NEGERI SETENGAH HATI

Reportase Kenduri Cinta november 2014

Hari itu hujan mengguyur kota Jakarta sejak siang. Menjelang Magrib hujan perlahan mulai reda dan langit malam di atas kota Jakarta pun mulai terang, sejuk dan bersahabat. Di plasa Taman Ismail Marzuki, Cikini, para penggiat Kenduri Cinta mulai bergegas menyiapkan kelengkapan acara. Tepat pukul 20.00 WIB, Kenduri Cinta yang malam itu mengambil tema Negeri Setengah Hati, dibuka dengan pembacaan ayat suci Alquran surat Thohaa dilanjutkan dengan melantunkan wirid bersama.

Mengawali acara, Irfan—malam itu berperan sebagai moderator—meminta jamaah untuk meyampaikan pemaknaannya atas gambar ilustrasi tema. Agus, jamaah dari Banjaran, mengatakan bahwa poster tema menggambarkan seorang nenek tua renta yang sedang mengharap sesuatu dari seseorang berdasi yang bertopeng, seolah-olah ngenyek (red: menghina) namun sebenarnya bisa saja orang yang menengadahkan tangan itu bisa bertahan hidup tanpa harus meminta-minta kepada orang lain. Menurutnya, seorang yang berdasi, berjas dan bersepatu adalah simbol orang kuasa. Wahyu, dari Cileungsi, memiliki pendapat berbeda. Ia melihat orang yang berpakaian rapi, memakai jas dan berdasi adalah simbol kemapanan. Bram, jamaah dari Pamulang, berpendapat bahwa poster tersebut seperti sandiwara. Sebab kita tidak tahu persis apakah pengemis itu sedang meminta-meminta atau tidak. Dan orang yang berjas itu juga tidak akan memberikan sesuatu dengan cuma-cuma, ada semacam timbal balik.

Irfan menambahkan, gambar tersebut hanya sekedar ilustrasi untuk menipu, bisa jadi di dalam tanah itu ada kekayaaan yang tersimpan sehingga harus dibuat adegan meminta-minta dan yang lainnya sedang mempertahankan. Widi, dari Tegal, memperkuat argumen Irfan. Menurutnya illustrasi seperti menunjukkan seorang nenek yang ingin meminta kembali hak-haknya namun tidak dipedulikan oleh sang penguasa.

Adi Pudjo mengelaborasi dari sisi berbeda. Menurutnya, tema yang diangkat oleh Kenduri Cinta edisi November memiliki kaitan dengan tema bulan-bulan sebelumnya, yaitu: Menegakkan Pagar Miring dan Sold Out. Tema-tema ini diangkat bertujuan untuk penyadaran bersama bahwa ada sesuatu milik rakyat yang berharga yang mestinya kita jaga dan pertahankan. Pertanyaannya, apa kita menyadari bahwa kita memiliki sesuatu yang berharga?

Negeri Setengah Hati, semacam sebuah sandiwara yang mengejek. Seolah-olah mau ngasih tapi tidak ngasih. Kayanya paham tapi dibikin tidak paham. Seperti ada hal-hal yang tidak diikhlaskan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat,” pungkas Adi.

Irfan menambahkan tentang paparan dalam mukadimah acara yang disusun sebelumnya, dimana negeri disimbolkan dengan perempuan. Negeri yang diwariskan dengan kekayaan yang begitu melimpah. Kita juga mengetahui bahwa dalam undang-undang, air dan kekayaan sumber daya mineral dikuasai oleh negara dan dipergunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. Ia juga menyambungkan hal tersebut dengan proses sejarah revolusi industri di Eropa yang diawali sebelumnya dengan gerakan revolusi agraria.

“Tema ini diangkat bertujuan untuk penyadaran bersama bahwa ada sesuatu milik rakyat yang berharga yang mestinya kita jaga dan pertahankan.”

