PERJALANAN KEBAHAGIAAN

Reportase Kenduri Cinta Agustus 2017

Kenduri Cinta edisi Agustus 2017 diadakan di Taman Ismail Marzuki pada satu hari setelah peringatan kemerdekaan Indonesia. Langit kota Jakarta mendung hari itu, namun tak mengurangi semangat para penggiat dalam mempersiapkan acara.

Lepas pukul delapan malam, Kenduri Cinta diawali dengan pembacaan wirid Tahlukah, sebuah wirid yang diniati sebagai setoran kepada Allah, agar selalu memberi jalan keluar bagi berbagai persoalan bangsa dan umat. Setelahnya, Sigit, salah seorang penggiat komunitas, naik dan memoderasi diskusi bersama penggiat Kenduri Cinta lainnya, yaitu Adi Pudjo, Donny Kurniawan, Tri Mulyana dan Fahmi Agustian.

Membahas tema, Adi Pudjo mengajak jamaah untuk lebih memperluas diri, tak terjebak dalam definisi kebahagiaan. Melalui forum Kenduri Cinta ia berharap justru kebahagiaan dapat diungkapkan bersama. Kebahagiaan yang merupakan akibat atau efek dari silaturahmi antar jamaah.

Donny memberi perspektif berbeda. Menurutnya, kebahagiaan kita belum tentu menjadi kebahagiaan bagi orang lain. Ketika kita bahagia karena baru membeli mobil misalnya, hal itu tak serta merta membuat tetangga kita juga merasa berbahagia. Hanya ada satu kebahagiaan yang memberikan kebahagiaan bagi semua orang, yaitu kebahagiaan yang kelak dirasakan di surga. Seperti dijelaskan dalam Al-qur’an, kelak para penghuni surga tidak akan berebut kebahagiaan, karena berapa banyak pun tuntutan penghuni surga, semua akan terwujud. “Kebahagiaan akhirat adalah kebahagiaan yang tidak membuat orang lain sedih,” tukas Donny.

“Rasa syukur adalah faktor penentu kebahagiaan,” Tri Mulyana menambahkan. Ia lantas menceritakan pengalamannya saat pertama bergabung menjadi penggiat komunitas Kenduri Cinta. Ia meniatinya untuk melayani. Melayani semua, terutama jamaah. Ia pun ikut menggelar karpet, mempersiapkan teknis acara, mengkoordinir narasumber dan menampilkan berbagai kesenian, hingga menyajikan teh, kopi dan kudapan untuk narasumber, dan kini ia ada di panggung menjadi moderator acara, juga dalam konteks melayani. Dari peristiwa-peristiwa itu, Tri menemukan kebahagiaan di Kenduri Cinta. Kebahagiaan dalam pelayanannya.

Adi Pudjo turut serta, ia mengingatkan jamaah untuk selalu ikhlas, menerima ketentuan yang telah ditetapkan Allah. Selama kita belum menerima itu maka selama itu pula hati kita tak selesai. Dalam sebuah esai Cak Nun berjudul Hati Yang Selesai, Hidung Pesek dan Marijuana Politik, Cak Nun menggambarkan hati rakyat Indonesia yang belum selesai, masih belum sepenuhnya bersyukur atas apa yang dikaruniakan Tuhan kepada Indonesia.

“Selama kita tidak bersyukur, sebanyak apapun harta tidak akan pernah mencukupkan hati kita,” Fahmi menambahkan. “Pada forum Kenduri Cinta, kita ekspresikan kebahagiaan dengan kerinduan, komitmen, cinta, kasih sayang, sehingga satu sama lain merasa aman. Kita tidak bergantung pada apa yang di luar diri kita untuk bahagia,” lanjutnya menggambarkan suasana Kenduri Cinta yang tiap bulannya ia rasakan.

