Ngaji bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng di Ponpes Raudlatut Tholibin, Semarang

Hujan sejak siang merata dari Yogyakarta hingga Semarang. Perjalanan Cak Nun dan KiaiKanjeng (CNKK) menuju Sruweng Susukan Kab. Semarang cukup lancar. Lokasi maiyahan yang sejak sore diguyur hujan deras sudah reda saat Cak Nun dan para narasumber memasuki panggung diiringi selawat Badar. Inilah maiyahan “Ngaji Bareng Cak Nun” dalam rangka Haflah Khotmil Qur’an dan Haul Ponpes Raudlatut Tholibin Jetis Gentan Susukan Kab Semarang.

Pondok Pesantren Salaf Roudlotut Tholibin merupakan lembaga pendidikan. Pesantren ini menyelenggarakan kegiatan pendidikan pada jenjang Tsanawiyah, Aliyah dan Kejar Paket, dengan jumlah santri sebanyak 250 orang. Dalam menyelenggarakan pendidikan tersebut, pesantren yang berlokasi di Desa Jetis Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang ini berupaya keras untuk menjalankan asas kemandirian, tanpa meminta bantuan kepada pemerintah atau pihak lain.

Sebagai kekuatan budaya santri, pesantean Roudlatut Tholibin juga menjalankan tradisi santri sebagaimana yang lazim berlangsung di lingkungan pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama (NU), seperti kegiatan khaul, akhirussanah, khotmil Qur’an, dan lain-lain. Malam ini khususnya acara dilangsungkan dalam rangka peringatan khotmil Quran para santri. Melaui Sinau Bareng Cak Nun, pesantren berharap agar Cak Nun dapat memperkuat pemahaman mengenai khotmil Qur’an dalam perspektif yang lebih luas.

Selain itu, sangat diharapkan Cak Nun dapat membantu membentengi para santri, civitas akademis pesantren dan masyarakat yang hadir dengan ilmu, pemahaman, dan sikap yang tepat dalam menghadapi berbagai aliran-aliran yang diwarnai oleh kesempitan berpikir di antaranya menyangkut soal-soal khilafiyah.

1446910156210

“Yang pasti benar adalah Rasulullah. Karena manusia seperti kita mungkin benar mungkin salah, maka ojo petentengan saling golek salah, tapi carilah kemungkinannya dalam menambah keyakinan kita.”
Emha Ainun Nadjib, Maiyahan Ponpes Raudlatut Tholibin (Nov, 2015)

Dalam konteks kelangsungan lembaga pendidikan pesantren di masa kini, penyelenggara juga berharap Cak Nun dapat memberikan wawasan tentang bagaimana pesantren menghadapi situasi di mana minat masyarakat untuk menyekolahkan atau memondokkan putra-putrinya di pesantren menurun adanya. Mungkin karena orangtua merasa bahwa masa depan anak-anak mereka kurang cukup terang dengan mondok di pesantren.

Masyarakat Desa Jetis Gentan pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani, tanah sangat subur ditambah dengan air gunung yang berlimpah. Dari desa yang subur dan sejuk ini, Pesantren Roudlatut Tholibin berharap dapat melahirkan santri-santri dengan kualitas yang baik dan mampu merespon tantangan zaman dengan sebaik-baiknya. Kesempatan kehadiran Cak Nun dan KiaiKanjeng juga dimaksudkan agar Cak Nun dapat memberikan bekal bagi para santri, ustaz, dan masyarakat umum untuk mampu menyadari tantangan masa depan yang dihadapi oleh dunia pendidikan. ‎

Nggak perlu khawatir, pertahankan terus salaf-nya pesantren ini, nanti orang akan kembali ke salaf. Orang khawatir masa depan anaknya tidak cerah kalau memondokkannya di pesantren itu karena mereka pikir kalau anak sekolah di luar pesantren pasti cerah. Padahal tidak juga. Kalau ngomong sugih, sekarang yang paling cepat sugih adalah perampok dan koruptor. Harus kita pastikan tauhid kita, juga tauhid anak-anak kita, kepada Allah. Kalau itu bisa kita tegakkan, mereka akan kembali ke pesantren salaf,” tegas Cak Nun di awal maiyahan.