Adi Pudjo

NEGERI SETENGAH HATI — Kenduri Cinta

Lewat pukul 21.00 WIB, Kelompok Gurindam 12 dari MTsN 9 Jakarta Pusat menampilkan pentas teaterikal dengan mengangkat tema Kiamat. Para siswa-siswi yang berjumlah sekitar 150 orang menampilkan pementasan yang merupakan wujud kritis mereka terhadap perilaku kehidupan sosial masayarakat dan bangsa yang korup. Dalam satu scene mereka menggambarkan ilustrasi seorang kontraktor yang korup—digambarkan memiliki wajah buruk—ketika ia berada di hari pembangkitan. Pada scene berikutnya, mereka menggambarkan bagaimana wujud seorang laki-laki yang berperilaku dan bersolek seperti perempuan. Siswa-siswi MTsN 9 Jakarta Pusat ini sangat apik menampilkan teatrikal Gurindam. Jamaah yang memadati pelataran plasa Taman Ismail Marzuki tampak menikmati dan terhibur dengan penampilan mereka. Gurindam merupakan salah satu kesenian khas tanah Melayu yang memang sering digunakan oleh para pelaku kesenian sebagai bentuk ungkapan kritik terhadap para penguasa.

Kenduri Cinta selalu membuka ruang diskusi yang luas kepada jamaah untuk menafsirkan apa saja.

KURIKULUM SETENGAH HATI

Memasuki sesi diskusi, Deni Setiawan, seorang guru kesenian di sebuah SMA di Jakarta, menyampaikan beberapa gagasan dan persoalan-persoalan dunia pendidikan. “Kalau kita tidak sekolah, kita tidak bisa hidup. Ini tidak benar. Sebab di kampung saya tidak ada sekolah, tapi bisa hidup. Guru di kampung saya jumlahnya lebih banyak daripada muridnya. Guru di sana dibayar dengan buah pisang, singkong,” Deni membuka diskusi. Ia melanjutkan bahwa banyak orang tua murid dikampungnya yang tidak pernah bersekolah. Salah satu orang tua muridnya adalah tukang kayu bakar langganannya. Namanya Mang Samen. Sampai ia berkeluarga, Mang Samen terlihat sama, umurnya seperti tak bertambah. Raut wajahnya tidak terlihat semakin tua seperti orang kebanyakan. Menurut Deni, Mang Samen memiliki konsep hidup yang sederhana. Ia tidak dipusingkan bagaimana merencanakan kehidupan untuk sepuluh tahun atau dua puluh tahun yang akan datang. Ia hanya merencanakan bagaimana kehidupannya sehari-hari untuk dua hari kedepan saja.

Deni mengibaratkan, bahwa sebenarnya kita bisa hidup tanpa sekolah, asal mau. Namun yang terjadi sekarang adalah bahwa pendidikan itu seakan menjadi suatu hal yang sangat penting. Dan yang utama hari ini adalah ijazah, sedangkan mengenai kemampuan si pemilik ijazah itu sendiri adalah urusan nomor sekian. Menurut Deni, berdasarkan pengalamannya sebagai seorang guru, anak-anak generasi sekarang sedang memasuki hari-hari dimana mereka sangat jarang sekali menulis, hal ini sangat berbeda dengan situasi ketika kita dulu, dimana guru seringkali memberi tugas menyalin dengan menulis tangan. Kemudahan teknologi saat ini justru melenakan kemampuan menulis para siswa. Kurikulum yang ada saat ini mengajak para siswa untuk mencari sumber di internet, pada tahap ini guru tidak memiliki akses untuk mengawasi sampai sejauh mana para siswa menjelajahi dunia maya.

Menurut Deni, kurikulum 2013 yang digunakan oleh kementerian pendidikan saat ini mengikuti kurikulum Amerika. Bahkan dalam kurikulum tersebut kita tidak boleh menyatakan kepada murid bahwa apa yang dilakukannya salah. “Hari ini yang penting adalah punya ijazah. Sementara proses dalam mendapatkan ijazah menyontek sana-sini,” lanjut Deni. “Saya guru musik, tapi juga harus mengajar menyulam, juga menari. Saya bidangnya musik tapi harus mengajarkan bidang yang lain. Kurikulum yang Indonesia banget adalah kurikulum 1975, bahkan katanya kurikulum 1975 ditiru oleh bangsa-bangsa lain. Anak kita hari ini dicekoki terus dengan pelajaran-pelajaran hingga membuat stres. Kemudian akhirnya muncul tawuran,” kata Deni.

