Mukadimah: TAHUN-TAHUN DUKA, TAHUN-TAHUN BUTA

Mukadimah Kenduri Cinta Juli 2015

Adakah duka yang haru-nya melebihi kehilangan yang engkau cintai?

Adakah duka yang kedalamannya melebihi sirnanya tumpuan harapan?

Adakah duka yang lebih menyakitkan, manakala kesetiaan dibalas pengkhianatan?

Ataukah kita sementara masih bersuka ria karena dibutakan keadaan?

Ketika mendapati satu demi satu orang-orang yang kita cintai kembali kepada ilahi, perasaan kehilangan pasti tidak terelakkan. Berbagai  kenangan kebersamaan dimasa silam berubah menjadi kesunyian. Namun untuk terus larut dalam kesedihan, bukanlah sebuah pilihan.

Begitu juga dengan harapan yang pupus, karena harapan untuk meraih cita-cita kandas ditengah jalan, entah karena sebab apa? Sebuah perencanaan yang sudah sedemikian matang disiapkan, disusun, ditata, lantas gagal dikarenakan oleh satu-dua faktor yang tidak diduga-duga, tidak terprediksi sebelumnya. Merontokan semangat, meruntuhkan asa. Tetapi kondisi ini tidak lantas dibiarkan, bangkit dari keterpurukan adalah keharusan.

Pengkhianatan terhadap kesetiaan yang telah lama terbina, tak jarang berubah menjadi dendam.  Kebencian terhadap si pengkhianat dengan sendirinya muncul. Bahkan untuk menemukan permakluman atas penghianatan itu nyaris tak ditemukan. Padahal satu-satunya obat untuk memulihkan dari perasaan sakit akibat penghianatan hanyalah kebersediaan untuk memakluminya, memaafkannya. Sangat mudah disimpulkan, namun tidak mudah ditunaikan.

Duka-duka lara dengan berbagai sekala luasan dan kedalaman menyelimuti tiap-tiap diri yang berada pada kondisi tak mampu lagi memaklumi situasi keadaan sebagai suatu yang dapat diterima dada.  Luasan duka dapat dirasa oleh pribadi maupun keluarga. Keluarga yang dimaksud dapat berupa satu komunitas atau masyarakat yang lebih luas, dalam satu paguyuban, perusahaan atau negara dan bangsa, seluas kaitan rasa yang diakibatkan oleh sumber duka sebagai satu keluarga. Kedalaman duka-pun semakin mendalam, sedalam sumber duka berpengaruh terhadap pribadi dan keluarga yang berduka.

Berbagai upaya melipur duka dilakukan dengan harapan muncul harapan yang baru, supaya tidak terus larut dalam kesedihan, supaya segera bangkit dari keterpurukan. Tetapi bagaimana jika yang sedang kita hadapi adalah duka-duka yang bertubi-tubi? Belum usai dari satu duka lantas muncul duka berikutnya. Belum usai rasa kehilangan pudar, membekas lagi kehilangan berikutnya. Belum kuncup tunas harapan baru muncul, sudah tercerabut lagi akarnya. Belum mampu memaklumi satu pengkhianatan, namun pengkhianatan baru terjadi lagi.

Romantisme untuk mendramatisir kenyataan tidak diperlukan jika kita sebagai sebuah keluarga besar negara-bangsa tidak sedang dibutakan oleh rabun kenyataan sosial. Citra-citra rekayasa yang begitu tebal membalut hubungan ‘suami-istri’, pemerintah-rakyat, Indonesia-Nusantara dalam ikatan pernikahan negara-bangsa yang sudah semakin disharmonis. Penistaan, peniadaan, pengkhianatan dan perselingkuhan-perselingkuhan terselubung terus berlangsung. Hilang keramat Pancasila untuk mengikat pernikahan negara-bangsa, digantikan sekedar gelembung ‘balonku ada lima’ dan slogan Islam Nusantara.

Kenyataanya jutaan suami-istri dengan berbagai profesi menjadi tumpuan harapan jutaan keluarga. Sebagai wiraswasta pengusaha, karyawan perusahaan, buruh pabrik, petani dan berbagai profesi lainnya, menjalani pekerjaannya dengan cinta dan kesetiaan. Setiap rupiah menjadi sangat berarti , pekerjaan yang digelutinya menjadi aliran distribusi rahmat Tuhan bagi keluarga dan siapapun saja yang menerima hasil usaha pekerjaannya. Setiap bulir padi yang dipanen menjadi harapan dapat dihargai dengan harga tertinggi, begitu pula dengan hasil panen buah dan sayurannya.

Tapi apa jadinya, jika terjadi pemutusan hubungan kerja massal? Apa jadinya, jika hasil pekerjaan yang benar-benar kita kerjakan secara serius namun tidak dihargai secara sepadan? Apa jadinya, jika kesetiaan tenaga dan kerja kita untuk perusahaan digantikan oleh tenaga kerja asing dengan berbagai ragam alasan? Apa jadinya, jika rupiah-rupiah yang kita kumpulkan dihadapkan dengan laju bebas inflasi terserah pasar? Apa jadinya, jika hasil produk lokal pertanian kita langsung ditenggelamkan oleh banjir impor produk-produk pertanian dari luar negeri?

Sebagaimana keadaan serupa dialami oleh negara-bangsa ini 50-an tahun silam dengan setting yang nyaris sama, namun dengan sedikit beda variabel. Ancaman PHK massal terjadi, banyak perusahaan-perusahaan yang mulai siap-siap gulung tikar, inflasi semakin tinggi, konstelasi politik dalam negeri yang sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan terintervensi luar negeri. Lebih parah, pada masa-masa itu ketersediaan pangan sangat memprihatinkan, sehingga urusan perut yang lapar akan mudah untuk tersulut provokasi.

Tahun 1960-an, penggalan sejarah bangsa yang begitu mencekam. Ketika cita-cita, cinta, harapan, dan pengkhianatan tumpang tindih, versi subversi, tak jelas mana kawan mana lawan, tak benda mana perjuangan-mana penghancuran, kebenaran jadi fitnah- fitnah jadi kebenaran. Orang-orang awam dibutakan oleh situasi. Bercermin dari sejarah masa silam, jangan kenyataan itu kita tiadakan, semestinya kewaspadaan dan kehati-hatian kita perlukan supaya jangan sampai “meletus balon hijau, dorr!!” atau ini semacam antisipasi pada saat “hatiku sangat kacau” karena penglihatan kita dibutakan oleh situasi keadaan.

Masyarakat Maiyah Keduri Cinta pada edisi Juli 2015 seperti biasanya berkumpul maiyahan pada Jumat minggu kedua di Taman Ismail Marzuki, kali ini dimulai pukul 21.00 karena bertepatan dengan bulan Ramadan, dengan judul TAHUN-TAHUN DUKA,TAHUN-TAHUN BUTA. Silahkan lanjut berpuasa.

Komentar