menjadi turunan aturan main yang diaplikasikan oleh PSSI. 130 lebih nyawa menjadi korban akibat kesembronoan pengelolaan sepakbola di Indonesia.

Respons pertama yang muncul dari Negara saat tragedi Kanjuruhan terjadi adalah kekhawatiran soal sanksi FIFA dan dicabutnya kesempatan untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun 2023 mendatang. Bukankah seharusnya Negara berpihak kepada rakyat dan menjadi orang tua bagi rakyatnya yang pada peristiwa di Kanjuruhan itu menjadi korban dari sebuah sistem yang tidak dikelola dengan baik.

“Jadi kita itu seperti hidup di sebuah alun-alun yang sangat luas, yang dipenuhi oleh sampah, dan kita mengkritisi setiap lembaran sampah yang berserakan itu. Sebenarnya Anda tidak perlu mengurusi sampah di seluruh dunia, yang penting Anda membuang sampah dari dirimu sendiri“
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Oktober, 2022)

“MANUSIA ini terjebak dengan pencapaiannya sendiri”, Pramono melanjutkan paparan sebelumnya. Bahwa pencapaian teknologi yang sudah berhasil dicapai oleh manusia seperti Artificial Intteligence, big data, algoritma dan lain sebagainya itu nyatanya tidak mampu menyelesaikan persoalan yang dihdapai oleh manusia itu sendiri. Karena pada faktanya, masalah yang datang justru lebih cepat dari kesiapan teknologi yang sudah ada.

Solusi yang disiapkan oleh manusia seringkali pada akhirnya tidak menjawab tantangan masalahnya. Ketika sebuah permasalahan muncul, manusia kemudian berusaha mencari solusi dari masalah tersebut, dan saat solusi ditemukan, ternyata masalah yang muncul sudah lebih sulit lagi, sehingga dipelrukan sousi yang lebih mutakhir.

Ali Hasbullah kemudian menambahkan, bahwa artificial intelligence saat ini memang mengungguli manusia tetapi hanya pada bidang-bidang tertentu dan spesifik saja. Yang dikhawatirkan adalah jika suatu hari nanti artificial intelligence ini sudah mampu tumbuh dengan alami, sehingga dia bisa memperbaharui dirinya sendiri. Sementara, komputer hari ini kecerdasannya akan menyesuaikan dengan hardware yang terpasang, akan ada limit dimana sebuah software tidak bisa di-install di sebuah komputer karena hardware-nya tidak memenuhi kualifikasi standarnya.

Namun demikian, Ali mengingatkan bahwa ada banyak hal yang jangkauannya terlau jauh dari apa yang mampu kita jangkau, yang terkadang justru membuat kita terlalu serius memikirkan hal itu, kemudian kita overthinking yang berujung pada situasi stress dalam diri kita. Maka, Ali mengajak untuk tidak terlalu dalam untuk memikirkan hal-hal yang jauh dari jangkauan kita, dan lebih peka terhadap hal-hal yang ada di sekitar kita.

Ibarat software, Islam itu seperti software atau aplikasi yang datangnya langsung dari Tuhan. Saat Rasulullah SAW membawa Islam kepada ummat manusia, parameter yang menjadi acuan bukan tentang seberapa banyak orang yang meng-install Islam dalam dirinya. Bukan tentang seberapa banyak orang yang percaya terhadap Islam. Tetapi kita melihat bagaimana Islam sampai hari ini terbukti secara nilai mampu membuktikan bahwa sesuatu yang datangnya langsung dari Tuhan itu akan lebih lama bertahan.

RENJANA NASIONALISME DAN NASIONALISME MUHAMMAD

BEBERAPA jamaah lalu merespons dari banyak hal yang sudah disampaikan. Cak Nun pun kemudian turut merespons. “Sangat banyak yang sudah saya tangkap dari teman-teman semua yang tadi disampaikan”, Cak Nun mengawali. Begitu banyak hal yang sudah dibicarakan, tetapi menurut Cak Nun apa yang dibicarakan sebelumnya seperti lautan sampah. Bukan berarti tidak penting, tetapi Cak Nun mengajak jamaah yang hadir malam itu untuk menemukan prioritas dari setiap hal yang kita hadapi.

“Jadi kita itu seperti hidup di sebuah alun-alun yang sangat luas, yang dipenuhi oleh sampah, dan kita mengkritisi setiap lembaran sampah yang berserakan itu. Sebenarnya Anda tidak perlu mengurusi sampah di seluruh dunia, yang penting Anda membuang sampah dari dirimu sendiri”, lanjut Cak Nun.

