Mukadimah: Negara Indie

Industri musik berkembang pesat menjadi bagian dari maraknya peluang di ranah industri hiburan. Pangsa pasar di dunia industri hiburan kian tak terbendung, maklumlah, karena semakin banyak saja konsumennya, yakni mereka-mereka yang kurang terhibur oleh pencapaian hidupnya. Di antara yang terpinggirkan dari gemerlap musik industri, ada jenis musik lain yang dilihat dengan memincingkan mata oleh orang mayoritas, yakni musik indie. Ketika musik mayor tumbuh subur di dunia industrialiasai musik dengan sokongan dana kuat dari pemilik modal, juga dipermak maksimal oleh juru rias industri, musik indie seolah tidak punya ruang untuk orang mengapresiasi.

Musik indie biasanya tumbuh di kalangan komunitas. Komunitas yang memegang suatu nilai dan prinsip keunikan mereka sendiri. Mereka menggarap musik untuk dinikmati sesuai dengan cara mereka sendiri, bukannya taqlid kepada industrialisasi musik dengan menyediakan diri untuk diperah darinya keuntungan, menjadi sapi perah industri. Kalau sebuah grup musik indie ingin mencapai kemajuan dan ketenaran sebagaimana musik major, maka ia harus memenuhi syarat rukun industri terlebih dahulu. Liriknya direvisi, nadanya disesuaikan tren pasar, personelnya dibongkar pasang sesuai yang dimaui pemilik label. Pokoknya kiblatnya industri, panduannya pasar.

Kalau indie kita tarik ke ranah negara. Bukankah Indonesia itu negara indie? Dulunya negara ini dibangun bukanlah untuk memenuhi syahwat industrialisasi negara, tapi untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah dan otentisitas nilainya. Dan memang tidak bisa dinafikan lagi, dari angle manapun Indonesia dipandang, ia memiliki karakter indie, sebuah super-komunitas yang berbeda, kuat, otentik dan mempunyai cara hidupnya sendiri. Lalu bagaimana ceritanya sekarang menjadi ikut-ikutan dalam kancah industrialisasi negara bertajuk globalisasi? Sehingga mau-mau saja digubah lirik-lirik konstitusinya, diaransir ulang nada-nada regulasi kebijakannya disesuaikan dengan tuntutan pasar global serta tidak jelas irama poilitiknya siapa yang mengatur dibelakangnya.

Lalu sebagian besar kita mengeluh menggerutu, karena kita tidak sepopuler Amerika, kalah hits dengan Singapura, pendapatan perkapitanya tidak sebesar Uni Emirat Arab. Kalau kita mengekor saja ukuran-ukuran yang mereka buat, selamanya kita akan kalah. Seperti kalah gemuknya burung perkutut dengan ayam broiler. Karena memang burung perkutut itu, kalau mau cari menang ya kicaunya, bukan postur badannya.

Spirit indie adalah kesadaran untuk mengenal keragaman perbedaan dan kategorisasi penciptaan dengan sudut pandang syu’uban waqoba ilalita’arofu untuk tidak keliru membuat ukuran-ukuran perbandingan diri dengan tetangga, komunitas dan negara lain yang kita sangkai sebagai pesaing. Sehingga kita menemukan keindahan kicau alami kita, bukannya ikut-ikutan arus mainstream dengan setiap hari menuntut diri untuk menggemukkan postur badan.

Sebagaimana musik indie yang hidup bukan dari income yang bisa disedot, maka negara indie juga tidak bisa digenjot dengan berbagai trik pemasaran ala konspirasi global. Dari perjanjian Jenewa sampai MEA, selamanya kita akan selalu tertatih-tatih dan kalah mengikuti aturan main mereka itu. Karena memang bukan dari income kita hidup. Karya indie hidup dari intepretasi yang jujur, apresiasi yang tulus dan interaksi yang indah dari anggota komunitas sebagai penikmatnya. Kebahagiaan tidak melulu dari jumlah keping album yang laku, bukan dari banyaknya konser, bukan dari target-taget pendapatan. Kebahagiaan indie lahir dari harmoni nada-nada dan harmoni komunitas yang menjadi penikmatnya, sehingga terjadi arus ulang-alik energi antara komunitas dan musisinya.

Pertanyaannya sekarang, kalau Indonesia undur diri dari kancah industrialisasi negara, lalu kembali menjalani keotentikannya sebagai negara indie, sudah siapkah para penikmatnya? Siapa mereka dan seberapa banyak? Ataukah tidak ada penikmatnya, karena jangan-jangan memang sudah benar adanya bahwa negara ini dibangun adalah untuk mengejar kedigdayaan materiil belaka? Ah, sepertinya tidak begitu, dilihat dari asal kata namanya saja Indonesia berasal dari kata Oost-Indische yang mungkin artinya tidak jauh-jauh dari “Indie Timur”.