Apabila negara ini ingin meningkatkan mutu dan kualitas pendidikannya, yang harus dimulai adalah dengan mempersiapkan fasilitas pendukung yang baik dan benar terlebih dahulu. Bukan memaksakan konsep kurikulum yang baru tanpa mempersiapkan perangkatnya. Karena yang terjadi saat ini adalah ketika guru-guru baru saja mulai terbiasa dengan kurikulum yang ada, kementrian pendidikan kemudian mengeluarkan keputusan yang baru tentang pergantian kurikulum. Sehingga guru-guru terpaksa harus mulai dari nol lagi untuk beradaptasi dengan kurikulum baru. Yang menjadi korban adalah siswa, terutama di tahun-tahun awal penggunaan kurikulum baru. Mereka seperti menjadi kelinci percobaan sehingga seringkali hasilnya tidak maksimal. Deni juga mengkritisi ujian nasional dimana seharusnya keputusan lulus atau tidaknya siswa dari sekolah tempat mereka belajar bukan ditentukan oleh komputer yang mengoreksi lembar jawaban, namun guru-guru di sekolah yang merupakan elemen utama pendidikan di sekolah lah yang menentukan lulus atau tidaknya siswa.


Sesi selanjutnya diisi oleh seorang pembicara dari Belitung bernama Ahmadi yang menceritakan keadaan sosiologis Belitung saat ini. Bangka Belitung adalah sebuah daerah dengan produksi timah terbesar di dunia. Ironisnya, masalah listrik di Belitung sampai hari ini belum teratasi, masih sering padam. Tahun 2015 PT. Timah merayakan ulang tahunnya yang ke-100. Namun apa yang didapatkan oleh rakyat Belitung? Rakyat Belitung tidak pernah merasakan hasilnya. “Saya pernah protes, Bangka Belitung ini bisa babak belur, sumber daya alamnya dikeruk, manusianya diciduk,” lanjut Ahmadi. Menurutnya ada beberapa tokoh yang memutuskan pergi dari Bangka Belitung karena tidak kuat lagi untuk membiayai “amplop-amplop” dalam proses birokrasi di sana. Ia mengungkapkan, untuk satu bulan, dana satu miliar untuk aparat belum tentu cukup. Makanya hari ini apa yang diungkapkan oleh novel Laskar Pelangi, keadaan sekolah yang kini ada masih sama seperti cerita yang dibuat oleh Andrea Hirata.

Melanjutkan forum, Luqman Baehaqi, salah satu penggiat Kenduri Cinta yang juga merupakan seorang stand-up comedian mengungkapkan kritiknya terhadap kondisi pendidikan di Indonesia. Bulan Oktober lalu, ia mementaskan stand-up comedy show yang berjudul Tut Wuri Hangapusi yang juga menyoroti isu-isu pendidikan. Menurutnya, stand-up comedy adalah komedi yang mempertahankan pendapat, bukan harus berdiri. Luqman mengkritisi bagaimana saat ini untuk bersekolah di tingkat play group saja orang tua harus mengeluarkan uang yang cukup besar. Berdasarkan pengalaman pribadinya, seseorang menyekolahkan anaknya di sekolah mahal dengan alasan karena fasilitasnya mewah, berstandar internasional dan banyak artis yang menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. Sehingga yang terjadi saat ini bukan karena kualitas guru yang menjadi pertimbangan utama, justru wujud materialisme yang ada di sekolah tersebut yang menjadi pertimbangan utama.

Selanjutnya, Irfan lalu memberikan kesempatan kepada Ian L. Bets untuk sampaikan pandangannya. Ian katakan bahwa Indonesia punya kemampuan menjadi poros maritim sesuai visi pemerintahan Jokowi. Ian mencontohkan Kerajaan Sriwijaya yang dulu sangat menjunjung tinggi maritimnya sehingga mereka mampu mencapai puncak kejayaan mereka. Hari ini, menurut Ian, Indonesia memiliki peluang untuk menjadi pusat perdagangan dengan mitra-mitra dari seluruh dunia. Beberapa keputusan pemerintah yang diambil baru-baru ini terkait moratorium industri hutan dan perikanan juga diapresiasi oleh Ian L. Bets sebagai sebuah proses yang cukup baik. Moratorium ini sedianya akan mengatur bagaimana sistem yang berlaku untuk proses pengolahan hasil dari hutan dan laut di Indonesia. Ian mengajak kepada seluruh jamaah yang hadir untuk bersama-sama memberikan waktu dan kesempatan kepada pemerintahan Jokowi untuk membuktikan dari apa yang mereka janjikan sebelumnya.

