Ramadhan Ra Mung Ramadang (Bagian 1)

Reportase Gambang Syafaat Juni 2015

IBADAH MAHDOH HARUS MENDASARI IBADAH AMALIYAH

Pukul 20.57 WIB. Kang Nasir mengucap salam tanda acara Gambang Syafaat yang dilaksanakan di bagian selatan Masjid Baiturahman dimulai (25/06/2015). Duduk di depan panggung Kang Nasir dan Kang Sofyan. Jamaah masih belum banyak, tikar belum semuanya penuh. Di samping pilar di depan panggung seorang ibu meminta izin untuk duduk di kursi lipat yang ia bawa sendiri. “Maaf ya Mas, saya tidak bisa duduk deprok.” Kang Nasir membacakan susunan acara yang akan dilalui bersama. Kemudian ia membuka acara dengan umul Kitab.

Setelah pembacaan ayat suci Alquran oleh Kang Sofyan, At Tahlil oleh Kang Nasir, Dzikir Munajat Maiyah dan lain-lain sampailah pada diskusi bagian pertama. Kang Ali Fatkhan mengenakan kupluk warna hitam, memakai kaos warna putih bergambar palu dan terdapat tulisan tema GS pada malam hari ini: Ramadhan, Ra mung, Ra mangan. Kang Ali menjelaskan bahwa kaus yang ia kenakan sengaja dibuat untuk tanda kenang-kenangan. “Sebulan sekali setiap ada acara Gambang kami akan selalu membuat kenang-kenangan seperti ini,” jelas Kang Ali.

Pukul 22.16 WIB. Kang Dur dengan mengenakan kemeja pendek warna putih, penutup kepala warna batik, dan gaya humornya yang memancing ‘ger’ para jamaaah, ia membawakan acara, diskusi dimulai. Kang Ali mengulas singkat tema yang akan dipelajari bersama pada malam hari ini. Berkaitan dengan puasa, Kang Ali membahas tentang manusia makhluk metabolisme. Contohnya manusia lapar maka solusinya makan, manusia mau berak, manusia haus, dll.

Kang Ali juga mengulas tentang beda antara fasilitas dengan perintah. Dia mencontohkan seorang bapak melihat anaknya yang sedang belajar dan mengantuk kemudian dengan nada membentak sang bapak bilang, “Mas, tidur!” Sang anak menjawab “PR nya belum selesai kok Pak.” Tetapi sang bapak tetap menyuruh tidur. Perintah ayah tersebut merupakan fasilitas. Kang Ali menjelaskan bahwa fasilitas adalah sesuai dengan kebutuhan kita dan kita enteng melaksanakannya. Sedangkan perintah adalah kita dengan usaha lebih saat melaksanakannya. Kang Ali juga membahas tentang kegembiraan orang berpuasa. Orang puasa itu terdapat dua kegembiraan yaitu kegembiraan saat berbuka dan kegembiraan saat bertemu dengan Tuhannya.

Semua bahasan yang disampaikan tadi mengulas tentang puasa. Misalnya saja fasilitas dan perintah, puasa itu bagi kita fasilitas atau perintah? Atau sebenarnya fasilitas yang diberikan oleh Allah tetapi karena kita tidak tahu kaua itu fasilitas maka kita melaksanakannya bagaikan sebuah perintah. Tentang dua kegembiraan orang berpuasa, ada orang yang tingkatannya kegembiraan berpuasanya saat berbuka hal itu adalah makhluk metabolisme, dan kegembiraan saat bertemu Tuhannya itu adalah makhluk post-metabolisme. Tentang bahasan Kang Ali lebih lengkap ini bisa dibaca pada pengantar tema Gambang Syafaat.


Pukul 22.31 WIB. Pak Ilyas dan Pak Saratri yang entah kebetulan atau janjian semuanya mengenakan kemeja pendek warna putih dan sarung warna putih polos dan tidak berpenutup kepala, masuk bergabung untuk berdiskusi. Jamaah mulai memenuhi tempat, tikar dan karpet digelar lagi. Ada bapak-bapak berpakain taqwa rapi, keluarga muda yang memangku anaknya yang berumur dua tahun, banyak juga anak muda bergaya gaul. Jamaah dipersilakan mengajukan tanggapan. Untuk termin pertama dibuka lima penanggap.

Penanggap pertama adalah Ari, latarbelakangnya Batik yang mula-mula suaranya bergetar itu bertanya: Katanya jika ibadah lain untuk diri orang yang ibadah sendiri dan kalau puasa adalah ibadah untuk Allah, maka harus sesempurna mungkin. Bisakah dijelaskan maksudnya mengingat dari tadi yang diuraikan tergambar bahwa puasa untuk diri orang beribadah sendiri.

Penanya kedua bernama Zainal dari pelabuhan Tanjung Mas. Dia bertanya: Kenapa kutiba bisa dimaknai diwajibkan? Terus dikatakan puasa hanya untuk orang yang beriman, kalau seperti saya bahwa tentang Islam saja masih belajar bagaimana?

Pertanyaan ketiga disampaikan oleh Ibu Lina yang menanyakan: Bagaimana hukum orang puasa yang pekerjaanya berat seperti buruh bangunan. Dia harus puasa tetapi berat kalau tidak bekerja dia punya tanggungan keluarga.

Pertanyaan keempat disampaikan oleh seorang bapak yang rencananya tahun depan tinggal di Selandia Baru: Bagaimana puasa di Selandia Baru yang siangnya 23 jam dan malamnya cuma satu jam? Bolehkah untuk waktu puasanya menyesuaikan dengan Arab Saudi?