“Konsep bahagia tergantung bagaimana mengelola perasaan batin kita,” Ali ikut menambahkan. “Mungkin kondisi hidup kita susah dan menderita, tetapi di tengah itu semua, sebisa mungkin kita dapat menemukan kebahagiaan. Seperti Alquran yang mengatakan: Inna ma’al ‘usri yusro, bahwa pada setiap kesulitan terdapat kemudahan-kemudahan.”

Jamaah lain, Lazuardi, ikut berpendapat. Satu rumusan yang ia pegang adalah selalu berbaik sangka atas segala ketetapan Allah. Dengan pegangan nilai itu, ia merasa lebih mudah menemukan kebahagiaan dalam hidupnya.

Sa’i, jamaah asal Denpasar, memiliki konsep bahwa bahagia itu adalah hidup nyaman, apapun kondisi kita. Sa’i lantas menceritakan saat menikahkan putrinya, dimana ia merasakan kebahagiaan sekaligus kesedihan. Bahagia karena putrinya menikah dan sedih karena putrinya akan dibawa oleh sang suami, berpisah dengan ayah dan ibunya. Namun, kesedihan itu berubah menjadi kebahagiaan ketika putrinya melahirkan anak pertamanya, sekaligus cucu bagi Sa’i. Dan begitulah memang adanya hidup, bahwa bahagia atau kesedihan bisa saling berkaitan satu sama lain.

Orang-orang bersaing untuk berkuasa karena dia sedang memperjuangkan sesuatu yang mereka pikir itu akan membuat mereka bahagia.
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agustus, 2017)

NGERIUNG GIRANG

Setelah sesi diskusi, kelompok seni Peci Merah naik ke panggung menampilkan kesenian dengan nuansa budaya Betawi yang kental. Mulai dari Gambang Kromong, Lenong, Tari Betawi dan musik-musik khas Betawi. Selama kurang lebih satu jam, kelompok seni Peci Merah menghibur forum dengan berbagai kesenian Betawi. Peci Merah merupakan singkatan dari Pecinta Melestari Sejarah. Komunitas ini memiliki kegiatan rutin bernama Ngeriung Girang; ngeriung berarti ngumpul-ngumpul, sementara girang berarti suasana bahagia. Jamaah pemaknaan-pemaknaan atas kesenian. Setelahnya, Ibu Dali membacakan puisi yang dicuplik dari Alquran, dengan diiringi lagu Syukur.

Sesi selanjutnya, Sigit bersama Luqman memandu diskusi. Kali ini menghadirkan Ahmad Basuni dari komunitas Peci Merah dan Ali Hasbullah. Ahmad Basuni lantas menceritakan sejarah Peci Merah yang selama ini fokus utamanya adalah memperjuangkan agar tradisi kesenian dan kebudayaan Betawi terus terjaga.

Ali Hasbullah malam itu mengangkat diskusi dari Daur, sebuah seri essay Cak Nun yang dipublikasikan intens hampir setiap hari. Pada tulisan itu, Cak Nun menganjurkan untuk terus berkontribusi pada Indonesia, apapun bentuknya. Maiyahan yang berlangsung rutin tiap waktu di banyak kota, merupakan bentuk kongkrit kontribusi pada Indonesia. Maiyahan tak hanya merukunkan masyarakat, namun juga memberikan berbagai pendidikan pada wilayah-wilayah yang tak tersentuh oleh pemerintah. Pendidikan politik, hukum, ekonomi, budaya, hingga pendidikan agama berupa tafsir dan tadabur, dan lain sebagainya. Itulah bentuk sedekah Maiyah kepada Indonesia.

Malam itu, Ali mengingatkan tentang berbagi kebahagiaan. Seperti halnya pernikahan, semestinya menikah adalah berbagi kebahagiaan bukannya mencari kebahagiaan. Mengambil pijakan dari salah satu rukun iman (iman kepada qadla dan qadar), Ali memandang bahwa segala sesuatu yang kita alami dan yang akan kita alami telah tertulis di lauhil mahfudz. Maka, kebahagiaan seharusnya telah ada termanifestasi dalam diri kita, kesadaran ini menjadi kunci kita hidup di dunia. Selama kita berserah diri kepada Allah, maka kita akan rida atas semua ketentuan Allah, pada akhirnya Allah akan meridai kita.

