Riungan Jamparing Asih

jamparing asih

Banyak nilai-nilai kehidupan yang dapat digali dari beragam kejadian sehari-hari. Dari interaksi manusia dengan manusia maupun interaksi manusia dengan alam. Beberapa tahun silam, kala hujan tiba, orang-orang yang sedang berjalan di ruang terbuka lazimnya akan berlarian mencari tempat berteduh. Sementara itu, anak-anak akan dengan girangnya bermain hujan-hujanan atau berlarian berpacu dengan dengan hujan hanya menutupi kepala dengan sehelai daun pisang. Itupun sebelum ibunya bersabda betapa buruknya hujan bagi kesehatan sang anak yang membuat mereka mengurung diri di dalam rumah saja pada akhirnya.

Di daerah perbelanjaan ataukah pasar tradisional, akan begitu mudahnya ditemukan anak-anak kecil mencari tambahan uang jajan ataupun warga biasa yang menawarkan jasa ojeg payung dengan bayaran secara sukarela. Tak sepenuhnya sukarela, sih, tapi ya sepantasnya dan sewajarnya. Kasihan toh hujan-hujan sudah nangkring dan stand by di jalanan kalau imbalannya setara dengan permen gula atau tiga buah gorengan. Walaupun ada juga dari mereka yang memasang tarif sejak awal, tapi setidaknya ada interaksi manusia yang terjadi antara penjual dan pembeli ibarat dua pihak yang sedang bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Dan tentunya mereka pun tidak serta merta setiap saat menjadi pasukan berpayung sembari berdoa memohon hujan tiba untuk dapat mengais rezeki, melainkan memanfaatkan kejadian alam yang alamiah terjadi, seperti hujan, dengan menyelaraskannya terhadap demand masyarakat. Namun, terlepas dari adanya peristiwa jual-beli jasa sederhana itu, mungkin bila kembali ke masa yang jauh lebih lampau lagi, dapat dengan mudah ditemukan adanya pejalan kaki dapat yang saling menawarkan sedikit ruang dari daya lingkup payungnya untuk dapat menaungi orang lain, sekalipun orang tersebut tidak dikenalnya.

Saat ini, kehidupan begitu berpacu dengan waktu. Adanya kebiasan dalam mensinergikan antara waktu, produktivitas, practicality, dan nilai kemanusiaan tidak dapat dihindarkan. Sebagai contohnya adalah budaya saling tolong menolong. Untuk kembali merefleksikan masa lalu, dapat dilihat dengan episode yang sama, yaitu hujan. Banyak manusia memiliki kendaraan-kendaraan pribadi yang melaju begitu saja bahkan ketika melihat orang-orang di sekitarnya kehujanan. Padahal bisa dilihat secara jelas bahwa kursi kendaraannya yang mampu menampung 8 orang penumpang hanya diisi oleh seorang pengemudi. Betapa luasnya naungan yang bisa didayagunakan untuk membantu orang asing yang kehujanan di jalan yang mungkin saja apabila ditanyakan tujuan perginya searah dengan pemilik kendaraan. Walau pada dasarnya para pemilik kendaraan itu ada yang berkeinginan untuk menolong, namun norma masyarakat yang berlaku tidak lagi dapat menjadi wadah untuk saling tolong seperti yang dikehendaki.

Dari episode keseharian seperti hujan yang mengguyur suatu desa, ada banyak hakikat yang dapat dirasakan oleh masing-masing kepala yang terkena. Ada yang bersyukur karena sawahnya dapat terairi lagi. Ada yang sebenarnya kecewa karena rencana yang dipikirkan dalam kepalanya terbengkalai karena datangnya hujan. Dari kekecewaan itu pun terdapat penerimaan dan sikap yang berbeda. Ada yang tetap nriman, luweh, dan legowo, dan dengan santainya bergumam, “Ah, hidup, kok. Mau bagaimana lagi.” Ada pula yang marah-marah dan kesal walau ia sadar bahwa pada dasarnya omongannya itu pada dasarnya tidak dapat serta-merta merubah garisan alam laksana mantra atau doa yang begitu mustajab. Dari potongan persitiwa itu, ada satu terpenting untuk menjadi perhatian, yaitu memposisikan diri dan menguatkan mental dan hati terhadap berbagai kemungkinan yang terjadi, bahkan yang tak terduga sekalipun.