Penanya kelima disampaikan oleh Pak Soegiyono dari Demak. Dia menanggapi (nada menggungat) pernyataan Kang Ali, “Kang Ali, maaf jangan tersinggung ya? Kok enak nemen hanya dengan puasa bisa bertemu dengan Tuhan? Lha Kanjeng Nabi Muhammmad saja harus melaksanakan Isra Mikraj untuk bisa bertemu dengan Allah.” Rokok dihisab, kopi disruput malam semakin gayeng. Mendengar pertayaan Pak Soegiyono yang memang sudah dikenal oleh jamaah karena setiap bulan aktif datang dan hampir selalu bertanya, para jamaah tertawa riang. Tidak mentertawakan tetapi memang terhibur dengan cara bertanya Pak Soegiyono yang seperti marah-marah.

Kita harus mampu membedakan antara saum dan siam. Kalau saum, kita hanya mendapatkan nilai-nilai puasa berupa menahan lapar, menahan dahaga, menahan nafsu. Tetapi kalau siam itu bagaimana kita sebelas bulan setelahnya mampu menegakkan nilai-nilai puasa tadi dalam kehidupan.
Sastri Wilonoyudho

Setelah termin bertanya, tahapan pertama selesai, maka saatnya menjawab. Kang Ali menyampaikan hanya akan menjawab pertanyaan Pak Soegiyono karena ditujukan kepada dirinya, pertanyaan yang lain akan dijawab oleh Pak Ilyas dan Pak Saratri. Menurut Kang Ali, apa yang dia sampaikan itu bukan dari mulutnya tetapi itu hadist. Bertemu dengan Allah maksudnya bukan berarti bertemu secara fisik. “Saya kira kalimat tersebut jangan dimaknai secara leterlijk ya? Ada kias disana. Bertemu dengan Allah, bisa saja hati kita yang bertemu dengan Allah. Meski tukang becak tetep cerdas toh.” Jawab Kang Ali.

Giliran Pak Ilyas berkesempatan untuk menjawab pertanyaan. “Untuk yang baru pertama kali ikut pengajian ini jangan kaget ya? Ini pengajian seperti di pasar, seperti di terminal. Kang Ali yang di depan saja langsung diinterupsi oleh Pak Giyono. Ini pengajiannya gondes-gondes,” kata Pak Ilyas dengan bahasa Jawa. Pak Ilyas menjawab pertanyaan Bu Lina tentang puasanya orang yang bekerja berat. Pak Ilyas menjawab, puasa atau tidak tergantung kemantepan karena menurutnya agama adalah kemantepan. “Wis sakmantepe jenengan lah, puasa atau tidak sak mantepe jenengan.”

Menjawab pertanyaan Ari tentang ayat Puasa itu untukku (Allah), Pak Ilyas balik bertanya, “Semua ini yang tidak kembali kepada Allah itu apa sih sebenarnya? Setiap hari kegiatan kita, detak jantung kita semua dipenuhi oleh Allah.” Pak Ilyas melanjutkan tentang konsep Allah itu Inalilahi wa ina ilaii rojiun; semua akan kembali kepada Allah. Namun perjalanan untuk kembali itu yang penting agar kita tidak tersesat dan lama tidak ketemu-ketemu. Menurutnya puasa tidak hanya syar’i tetapi terejawantah dalam kehidupan sehari-hari. Puasa adalah menahan, ketika banyak orang berebut kekuasaan, menyalonkan diri sebagai walikota dan kita menahan diri untuk tidak ikut-ikut ‘rayahan’ maka itu juga puasa. Menurutnya, puasa yang sesungguhnya adalah setelah Idul Fitri, Ramadan hanya latihan. Pak Ilyas juga menjawab pertanyaan Pak Giyono tentang bertemu Allah. Menurutnya di Alquran banyak sekali kias atau simbol. Seperti larangan mendekati zina adalah larangan atas perbuatan yang lebih dari itu yaitu zina.

Pak Ilyas menerangkan bahwa sekarang ini kita adalah penyembah api atau majusi. Berdirinya banyak mall, belanja kita yang melebihi kebutuhan kita. Puasa adalah meredam majusi kita tersebut. Tetapi Kang Ali tidak sepakat kalau kita adalah majusi. Menurut Kang Ali kita adalah syiah. “Kalau kita disuruh salat jawabannya; sik ah (sebentar ah) itu tandanya kita adalah orang syiah.” Pernyataaan Kang Ali ini disambut ger oleh jamaah yang hadir.

Selanjutnya disambung oleh Pak Saratri. Pak Saratri mengajukan pertanyaan: Kenapa negara Indonesia sudah merdeka 70 tahun, mengalami Ramadan sudah 50 kali tetapi hidupnya tidak lebih baik, ora genep pikirane. Karena kita berbangsa atau berpuasa, menjalankan ibadah tidak mendapatkan kearifan hidup. Menurut Pak Saratri kita harus mampu membedakan antara saum dan siam. Kalau saum, kita hanya mendapatkan nilai-nilai puasa berupa menahan lapar, menahan dahaga, menahan nafsu. Tetapi kalau siam itu bagaimana kita sebelas bulan setelahnya mampu menegakkan nilai-nilai puasa tadi dalam segala bentuk nilai kehidupan. Lha itu yang susah ditegakkan. Kalau kita siam maka tidak mungkin kita mampu melanggar ketentuan Allah. Mau tanda tangan kwitansi kosong pasti batal kalau merasa dilihat Allah. Jangankan puasa, sedangkan bismillah saja kalau kita membacanya dengan benar bisa mencegah kita untuk berbuat hina. “Mosok isa buka situs porno maca Bismillah?” ujar Pak Saratri. Pak Saratri menambahkan bahwa ibadah mahdah adalah sarana untuk menata ibadah amaliah kita.

[Teks: Muhajir Arrosyid]