“Yang bisa kita usahakan adalah berjalan menuju kebahagiaan,” tambah Luqman. Di Maiyah, kita diajarkan untuk terus menanam, panen atau tidak, bukan urusan kita. Kita hanya berjuang agar apa yang kita tanam dapat tumbuh baik. Panen atau tidak, Allah lah yang menentukan. Setiap salat kita mengucapkan ihdinashiroto-l-mustaqiim, mengajarkan bahwa kita tidak selalu berada di jalan lurus, ada kalanya kita berbelok, ada kalanya kita berbalik arah, ada kalanya kita menemukan lubang-lubang, jalan yang berkerakal dan sebagainya. Begitulah kita menjalani hidup, yang kita usahakan adalah menjalani kehidupan di jalan yang diridai Allah, dimana kelak akhir dari perjalanan kita ini adalah Allah sudi meridai kita.

Menjelang tengah malam, Musisi Jalanan Center dari Komunitas Jazz Kemayoran naik ke tengah forum membawakan lagu-lagu bertema kebangsaan dengan nuansa jazz kental.

Tak lama, Cak Nun terlihat duduk bergabung bersama dengan narasumber lainnya. Suasana perlahan meneduh, beberapa jamaah terlihat menyempurnakan posisi duduknya agar jenak menyimak Cak Nun.

Tema malam itu, Perjalanan Kebahagiaan, diberikan langsung oleh Cak Nun, melihat fenomena manusia yang tengah giat berlomba mengejar sesuatu yang dianggap akan membawanya pada kebahagiaan. Sesuatu itu dapat berupa kekuasaan, jabatan, kehebatan, popularitas, dan banyak hal lainnya. “Orang-orang bersaing untuk berkuasa karena dia sedang memperjuangkan sesuatu yang mereka pikir itu akan membuat mereka bahagia,” Cak Nun mengawali.

“Bahagia atau tidak bahagia tergantung pada manajemen anda terhadap peletakan hati dan tatanan pikiran terhadap apapun yang anda alami.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agustus, 2017)

TRANSAKSI RIBA

Setelah mengawali pembahasan tentang bahagia dan tidak bahagia, Cak Nun lantas menyentuh bahasan tentang riba dan transaksi ekonomi. Perihal riba, secara normatif memang tidak dibenarkan dalam Islam, namun Cak Nun mengajak jamaah melihat tidak hanya dengan kacamata hukum formal, juga dengan kacamata sosial dan budaya. Seperti halnya saat kita meminjam motor pada kawan, apakah pantas saat kita mengembalikan motornya dalam keadaan kotor dan habis bensinnya? Secara etis tentunya kita ingin mengembalikan motor pinjaman itu bukan saja sama seperti saat kita meminjamnya, tapi dengan lebih baik. Sama halnya dengan meminjam uang, jika dilihat dengan kacamata sosial, apakah pantas kita meminjam uang kemudian mengembalikan dengan jumlah sama?

“Nilai-nilai agama jangan dipakai untuk menutupi kekurangan-kekurangan anda,” lanjut Cak Nun. Jangan-jangan riba itu untuk menutupi sifat pelit kita. Kita bersama-sama mempelajari apa itu riba dan seluk beluk riba. Riba itu urusannya pada jumlah uangnya atau ridla dan tidak ridlanya, halal dan tidak halal dalam urusan akhlak, ada yang ngganjel atau tidak antara satu sama lain.

Segala urusan di dunia ini bermuara pada dua hal, bahagia atau tidak bahagia. “Bahagia atau tidak bahagia tergantung pada manajemen anda terhadap peletakan hati dan tatanan pikiran anda terhadap apapun yang anda alami,” tutur Cak Nun. Penderitaan tidak selalu berposisi sebagai antitesis dari kebahagiaan. Dalam pandangan Cak Nun, rasa tidak bahagia bisa merupakan salah satu bahan dari kebahagiaan, karena hidup adalah lipatan-lipatan yang tidak linier.