Cak Nun kemudian menyampaikan bahwa kita sebagai manusia dalam menghadapi sampah-sampah peradaban ini harus berusaha untuk memastikan dan memantaskan diri menjadi orang yang sholeh. Kembali, Cak Nun menjelaskan bahwa sholeh itu bukan hanya baik, bukan hanya benar, bukan hanya bijaksana. Tetapi, sholeh itu adalah satu tingkatan manusia yang mencakup semua nilai-nilai kesejatian dari manusia itu sendiri. “Sholeh itu adalah orang yang punya kecenderungan naluriah atau kesadaran untuk memperbaiki hidupnya terus menerus. Sholeh itu adalah orang yang selalu melakukan islah, perbaikan dalam hal apa saja”, Cak Nun menambahkan.

Cak Nun lalu melanjutkan bahwa di Maiyah kita sudah pernah mempelajari sudut pandang, jarak pandang, sisi pandang, bulatan pandang, lingkaran pandang. “Malam ini kita menemukan dialektika pandang dan dinamika pandang, bahkan ada keseimbangan pandang. Jadi seluruhnya harus sampai pada titik yang paling esensial yaitu keseimbangan pandang, jadi jangan sampai kita tidak adil pada salah satu sisi pandang saja”, lanjut Cak Nun.

Ditambahkan oleh Cak Nun, bahwa tidak masalah juga kalau kita overthinking memikirkan hal-hal yang jauh dari jangkauan kita, asalkan kita dapat memastikan bahwa hidup kita tenteram. Jangan sampai dengan memikirkan masalah-masalah yang diluar jangkauan kita itu kemudian membuat kita tidak tenang hidupnya. “Anda tidak mampu memeperbaiki itu semua, tetapi Anda bisa menciptakan perdamaian dalam dirimu atas itu semua. Dan Anda harus menemukan keseimbangan pandang di dalam dirimu”, tegas Cak Nun.

Hati itu yang sebenarnya memimpin pikiran. Cak Nun menjelaskan bahwa manusia memang identik berpikir menggunakan akal yang disimbolkan dengan kepala atau otak, tetapi sejatinya yang mengendalikan pikiran manusia itu adalah hati. “Asal manusia mengerti hakikat dalam dirinya adalah keterbatasan, maka semua masalah yang dihadapi itu bisa dikelola dengan bijaksana”, lanjut Cak Nun.

“Saya itu tidak pernah pesimis dengan Indonesia. Anda sudah punya IKN; Ibu Kota Nusantara. Berarti sebelum Ibu Kota itu diresmikan, kita akan meresmikan Negara Nusantara. Jadi kalau nanti kita ditagih utang oleh negara lain, kita bisa mengelak, bahwa yang berutang itu Indonesia bukan Nusantara”, Cak Nun berkelakar disambut tawa jamaah.

“Kalau Anda berdoa, jangan ngarang sendiri. Temukanlah masalahmu did alam Al Qur`an. Serinng-seringlah Anda membuka Al Qur`an, bisa jadi di setiap lembar Al Qur`an yang Anda buka ada solusi dari masalahmu“
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Oktober, 2022)

ADA HAL yang lebih mendasar yang malam itu ditegaskan kembali oleh Cak Nun mengenai Islam itu sendiri. Disampaikan oleh Cak Nun, Islam itu hadir bukan untuk golongan-golongan, melainkan untuk ummat manusia, begitu juga Rasulullah SAW, beliau diutus untuk memperbaiki akhlaq manusia, bukan hanya untuk umat muslim saja. Hakikat Islam itu sejatinya memang untuk seluruh ummat manusia, bodohnya kita hari ini yang menjadikan Islam sebagai entitas suatu golongan, sehingga kita sering menyebut diri kita sebagai golongan muslimin. Sehingga kita juga yang kemudian mengkotak-kotakkan diri kita yang secara tidak langsung kita menjadikan diri kita eksklusif, padahal sejatinya Islam itu sangat inklusif. Parahnya, pengkotakan-pengkotakan itu juga terjadi di wilayah internal Islam sendiri. “Seharusnya, pasca Rasulullah SAW yang dibangun oleh Khulafaur Rasyidin adalah persatuan ummat manusia”, lanjut Cak Nun.

Maiyah hadir sebagai salah satu upaya untuk mengembalikan Islam pada kesejatiannya. Satu contoh kecil disampaikan oleh Cak Nun, bahwa di Maiyahan tidak ada diskriminasi misalnya antara perempuan yang berjilbab dan yang tidak berjilbab. Juga tidak ada pengkotakan antara laki-laki dan perempuan. Karena Maiyah ingin menyentuh sesuatu hal yang lebih mendasar, yaitu manusianya itu sendiri. Di Maiyah tidak ada problem tentang jenis kelamin, karena itu adalah urusan di kamar masing-masing.

