PEMIMPIN GRESS DAN BANGSA INDONESIA BARU – QOUMUN AKHOR

Reportase Kenduri Cinta Mei 2011

Forum Maiyah Kenduri Cinta malam itu diawali dengan pembacaan Alquran Surat Yaasiin, secara khusus mengantarkan almarhum ayahanda dari Syekh Nursamad Kamba yang berpulang pada Jumat siang, disusul lantunan selawat.

“Dalam konteks keseharian maupun dalam konteks berbangsa dan bernegara, sepertinya kita memerlukan sesuatu yang baru, walaupun mungkin kita belum bisa merumuskan apa dan bagaimana ‘sesuatu yang baru’ tersebut,” ungkap Rusdianto sebagai wakil dari penggiat menjelaskan tema. Ditambahkan, “Yang jelas, di Kenduri Cinta kita belajar, yang paling utama bukanlah ilmu yang kita dapat melainkan input-input yang akan mengaktifkan sel-sel otak kita sehingga dapat menghasilkan cara atau pola berpikir yang baru. Malam ini mungkin akan dibacakan Hizib Nashr. Apakah hizib ini rencananya akan dilantunkan karena kondisi Indonesia yang sudah sedemikian macetnya? Hizib (hizbun) mempunyai arti partai atau pasukan. Pasukan adalah kita semua. Allah menitipkan beberapa orang-orang-Nya untuk menjaga keberlangsungan agama-Nya di semua lini. Fenomena-fenomena seperti tsunami, gempa bumi, dan kebakaran merupakan hizib-hizib yang bekerja dengan caranya masing-masing.”

Qoumun akhor dalam Alquran (QS 21:11) dapat diartikan sebagai potong generasi atau revolusi, yang prosesnya bisa berasal dari manusia, tapi bisa juga Allah sendiri yang turun tangan. Rusdi mendoakan, “Jikapun ada revolusi, baik dari manusia maupun dari Allah, semoga kita digolongkan sebagai mereka yang selamat.”

Jika melihat dari sisi historis, ada dua generasi manusia yang bermuara di Anwas dan saudaranya Anwar. Masing-masing keduanya mempunyai potensi-potensi berlainan. Dalam kitab-kitab Jawa diyakini bahwa kita berasal dari garis Anwas — dengan tetap ada persilangan-persilangan, mungkin pada generasi keenam dan ketujuh. Dalam sejarah, baik Alquran maupun secara umum, ada generasi-generasi yang oleh Allah diputus, seperti kaum ‘Ad, Samud, dan sebagainya.

Tema kali ini disimbolkan dengan pemimpin dan bangsa. Representasi manusia untuk menjadi khalifah terdiri dari jasad dan roh. Roh disimbolkan oleh warna putih dan jasad oleh warna hitam. Begitu pula dalam dialektika Jawa, tergambar dalam tokoh Semar. Putihnya Semar terjadi ketika dia menjadi bathara di kahyangan sebagai Ismaya. Tapi kemudian dia harus turun ke bumi, menghitamkan diri. Kain poleng dalam Dewa Ruci menggambarkan bahwa memang kita hidup di antara hitam dan putih. Mungkin juga hal itu terkait juga dengan dinamika Sunan Kalijaga dengan ilmu hayatnya, ilmu untuk menghidupkan. Dalam Jayabaya disebutkan: suatu saat akan ada gabus putih yang tenggelam dan batu hitam yang mengapung. Mungkin akan ada suatu titik di mana Tuhan sendiri hadir dengan meluluhlantakkan umat-Nya dengan gunung meletus, gempa bumi, dan sebagainya.

“Dalam televisi misalnya, mengapa yang penting kok nggak ditayangkan, dan yang nggak penting justru ditayang-tayangkan? Inilah yang namanya mengembarakan nafsu, yang mendasarinya adalah suka atau nggak suka, padahal nafsu itu harus di-manage. Jatuhnya Soeharto ternyata memunculkan Soeharto-Soeharto baru yang lebih buruk. Dalam bahasa Bumi merupakan sesuatu yang tidak mungkin pada masyarakat yang telah sedemikian rusak akan muncul pemimpin yang sejati. Namun dalam bahasa langit, yang terjadi justru sebaliknya. Walaupun kita menjumpai kegamangan horisontal, kita mesti tetap optimis pada dimensi vertikal,” Rusdianto menjelaskan.