“Anda tidak bahagia karena keadaan di luar diri anda tidak seperti yang anda harapkan. Maka anda menempuh perubahan di luar diri anda supaya dia memenuhi kepentingan subjektif anda,” jelas Cak Nun. Jangan menggantungkan kebahagiaan pada keadaan yang terjadi di luar diri kita, apapun yang terjadi, berapapun uang yang kita punya, seberapa jauh kita pada kebenaran, tidak akan bisa membuat kita bahagia atau tidak bahagia kecuali kita bergantung pada manajemen internal diri kita sendiri.

Layaknya motor yang terdiri dari berbagai komponen, membenahi hati manusia juga memerlukan kunci yang tepat, ada kunci 6, 8, 10, 12, 14 dst. Kita mesti memiliki semacam “kunci inggris” yang mampu menyetel hati kita, setiap hari, sehingga dalam kondisi apapun hati kita selalu dalam keadaan baik. Karena presisi hidup kita akan berubah setiap detiknya. Maka, maiyahan rutin dilakukan tiap bulan, salah satunya dalam rangka workshop membikin “kunci inggris” bagi diri kita masing-masing.

Pada saat manusia menjalani siklus masa bayi atau balita hingga anak-anak, manusia tidak memiliki beban dalam hidupnya, tidak ada tekanan dalam hidupnya. Bermain, bergembira, bersenda gurau, ringan menjalani hidup. Kebahagiaan dalam diri anak-anak begitu solid. Sementara ketika manusia beranjak remaja dan dewasa, ia lalu mengalami fluktuasi kebahagiaan yang naik turun, hal itu karena berbagai persoalan yang makin kompleks harus ia hadapi.

Salah satu cara mencapai bahagia adalah dengan menjaga keseimbangan. Pada kehidupan manusia terdapat dua jenis perjalanan, perjalanan ke luar (duniawi) dan perjalanan ke dalam (akhirat/spiritual). Manusia musti mampu menemukan keseimbangan dalam menempuh keduanya. Wabtaghiy fiima ataakallahu daaro-l-akhiroh, walaa tansa nashiibaka mina dunya. Maiyah melatih kita menjaga keseimbangan, bukan hanya keseimbangan berpikir, melainkan juga keseimbangan berperilaku, mampu menyeimbangkan kekhusyukan di tengah kegembiraan.

“Selama kita tidak beragama dan bergaul dengan Tuhan dalam konteks cinta, pasti jauh dari kebahagiaan.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agustus, 2017)

CATUR SILA

Cak Nun lantas mengelaborasi kembali perjalanan evolusi manusia, kali ini ia mengibaratkan evolusi dengan term selimut, sarung dan celana. Selimut, hanyalah kain biasa, tidak ada anatomi pasti, hari ini untuk menutupi kepala, bisa jadi besok untuk menutupi kaki. Sarung berbeda, sudah ada anatomi. Meskipun masih saja ada yang terbalik mengenakan sarung. Sementara celana adalah jenis pakaian yang anatominya sudah jelas, sehingga membutuhkan kedisiplinan untuk mengenakannya. Begitu juga dengan baju, kaos, jaket dan sebagainya.

Cak Nun malam itu juga menmbahas tentang Pancasila. Secara apik, ia menawarkan konsep catur sila untuk mulai diterapkan lebih dulu. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, lebih baik disimpan dahulu. Sederhananya, kita harus memposisikan Tuhan pada wilayah yang tepat. Jika diibaratkan sebagai perusahaan, maka Tuhan mustinya berposisi sebagai owner, bukan karyawan apalagi hanya faktor pelengkap. Sementara saat ini, Tuhan tidak diposisikan sebagai owner dari Indonesia. Segala kebijakan dan keputusan pemerintah tidak mencerminkan bahwa Tuhan diposisikan sebagai owner. Kebijakan-kebijakan pemerintah hanya sepihak tanpa melibatkan Tuhan dalam proses pengambilan keputusannya.