“Di Maiyah itu nomor satu Anda beriman”, Cak Nun menambahkan. Selama ini kita mengenal Islam sebagai syariat, tanpa menyertakan hakikat dan thoriqot, maka kita tidak akan pernah sampai kepada ma’rifat. 4 hal itu seharusnya adalah satu kesatuan, bukan parsial. Tetapi faktanya kita memisah-misahkan 4 hal itu, sehingga kemudian muncul golongan-golongannya sendiri.

Cak Nun kemudian menjelaskan lebih internal bahwa di Maiyah yang harus dilakukan selanjutnya adalah; mensembilani Maiyah dan mensembilankan Maiyah. Sembilan adalah angka tertinggi, maka kita harus sampai pada angka sembilan. “Sembilani Maiyah dan Sembilankan Maiyah. Jika engkau mensembilani Maiyah artinya engkau memperlakukan Maiyah sampai ke tingkat sembilan dalam dirimu, kemudian outputnya adalah engkau mensembilankan Maiyah, dengan mempersatukan seluruh ummat manusia melalui Maiyah”, jelas Cak Nun.

“Nasionalisme itu hanyalah bahasa administratif untuk menyatakan persatuan ummat manusia. Apakah kalau Anda memiliki Renjana Nasionalisme yang kuat terhadap Indonesia, lalu anda menemukan orang Malaysia kecelakaan di jalan tidak Anda tolong? Tentu akan tetap Anda tolong. Itu namanya Nasionalisme Muhammad”, Cak Nun menambahkan.

Cak Nun kembali menegaskan bahwa Rasulullah Muhammad SAW adalah utusan Allah swt yang universal, untuk seuruh ummat manusia. “Nabi Muhammad itu bukan Nabi-nya orang Islam, tetapi Nabi-nya ummat manusia, bahkan jin”, tegas Cak Nun.

Malam itu di Kenduri Cinta, Cak Nun mbeber penjelasan bahwa Nasionalisme bukan hanya sebagai jargon saja, tetapi benar-benar hakikat dari Nasionalisme adalah munculnya kemanusiaan yang luhur dan sejati dari diri manusia itu sendiri. Nasionalisme bukan hanya sekadar symbol atau jargon saja, melainkan sebuah perilaku yang terpancar dari diri manusia yang luhur. Bahwa manusia untuk menolomg manusia yang lainnya tidak memerlukan hokum atau undang-undang, karena sejatinya manusia adalah yang selalu peduli dengan manusia yang lainnya.

Di tengah-tengah diskusi, hujan gerimis membasahi Taman Ismail Marzuki, jamaah kemudian merapatkan shaf, mendekat ke panggung, berteduh di bawah tenda, sebagian yang lain berteduh di gedung-gedung Taman Ismail Marzuki. Cak Nun kemudian mengajak jamaah untuk melantunkan “Hasbunallah”. Hujan di Maiyah dimaknai sebagai berkah karena hujan juga merupakan rahmat dari Allah. Nyatanya, meskipun turun hujan saat Maiyahan, tidak lantas kemudian membuat jamaah memutuskan untuk meninggalkan forum, tetapi mereka memilih untuk bertahan.

Cak Nun kemudian melanjutkan bahwa kita semua sebagai manusia tidak memiliki kewajiban untuk menyelesaikan masalah-masalah yang di laur jangkauan kita. Misalnya mengenai resesi ekonomi, kita sebagai manusia biasa sama sekali tidak memiliki kewajiban untuk mengatasinya. Laa yukallifullaha nafsan illa wus’ahaa. Cak Nun berpesan bahwa yang harus kita lakukan harus proporsional sesuai kadar kita masing-masing. “Yang Anda bisa lakukan, jangan tidak Anda lakukan. Yang sudah waktunya melakukan dan mampu melakukan, jangan ditunda. Pokoknya, Anda ukur dirimu, sehingga kesholehanmu akan berkembang terus-menerus”, Cak Nun menekankan.

Kenduri Cinta malam itu dipuncaki oleh Cak Nun dengan sebuah pesan bahwa untuk menghadapi resesi ekonomi tahun depan, sebisa mungkin kita mulai membiasakan diri untuk iguh, sebisa mungkin mengupayakan swasembada pangan semaksimal mungkin yang bisa kita lakukan. Karena yang bahaya dari resesi ekonomi adalah krisis pangan. Di saat kita memiliki uang tetapi tidak ada bahan makanan yang bisa kita beli. Terlebih Allah sendiri sudah berjanji bahwa tidak akan ada satupun makhluk-Nya yang akan dibiarkan kelaparan. Maka, kita juga harus melandasinya dengan terus berkomunikasi dengan Allah.

“Kalau Anda berdoa, jangan ngarang sendiri. Temukanlah masalahmu did alam Al Qur`an. Serinng-seringlah Anda membuka Al Qur`an, bisa jadi di setiap lembar Al Qur`an yang Anda buka ada solusi dari masalahmu”, Cak Nun memungkasi.