“Di Kenduri Cinta kita belajar, yang paling utama bukanlah ilmu yang kita dapat melainkan input-input yang akan mengaktifkan sel-sel otak kita sehingga dapat menghasilkan cara atau pola berpikir yang baru.”

Rusdianto, Kenduri Cinta (Mei, 2011)

SATRIO PININGIT

Malam itu, Agung Pambudi hadir dan berbagi ilmu dan pandangannya, Ia sampaikan, “Tidaklah seorang pemimpin itu akan lahir jikalau di suatu ketatanegaraan berlangsung sistem yang berantakan, kerusakan yang dahsyat di seluruh aspek. Dalam sejarah Nabi Nuh dan seterusnya, ada bibit unggul atau dumadi bernama kamajaya. Bagaimana bibit unggul akan muncul jika tidak ada pertemuan dua kalimat syahadat? Bibit unggul inilah yang nanti akan menjadi khalifah.”

Agung paparkan ‘keanehan’ dalam kisah Nabi Nuh, yaitu berbagai jenis binatang dari macan, kelinci, jerapah, dan sebagainya tidak saling memangsa. Menurut Agung, hal itu dikarenakan mereka bersyahadat.

Ia kembali menambahkan, ”Nabi Adam mencapai puncak shalatul ‘ilmi saat salat Subuh, memberikan asma dan sifat pada segala benda di hadapan para malaikat. Hal tu dilambangkan dengan tanah. Shalatul ‘ilmi yang kedua (salat Zuhur) turun pertama kali pada Nabi Ibrahim, dilambangkan dengan api. Shalatul ‘ilmi Nabi Nuh terjadi pada salat Ashar. Beliau adalah pengendali udara. Setelahnya puncak shalatul ‘ilmi Nabi Musa di dalam hikmah pertemuannya dengan Nabi Khidir AS adalah salat Isya’. Dilambangkan dengan air. Magrib inilah yang terakhir, yaitu shalatul ‘ilmi Nabi Isa. Yang dibawa adalah asma 1 dan asma 6. Maka beliau dapat menghidupkan orang mati. Sesuai dengan perjalanan hidupnya, beliau tidak mempunyai ayah. Di antara empat unsur alam semesta dalam tubuh manusia disebut sebagai hawa nafsu.

“Penyempurnaan dari shalatul ‘ilmi dari para nabi terdahulu ini diperankan oleh Nabi Muhammad SAW. Perwujudan pribadi Rasulullah ada pada Jibril, karena jasadnya para Malaikat adalah nuur. Hakikat seluruh semesta sesungguhnya terdapat dalam diri Rasul, yaitu Nuur Muhammad yang melahirkan jasmaniah (dzatullah) dan nuur tajalli (sifatullah). Itsir (ether) adalah sesuatu yang lembut (latiif) yang berputar pada porosnya. Satrio piningit adalah roh kita, yang dikurung oleh 4 hawa nafsu. Kita harus memiliki pengetahuan tentang insan kamil untuk melahirkan pemimpin.”

Aziz ikut menambahkan tentang pemahaman kepemimpinan, “Saya bahkan untuk memimpin diri saya sendiri tidak bisa. Ada orang yang mengerti dan mengerti bahwa dia mengerti. Ada orang yang mengerti tapi tidak mengerti bahwa dia mengerti, maka bangunkanlah dia. Ada yang tidak mengerti dan mengerti bahwa dia tidak mengerti, belajarlah. Ada orang yang tidak mengerti tapi tidak mengerti bahwa dirinya tidak mengerti, dialah sontoloyo. Ada orang yang tidak mengerti tapi tidak tahu bahwa dirinya tidak mengerti tapi berlagak mengerti.”

Sebelum dilanjutkan ke sesi diskusi berikutnya, dibacakan QS. Al-Anbiyya oleh Ustaz Roqif, disertai tarjamahnya.

