Mukadimah: SESANTI HATI KEKASIH

SEROMBONGAN pendaki gunung yang mendekati puncak tentu sudah melalui terjal jalan setapak tepi jurang. Keindahan alam di puncak gunung sudah terbayang sedari mulai melakukan pendakian. Mungkin mereka berasal dari kelompok pendaki yang berbeda, namun pada momen itu mereka menjadi satu rombongan karena tujuan yang sama. Meski demikian kebersamaan rombongan itu tidaklah cukup sekedar berbekal kecintaan terhadap mendaki gunung ataupun semangat satu-dua orang diantara mereka. Setiap pendaki telah mempersiapkan diri, baik itu fisik, perbekalan dan keterampilan mendaki supaya bisa bersama mencapai puncak dan turun dengan selamat. Lantas apa jadinya jika tiba-tiba terjadi perubahan cuaca secara ekstrim, turun hujan lebat dan jarak pandang terhalang?

Di tengah keadaan yang tidak menentu, bagi yang tidak terbiasa akan muncul rasa cemas hingga ketakutan yang luar biasa. Jika sampai ada satu orang saja yang panik, justru akan semakin memperburuk keadaan rombongan. Segala jalan yang ada seolah buntu. Nekat melanjutkan pendakian jelas membahayakan, turun bisa jadi pilihan meskipun tidak mungkin untuk langsung turun gunung. Sementara bagi yang sudah terbiasa cenderung akan lebih tenang dan memilih diam sembari menunggu cuaca membaik. Koordinasi segera dilakukan untuk mengukur daya tahan rombongan dan dengan cuaca yang tidak mendukung untuk melanjutkan pendakian maka akan memilih turun demi keselamatan bersama.

Bagi orang yang tidak pernah mendaki gunung, tidak mungkin dapat merasakan pengalaman langsung semacam itu. Sensasi mungkin saja dapat diperoleh dari menonton film atau cerita dari orang-orang yang punya pengalaman naik gunung. Tapi tidak semua orang yang mau mengambil resiko berada pada kondisi yang berpotensi membahayakan nyawa semacam itu. Sebagian orang bahkan menganggap kegiatan mendaki gunung itu tidak begitu perlu, karena dalam aktivitas sehari-hari sensasi berada dalam situasi menantang meski berbeda kondisi banyak didapati. Abang-abang ojek online yang kejar target untuk bayar cicilan motor, bapak-bapak yang mendorong gerobak menjajakan gorengan sembari kepikiran kontrakan rumah akan habis bulan depan. Semangat berusaha dalam suasana mendebarkan yang penuh ketidakpastian boleh jadi dapat memacu adrenaline yang tidak kalah hebat meski beda lokasi, konteks dan luas cakupan persoalannya.

Santer kabar berseliweran di tahun 2023 resesi global melanda dunia. Para investor berbeda-beda dalam menyikapinya. Sedangkan pelaku usaha tentu memiliki kewaspadaan ekstra untuk menghadapinya. Sementara masyarakat kelas ekonomi bawah menganggap itu sebagai biasa saja, karena tanpa resesi pun perekonomian sudah sulit.

Ada prediksi efek sosial dari resesi bakal melebihi dampak sosial pandemi Covid-19. Akibat dari itu mungkin kita akan terdampak meski tidak secara langsung, sebagai kewaspadaan kita disarankan menabung. Tapi ironi terjadi manakala kita sebagai rakyat dianjurkan berhemat sementara pejabat justru sibuk menyalurkan anggaran untuk persiapan 2024. Belanja untuk pembangunan sana-sini terus terjadi guna wujudkan janji-janji di masa lalu yang belum jadi, demi monumen prestasi akhir jabatan dan suksesi penggantinya nanti. Padahal banyak kasus menggantung yang semestinya menjadi prioritas untuk diselesaikan. Mungkin ada yang bakal komentar, ngapain ngurusin urusan politik tingkat tinggi? Itukan tidak ada hubungannya dengan kita.

Coba dengan urusan yang lebih sederhana. Melihat ada keran yang dibiarkan ngocor airnya terbuang tentu membuat hati kita tidak kerasan. Dorongan untuk segera menutup keran begitu saja muncul karena rasa sayang. Begitupun dengan atap rumah yang bocor, meski hanya menetes saat hujan ringan tetapi itu memunculkan rasa tidak nyaman dan niat jika ada kesempatan akan segera lakukan perbaikan. Menjumpai handuk basah yang tergeletak di meja makan tentu membuat tidak nyaman untuk langsung memungut dan menggantungnya di jemuran. Lantas bagaimana jika yang tidak beres adalah ngocornya keran APBN, bocornya atap konstitusi negara dan tergeletaknya handuk hukum setelah tangkap basah kasus korupsi dan pidana pejabat?

Bandingkan dengan keresahan yang dialami masyarakat karena kembalinya pasukan kolonial di Surabaya paska kemerdekaan 1945. Respon elite masyarakat terhadap situsi yang terjadi sehingga muncul resolusi jihad mengemulsi keresahan masyarakat. Ingatlah perjuangan mereka yang mempertahankan kemerdekaan. Berbekal bambu runcing untuk menghadapi kembalinya kolonial yang bersenjata lengkap. Memang nyaris tak mungkin menang, namun mereka tetap berjuang dengan pasrah. Pasrah bukan berarti menyerah, tetapi tetap istiqomah berjuang melawan penjajah. Bukan kepentingan hidup mereka sendiri yang diperjuangkan, melainkan nasib kita, anak cucu mereka yang mereka bela.

Ragam persoalan yang mesti dijawab berbeda dan semakin kompleks di setiap zaman. Namun pada tiap zaman, urusan nya masih sama yaitu manusia sebagai pribadi di tengah kehidupan sosialnya. Setiap orang memiliki lingkup persoalan yang berbeda melekat pada peran sosial yang berbeda-beda. Ada yang lingkup sebatas keluarga, hingga ada yang lingkupnya negara. Dialektika antar peran-peran dalam ruang gerak yang sama menghadirkan adegan yang beragam. Dari komedi hingga tragedi. Persoalannya ada pada bagaimana si pemeran itu dalam melakoni perannya, apakah mampu berperan dengan baik atau justru buruk sehingga pertunjukannya tidak berlangsung baik. Hati kekasih akan menuntun kepekaan dan inisiatif gerak dalam menjalankan peranan sosial secara benar, baik dan seindah mungkin di hadapan Audience utama kehidupan, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.