“Hari ini apa yang diungkapkan oleh novel Laskar Pelangi, keadaan sekolah yang kini ada masih sama seperti cerita yang dibuat oleh Andrea Hirata.”

Ahmadi

TIGA FASE ALLAH MENYIKAPI KEZALIMAN

Noorshofa mengawali pemaparannya dengan mencoba membedah tema. “Negeri Setengah Hati. Repot kalau bicara mengenai ‘setengah hati’. Hari ini banyak yang berbicara dengan nalar, namun jarang orang berbicara dengan hati. Rasulullah selalu berbicara dengan hati. Ketika kita berbicara dengan nalar, kita akan bertemu dengan sesuatu yang tidak akan kita dapatkan. Namun ketika kita berbicara dengan hati, kita akan dapatkan cahaya hati,” kata Noorshofa. Menurutnya, hati manusia bagaikan cermin. Ketika hati itu kusam, maka benda yang ada di depan cermin tidak akan terlihat. Maka hari ini kita berbicara negeri setengah hati.

Ada beberapa fase yang diberikan Allah ketika melihat hambanya melakukan kezaliman. Fase pertama adalah penundaan terhadap hukuman bagi orang-orang yang zalim. Dalam surat Al-Qolam ayat 45 dijelaskan bagaimana Allah menunda hukuman kepada hamba-Nya yang berlaku zalim. Fase kedua adalah istidraj (diulur) seperti seekor ikan yang sedang dipancing, ketika mulut ikan sudah tertangkap oleh kail tetapi si pemancing tidak segera menarik kail tersebut, namun membiarkan si ikan tersandera dengan kail tersebut. Manusia saat ini banyak sekali yang terlena dengan kenikmatan yang ia terima, banyak yang tidak menyadari bahwa bisa jadi kenikmatan tersebut merupakan sebuah ujian istidraj dari Allah kepadanya. Banyak dari kita saat ini menikmati harta benda yang diraih dengan cara yang curang, mereka terlena dalam fase istidraj ini. Mereka sedang diulur oleh Allah sehingga terlena dengan kenikmatan yang mereka rasakan, meskipun mereka sadar bahwa harta yang mereka nikmati mereka dapatkan dari cara yang curang. “Jika anda saat ini tidak merasakan sakit, tidak merasakan menderita, maka yang harus anda lakukan adalah instrospeksi diri, jangan-jangan anda sedang dibuat terlena oleh Allah atas kezaliman anda,” lanjutnya. Fase ketiga adalah fase pemolesan dengan keindahan (kamuflase). Banyak orang yang berbuat zalim justru terlihat sangat berkilau di mata kita, pada saatnya kemudian kita melihat mereka begitu buruk.

Dari ketiga fase ini yang paling gamblang dapat kita lihat adalah bagaimana para pejabat yang berbuat zalim di Indonesia ini juga mengalami 3 fase tersebut. Yang seharusnya saat ini dimiliki oleh umat adalah sifat tawadu sehingga satu sama lain tidak memiliki rasa iri-dengki yang mencederai persambungan silaturahmi antar sesama manusia. Apabila semua orang memiliki dan menjaga dengan baik sifat tawadu maka tentramlah kehidupan bermasyarakat di Indonesia.

“Sekali lagi jangan pernah bermain dengan hati yang membuat kezaliman. Ketika anda merasa paling benar dalam ibadah, anda tidak akan bertemu dengan Allah. Sebab yang paling benar adalah ketentuan Allah,” pungkas Noorshofa.

Menjelang tengah malam, Annisa dan Tia bergantian tampil diatas panggung membawakan beberapa nomor untuk sekedar menyegarkan energi dan fikiran para jamaah yang hadir di Kenduri Cinta sebelum memasuki diskusi selanjutnya.

