Mukadimah TUNJUK HIDUNGMU

Menunjuk hidung, bagi orang Jepang adalah cara memperkenalkan diri, ujung jari telunjuk tangan kanan mengarah ke hidung sendiri, menunjukkan  “inilah aku“. Kalau orang jawa atau di Indonesia umumnya mengarah ke dada, maka ada kata inilah dadaku, berarti bahwa aku ada. Jari telunjuk saat bergerak dia datang dari hati yang paling dalam, biasanya digunakan untuk sesuatu yang baik, menunjukkan jalan kepada orang tersesat, atau menunjuk tempat yang akan dituju.

Menunjuk hidung ke arah orang lain, biasanya memberitahu ada kotoran di hidungnya atau mengejek (maaf) kebiasaan seseorang mengupil sering menjadikan seseorang menunjuk hidungnya, karena tanpa disadari ada sedikit upil yang menempel.  Menunjuk lebih sering memberikan arah kepada orang lain, datangnya dari ketulusan hati, untuk siapa saja yang bertanya, atau mencari tahu. Menunjuk juga kadang memerintah, atau mempercayakan kepada orang lain. Menunjuk sekali berarti untuk hal yang baik-baik, namun kalau sudah menunjuk-nunjuk, atau ditunjuk-tunjuk menjadi tidak baik.

Dalam kepemimpinan seseorang ditunjuk sekali dalam hidupnya untuk menjadi pemimpin , apabila terus-terusan ditunjuk, seseorang ditunjuk-tunjuk, karena terpaksa bukan karena ketulusan, berakibat tidak baik, untuk dirinya dan yang dipimpinnya. Lebih mudah menunjuk orang lain daripada menunjuk diri sendiri, apalagi menunjuk hidung. Mengamati kesalahan orang lain lebih mudah daripada mengamati kesalahan sendiri, kedua mata selalu mengarah kedepan, artinya keorang lain, terkadang mata kita lupa diajak bercermin, bahwa retina kita berdebu atau diujungnya ada kotoran.

Manusia hidup bersama dengan manusia, alam juga binatang, semua makhluk melangkah bersama menuju alam keabadian dengan caranya sendiri-sendiri. Setelah melangkah bersama, ditengah perjalanan tujuan hidupnya, banyak hal terjadi, kekeliruan, salah faham, ketidak harmonisan, menjadi bumbu dalam perjalanannya. Saat menemui jalan buntu, bermacam argument datang, menganggap benar pendapatnya, dan menyalahkan pendapat bahkan ucapan dan tindakan orang lain, dianggap sesuatu yang wajar.  Batas kewajaran menjadi bias, masing-masing menunjuk hidung yang lain, seakan-akan diujung hidung temannya itu ada noda hitamnya semua, sampai-sampai tahi lalatpun dianggap noda, karena berwarna hitam.

Tunjuk hidungmu, mari menunjuk hidung kita sendiri sebelum menunjuk hidung orang lain, inilah aku, ini hidungku, bukan mauku hidungku seperti ini, memang tidak harus setiap orang mengetahui isi hidung, dan panjang rambut hidung kita, namun senantiasa bercermin bahwa hidungku adalah sesuatu yang indah, yang harus dijaga, sebab tanpa hidung yang sehat akan sulit bernafas, kalau sudah sulit bernafas penyakit mudah masuk, kalau sering sakit-sakitan berfikirpun menjadi tidak karuan. Anggaplah  hidung teman, dan orang lain lebih indah dari hidung kita.

Menghirup udara lewat hidung tidak dapat sekaligus, pelan-pelan menghirup, begitu juga dalam menghembuskannya. Tugas hidung adalah menghirup dan mencium, bukan menentukan sesuatu itu baik atau buruk apalagi halal dan haramnya, untuk dapat menentukan keputusan itu berdasar keseriusan dan kekompakan dengan seluruh indera yang ada dalam tubuh manusia.

Tunjuk hidungmu, dapat juga sebagai seruan bagi aku, kamu dan kita semua untuk yang pertama kali bukan menyalahkan orang lain dalam menghadapi keadaan kita bersama, atas ketidak beresan keadaan lingkungan kita ini. Mungkin saja kesemerawutan ini hanya kamu yang mampu mengatasinya, namun kamu malu-malu, enggan untuk menunjukan mampumu itu, menunjukan hidungmu. Boleh jadi karena keenggananmu untuk memulai menjadi penghambat bagi kebaikan yang mengantri dibelakangmu.