Kembali, Cak Nun menjelaskan, khilafah adalah perintah Allah. Hal ini dibuktikan dengan ayat innii jaa’ilun fi-l-ardhli khalifah. Masyarakat tidak bisa membedakan antara khilafah dengan HTI, tidak bisa membedakan antara manis dengan gula, antara pedas dengan lombok. HTI musti dipahami sebagai salah satu interpretator konsep khilafah. Khilafah adalah idenya Tuhan. Khalifah merupakan representasi atau perwakilan Tuhan.

Kembali ke tema kebahagiaan. Anak-anak kecil yang bergembira menikmati masa kanak-kanaknya merupakan fakta dimana mereka sama sekali tidak berjarak dengan Tuhan. Kebahagiaan yang mereka rasakan adalah kebahagiaan yang sangat murni tanpa manipulasi. Ketika manusia beranjak dewasa, hal itu sulit dilakukan. Sementara Allah menyatakan di dalam Al-qur’an, bahwa hidup ini adalah main-main dan senda gurau belaka. Anak-anak mampu menemukan main-main dan senda gurau dalam kehidupan karena mereka tidak berjarak dengan Tuhan. Sementara orang dewasa berjarak jauh dengan Tuhan, sehingga sulit sekali merasakan kebahagiaan.

“Selama kita tidak beragama dan bergaul dengan Tuhan dalam konteks cinta, pasti jauh dari kebahagiaan,” ujar Cak Nun. Jalan menuju kebahagiaan adalah cinta, seperti termaktub dalam Surat Ali Imron ayat 31, bahwa cinta adalah alasan utama bagi kita dalam menjalani hidup. Jika kita mencintai Allah, maka syarat agar Allah membalas cinta kita adalah dengan mengikuti Rasulullah SAW. Allah juga berfirman: Fa man kaana yarju liqoo’a robbihi, fal ya’mal ‘amalan shoolihan wa laa yusyrik bi ‘ibadati robbihi ahadaa. Syarat untuk berjumpa dengan Allah hendaklah berbuat baik. Dan jika mendetail, alasan orang yang ingin berjumpa adalah karena kerinduan, rasa cinta, rasa kangen sehingga ingin bertemu, ingin berjumpa.

Itulah yang terjadi pada Maiyah, jika bukan karena cinta, sulit untuk bertahan. Forum-forum sepanjang dua puluh tahun terkahir berlangsung secara swadaya, tanpa sponsor, tanpa panitia resmi, tanpa keamanan. Semua jamaah saling mengamankan satu sama lain, semuanya merasakan kerinduan satu sama lain, sehingga merasa eman jika tidak hadir di forum selanjutnya. Ikatan cinta dan kerinduan satu sama lain antar jamaah ini yang membangun kekuatan ikatan kerinduan.

Setelah memahami cinta sebagai dasar beragama, baru kita bisa menemukan sabil, syari’, thoriq dan shirot. Secara sederhana, sabil adalah arah tujuan kemana kita akan menuju, syari’ adalah ketentuan atau aturan jalannya, thoriq adalah cara bagaimana kita menempuh jalan itu, sedangkan shirot adalah cakrawala kehidupan yang akan kita temui kelak.

“Maiyah bukan sedang meneruskan generasi yang ada, melainkan sedang melahirkan generasi baru.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agustus, 2017)

KOMPATIBEL DENGAN KEBAIKAN

Maiyah telah menjadi fenomena tersendiri. Dengan tumbuhnya forum maiyahan di berbagai kota, banyak pihak yang memandang Maiyah akan menjadi gerakan sosial politik. Maiyah dicurigai menjadi alat mengumpulkan massa yang nantinya dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis. Tuduhan itu tak hanya dihadapi akhir-akhir ini, pada awal dimulainya maiyahan pun telah banyak bermunculan. Namun, dengan berjalannya waktu, lebih dari 20 tahun berlangsung, Cak Nun dan para penggiat tak pernah sekalipun menggunakan Maiyah sebagai alat politik, atau bahkan menjadi organisasi sosial masyarakat.