PILAR NAHDLATUL ULAMA

Andre Dwi kemudian memoderasi diskusi sesi selanjutnya bersama KH. Marsudi Syuhud (Sekjen PBNU), Kyai Muzammil dan Suryo AB—dosen FISIP jurusan Hubungan Internasional di sebuah perguruan tinggi di Jakarta.

Kyai Marsudi bercerita asal muasal berdirinya Nahdhlatul Ulama, dimana saat itu bermula dari forum-forum diskusi kecil macam Kenduri Cinta yang bernama Tashwirul Afkar yang dirintis oleh Kyai Wahab, dimana dalam forum diskusi tersebut tidak hanya membicarakan tentang fikih, namun juga masalah-masalah yang sifatnya kontekstual dan melintasi berbagai dimensi ilmu pengetahuan. Dari forum diskusi yang kecil tersebut, para ulama saat itu sudah memimpikan terwujudnya sebuah negara yang damai, aman, tentram dan sejahtera. Mimpi ini sudah ada sejak sebelum negara Indonesia merdeka.

Kyai Marsudi juga ikut mengelaborasi tema. Menurutnya, yang dibutuhkan saat ini adalah akal pikiran dan hati yang saling tersambung dengan harmonis, sehingga segala perilaku yang ia lakukan tidak setengah hati. Yang terjadi saat ini, parlemen terbagi dua, sehingga ada beberapa keputusan yang diambil oleh setengah anggota dewan saja. Kondisi pemerintahan pasca pemilihan presiden juga berakibat terbaginya bangsa ini menjadi dua kelompok, sehingga Negeri Setengah Hati dianggapnya sebagai tema yang kontekstual.

Menurut Kyai Marsudi, fenomena yang terjadi saat ini adalah orang takut dikatakan tidak faham, takut kalau dikatakan tidak tahu. Mengkritisi pertikaian antara FPI dengan Ahok soal penetapan Gubernur Jakarta, Kyai Marsudi menyayangkan dimana kedua pihak sama-sama bersikap keras, tidak ada yang ingin mengalah satu sama lain. Kenapa justru yang terjadi saat ini adalah masing-masing pihak tidak ada yang menunjukkan sifat bijak untuk mengalah terlebih dahulu, bukankah ini juga merupakan salah satu wujud dari Negeri Setengah Hati. Mereka ternyata setengah hati dalam menentukan sikapnya sehari-hari. Mereka tidak sepenuh hati untuk mewujudkan kedamaian dan ketentraman bagi semua pihak.

Kyai Marsudi kemudian membandingkan bagaimana dahulu para ulama berdakwah menggunakan agama dengan salah satu tujuannya adalah agar umat memiliki ketrampilan dalam berdagang, mereka mengajarkan cara berdagang yang baik dan benar sesuai dengan ajaran agama. Para ulama NU terdahulu—setelah mempersiapkan Tashwirul Afkar—kemudian mendirikan Nahdlatul Tujjar, yaitu gerakan kebangkitan para pedagang, yang berusaha mengimplementasikan cara berdagang yang baik sesuai dengan ajaran agama Islam. Namun yang terjadi saat ini justru sebaliknya, justru agama yang dijadikan barang dagangan. Fenomena ini semakin gamblang ketika beberapa ulama terkenal justru memiliki tarif yang mahal ketika diundang untuk berdakwah di suatu tempat.

Setelah mendirikan Nahdlatul Tujjar yang merupakan representasi dari para pedagang, para ulama-ulama saat itu kemudian mendirikan Nahdhlatul Wathon. Para ulama saat itu sudah memikirkan bagaimana mendirikan sebuah negara, Nahdlatul Wathon inilah yang menjadi wadah bagi mereka untuk merintis terwujudnya sebuah negara di Nusantara saat itu, ketika Indonesia belum diproklamirkan. Kebangkitan tanah air ini pada awalnya bergerak di bidang pendidikan. KH. Hasyim Asy’ari—satu almamater dengan KH. Ahmad Dahlan—sepulang dari tempat mereka belajar bersama, mereka masing-masing mendirikan dua organisasi yang memiliki target dakwah yang berbeda, KH. hasyim Asy’ari mendirikan Nahdhlatul Ulama dan KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini sama-sama mendirikan lembaga pendidikan dengan target yang berbeda, jika Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah di kota, NU mendirikan pesantren-pesantren di kampung.