“Jangan pernah letih untuk mencari, jangan berputus asa untuk meraih hidayah. Yang paling penting adalah zikir hati. Kalau pikiran kita nanti mengembara.”

Gus Mustofa, Kenduri Cinta (Mai, 2011)

MATAUL GHURUR

Setelah diguyur hujan deras, menjelang tengah malam Cak Nun hadir di tengah forum. Cak Nun mengawali dengan menyampaikan sebuah harapan, “Untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Mudah-mudahan anda dianugerahi ibunya ilmu kehidupan. Supaya yang bersentuhan denganmu juga dibimbing oleh Allah. Ada fenomena yang ditawarkan oleh Allah, yaitu minyak zaitun. Minyak itu mampu menghasilkan cahaya tanpa perlu disulut api. Usaha anda mungkin cuma 10% tapi Allah berperan 90%-nya karena Allah menyulutnya.”

Gus Mustofa yang malam itu khusus datang ke Jakarta untuk menghadiri Kenduri Cinta, ikut memberikan tuturan, “Mbah Nun ini ulama yang sekarang masih bisa bunyi karena nurani. Saya ndampingi putranya karena negara ini tidak bisa diurus oleh orang per orang yang hanya mementingkan dirinya, sektenya, keluarganya. Mbah Nun saya ikuti. Saya nggak pernah nolak. Karena apa? Karena masih ada yang mengingatkan. Mengingatkan yang baik kadang menyakiti hati orang yang diingatkan, tapi jika tidak diingatkan akan melampaui batas. Saudara-saudaraku, jangan pernah letih untuk mencari, jangan berputus asa untuk meraih hidayah. Yang paling penting adalah zikir hati. Kalau pikiran kita nanti mengembara. Saudaraku yang belum makan, saya doakan dikenyangkan oleh Allah. Yang tidak punya uang dikayakan oleh Allah.”

Menjelang tengah malam, dengan dipimpin oleh Gus Mustofa, para hadirin melantunkan wirid Ya Allah Ya Kariim, Ya Rahmaan Ya Rahiim, Ya Qowiyyu Ya Matiin sebanyak 1.000 kali kemudian disusul dengan Al-Fatihah 265 kali.

Setelah melewati wiridan yang cukup panjang, Cak Nun sampaikan, “Anda inginnya Allah berat hati atau ringan hatinya? Bagi yang merasa ringan, tolong ulangi wirid anda sepuluh kali lipat. Bagi yang tadi merasa berat, mudah-mudahan Allah juga merasa berat hati-Nya pada kalian, berat untuk membiarkan kalian dalam kesusahan. Allah berat hati-Nya kalau kamu ditimpa bencana, begitu pula Nabi Muhammad. Maka ketika naza’-nya yang beliau sebut-sebut adalah: ummati ummatti ummati. Kenduri Cinta ini hanyalah mata’ul ghurur. Kita nggak eman pada apapun.

Mengantar narasumber berikutnya, Cak Fuad, Cak Nun menceritakan sedikit mengenai sejarah Maiyah, “Anak pertama kita adalah Padhangmbulan di Jombang, kemudian Mocopat Syafaat di Jogja. Ada juga Haflah Shalawat di Masjid Besar Surabaya — yang setelah berlangsung selama 10 tahun kemudian diganti Bangbang Wetan. Di Semarang ada Gambang Syafaat. Di Bandung dulu pernah ada Tali Kasih. Paparandang Ate (Tombo Ati) di Mandar, sekitar 350 km ke utara kota Makassar. Obor Illahi di Malang. Ada juga Baradah, kami berkeliling di Sidoarjo dari desa ke desa, dimana masyarakatnya tidak bisa diajak ngomong sebagaimana masyarakat di sini. Baradah tercipta atas request langsung dari masyarakat setempat, namanya sesuai dengan tempat dimana dahulu Mpu Baradah membagi kerajaannya menjadi dua. Maka nanti pun Sidoarjo juga akan terbagi dua.”

