Pantun Bersambut Di Negeri Politik

Trend adegan-adegan politik pencitraan semakin tidak populer. Masyarakat mulai memilih pasif dalam permainan yang nyatanya hanya main-main. Percikan persaingan politik pencitraan sepi peminat. Setingan adegan-adegan rekayasa tidak lebih menarik ketimbang menonton ritual ngadu pantun Palang Pintu di awal acara pesta pernikahan adat Betawi.

Ritual Palang Pintu ini terjadi pada saat rombongan mempelai pengantin laki-laki dihadang sebelum masuk rumah mempelai perempuan. Sesindiran terjadi diantara kedua belah pihak menggunakan pantun kemudian dilanjutkan adu jurus silat. Seolah mereka saling menantang dan mengancam, namun sebenarnya tidak benar-benar menantang atupun benar-benar mengancam, melainkan sedang bermesraan menggunakan sajak-sajak pantun sesindiran dan saling bersahutan.

Dimulai oleh perwakilan pihak mempelai perempuan menanyakan maksud dan tujuan kedatangan rombongan.

“Eh… Berhenti-berhenti! Ni ade rombongan rame-rame mau pade kemane? Masuk halaman seenaknye.
Tax amnesti buat asumsi, kerje jangan cuman pencitraan.
Gak berhenti minte permisi, maksud rombongan tolong jelaskan…”

Kemudian dari wakil rombongan mempelai laki-laki membalas,
“Hambalang mangkrak gak karuan, penuh ilalang mesti diselametin.
Kite datang ngarak rombongan, kalau lu hadang siap ane ladenin.”

“Oh… Jadi ni calon laki si Lala.
Aset Negara dari Aceh hingga Papua,semua kudu dijaga seutuhnya
Mending lo pade balik semua, kalo sampe kalah adu jurus nantinya.”

Adegan selanjutnya adalah adu jurus silat. Meskipun adegan perkelahian itu sebatas prosesi lanjutan, namun mereka serius dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan ritual adegan itu. Setiap gerakan pukulan, tangkisan, tendangan dan bantingan dilakukan dengan sigap, mantap dan tepat.

Politik selalu saja berhubungan dengan kekuasaan untuk memerintah atau mengatur orang lain. Sehingga dalam banyak hal, nafsu berpolitik selalu mengikuti dalam setiap interaksi sosial. Dalam berteman ada politik, dalam rumah tangga, keluarga, bertetangga, desa, kota, negara, bangsa dan antar bangsa nyaris selalu berhubungan dengan politik. Penekanannya ada pada bagaimana cara memperoleh kekuasaan, bagaimana cara mempertahankan dan bagaimana menggunakan kekuasaan yang sudah diperoleh. Apakah kekuasaan itu didapat karena citra pribadinya ataukah itu sekedar hasil dari pencitraan-pencitraan yang direkayasa.

Pada Maiyahan Kenduri Cinta Bulan Februari lalu, dengan tema Kufur Award; Manipulasi Citra, Kapitalisasi Pencitraan, sangat jelas dalam membahas beda antara citra dan pencitraan. Tri Mulyana (Wakil Ketua Kenduri Cinta 2016) mengatakan bahwa, “Citra itu akan bertahan dalam waktu lama sedangkan pencitraan tidak akan bertahan lama karena digunakan untuk tujuan atau kepentingan yang sesaat.”

Seorang pemimpin, memimpin apapun dia, tidak membutuhkan pencitraan dalam menjalankan kepemimpinannya. Citra pemimpin akan memancar dengan sendirinya akibat dari konsistensi, kesungguhan dan ketepatan pada setiap perbuatan kepemimpinannya. Citra Politik seorang pemimpin bukan terpancar dari pakaian jabatan, tetapi tumbuh dengan sendirinya seiring dengan setiap kesuksesan pelaksanaan fungsi jabatannya. Seorang pemimpin tidaklah berusaha memperoleh kekuasaan dari yang dipimpin karena kekuasaannya untuk mempin justru diberikan oleh orang-orang yang percaya terhadap kepemimpinannya.

Padahal kekuasaan dapat diperoleh melalui berbagai macam cara. Ada yang diperoleh secara alami, misalnya kekuasaan orangtua atas anak-anaknya. Ada yang melalui karier profesi, melalui kompetensi jabatan struktural organisasi, melalui pemilu-pilkada, melalui diplomasi antar negara, hingga kekuasaan yang lebih luas yaitu melalui supermasi suatu bangsa diatas bangsa lainnya. Sangat disayangkan cara-cara yang digunakan tidak jarang disertai dengan cara-cara yang keji dan kejam. Sehingga pada sekarang ini citra politik menjadi terkesan lebih menyengsarakan dan semakin jauh dari mensejahterakan masyarakat.

Misalnya saja, Politik hanya diartikan sebagai seni untuk membahagiakan orang-orang yang ada disekitar oleh setiap orang. Sepertinya wajah peradaban umat manusia akan jauh berbeda dengan kenampakannya seperti sekarang ini. Disayangkan sangat sedikit, bahkan nyaris tidak ada Politisi yang mengutamakan kebahagiaan orang lain, kebanyakannya adalah sebatas untuk tujuan kekuasaan pribadinya.[AS]

Komentar