KESADARAN GEO-POLITIK YANG DILUPAKAN

Suryo AB, seorang dosen jurusan hubungan internasional di sebuah perguruan tinggi di Jakarta mengatakan bahwa geopolitik saat ini benar-benar sudah dilupakan. Menurutnya, dahulu HItler menggunakan geopolitik untuk menaklukan beberapa negara-negara di Eropa hingga akhirnya meletuslah perang dunia ke II. Menurut Suryo, Indonesia sudah memiliki syarat yang lengkap untuk merintis geopolitik. Sumpah Pemuda tahun 1928 merupakan perwujudan dari kesadaran berbangsa, dimana dalam kongres itu para pemuda bersepakat untuk: berbangsa satu, berbahasa satu dan bertanah air satu. Pada tahun 1945, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan Indonesia, menurut Suryo ini adalah wujud dari kesadaran bernegara. Dalam perjalanannya, wilayah teritorial Indonesia terutama laut saat itu masih menjadi wilayah Internasional—sehingga secara wilayah saat itu Jawa dan Sumatera berada dalam teritorial yang berbeda. Begitu juga dengan pulau-pulau yang lainnya.

Bung Karno terinspirasi dari sumpah palapa yang diucapkan oleh Patih Gadjah Mada untuk menyatukan Nusantara kemudian hal itulah yang memunculkan adanya sebuah kesadaran teritorial. Singkat cerita, pada 13 Desember 1957, Perdana Menteri Republik Indonesia, Ir. Djuanda, mendeklarasikan Deklarasi Djuanda yang menyatakan bahwa laut antara pulau-pulau di Indonesia merupakan sebuah kesatuan, dari sinilah lahir sebuah konsep NKRI, dimana tanah dan air bukan hanya sebuah penghubung melainkan juga merupakan sebuah wilayah yang satu. Indonesia adalah satu-satunya negara yang memiliki konsep tanah air. Deklarasi Djuanda ini baru disepakati oleh negara-negara di dunia pada tahun 1982 dalam konvensi hukum laut PBB yang ke-III.

Menurut Suryo, apabila wilayah laut Indonesia diurus dengan benar, maka dapat menghasilkan 13 ribu Triliun rupiah setiap tahunnya. Potensi hasil ikan di perairan Indonesia mencapai 6,2 hektar setiap tahunnya. Anehnya, orientasi pembangunan negara ini adalah ke darat bukan ke laut. Suryo menceritakan pengalamannya ketika berkunjung di Monako, dimana di negara tersebut sudah dikembangkan pembangkit listrik kinetik yang memanfaatkan ombak pantai. Di beberapa lepas pantai Indonesia, ombaknya bisa mencapai tinggi 3 meter, seandainya ini dimanfaatkan dengan baik tentunya akan menjadi pasokan cadangan listrik Indonesia, sehingga Indonesia bisa surplus listrik.

Terkait kekuatan militer dan keamanan negara di wilayah laut, menurut Suryo ada satu celah, yaitu di wilayah perairan laut Seram, yang apabila kapal-kapal selam negara lain memasuki wilayah tersebut tidak bisa terdeteksi oleh radar militer Indonesia. Alutsista Indonesia di wilayah laut bisa dikatakan masih sangat lemah, jangankan untuk dibandingkan dengan Australia, dibandingkan dengan Singapura saja kita ternyata sudah kalah jauh. Begitu juga dengan kekuatan militer udara kita, masih sangat lemah. Suryo memperkirakan, bahwa saat ini Indonesia sedang dibikin sibuk di wilayah darat dengan terbentuknya dua kubu setelah pemilihan presiden yang lalu, dan secara perlahan kita terlena dengan wilayah laut kita sendiri.

