Ia Pergi Seorang Diri

MENGENANG 40 HARI AGUNG WASKITO

 

Ia pejalan kaki seorang diri

Ia meninggal seorang diri

Kelak dibangkitkan seorang diri

 

(Musikalisasi Puisi dalam naskah drama Abu Dzar Al Ghifari, karya Agung Waskito).

 

DI SELA-SELA persiapan pementasan Keluarga Sakinah naskah Drama Keluarga karya Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) untuk Muktamar Muhammadiyah ke 42, 1990, di Yogyakarta, Agung Waskito, sebagai sutradara, juga mempersiapkan drama karya sendiri, Dajjal, untuk pementasan di Gedung Manunggal ABRI Ujung Pandang (Makassar), Sulawesi Selatan. Selain dua karya drama di atas, Agung Waskito juga mempersiapkan drama Abu Dzar Al Ghifari, kisah perjalanan sahabat Rasulullah dalam mencari hakikat kesejatian.

Saya mengenal Agung Waskito, di awal-awal merapat ke lingkaran komunitas Patangpuluhan. Kala itu di Patangpuluhan sedang mempersiapkan pementasan teater dengan lakon “Drs Mul,” Agung adalah salah satu pemainnya.

Hari-hari berikutnya, saya sering diajak Cak Nun ke tempat-tempat latihan teater berbagai macam kelompok, yang semuanya “menginduk” di Patangpuluhan. Suatu waktu saya diminta mengantar Draft Naskah Drama Keluarga Sakinah, yang ditulis secara bertahap, di tempat latihan teater, Aula Panti Asuhan Yatim Putri Aisiyah, Serangan, Ngampilan, Yogyakarta. Di kesempatan berbeda, saya antar Draft Naskah Cak Nun ke tempat latihan lain, semisal: Gedung Senisono (sekarang satu komplek dengan Istana Kepresidenan Gedung Agung), atau ke Sanggar Shalahuddin. Beberapa naskah drama karya Cak Nun dipentaskan oleh beberapa kelompok teater yang berbeda, sehingga saya juga mengenal beberapa pemain-pemain muda, yang kelak beberapa jadi pemain-pemain teater yang handal, yang sangat diperhitungkan: Whani Darmawan, Goeteng Iku Akhkin, Seteng Agus Yuniawan, Yudi Ahmad Tajudin, Wahyudi Nasution, Puthut Buchori (alm), Bagus Jeha, dan seterusnya.

Jauh sebelum itu, pertengahan 1980-an, Panitia Ramadan Di Kampus UGM, dikenal sebagai Jamaah Shalahuddin UGM, mengadakan Pesantren Seni. Cak Nun dan Agung Waskito diminta untuk memberikan semacam workshop teater. Agung Waskito, sebetulnya belum diperhitungkan oleh komunitas teater Yogyakarta, karena ia belum menghasilkan karya yang layak diperhitungkan di kancah perteateran. Ia hanya anak muda berbakat yang melatih teater di almamaternya, Teater MAHI, SMA Muhammadiyah I Yogyakarta, dengan karya Pharaoh, dan melatih teater di Teater MASA, MAN I Yogyakarta, juga di beberapa sekolah menengah.

Puisi panjang karya Cak Nun, Lautan Jilbab, diangkat oleh Agung Waskito dalam Teaterikalisasi Puisi. Sebuah teater kolosal, dialog panjang, nyanyian dan tarian. Agung dengan sabar melatih anak-anak yang masih belia, belum berpengalaman, untuk bermain teater. Bersama Sanggar Shalahuddin UGM, Teaterikalisasi Puisi Lautan Jilbab, 10-11 September 1987, dipentaskan di Hall Gelanggang Mahasiswa UGM, dengan ribuan penonton. Ini adalah rekor penonton teater, dengan audiens kalangan aktifis mahasiswa muslim, adalah yang pertama di Indonesia. Sehingga beberapa kampus di kota-kota lain berminat mengundangnya, salah satunya Kampus Universitas Hasanuddin, Makassar.