Dalam suatu frame kejadian, tentu akan banyak hal yang dapat digali nilai-nilainya. Nilai yang tidak hanya diukur secara kuantitatif, melainkan kualitatif yang mengajak manusia untuk mendalami kedalaman berpikir dan merasa. Nilai yang tak sebatas grafik perbandingan atau target pencapaian jual-beli yang diketik hingga menumpuk sebagai dokumen-dokumen laporan. Dari sebab peristiwa seperti hujan saja, manusia dapat menggali pemaknaan yang tidak terbatas, terlebih lagi pada jutaan peristiwa lainnya yang dialami secara berbeda oleh beragam manusia. Ada jutaan episode lain yang sama-sama sedang berjalan selagi kita dengan begitu konsentrasinya memfokuskan mata ke hadapan layar komputer ataupun televisi. Kita membutuhkan kembali sarana untuk bertatap muka, bertegur sapa, berdiskusi, dan bersilaturahmi, karena dikhawatirkan kualitas interaksi yang terjadi antar manusia kian lama kian menjadi hal yang tidak lagi memiliki esensi tinggi. Dibutuhkan sarana dan pensuasanaan ngariung dengan manusia yang membawa sejumlah pengalaman di balik persona-persona diri yang mereka tampilkan yang dapat menciptakan interaksi secara jujur.

Hal-hal tersebut tampak sangat sederhana untuk menjadi perenungan keseharian. Namun, di saat segalanya begitu terorganisir secara teknologi, manusia dapat mengalami gagap pada aspek mentalitas dan sentimentalitas. Seolah semuanya harus terjadi sesuai rencana dengan semua serba-serbi patokan sebab-akibatnya yang telah ditentukan sendiri. Ibarat menekan tombol switch on, maka semuanya harus secara otomatis terjadi. Tidak bisa tidak. Mental manusia modern terkadang menjadi begitu dimanjakan terhadap berbagai kemudahan yang mungkin tak sadar bahwa pemanjaan itu dapat berujung kepada pelemahan. Banyak dari masyarakat saat ini yang bahkan guna mengingat lokasi parkir dalam gedung mall saja membutuhkan telepon genggamnya untuk merekam lokasi parkiran. Sementara mereka yang tinggal di alam dan pegunungan terbiasa lebih peka dalam mengingat dan terasah hatinya untuk juga lebih peka dalam membaca sekitar, mengandalkan garisan Tuhan, bersinergi dengan alam, dan welas asih terhadap sesama saudaranya. Dari berbagai peristiwa itu kita dapat menggali kembali hakikat dari rasa aman, nyaman, dan penerimaan. Namun bagaimanapun, kebenaran pemaknaan tersebut sangat bersifat lokal dan tidak absolut, tergantung kepada subyektifitas orang yang mau mencoba memaknainya.

Perbedaan iklim alam dan sosial antara masyarakat desa dan kota akan mudah ditemukan titik perbedaannya. Masyarakat perkotaan kerap rindu akan suasana pedesaan, sampai mencoba membawa suasananya ke kawasan perkotaan dengan membangun tempat-tempat rekreasi bersuasanakan pedesaan di atas berhektar-hektar bidang tanah guna dapat dinikmati oleh kaum urban. Bagi masyarakat perkotaan, kekangenan akan suasana dan aroma pedesaan serta guyubnya masyarakat hanya dapat dinostalgiakan dengan berjalan-jalan ke kawasan rekreasi walau hanya sesaat, melihat gambar-gambar pedesaan, menonton film-film masa lampau, atau bahkan mendengarkan lantunan musik Ebiet G. Ade sembari berkendara, ataukah dengan pensuasanaan hati dan pikiran melalui pembacaan puisi-puisi para penyair. Salah puisi yang dapat merefleksikan hal itu adalah puisi karya Umbu Landu Paranggi yang berjudul, Apa Ada Angin Di Jakarta.


Apa ada angin di Jakarta,

Seperti di lepas Desa Melati,

Apa cintaku bisa lagi cari,

Akar bukit Wonosari.

Yang diam di dasar jiwaku,

Terlontar jauh ke sudut kota,

Kenangkanlah jua yang celaka,

Orang usiran kota raya.

Pulanglah ke desa,

Membangun esok hari,

Kembali ke huma berhati..