Hanya beberapa menit di awal, Cak Nun sudah melontarkan poin-poin padat melalui logika-logika sederhana, mendasar, tapi jarang dibayangkan atau disimulasi. Diantaranya, Qari yang melantunkan Alquran diminta membawakan lagu yang sesuai dengan hatinya sendiri, tidak harus mengikut yang mana-mana, alias berdaulat. Ternyata lantunan yang murni lebih enak didengar. “Asalkan melantunkan Alquran dengan hati yang ikhlas dan murni, insyaAllah bagus, terasa, dan sampai ke hati kita,” ujar Cak Nun.

1446914090770

“Menafsirkan Alquran adalah salah satu jalan agar kita mendapatkan hidayah Allah.”
Emha Ainun Nadjib, Maiyahan Ponpes Raudlatut Tholibin (Nov, 2015)

Prinsip yang selanjutnya dipaparkan Cak Nun adalah meskipun seseorang adalah ulama ia mungkin salah mungkin benar, “Anda pun demikian, mungkin salah, mungkin benar. Yang pasti benar adalah Rasulullah. Karena manusia seperti kita mungkin benar mungkin salah, maka ojo petentengan saling golek salah, tapi carilah kemungkinannya dalam menambah keyakinan kita.” Di samping itu, Cak Nun mengajak kita untuk berani sedikit menafsir Alquran. Mengapa? Sebab, seperti tertera jelas dalam ayat awal surat al-Baqarah: dzalikal kitabu la roiba fiihi hudan lil muttaqin; Alquran adalah petunjuk bagi orang yang bertakwa. Artinya, supaya mendapatkan petunjuk, jadilah orang-orang yang bertakwa. Bertakwalah, sehingga ketika membaca Alquran walaupun sedikit, kita akan mendapatkan hidayah atau petunjuk.

Selain itu, dengan sedikit “berani” menafsirkan, insyaAllah kita akan mendapatkan hidayah. Alif lam mim biasanya diartikan hanya Allah yang tahu maksud-nya, dipertanyakan Cak Nun, “Kalau misal alif lam mim saya artikan alif itu tegak, lam berarti rukuk, dan mim berarti sujud, apakah boleh?” Ragu-ragu jamaah menjawab, tapi kemudian dijawab: boleh. “Jadi, menafsirkan Alquran adalah salah satu jalan agar kita mendapatkan hidayah Allah. Apalagi kita juga memahami bahwa ayat-ayat Allah ada tiga jenisnya: literer, kauniyah, dan diri manusia.”

Halaman pesantren yang berjarak 10 kilometer dari jalan besar yang menghubungkan Boyolali dengan Semarang malam itu sangat padat oleh masyarakat umum maupun para santri. Sebuah kesempatan langka berjumpa dengan Cak Nun dan KiaiKanjeng. “Merupakan berkah bagi kita untuk bisa ngaji bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng malam ini,” ujar Gus Yusuf Chudlori dari Ponpes API Tegalrejo Magelang yang kali itu menjadi narasumber. Sejak ketemu di ruang transit, Gus Yusuf terlihat tawadhlu tapi juga dekat dengan Cak Nun. Beberapa tahun lalu Gus Yusuf datang ke Mocopat Syafaat untuk ngangsu kawruh kepada Cak Nun ihwal bagaimana menghadapi gerakan-gerakan yang gampang mengafirkan orang lain sesama muslim, menuduh syirik terhadap tradisi dan budaya berlaku di masyarakat. Malam ini pun Gus Yusuf masih menunjukkan concern yang sama. Ia berpesan agar orangtua bisa menghormati para ulama dan mau belajar kepada mereka agar mereka menjadi santri yang berjiwa nusantara.

1446919215587

“Alquran adalah petunjuk bagi orang yang bertakwa. Artinya, supaya mendapatkan petunjuk, jadilah orang-orang yang bertakwa.”
Emha Ainun Nadjib, Maiyahan Ponpes Raudlatut Tholibin (Nov, 2015)

Maiyah adalah sebuah peradaban, dan seperti pernah dikatakan Sabrang, sebuah peradaban dikatakan tinggi apabila mampu memahami peradaban lainnya. Terasa sekali bahwa sedari awal penjelasan-penjelasan Cak Nun adalah cara-cara cerdas dalam memahami kebekuan dan kekakuan tafsir dan penghayatan kita terhadap Alquran selama ini, dan beliau menawarkan terobosan. Pun demikian halnya, dalam memahami dan menyikapi kesempitan-kesempitan berpikir dan sikap beragama yang diisi oleh kepengikutan buta berikut konstelasi politiknya, Maiyah sudah sangat komplet menganalisisnya, dan menawarkan jalan keluar atau penyikapan khususnya bagi Jamaah Maiyah. Tidak ada klaim, tapi dilihat dari pemikiran-pemikiran yang dilontarkan Cak Nun kepada para jamaah khususnya, sesungguhnya yang digarap oleh Cak Nun adalah kaliber-kaliber peradaban manusia.