Beberapa tahun kemudian, Drama Puisi Lautan Jilbab dipentaskan di Lapangan Willis Madiun, dengan penonton mencapai 30.000-an (berdasarkan tiket terjual), bahkan sampai hari ini tak ada pertunjukan teater yang ditonton oleh audiens sebanyak itu. Anehnya, tak ada satu koran pun yang mau mengangkat sebagai berita. Cak Nun sendiri mengapresiasi dalam salah satu tulisannya:

Di Madiun itu hadir sekitar lima belas aktor Teater Jiwa pimpinan Agung Waskito dari Yogya, di samping melibatkan 176 orang pemain setempat yang datang dari Maospati, Ngawi, Ponorogo, Magetan, dan Madiun sendiri. Mereka harus kerja amat keras untuk pementasan kolosal yang ditonton 30.000 Muslimin-Muslimah. Siapakah yang lebih besar dari Agung Waskito, yang mampu, sabar, dan amat telaten dalam waktu amat singkat mengorganisasikan sebegitu banyak manusia? Untuk pementasan yang dituntut tidak saja prestasi estetika dan komunikatifnya, tetapi juga dari sisi Islami-Nya? Mungkin ada tenaga dari Majelis Kebudayaan Muhammadiyah, lembaga-lembaga Islam lainnya, atau dari masjid-masjid, yang sesekali boleh menggantikan peran Agung Waskito. Bahkan kemampuan saya, kesabaran saya, ketelatenan saya, serta kepemimpinan saya, hanya seujung jari dibanding yang dimiliki oleh Agung Waskito, anak yang tidak tamat SMA dan tidak pernah dianggap seseorang oleh umat dan pemimpin-pemimpinnya yang dia beri jasa sedemikian besar. Normalnya teater profesional saja harus berlatih tiga bulan nonstop untuk satu pementasan. Ini pentas dengan pemeran-pemeran “kagetan” dari pelosok-pelosok, ditangani Agung sendiri seminggu dua kali selama hanya dua bulan — dan pentasnya berlangsung lumayan.

Agung Waskito dan Novi Budianto (Kiai Kanjeng) pernah dikirim Cak Nun ke Mandar untuk memberi pelatihan teater dan musik. Bagi kawan-kawan Teater Flamboyant, Mandar, Agung sudah sangat familiar. Panggilannya “Mas Agun” bukan “Mas Agung.” Sebagaiman mereka memanggil Cak Nun dengan “Cak Nung.”

Oleh Cak Nun pula, Agung direkomendasikan untuk melatih teater di Pesantren Modern Darussalam Gontor. Ia piawai melatih pemain pemula menjadi pertunjukan teater yang layak tonton. Barangkali, Agung lah satu-satunya sutradara teater kolosal di Indonesia.

Agung pernah pula menyutradarai tarian kolosal dari ribuan siswa-siswi sekolah menengah untuk pembukaan dan penutupan Musabaqah Tilawatil Quran di Yogyakarta, 1991.

Masya Allah. Siang itu, 11 Februari 2016, beberapa grup messenger dan laman media sosial mengabarkan, bahwa Agung Waskito dipanggil Allah, pulang ke Haribaan-Nya. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Ia pergi seorang diri, memenuhi panggilan-Nya. Di hari yang seharusnya berangkat ke Yogya untuk berbagi cerita tentang Lautan Jilbab, sebuah gerakan perlawanan, bahwa di tahun 1980-an, jilbab bagi penguasa adalah ancaman. Sekolah-sekolah, kantor-kantor pemerintah dan perusahaan-perusahaan, melarang siswa atau pegawai yang menjalankan perintah agamanya, berjilbab. Beberapa siswa dikeluarkan, pegawai-pegawai diberhentikan.

Sore itu juga, saya berangkat ke Bogor, saling janji dengan Gandhie, pegiat Kenduri Cinta, yang pertama kali memberi kabar, bersama-sama ke rumah duka. Saya salami istrinya, Dewi Maharani, yang sangat tabah dan ikhlas. Di ruang lain, Agung Waskito seolah sedang tidur. Kain yang menutup wajahnya dibuka, saya cium keningnya. Doa-doa dipanjatkan.

Sehari berikutnya, beberapa kawan memberikan testimoni.