Tentunya masyarakat urban, baik di Bandung atau Jakarta, tidak dapat dengan mudah pergi ke desa berbondong-bondong untuk mencari pelepasan jiwa dan menjadi pelaku re-urbanisasi. Tidak dapat juga dengan serta merta membangun rumah-rumah pedesaan dan mengalihfungsikan kawasan pusat perbelanjaan menjadi sawah ataupun ladang. Yang dapat dilakukan secara bersama-sama adalah dengan membangun kembali hakikat-hakikat yang hilang dan nilai-nilai yang tergerus dari episode-episode kebersamaan yang dirindukan dari kehidupan di pedesaan. Hanya itu langkah kebaikan kecil yang dapat dilakukan karena entah apakah sebenarnya romansa pedesaan itu memang masih ada ataukah hanya bersisa sebagai nostalgia dan ilusi dalam kepala.

Pergeseran nilai-nilai kebersamaan sebagai anggota masyarakat dan interaksi sosial menunjukkan adanya interalienasi di dalam masyarakat perkotaan sehingga kohesi sosial akan dinafikan. Hakikat dan yang tampak begitu terbalik-balik dan mblawur. Di kawasan masyarakat yang guyub mungkin pagar rumah yang mengelilingi rumahnya hakikatnya hanya lebih mengarah sebagai hiasan tanpa guna dibandingkan dengan batas penentu teritori atau hak milik. Begitu terbukanya orang-orang terhadap yang berada di sekitarnya sehingga tidak dibutuhkan penjagaan yang ketat ataukah alarm penanda ada yang menerobos memasuki kawasan teritorialnya. Masyarakat yang saling bergiliran menjaga di pos ronda menunjukkan etos rela berkorban untuk kepentingan bersama karena memiliki rasa tanggung jawab, saling memiliki, dan keterikatan terhadap anggota masyarakatnya. Sementara di komplek-komplek perumahan, walaupun cetakannya rumah tak berpagar atau kuldesak sekalipun, penjagaan yang dilakukan begitu ketat sampai membayar tinggi untuk merekrut orang luar lingkungannya karena mungkin memang pemiliknya begitu mendambakan kenyamanan tanpa gangguan dan kepraktisan dan ketakutan akan terjadinya tindak kriminalitas. Ataukah mungkin karena pemiliknya dirundung kekhawatiran yang begitu berlebihan karena adanya keterikatan terhadap harta bendanya. Atau karena yang tersisa untuk diberdayagunakan adalah uang, bukan lagi waktu.

Terlepas dari lokasi, antropologi sosial, bentuk rumah ataukah personalitas pemiliknya, tentunya dapat dimahfumi bahwa zaman dan kebudayaan masyarakat memang kian lama kian berubah. Nilai-nilai yang dahulu dipahami oleh leluhur kita telah banyak yang mengalami pergeseran yang menyesuaikan dengan keadaan dan pola perilaku sosial yang telah terjadi secara komunal. Sudah sepantasnya dipahamkan juga bahwa kemajuan perekonomian akan selaras dengan trade off besar-besaran dalam hal kebudayaan. Bagaimanapun, perubahan dan pergeseran nilai kepada modernitas adalah keniscayaan sekaligus cambuk terhadap adanya interalienasi sesama manusia. Interalienasi antara manusia dan alam.

Rasa guyub dan kebersamaan yang tulus kelak akan menjadi kerinduan yang sadar tak sadar muncul dalam diri seiring dengan wadagnya interalienasi yang terjadi. Guyub yang tidak hanya tampak luar seolah tampak tumpek ruwek babarengan, namun juga guyub terhadap pertukaran pemikiran saling berbagi kisah hidup dan ilmu secara bebas, lepas, dan cuma-cuma. Bahkan terbuka untuk saling kritik dan menyampaikan pendapat ataupun kegelisahan secara tatap muka. Yang dengannya, anggota masyarakat mendapatkan kesadaran bahwa pembelajaran tidak terbatas pada insititusi formal namun dari proses mengalami hidup. Karena sejatinya beragam hal dalam kehidupan dapat dengan bebas diinternalisasikan ke dalam masing-masing diri sehingga setiap hari manusia terlatih untuk mendapatkan kesadaran-kesadaran baru yang membentuk kearifan dalam dirinya. Kerinduan pada suasana tersebut dapat dirasa bersinergi seperti kerinduan mata air yang jernih. Mata air yang dapat dinikmati bersama terlepas dari ragam motif dan latar belakang penikmatnya. Dimana masyarakat bisa datang dan pergi sesuka hati menikmati airnya secara langsung dari mata air ketika kehausan, tanpa keserakahan berlebih karena mengetahui bahwa perutnya tak mampu menampung air sebanyak kolam renang dalam sekali teguk. Mata air yang didapatkan secara alamiah yang merupakan hadiah dan kepemiikan alam tanpa adanya penguasan otoritatif sepihak yang bersifat diktatorial. Mata air yang sama-sama dijaga keutuhannya oleh anggota masyarakatnya. Dijaga oleh masyarakatnya yang guyub, yang saling awas untuk memberi kenyamanan bersama dan keleluasaan. Masyarakat yang memiliki norma dan kesepakatan bersama untuk saling menjaga, menghormati, menerima, dan mengamankan.