Berapapun jumlah orang yang datang ke maiyahan bersama masyarakat, yang dalam kenyataannya selalu sangat banyak, senantiasa ada satu yang khas: pandangan mata mereka sangat kuat melekat dengan panggung. Mereka sangat menikmati, mengikuti, dan menyimak apa yang disampaikan Cak Nun dan narasumber lainnya, sangat menikmati musik KiaiKanjeng dari satu nomor ke nomor lainnya. Pandangan mata mereka seperti menyiratkan sesuatu yang selama ini mereka cari, atau sesuatu yang mungkin tidak mereka temukan di tempat lain. Depan panggung hingga jalan, kanan-kiri panggung, juga di atas lantai dua bangunan di sisi kanan panggung, semuanya padat oleh hadirin. Baru saja mereka bertepuk tangan selepas Mas Doni membawakan lagunya Maroon 5 One More Night.

Saat melihat para personel KiaiKanjeng memainkan alat musiknya, sementara di kanan-kirinya penuh dengan orang, jamaah, atau hadirin, seperti tanpa ada batas seperti pada umumnya pementasan, terlihat sekali bahwa ‘maqam’ KiaiKanjeng adalah maqam integral dengan masyarakat, umat, dan orang-orang.

Imam Fatawi lalu membawakan lagu dangdut Keramat dengan penuh komunikatif kepada jamaah. KiaiKanjeng melayani masyarakat dengan mengolah ‘semesta simbol’ berupa lagu-lagu dan lirik untuk mengisi kebutuhan batin manusia akan kekayaan jiwa, agar manusia segar dan penuh kembali sehingga siap menjalankan kembali visi dan tugasnya sebagai khalifatullah. Apalagi, di maiyahan tak hanya hati yang disentuh, tapi juga pikiran yang disemai dengan terobosan-terobosan pemikiran. Itu semua berlangsung di tengah mainstream media-media yang tidak menyuguhkan apa-apa selain jalan-jalan menuju dehumanisasi.

maiayahan

Dalam memahami dan menyikapi kesempitan-kesempitan berpikir dan sikap beragama yang diisi oleh kepengikutan buta berikut konstelasi politiknya, Maiyah sudah sangat komplet menganalisisnya, dan menawarkan jalan keluar atau penyikapan khususnya bagi Jamaah Maiyah.

Asiknya maiyahan salah satunya adalah saat dibuka dialog. Sering sekali melalui dialog ini muncul respons-respons Cak Nun sangat tidak terduga, cerdas, dan tak terbayangkan sebelumnya. Lewat dialog pula sensibilitas Cak Nun sangat bicara sehingga dapat menemukan sesuatu yang tak tampak pada penanya. Seperti barusan, Cak Nun meminta penanya itu nembang Jawa, dan ternyata suaranya enak. Atas pertanyaannya sendiri, Cak Nun memberikan jawaban yang bijak dan menenteramkan. Pertanyaannya mewakili kegelisahan orang awam yang ingin belajar Alquran tapi belum bisa dan merasa belum pantas, suatu soal yang sebenarnya memperlihatkan kerendahan hati orang kecil. “Tidak perlu cemas, Allah yang berhak menilai hati manusia, apakah dia akan masuk surga atau tidak.”

Sebelumnya Cak Nun menjelaskan mengapa tadi meminta Qari melantunkan Alquran dengan lagu yang otentik, juga seperti pernah muncul polemik baca Alquran lagu Jawa, ialah agar kita melakukan kedaulatan itu dengan baik. Lakukan saja. Tidak usah terlalu dilabeli. Label itu yang membikin bertengkar. Pemadatan-pemadatan ‘identitas’ itulah yang kerapkali memerangkap untuk tidak gampang saling memahami atau menerima. KiaiKanjeng ini adalah grup yang ‘tak jelas’ alias tidak memadatkan diri pada satu identitas musikal atau budaya, dan justru karena itu ia dapat memberikan banyak hal, mengolah dengan lebih kaya, melayani dengan lebih banyak segmen masyarakat, dan untuk keperluan tematik yang juga lebih ragam.

