NEGARA CANDA

SEJAK JUMAT siang (9/9), hujan deras mengguyur hampir di seluruh penjuru Jakarta. Tidak terkecuali di Cikini. Bulan-bulan ini memang adalah momen memasuki musim penghujan, beberapa hari terakhir intensitas turunnya hujan cukup tinggi, tidak hanya di Jakarta saja.

Hingga lepas maghrib, hujan tak kunjung reda. Persiapan Kenduri Cinta pun baru bisa disempurnakan menjelang Isya’, termasuk untuk check sound tata pengeras suara dan pemasangan backdrop di panggung. Namun demikian, nyatanya hujan yang turun tidak mengurangi antusias teman-teman jamaah Maiyah di Jakarta untuk Maiyahan di Kenduri Cinta malam itu. Cukup banyak yang datang sejak sore bahkan, mereka turut menikmati suasana senja yang cukup dingin di Taman Ismail Marzuki.

Bagi sebagian jamaah, cuaca hari itu memang cukup mengkhawatirkan. Beberapa bertanya melalui DM di Instagram apakah Kenduri Cinta tetap terselenggara mengingat hujan yang turun cukup deras. Tapi, bagi penggiat Kenduri Cinta, hujan bukan sebuah halangan. Bahkan, beberapa tahun lalu saat Kenduri Cinta masih diselenggarakan di Plaza Taman Ismail Marzuki di depan, pernah mengawali forum dalam situasi hujan turun cukup deras, bahkan hingga berlangsungnya diskusi sesi pertama pun, hujan masih turun sangat deras, nyatanya jamaah justru yang hadir semakin banyak. Tapi sekali lagi, forum Kenduri Cinta ini bukan hanya sekadar kuantitas banyaknya jamaah yang hadir, setiap jamaah pasti memiliki alasan tersendiri kenapa mereka ingin datang ke Kenduri Cinta.

Sekitar pukul 20.30 WIB, Kenduri Cinta dibuka dengan munajat sholawat dan lantunan surat Ar Rahman oleh beberapa penggiat Kenduri Cinta. Jamaah yang sudah datang, diajak untuk menyapa langit, mensyukuri bahwa hujan yang turun juga merupakan rahmat dari Allah untuk semesta. Setelah munajat itu, sesi mukadimah pun digelar. Bukhori dan Nashir memandu sesi tersebut, menyapa jamaah yang sudah hadir.

Salah satu jamaah, Riyan, ditanya kenapa tetap datang ke Kenduri Cinta? Baginya, Kenduri Cinta adalah tempat untuk berkumpul. Ada suasana yang berbeda yang ia temui di forum ini. Disinggung mengenai harga BBM yang naik, ia menjawab, tidak terlalu pusing dengan kenaikan BBM itu, yang penting masih bisa ngopi dan rokok’an, itu sudah membuatnya bahagia. Apalagi, Maiyahan di Kenduri Cinta bisa ngopi sambal rokok’an, itu sudah lebih dari cukup, menurutnya.

Lain lagi dengan Aisyah, seorang jamaah perempuan yang mengaku baru dua kali ini datang di Kenduri Cinta. Tampak masih muda, jadi mungkin Aisyah ini generasi Z yang baru saja mengenal Kenduri Cinta. Tidak dipungkiri memang, banyak anak-anak muda sekarang, terutama generasi Z, mengenal Maiyah bukan dari buku-buku atau karya Mbah Nun, mereka mengenal Kenduri Cinta atau juga Maiyah dari konten-konten yang tersebar di media sosial saat ini. Aisyah yang awalnya mengenal Kenduri Cinta dari Instagram mengakui, forum ini banyak guyonnya, tetapi ia juga tetap mampu mengambil banyak hikmah dari forum Kenduri Cinta ini, jadi tidak hanya guyon, ilmunya juga tetap banyak yang ia dapat.

“Masih ada Mbah Nun”, ungkap Irfan, salah satu jamaah Kenduri Cinta yang sudah bersentuhan dengan forum ini sejak tahun 2010. Tidak terlalu mengherankan, karena memang Irfan tinggal di belakang Taman Ismail Marzuki, tepatnya di jalan Kali Pasir. Malam itu, Irfan mengajak jamaah yang hadir untuk selalu memanjatkan doa untuk kesehatan Mbah Nun. “Meskipun kita mengalami kebingungan, mengalami kesedihan, tapi setidaknya kita masih bisa menenangkan diri kita karena kita masih punya Mbah Nun”, pungkasnya.