Cak Nun menyadari, NU dan Muhammadiyah telah mengakomodir gerakan sosial masyarakat di Indonesia. Sementara di bidang politik, sudah banyak partai politik yang dapat menjadi ruang aspirasi masyarakat. Sejak awal Maiyah diniatkan Cak Nun sebagai sedekah kepada Indonesia. Maiyah melakukan untuk Indonesia, menemani masyarakat di berbagai pelosok daerah, memberikan pencerahan dengan maiyahan (Sinau Bareng, Ngaji Bareng, Tadabburan dan sebagainya) dalam rangka bersedekah kepada Indonesia. Memberikan pendidikan politik, sosial, ekonomi, hukum, agama, budaya dan sebagainya kepada masyarakat atas dasar kecintaan kepada Indonesia.

“Komunikasi sosial ketokohan publik itu syaratnya ada tiga: kharisma, attractiveness, dan ekspertasi,” terang Cak Nun yang dengan kerendahan hati mengakui tidak memiliki ketiganya. Maka, yang ia ikhtiarkan adalah sinau bareng, belajar bersama-sama. Bahwa kebenaran adalah sesuatu yang harus terus-menerus kita perjuangkan untuk mendapatkannya, dan tidak untuk dipertontonkan ke khalayak ramai, apalagi memaksakan orang lain untuk mengikuti kebenaran yang kita yakini, karena setiap orang berhak memiliki proses pencarian akan kebenaran itu sendiri.

“Barangsiapa mengajak berdebat, pasti dia tidak mencari kebenaran, dia hanya ingin mempertahankan pembenaran atas pendapatnya sendiri. Maka tidak ada perdebatan dalam hidup saya, yang ada adalah rembug, yang ada adalah musyawarah untuk mencari kebenaran bersama,” tutur Cak Nun.

Maiyah ber-ijtihad untuk terus menerus melatih diri untuk seimbang. Banyak hal yang dipandang tidak kompatibel, namun di Maiyah semua hal ternyata bisa selaras dan saling kompatibel. Satu diantaranya adalah musik jazz dengan pengajian, hanya di Maiyah keduanya selaras. Dan banyak hal lagi. Jika diperluas, banyak kita temui hal-hal yang tidak kompatibel dengan kebaikan. Media massa contohnya, dengan prinsip bad news is a good news yang mereka gunakan, maka media massa menjadi tidak kompatibel dengan kebaikan. Di Maiyah, kita bersama-sama memperjuangkan kompatibilitas, Maiyah mampu membuktikan bahwa semua bisa duduk bersama, tidak peduli ekonominya, ras, suku dan agamanya, tidak peduli apa latar belakang pendidikannya, apa profesinya. NU, Muhammadiyah, HTI, FPI, LDII bisa duduk bersama di Maiyah, tidak bertabrakan satu sama lain. Karena yang diperjuangkan Maiyah adalah mencari titik persambungan, bukan perbedaan. “Maiyah bukan sedang meneruskan generasi yang ada, melainkan sedang melahirkan generasi baru,” tegas Cak Nun.

“Subjek utama ridla Allah adalah anda sendiri, jadi anda sendiri yang harus ridla pada Allah. Karena ndak mungkin anda ridla kepada Allah kemudian Allah ndak ridla pada anda,” lanjut Cak Nun. Untuk ridla kepada Allah, kita musti bersikap nothing to lose terhadap dunia, tidak merasa berat hati terhadap dunia. Dengan membiasakan diri mengkalkulasi serta menemukan mana perilaku atau sikap kita yang diridlai Allah, maka kita akan memiliki habit untuk merasakan dan menimbang perbuatan mana yang Allah ridlai atau tidak.