Sejumlah pertanyaan mengemuka. Macam-macam temanya, tapi ada satu dua yang menarik justru karena nuansa hati penanyanya. Salah satunya ada yang nanya mengapa Salat Jumat kok dua rakaat, bukan empat rakaat seperti Salat Dhuhur. Cak Nun menjawab dengan metode imajinatif: “Lha ya anda kok aneh-aneh pertanyaannya, kayak tidak ada soal lain. Ntar kamu Salat Jumat sambil mendongak ke atas dan ngersulo ke Allah, kok dua sih, kok nggak empat rokaat….Yang saya khawatirkan nanti kamu dimasukkan ke sorga dan menolak: nanti dulu malaikat Ridwan saya masih kurang dua rokaat shalatnya…(Gerrr). Tinggal dilakukan saja. Seluruh ulama Sunni, Syiah, Wahhabi, dan ulama lain sepakat salat Jumat ya dua rakaat, hanya kamu yang mikir begitu….hehe saya paham mas, anda ingin menikmati ibadah, menikmati salat Jumat….pertahankan kenikmatan itu, tetapi tetap patuh pada syariat Allah.”

Satu lagi ada yang ngotot menanyakan apa menyentuh perempuan membatalkan wudlu. Cak Nun menyarankan ambil saja pendapat yang diyakininya. Tapi tetap ngotot ingin tahu pendapat Cak Nun. “Saya bukan ulama, Mas. Saya orang biasa seperti anda. Lagi pula, ngopo kok takon neng aku ming bab kuwi. Nek sampeyan pingin takon dan ikut pendapat saya, jangan cuma soal wudhu, melu aku dalam segala hal, dan tak jamin sampeyan gak kuat. Kok sampeyan galak banget tho? Kanjeng Nabi saja nggak begitu. Ada dua sahabat yang melakukan dua hal berbeda, dan keduanya dipuji, dibenarkan, dan diapresiasi oleh beliau.”

maiayahan2

Maqam KiaiKanjeng adalah maqam integral dengan masyarakat, umat, dan orang-orang.

Waktu sudah menunjukkan pukul 01.25 WIB. Jamaah masih bertahan. Gus Yusuf diminta Cak Nun merespons. Gus Yusuf menjelaskan mengenai apa yang dimaksud bid’ah dan bagaimana posisi-nya dalam Islam. Cak Nun pun juga melengkapinya dengan sejumlah prinsip mengenai ibadah mahdah dan ibadah muamalah. Selebihnya, Cak Nun mengajak jamaah berpikir, kalau kita berantem sesama orang Islam, dengan orang yang beda pemahaman, apakah itu dibuat untuk berantem ataukah bagaimana. Artinya, apakah semua itu apa bukan adu domba dan pemecahbelahan. Apakah bukan memang orang Islam dibikin rapuh.

Cak Nun lalu berpesan kepada Pak Camat untuk benar-benar tepat dan bijak dalam menyikapi konflik seperti itu di dalam masyarakat. “Saya senang acara malam ini dimaksudkan untuk membentengi diri kita dari kemungkinan konflik itu. Sepanjang kita sama-sama bertauhid, kita adalah ikhwah/bersaudara. Ingatlah bahwa kita punya tidak kekuatan: alamnya kaya raya, hebat manusia-manusianya, dan kita orang-orang yang beragama Islam. Karena ketiga kelebihan itulah kita diincar untuk dipecahbelah. Maka Pak Bupati dan Pak Camat harus memastikan bahwa masyarakat di daerah-daerah itu kompak, dan tidak gampang dihasut diadudomba,” pesan Cak Nun.

Memasuki akhir maiyahan, Cak Nun mengajak semua hadirin untuk meneguhkan ‘perkawinan bak temanten anyar’ malam ini dengan tembang Lir-Ilir aransemen KiaiKanjeng. Gus Yusuf dan narasumber lain juga tampak sangat larut dalam tembang ini, dan kemudian semuanya menundukkan kepala khusyuk ketika Cak Nun melantunkan doa agar Allah mengampuni semua dosa kita, membukakan pintu-pintu kebaikan dan keberkahan. Dan lantunan shalawat badar memuncaki nomor Lir-ilir ini. Sebuah nomor magis yang terhimpun dalam album Menyorong Rembulan.

Di penghujung pertemuan malam ini, Cak Nun meminta Gus Yusuf memimpin doa. Maiyahan sudah berakhir, jamaah kembali ke tempat masing, dan KiaiKanjeng mengantarkan kepulangan mereka dengan beberapa nomer lagu.

Kontributor: Red Progress/Helmi Mustofa