Irfan menambahkan, bahwa di awal tadi, kita sudah melantunkan wirid Hasbunallah, lalu Mawlan Siwallah, yang sebenarnya wirid-wirid itu sudah dibiasakan kita di setiap pembukaan Kenduri Cinta sudah sangat cukup menegaskan bahwa jamaah Kenduri Cinta itu adalah manusia Indonesia yang sangat nasionalis. Tidak peduli dengan kenaikan BBM, ya mungkin sesekali kita bersedih, merasa susah, tapi kita tetap memiliki pondasi optimism yang sangat kuat, bahwa hanya kepada Allah kita bersandar. Mbah Nun sudah memberi kita kunci, dengan statemen dari Rasulullah SAW; in lam yakun bika ‘alayya ghodlobun, falaa ubaalii. Asalkan Allah tidak marah kepadaku, maka aku tidak peduli dengan apa yang terjadi di dunia ini.

Baru sesi mukadimah saja, diskusi yang bergulir sudah menghangat. Tema “NEGARA CANDA” ini sebenarnya hanya pemantik saja bagaimana jamaah akan merespons, selalu dibiarkan alami saja diskusi mengalir. Ada Mas Bayu yang ternyata seorang ASN di Jakarta, menyampaikan bahwa memang Indonesia sebagai Negara harus melakukan revolusi perubahan secara mendasar jika ingin menjadi Negara yang lebih baik dari hari ini. Begitu juga dengan Ali Condet, yang memang berdarah Ambon, ia menyadari bahwa sampai hari ini masih saja terjadi ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia.

 

DISKUSI SESI mukadimah berlangsung dibawah rintikan gerimis yang memang masih turun malam itu. Nashir kemudian mempersilakan Adiba untuk membawakan beberapa nomor lagu sebelum memasuki diskusi sesi selanjutnya.

Tri Mulyana kemudian memoderasi diskusi sesi selanjutnya. Bersama Adi Pudjo dan Ali Hasbullah menemani Tri Wahyu dan Ahmad Karim yang turut bergabung di Kenduri Cinta malam itu. Tri Wahyu sendiri adalah salah satu penggiat simpul Maiyah di Lingkar Daulat Malaya, Tasikmalaya yang memang kebetulan sedang di Jakarta. Sementara Ahmad Karim adalah penggiat Simpul Maiyah Mafaza Eropa yang saat ini sedang menyelesaikan pendidikan di Belanda.

Setelah menafsirkan maksud dari poster tema Kenduri Cinta kali ini, yang tentu saja tafsir semaunya sendiri, Tri menyampaikan bahwa memang saat ini kita memiliki kecenderungan untuk menyelesaikan masalah dengan masalah yang baru. Begitu juga dalam kehidupan bernegara, bagaimana Pemerintah Indonesia seringkali menghadapi permasalahan yang rumit, namun kemudian diselesaikan dengan cara memunculkan permasalahan yang baru. Yang terakhir saja, mengenai kebocoran data di beberapa kementerian, tidak diselesaikan dengan mencari akar masalahnya apa, melainkan dengan memunculkan masalah yang baru lagi.

Ahmad Karim lalu menyoroti tema yang diangkat Kenduri Cinta kali ini. Ia beberapa kali hadir di Maiyahan di beberapa titik Simpul Maiyah, hampir selalu kata “Indonesia” disebut dalam diskusi. Hal ini menandakan betapa cintanya Masyarakat Maiyah terhadap Indonesia. Tidak dalam rangka mengkritik, menghina, membully apalagi merendahkan, justru Jamaah Maiyah di setiap Simpul Maiyah memiliki caranya sendiri untuk mengungkapkan cinta kepada Indonesia. Tidak peduli apakah Indonesia selalu memberi kebahagiaan kepada mereka atau tidak, tetapi mereka tetap cinta kepada Indonesia dan tidak memiliki niat sedikitpun untuk meninggalkan Indonesia.

“Maiyah selalu membicarakan Indonesia dalam setiap diskusinya”, lanjut Karim menyampaikan. Dibicarakan dan didiskusikan dari berbagai sisi. Entah akan menjadi solusi bagi Indonesia atau tidak, itu urusan lain, tetapi diskusi yang berjalan dengan serius itu mebuktikan betapa cinta yang sangat luar biasa dari Jamaah Maiyah kepada Indonesia. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan kehidupan di Belanda. Diceritakan oleh Karim, sangat jarang rakyat di Belanda membicarakan Negara, karena Negara memang benar-benar hadir untuk menyelesaikan persoalan rakyatnya, sehingga hampir tidak ada celah untuk rakyatnya mendiskusikan Negaranya.