“Setiap hal yang Allah beri adalah cara Allah untuk menyatukan diri-Nya, untuk menjadi lebih dekat dengan hamba-Nya.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agustus, 2017)

ALLAH DAN RASULULLAH YANG UTAMA

“Kebahagiaan itu jika anda ikhlas berpijak di tempat hari ini, momentum hari ini yang Allah kasih. Kalau anda ayam, anda ikhlas sebagai ayam. Kalau anda bebek, anda ikhlas sebagai bebek. Kamu tidak bahagia karena kamu makan tempe tetapi otakmu membayangkan sop buntut. Sop buntutnya ndak dapat (dirasakan), tempenya ndak enak dimakan,” tutur Cak Nun. “Kebanyakan manusia tidak berdiri di fakta dan kenyataan hidupnya, dia berdiri di harapan hidupnya.”

Terlalu banyak manusia terjebak dengan harapannya, sehingga ketika harapannya tidak tercapai ia lalu menyalahkan ketentuan Allah. Tentu tidak salah jika kita memiliki harapan, tetapi jangan jadikan harapan itu sebagai kuda-kuda dalam menjalani kehidupan. Karena jika kekeuh berpijak pada harapan, kita justru tidak merasakan kebahagiaan dalam hidup kita.

Hadir malam itu Viva Westi, seorang sutradara yang menggarap film Rayya, dimana skenarionya ditulis Cak Nun menggunakan ponsel Blackberry dalam perjalanan dari Surabaya menuju Makassar. Viva membawa serta sahabat-sahabatnya, para penggiat film asal Malaysia.

Diskusi dan tanya-jawab antara jamaah dan Viva Westi beserta teman-temannya asal Malaysia berlangsung hangat dan menarik. Ada yang bertanya tentang dunia perfilman Malaysia, ada juga yang bertanya apakah Malaysia menjadi bagian dari nusantara, ada juga yang menanyakan tentang budaya dan sastra Malaysia. Sungguh perjumpaan yang indah, tidak direncanakan tetapi kemesraan dan kegembiraan yang terbangun menjadi anugerah tersendiri di Kenduri Cinta malam itu.

Mengakhiri acara, Cak Nun merespon fenomena yang ia temui di banyak forum maiyahan belakangan, tentang harapan jamaah-jamaah yang mencium tangan, memeluk tubuh, hingga berbagai hal khusus lainnya seperti minta didoakan melalui air mineral yang dibawanya, bahkan lebih ekstrem ada yang meminta ditampar, di-kaplok, bahkan meminta untuk diludahi mulut dan wajahnya oleh Cak Nun.

Cak Nun menyampaikan bahwa bersalam-salaman janganlah sampai salah niat. Berulang kali Cak Nun mengingatkan agar jangan sampai ada yang berani mengkultuskannya. Berulang pula Cak Nun menekankan, bahwa di Maiyah posisi Allah dan Rasulullah adalah yang utama. Tauhid merupakan hal mutlak, tidak bisa diganggu gugat. “Laa haula walaa quwwata walaa shultoona illa billahi-l-‘aliyi-l-adhiim,” tegas Cak Nun. Bahwa ketika ada yang minta didoakan, diusap kepalanya, ditiup botol air mineralnya, semuanya harus menyadari bahwa efek dari semua itu datangnya dari Allah. Jangan sampai ada yang meyakini bahwa Cak Nun adalah pihak yang menentukan terwujudnya harapan-harapan. Kita melakukannya dengan satu keyakinan, satu landasan yaitu cinta satu sama lain, dan kita berharap Allah mengabulkan harapan-harapan kita.

“Setiap hal yang Allah beri adalah cara Allah untuk menyatukan diri-Nya, untuk menjadi lebih dekat dengan hamba-Nya,” tutur Cak Nun. Tepat pukul tiga dinihari, Cak Nun mengajak jamaah berdiri dan bersalawat bersama, kemudian dipuncaki dengan berdoa bersama.