“Rasulullah diutus untuk menghilangkan beban-beban dalam konteks apa saja, juga dalam agama. Tapi kita sendiri sering membebani diri kita dengan beban-beban yang seolah-olah berasal dari agama. Nabi berkata: buatlah segala sesuatu itu ringan, jangan diperberat.”

Ahmad Fuad Effendy, Kenduri Cinta (Mei, 2011)

KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM

Cak Fuad mengalasi kajian malam itu dengan sebuah tafsir atas kepemimpinan dalam Islam, “Kata min anfusakum dalam Alquran mempunyai arti bahwa pemimpin itu berasal dari jenis kamu sendiri. Hal ini diartikan bahwa pemimpin merupakan makhluk dari golongan manusia, bukan malaikat. Kata azizun juga menjadi salah satu asma-ul husna yang berarti maha perkasa. Dalam konteks ini, azizun ‘alayhi berarti bahwa Rasulullah sangat abot (red: berat hati) sama kalian. Inilah konsep pertama dari kepemimpinan, yaitu merasa berat pada penderitaan umatnya. Maka Rasulullah diutus untuk menghilangkan beban-beban dalam konteks apa saja, juga dalam agama. Tapi kita sendiri sering membebani diri kita dengan beban-beban yang seolah-olah berasal dari agama. Nabi berkata: buatlah segala sesuatu itu ringan, jangan diperberat.

“Konsep kedua adalah selalu menginginkan kebaikan umatnya. Nabi selalu meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan umatnya. Dalam kata-kata bil mu’minina rauufurrahiim, kata rahiim bermakna sebagai maha penyayang. Rauf, merupakan sifat kasih sayang yang dimiliki seorang ibu kepada anaknya. Rahiim, sifat kasih sayang yang khusus diberikan kepada orang-orang yang beriman karena kualitasnya beda dengan rahmaan.”

Menegaskan kembali bahwa setiap kita adalah pemimpin, Cak Fuad tuturkan, “Kita masing-masing adalah seorang pemimpin, di mana saja. Saya pernah membaca di buku filologi, yang membedakan kepemimpinan Rasulullah dengan kepemimpinan umum, yaitu konsep Imam dan Ra’is. Dalam Quran, para nabi disebut sebagai imam. Kalau jaman sekarang untuk kata ‘pemimpin’ dipakai Ra’is. Ada perbandingan antara etimologi Imamah dan Ri’asah. Imamah akar katanya umm atau ibu, maka paradigma kepemimpinan dalam Islam adalah kepemimpinan sebagaimana seorang ibu atau melayani, kepemimpinan yang melindungi, yang mencurahkan kasih sayang. Sementara Ri’asah berasal dari kata ra’sun atau kepala, yang sifatnya selalu ingin di atas, selalu ingin dihormati, sehingga seringkali ia menjadi begitu lemah.

“Dalam surah Az-Zumar 17-18, Allah menerangkan tentang orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah, yaitu orang-orang yang mau menyimak perkataan-perkataan dan kemudian mengikuti yang terbaik. Yasma’ (red: mendengar atau hearing) berbeda dengan yastama’a (mendengarkan atau listening to). Dan yang didengarkan adalah qoul, bukan qoulan, berarti perkataan apa saja, bukan perkataan tertentu. Qoul mempunyai arti yang sangat luas, bisa berupa ayat-ayat Allah, tafsir atau berita-berita. Kalau kita sudah terlatih yastami’unal qoula, maka pengetahuan menjadi luas dan tidak mudah terbawa oleh satu pendapat tertentu.

“Tetapi ada persyaratan di ayat 17: walladzinaajtanabu thoghut… yaitu jangan sampai kita menyembah thoghut, yaitu apa saja yang disembah selain Allah. Apa saja bisa menjadi thoghut, bahkan orang saleh pun juga bisa menjadi thoghut. Orang yang sudah mengecap dirinya dengan ideologi tertentu misalnya, akan cenderung tidak bisa menerima informasi dari ideologi lain secara obyektif. Syarat kedua adalah adanya petunjuk dari Allah.