Di Indonesia, obrolan mengenai Negara itu muncul di warung-warung kopi, di pinggir jalan, di kelompok-kelompok diskusi rakyat, yang sebenarnya mereka sama sekali tidak memiliki otoritas untuk melakukan perubahan terhadap Negara. Kita bisa melihat realita hari ini, bagaimana rakyat Indonesia begitu asyik membincangkan Negara dalam skup diskusi mereka di setiap lini. Termasuk Maiyah ini.

Yang digarisbawahi oleh Karim, Maiyah sebagai komunitas sangat berbeda dengan Ormas atau Partai Politik. Secara padatan, Simpul Maiyah tidak memiliki otoritas sama sekali untuk melakukan perubahan, tetapi sangat serius membicarakan Negara di setiap diskusinya. Tidak dalam rangka memunculkan ekspektasi yang tinggi terhadap Indonesia, tetapi setidaknya ada narasi yang kuat dan selalu diingat, bahwa setidaknya kita di Maiyah tidak ikut menambah kerusakan di Indonesia. Mungkin hanya memiliki peran seperti semut yang setia membawa tetesan air untuk memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim saat dihukum oleh Namrud, meskipun kecil, tetapi tindakan itu nyata adanya.

 

SEMAKIN LARUT, diskusi di Kenduri Cinta semakin intens dengan pembahasan yang juga semakin berbobot. Meskipun hujan kembali turun, jamaah tak sedikitpun bergeming. Banyak yang rela untuk tetap berbasah-basahan diguyur hujan, seolah-olah eman rasanya jika harus segera meninggalkan forum Kenduri Cinta ini.

“Di Indonesia itu orang-orangnya prigel”, Ali hasbullah menyambung paparan Karim dan Tri Wahyu sebelumnya. Berkaca pada mukadimah Kenduri Cinta edisi September ini, Ali Hasbullah menyatakan bahwa perlu dirumuskan kembali parameter yang menjadi penentu indeks kebahagiaan sebuah Negara di Dunia. Faktanya, di Indonesia ini kita mendapati keyataan bahwa mau sesulit apapun kondisi hidupnya, rakyat Indonesia memiliki kreatifitas yang sangat tinggi untuk menemukan cara untuk tetap bahagia.

Yang juga perlu ditegaskan, Ali menyampaikan bahwa di Islam kita memiliki bekal dari Allah berupa ayat; Innallaha la yughayyiru maa biqoumin hatta yughayyiru maa bianfusihim. Bahwa perbuahan itu datangnya atas kehendak Allah yang sebelumnya didukung dengan usaha yang dilakukan oleh manusia itu sendiri.

2 tahun mengalami masa pandemi, sama sekali tidak memusnahkan rasa optimism untuk terus bahagia. Mungkin sesekai merasakan kebuntuan hidup, menghadapi kesulitan hidup, namun faktanya tetap bisa bertahan dan tetap menemukan alasan untuk tetap bahagia.

Tri Mulyana menggarisbawahi bahwa memang cara mengukur kebahagiaan antara kita sebagai rakyat dengan dunia memandang kebahagiaan sebuah negara itu sebenarnya sangat berbeda landasannya. Jika sebuah Negara, maka akan diukur tingkat achievement rate-nya untuk menentukan apakah sebuah Negara terbukti menghadirkan kebahagiaan untuk rakyatnya atau tidak. Semenatra kita di Indonesia, memiliki rasa bersyukur untuk menjadi pijakan dalam menemukan kebahagiaan. Apapun saja, kita sebagai rakyat di Indonesia selalu menemukan celah untuk bersyukur.

Untuk mengisi sesi jeda kedua, grup musik Empang  (Emperan Pamulang) dari Pamulang dan juga teman-teman dari Komunitas Jazz Kemayoran menghibur jamaah dengan nomor-nomor yang dibawakan. Semua bernyanyi, semua bergembira bersama di Kenduri Cinta malam itu.

 

MEMASUKI diskusi sesi puncak, Ust. Noorshofa hadir bersama Habib Husein Ja’far bergabung di panggung Kenduri Cinta.