Pertarungan utama abad ini adalah pertarungan yang mempertemukan Amerika dan China, dimana Indonesia memegang posisi yang sangat penting karena area pertarungan kedua negara ini berada di Asia Pasifik, dimana salah satu yang sedang diperebutkan adalah wilayah Natuna. Suryo menambahkan bahwa tantangan terdekat kita adalah ASEAN Economic Community. Tahun depan persaingan tenaga kerja tidak hanya dengan sesama anak bangsa sendiri, namun para pencari kerja di Indonesia akan bersaing dengan tenaga-tenaga kerja dari negara lain, yang bisa jadi bayarannya lebih murah. Tetapi, kita tidak melihat pemerintah serius menghadapi AEC ini, anak-anak bangsa tidak dipersiapkan dengan baik untuk menghadapi AEC ini.

Melanjutkan pembahasan tentang wilayah maritim Indonesia, Suryo menekankan bahwa seharusnya apabila wilayah maritim Indonesia ingin diperkuat, maka harus dibangun infrastruktur yang kuat; lembaganya, undang-undangnya, aparatnya dan sebagainya. Seperti halnya penanganan korupsi di Indonesia, ada undang-undangnya, ada aparatnya, ada lembaganya. Bung Karno berhasil “menaklukan” bangsa lain sehingga mereka tidak berani menyentuh wilayah maritim Indonesia, namun saat ini presiden kita justru mempersilahkan bangsa lain untuk tidak hanya menyentuh wilayah tersebut, melainkan dipersilakan untuk ikut mengeksplorasi hasil dari laut Indonesia.

BANGSA KONSUMTIF

Kenduri Cinta semakin hangat dengan hadirnya Beben Jazz. Bersama Inna Kamarie dan komunitas Jazz Kemayoran, mereka membawakan beberapa nomor Jazz. Fly Me To The Moon menjadi nomor pertama yang dibawakan oleh Beben Jazz dan Inna Kamarie, uniknya nomor ini dibawakan dengan alat musik seadanya, kardus air mineral dijadikan alat instrumental perkusi diposisikan sebagai cajon.

Kyai Muzamil sebelum masuk ke diskusi, lebih serius mengajak jamaah untuk bersepakat tentang makna kehadiran. Kyai Muzammil menekankan bahwa hadir atau tidaknya seseorang bukan soal dapat dilihat dengan mata, melainkan soal rasa. Apabila manusia masih mengukur kehadiran seseorang berdasarkan terlihat atau tidak, maka ia tidak akan menemukan Tuhan.

Kyai Muzammil menjelaskan tentang pendapat beberapa orang tentang perdebatan halal atau haramnya musik. Hal ini menjawab kritik seorang habib yang menegur Kyai Muzammil yang saat ini memiliki hubungan yang intens dengan Cak Nun dan Maiyah. Terkait pembahasan soal perdebatan hukum musik ini sudah beberapa kali dibahas di forum-forum Maiyah oleh Cak Nun. Kyai Muzammil menekankan bahwa hukum haram atau halalnya musik tergantung bagaimana musik itu sendiri digunakan.

Kyai Muzammil juga menjawab kritis tentang format yang terjadi dalam forum Maiyah dimana laki-laki dan perempuan tidak ada batas. Menurut Kyai Muzammil, hal tersebut hanyalah soal cara pandang, namun dalam Maiyah bukan laki-laki dan perempuan yang dilihat, melainkan manusia. Memperkuat argumennya, Kyai Muzammil lalu mengeluarkan beberapa floklore khas Madura yang terkait dengan apa yang ia sampaikan sebelumnya.

Indonesia, menurut Kyai Muzammil memiliki kondisi yang berbeda dengan negara-negara lain. Indonesia memiliki hasil yang melimpah di bidang laut, pertanian dan hutan. Yang seharusnya dibangun adalah pasar perdagangan yang didalamnya memperjualbelikan hasil-hasil dari 3 bidang tersebut. Namun kondisi yang terjadi adalah semakin maraknya mall-mall, supermarket dan pasar-pasar modern yang justru mayoritas menjual barang-barang dari negara lain. Dari segi ekonomi, hal ini bukan membangun pondasi keuangan yang kuat bagi rakyat Indonesia, karena kita hanya menjadi konsumen dari produk-produk negara lain di negeri sendiri.