Wahyudi Nasution, pemain Lautan Jilbab: Ya Allah, ternyata ini jawabannya. Kang Agung Waskito dipanggil oleh Allah SWT kembali keharibaanNya kemarin sore, Kamis 11 Februari 2016 pkl 15.15 WIB. Semoga Allah SWT mengampuni semua khilafmu dan membukakan pintu sorganya lebar-lebar untukmu. Aamiin. Kang Agung, sejak 2 hari yang lalu kucoba menulis seputar proses Teaterikalisasi Puisi Lautan Jilbab Sanggar Shalahuddin UGM tahun 1988 untuk bahan reriungan dan diskusi kita malam ini di Perpustakaan EAN/Rumah Maiyah/Mabes Kiai Kanjeng di Kadipiro Yogyakarta. Entah apa masalahnya, setelah tulisanku dapat 2 halaman, masuk alinea tentang pertemuanku denganmu di Patangpuluhan dan diskusi kita bersama Cak Nun seputar rencana pentas kolosal itu, tiba-tiba aku kehabisan ide. Macet. Tak tahu lagi harus bercerita dari mana tentang kehebatanmu melatih dan menyutradarai pementasan dengan materi pemain yang muda dan masih miskin pengalaman. Terlalu banyak kehebatanmu untuk diceritakan. Yang pasti, tidak akan pernah ada Sanggar Shalahuddin tanpa peran, totalitas, dan kesabaranmu. Tidak akan pernah ada pentas kolosal Lautan Jilbab yang gaungnya cukup membahana di saat orang masih alergi dan curiga terhadap pemakai jilbab. Tidak akan pernah ada teater kampus yang pementasannya ditonton ribuan orang, lalu diundang pentas di berbagai kota.Tidak akan lahir kader-kader seniman-budayawan potensial seperti kakak-beradik Goetheng Iku Ahkin dan Yudi Ahmad Tajudin, Seteng Agus Yuniawan, Bagus Jeha Ikun Sri Kuncoro, Aprinus Salam, dll tanpa gemblengan dan gula-wenthahmu di Sanggar Shalahuddin.

Seteng Agus Yuniawan, salah satu pemain Lautan Jilbab dan beberapa pentas teater bersama Agung Waskito: Pergimu membawa kisah yang orang tak akan pernah tahu. Hikmah indah pasti merebak di wangi-wangi jejakmu. Bihusnilkhaatimah, kawanku. Bihubbillah, guruku. Sedu sedan kelam kelu, selesai di ini waktu.

Goetheng Iku Ahkin, salah satu pemain Lautan Jilbab: Sekali lagi. Aku dikejutkan.  Kemarin salah satu murid terbaikku pergi. Phoethoet Buchori Ali Mursono. Barusan ini dapat kabar pula, salah satu guru terbaikku, Kangmas Agung Waskito juga pergi. Seperti dibuka lalu ditutup pintuku. Kangmas Agung Waskito meninggal di Bogor pukul 15.03 WIB. Innalillahi wa inna ilaihi rajiu’n. Aku terus diingatkan. Aku terus dikejutkan. Almarhum adalah sutradara teater dan pementasan Lautan Jilbab, Keluarga Sakinah, Dajjal dll. karyanya sendiri dan tulisan Cak Emha Ainun nadjib. Juga penulis serial sinetron yang pernah populer produksi PT. Persari Film, Aku Ingin Pulang.” Gusti Alloh Yang Maha Agung semoga Kangmas Agung Waskito telah memaafkan aku seperti aku telah lama melupakan banyak benturan dan kesalahpahaman yang pernah terjadi.

Yudi Ahmad Tajudin (Teater Garasi), pertama kali berteater bersama Agung Waskito: Selamat jalan, Pak Agung Waskito. Maturnuwun sing akeh atas pengalaman dan pengetahuan awal tentang teater di masa-masa awalku menggeluti seni ini, di masa remajaku dulu. Maturnuwun.

Sebulan sebelum pergi, Agung Waskito bersama istri tercintanya, Dewi Maharani, ditemani Nadlroh As Sariroh, menghadiri acara Kenduri Cinta, 15 Januari 2016. Agung beberapa kali ikut mengisi acara Kenduri Cinta dengan petikan gitarnya. Bahkan, di awal Kenduri Cinta, Juni 2000, ia tampil menyumbangkan beberapa lagu. Ia yang mengawali Kenduri Cinta 2000 dan ia mengakhiri, seolah berpamitan, hadir di Kenduri Cinta 2016. Ia husnul khotimah.