Keberadaan Jamparing Asih diharapkan dapat mendekatkan kembali masyarakat terhadap kerinduan akan keapaadaan yang tanpa embel-embel, tanpa tedeng aling-aling. Masyarakat Jamparing Asih dan forum Maiyah lainnya menawarkan cara pembelajaran yang unik. Masyarakat tidak dituntut untuk memperdebatkan ilmu, karena mereka menikmati kekayaan ilmu, sehingga yang tumbuh di dalam diri mereka adalah kelapangan jiwa dan toleransi, dan mampu menampung semuanya. Tidak seperti budaya universitas yang menuntut satu sama lain untuk saling mengungguli dan berkompetisi, dalam Maiyah, setiap manusia dipandang memiliki hakikat yang sama untuk dapat saling menyuarakan isi hati. Dalam nilai maiyah, setiap orang memiliki peluang sama untuk maju di forum, memoderasi, bahkan menjadi narasumber. Karena kemunculan forum maiyah adalah wadah untuk dapat saling belajar bersama, belajar kepada siapapun, apapun, mencari apa yang benar bukan siapa yang benar. Setiap manusia yang bermaiyah memiliki kedaulatannya untuk menggapai kebenaran yang dianutnya. Teori-teori, pengetahuan, dan pandangan yang dilontarkan di forum Maiyah digunakan sebagai diskursus untuk mencari kebenaran masing-masing berangkat dari keseharian tiap-tiap individu. Yang tidak akan merubah satu sama lain walau hanya sehelai rambut atau menyayat kulit walau hanya sependek satu buku jari karena semuanya saling berdaulat untuk menemukan sinkronisasi kebenarannya ke dalam Diri masing-masing.

Maiyah tidak menawarkan diri untuk menyediakan sensasi pedesaan masa lampau di tengah arus urban dan modernitas. Maiyah menghadirkan dirinya sebagai wadah cair yang membantu merumuskan kembali nilai-nilai kearifan hidup dan kebersamaan yang dikhawatirkan akan hilang. Maiyah adalah sarana untuk mengalami hakikat kebersamaan sesuai dengan norma yang dibentuk dan disepakati bersama. Kebersamaan dan nilai kemanusiaan akan berat dijalankan bila hanya berlandaskan kewajiban. Pemikiran itu perlu diruwat dan dinaikan stratanya kepada tingkatan sadaqah. Bentukan pemberian terhadap satu sama lain yang dilakukan atas dasar cinta kasih sehingga dapat mencari titik temu terhadap berbagai perbedaan dengan tetap berada di dalam satu lingkaran. Dalam lingkaran itu, satu sama lain dapat saling mencari apa yang benar dan saling menyelaraskan ritmis gerak langkah dan tujuan secara bersama-sama.

Guyubnya forum Maiyah mengajarkan kembali masyarakat untuk menggali dan menemukan titik temu kebersamaan, kebersahajaan, dan mengalami indahnya bermuwajahah. Maiyah memberikan proses penyadaran kembali bahwa dalam diri tiap manusia itu tidak ada yang pantas untuk disombongkan. Penyadaran untuk saling berendah diri. Maiyah memperkenalkan kembali hakikat “duduk sama rendah berdiri sama tinggi”. Bahwa peribahasa dan kearifan itu bukan sekadar ucap-ucap untuk semata dihapal di luar kepala, namun untuk dianut, ditelaah, dan diaplikasikan benar nilai-nilainya di dalam kehidupan kita bersama. Mari duduk sama rendah dan silakan berdiri bila dapat menjaga dirimu sama tinggi dengan mereka yang berada di sekelilingmu, di samping kiri dan kananmu.