“Tadi di awal Cak Nun menyebutkan ayat Ar-Ra’d: sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri [13:11]. Syariat-nya memang begitu, tapi hakikat-nya tidak begitu. Seperti ketika Muhammad berkata: tidak ada manusia yang bisa mendapatkan surga atau terhindar dari neraka karena amal perbuatannya. Karena kita bisa berbuat baik atas rahmat Allah.”

“Imamah akar katanya umm atau ibu, maka paradigma kepemimpinan dalam Islam adalah kepemimpinan sebagaimana seorang ibu atau melayani, kepemimpinan yang melindungi, yang mencurahkan kasih sayang. Sementara Ri’asah berasal dari kata ra’sun atau kepala, yang sifatnya selalu ingin di atas, selalu ingin dihormati, sehingga seringkali ia menjadi begitu lemah.”

Ahmad Fuad Effendy, Kenduri Cinta (Mei, 2011)

JALAN YANG LURUS

Setelah Cak Fuad menyampaikan tafsir-tafsirnya tentang kepemimpinan dalam Islam, jamaah kemudian dipersilahkan mengajukan pertanyaan atau sekedar merespon. Berikut beberapa respon dari jamaah:

  • Berdasarkan ungkapan dari Cak Fuad, saya mau tanya sama Gus Mustofa: sebetulnya ahlul-dzikri kita siapa sih?
  • Apakah kita bisa mencapai nama Muhammad atau itu hanya sifat?
  • Kepemimpinan di Indonesia ini seperti apa? Proyeksi pemimpin Indonesia ke depan itu siapa? Di mana kebersahajaan para pemimpin kita?
  • Bedanya khilafiyah dan ikhtilafiyah? Di Indonesia bahkan oposisi pun bukan khilafiyah.
  • Apakah manusia juga disebut qoul?

Gus Mustofa menjawab, “Ahli zikir menurut saya ya hanya Nabi Muhammad. Beliaulah yang dalam uzlah-nya di Gua Hira berkontemplasi terus-menerus. Tidak ada yang paling benar dan tidak ada pula yang paling salah. Yang penting ada keikhlasan guru dan penerimaan murid.”

Menjawab pertanyaan tentang qoul, Cak Fuad: “Puisi, karya-karya apa saja, juga merupakan qoul. Bagaimana kita menyikapi qoul, perintahnya jelas. Gejala, saya kira juga bisa merupakan qoul. Tafsir yang sudah ada juga merupakan qoul. Itulah hebatnya Alquran, bisa ditafsirkan seluas-luasnya asalkan dengan landasan.”

Merespon ikhtilafiyah, Cak Fuad: “Rasulullah sangat lapang. Contohnya dalam perbedaan salat Witir antara Abu Bakar dan Umar. Salah satu sifat Rasulullah adalah haliim atau tidak buru-buru dalam menghukum orang yang keliru. Tapi kalau ada orang yang tidak jujur, Rasulullah sangat keras. Contoh dari sahabat-sahabat Rasulullah itu rebutan tidak mau seperti dalam pembaiatan khalifah. Menurut para sejarawan ada dua kelompok, yaitu: Ali, yang merupakan seorang agamawan dan cendekiawan yang tidak pernah terlintas di kepalanya soal politik. Abu Bakar dan Umar, yang menerima politik dalam rangka ‘umat ada yang ngurus, menata, dan mengisi’ setelah Rasulullah tapi selalu mengutamakan keimanan. Mulai khalifah ketiga ada pertimbangan-pertimbangan politik, maka Ali dipaksa untuk menjadi khalifah.”

Cak Nun menutup kajian malam itu dengan menyampaikan, “Setahu saya pemimpin itu tempatnya di paling belakang. Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Anda jangan pernah menyangka saya mau mencalonkan diri. Kecuali yang memilihkan adalah Tuhan sendiri. Ya Allah, kami nggak mampu milih pemimpin. Maka doanya: Ya Allah, mbok ikut Pemilu. Dan ending-nya adalah Kenduri Cinta menawarkan cara berpikir fenomenal. Yang penting adalah jalannya: shirathal mustaqim. Goal-nya sepenuhnya urusan Allah.”

Diskusi terus berlangsung hingga dini hari. Pada akhir acara, semua berdiri, berdoa bersama dipimpin oleh Cak Fuad.