“Sesama kita itu bersaudara”, Habib Ja’far membuka paparannya malam itu dengan mengisahkan satu pengalaman yang ia alami saat bertemu dengan pedagang Starling di Monas yang ternyata adalah sama-sama orang Madura. Saat belum saling mengenal, yang ada adalah imajinasi bahwa jika tidak membeli dagangannya, maka orang itu kurang ajar, harus dikasih pelajaran. Namun dengan satu kode saja, pada akhirnya pedagang Starling itu justru memberi air mineral secara gratis.

Istilah “Sesama kita bersaudara” itu bisa diungkapkan dengan barbagai macam bahasa. Di Madura, disebut Tretan Tibi’, lalu di Jawa ada istilah Dhulure Dhewe,  atau Jape Methe, begitu juga di daerah lain, punya istilahnya sendiri. Kesadaran dasar dalam diri manusia Indonesia ini yang secara naluriah menumbuhkan imajinasi yang kemudian diejawantahkan dalam kehidupan nyata bahwa kita semua ini memang bersaudara.

Sementara, yang sedang kita hadapi hari ini adalah polarisasi demi polarisasi yang terjadi secara massif. Pada setiap isu yang bergulir, selalu menghadirkan polarisasi yang baru, yang ujungnya kemudian adalah perpechan yang semakin meruncing. Setiap isu yang bergulir, selalu ditunggangi oleh pihak-pihak yang memang sedang menghendaki perpecahan agar terjadi.

Dalam dunia digital, kita mengenal istilah Echo Chamber, atau ruang dengung. Dalam sistem Echo Chamber, kita dikondisikan pada sebuah aturan main dimana kita hanya mau mendengarkan informasi yang sepihak dengan kita. Kita akan menolak informasi yang bertolak belakang dengan keberpihakan kita. Sebaik apapun yang dilakukan oleh orang yang berseberangan dengan kita, tidak akan kita terima. Singkatnya, kita dikondisikan untuk tidak mau menerima perspektif lain dari apa yang kita yakini.

Berbicara tentang “NEGARA CANDA”, Habib Ja’far menyampaikan bahwa kita di Islam memiliki pijakan bahwa dunia dan seluruh isinya ini hanya permainan dan senda gurau belaka. Tetapi, meskipun permainan kita itu menjalaninya dengan serius. Sayangnya, hal ini tidak kita aplikasikan seutuhnya dalam kehidupan kita. Kita lebih sering serius untuk hal-hal yang sifatnya main-main, misalnya bermain game di handphone kita sangat serius, scroll time line media sosial, kita sangat serius. Sementara untuk hal-hal yang sejatinya bersifat serius, seperti ibadah, kita justru main-main dan penuh canda.

“Kita ini cenderung mati-matian untuk dunia, padahal dunia ini adalah sesuatu yang tidak akan dibawa mati”, Ust. Noorshofa menyambung apa yang disampaikan oleh Habib Ja’far. Diibaratkan oleh Ust. Noorshofa bahwa kita hidup di dunia ini sebenarnya hanya sebentar, sangat sebentar bahkan jika dibandingkan dengan kehidupan di akhirat yang lebih kekal, karena tidak ada kehidupan lagi setelah kehidupan di akhirat kelak.

Ust. Noorshofa menegaskan bahwa kita jangan sampai juga melupakan untuk melakukan introspeksi ke dalam diri kita. Kita lebih sering mengkritik apa yang ada di luar diri kita, tetapi sangat jarang untuk melakukan kritik ke dalam diri kita. Agar kita mendapat kehidupan yang layak di akhirat kelak.

Kehidupan di surga, dijelaskan oleh Ust. Noorshofa adalah kehidupan yang penuh dengan kenikmatan. Ketika di surga kelak, kita minum itu bukan dalam rangka menghilangkan dahaga, saat kita makan bukan dalam rangka kita lapar, melainkan itu semua dilakukan karena kita mendapat kenikmatan.

Kembali pada konteks bersyukur, sejatinya apa yang kita lakukan bersama-sama di Kenduri Cinta dan di Maiyah ini adalah dalam rangka nyicil kehidupan surga. Kita semua menyadari bahwa tidak ada satupun dari kita yang sempurna, kita semua punya aib dan kesalahan, hanya saja Allah masih menyembunyikan aib kita, dan yang harus kita waspadai adalah jangan sampai kita terjebak dalam aib kita sendiri.

Lewat tengah malam, Kenduri Cinta dipuncaki dengan doa bersama, untuk kebaikan bersama. Sampai juma pada Kenduri Cinta edisi Oktober 2022.