Kyai Muzammil kemudian bercerita tentang pengalaman beliau ketika mengikuti pertemuan ulama-ulama di Pondok Al-Hikam beberapa waktu yang lalu. Didepan ulama-ulama Timur Tengah beliau menyampaikan bahwa mungkin inilah saatnya Timur Tengah belajar kepada Indonesia. Kyai Muzammil menegaskan bagaimana Indonesia yang memiliki banyak bahasa justru mampu hidup lebih rukun dan damai jika dibandingkan dengan negara-negara Timur Yengah yang hanya memiliki satu bahasa; bahasa Arab. Saat ini kita melihat bagaimana beberapa negara di Timur Tengah masih saja sibuk menghadapi konflik pertikaian internal, yang sebenarnya hanyalah permainan Barat untuk suatu kepentingan tertentu.

Beliau juga mengkritisi banyaknya mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar ke Timur Tengah, namun mayoritas ketika pulang ke Indonesia hanya membawa gamis dan jenggot saja. Banyak dari mereka yang secara keilmuan masih kalah dengan mereka yang belajar didalam negeri. Hal ini tentu sangat disayangkan karena basis pendidikan pesantren di Indonesia memiliki pondasi yang kuat bagi seorang santri jika ingin melanjutkan proses belajarnya di Timur Tengah.

Pak Tjuk yang juga hadir di Kenduri Cinta kali ini memperkuat penjelasan-penjelasan narasumber sebelumnya, bahwa pertarungan antara China dan Amerika memang sudah semakin jelas terlihat di depan mata. Pak Tjuk bercerita bahwa dalam sebuah pertemuan di Beijing beberapa waktu lalu, China selalu menghindari pembicaraan tentang blok Natuna. Selain itu menurut Pak Tjuk, apa yang diucapkan oleh Australia di pertemuan-pertemuan itu sama persis dengan apa yang diucapkan oleh Amerika, ibaratnya Australia yang mengetuk pintu masuk, kemudian Amerika yang memasuki pintu tersebut.


Meski tidak hadir malam itu, Cak Nun memberikan pointer-pointer terkait tema Negeri Setengah Hati. Berikut ini pesannya:

Untuk Nusantara, “Gemah Ripah Loh Jinawi”-nya pasti, masalahnya tinggal di-tauhid-i sebagai rahmat Allah atau tidak oleh kumpulan manusia yang menjalani kebudayaan. Akan tetapi kalau parameter atau titik tuju pembangunan dan perkembangan peradaban ummat manusia adalah (hanya, sebatas) “Toto Tentrem Kerto Raharjo”: setan, jin, dajjal juga sanggup meminpin manusia utk mencapainya — tanpa mereka sendiri memerlukannya.

Pakailah bahasa modern masa kini: kalau sukses kehidupan adalah pencapaian materialisme, ketertataan demokrasi, kerukunan antar manusia, stabilitas politik, jalan raya lancar, harga kendaraan bisa dijangkau, kuliner semarak, rakyat bisa makan, punya rumah, bisa menyekolahkan anak dan membayar rumah sakit — Dajjal sangat pakar untuk itu.

Para koruptor, penipu rakyat, pemimpin-pemimpin palsu tidak sukar membangun “Toto Tentrem Kerto Raharjo”. Amerika Serikat juga Toto Tentrem Kerto Raharjo untuk rakyatnya, tapi landasannya perampokan internasional. Belanda Toto Tentrem Kerto Raharjo berkat menjajah nenek moyang kita. Bahkan Firaun semillenium Toto Tentrem Kerto Raharjo.

Dengan Gemah Ripah Loh Jinawi (kekayaan alam) Indonesia yg melimpah, pelaksanaan Toto Tentrem Kerto Raharjo (negara dan pemerintahan) tidak sukar dicapai.

Tetapi sukses materialisme seperti itu sebersinar apapun belum dan tidak sama dengan “Baldatun Thoyyibatun Wa (terutama) Robbun Ghofur” Amerika juga Toto Tentrem Kerto Raharjo, tapi itu hasil ngrampok: bukan Baldatun Thoyyibatun dan Robbun tidak ghofur (mengampuni).

Menjelang pukul 4 pagi Kenduri Cinta dipungkasi dengan bersama-sama melafalkan salawat Indal Qiyam dan ditutup dengan doa yang dipimpin oleh Kyai Muzammil.